Friday, November 27, 2020

My poem: REBORN


REBORN


Remove noise
Embrace silence
thru serene presence
of an absence

The Lord's nowhere
Is the Lord's everywhere
The Lord's existence
Is the Lord's non-existence

When you're alone
and the Lord is nowhere
Feel the Lord's absence
You'll find the presence

Overwhelmed by the absence
You encounter the presence
At that moment of time
You are reborn free


☆ ioanes rakhmat
Nov 27, 2020


Sunday, November 22, 2020

Vaksin-vaksin Covid-19 yang sedang diunggulkan, sementara dunia menunggu penuh tanya


Di tahun 2014, Maria Shandi merilis lagu "Waktu Tuhan". Lagunya tidak panjang. Sebagian liriknya saya kutipkan.

"Waktu Tuhan bukan waktu kita. Jangan sesali keadaannya. Untuk semua ada waktu Tuhan. Tetap setia mengandalkan-Nya.... semua 'kan indah pada waktunya..."

Di saat pandemi Covid-19 sekarang ini, banyak orang menunggu Tuhan bertindak untuk mengakhiri pandemi ini, yang dimulai di Wuhan, China, Desember 2019, terus melesat ke Januari 2020, hingga saat ini, penghujung 2020.

Jika pandemi ini berakhir, itu berarti waktu Tuhan telah tiba. Itu juga berarti waktu Tuhan adalah waktu para ilmuwan medik spesialis, yaitu ketika mereka berhasil membuat vaksin-vaksin Covid-19 yang aman dan efektif, yang tidak punya efek samping yang berbahaya sekaligus ampuh dan mujarab.

Waktu Tuhan tampaknya sedang datang, didatangkan oleh para ilmuwan sebagai hamba-hamba Tuhan, lewat keberhasilan mereka mengembangkan vaksin-vaksin Covid-19 yang aman dan efektif.

Sudah ada tiga vaksin (bisa juga lima vaksin) yang kelihatannya akan menjadi vaksin-vaksin unggulan untuk mengendalikan dan bahkan mengakhiri pandemi Covid-19. Sejauh ini, harapan-harapan sedang bermunculan. Apakah harapan-harapan ini akan terpenuhi, jawabnya masih harus dilihat di tahun-tahun yang akan datang. Duuh.

Vaksin-vaksin unggulan

Mari sekarang kita mengenali vaksin-vaksin yang diunggulkan itu. Tidak sangat mendalam tentunya, tapi cukup memadai.

Vaksin Arcturus

Arcturus Therapeutics Holdings Inc. (didirikan 2013, berbasis di San Diego, California, America) pada 11 Agustus yang lalu mengumumkan telah mulai menjalankan uji klinis tahap 1 dan tahap 2 (biasa ditulis tahap 1/2, karena dua tahap ini umumnya dijalankan serentak) terhadap kandidat vaksin Covid-19 yang mereka sedang kembangkan. Hasil uji klinis tahap 1/2 akan diumumkan sebelum tahun 2020 berakhir.

Kandidat vaksin ini tergolong vaksin baru mRNA, diberi nama LUNAR-COV19 atau ARCT-021 oleh perusahaan ini, yang bekerjasama dengan Duke-NUS Medical School di Singapura dalam menjalankan uji klinis vaksin ini. Pemerintah Singapura sendiri telah memesan kandidat vaksin Arcturus ini untuk kebutuhan vaksinasi dalam negeri. 




Arcturus meyakini bahwa vaksin mereka yang dikembangkan berdasarkan messenger-RNA (ditulis mRNA) yang mereplikasi diri, akan memungkinkan vaksinasi dalam dosis sangat rendah, dengan 1 kali suntikan. Keyakinan ini dibangun di atas data imunogenisitas dan respons sel T yang diperoleh dari uji praklinis dengan hewan-hewan pengerat.

Uji praklinis menunjukkan kandidat vaksin ARCT-021 menghasilkan antibodi-antibodi penetralisir (mulai hari ke-sembilan belas) dengan 100 % serokonversi, dengan satu kali suntikan saja berdosis tunggal 2 µg (2 ug atau 2 mikrogram). Serokonversi (atau imunogenisitas) mengacu ke tingkat kemampuan suatu vaksin untuk memunculkan antibodi yang paripurna atau komplit, antibodi humoral dan antibodi selular, sebagai respons sistem imun.

Antibodi-antibodi penetralisir yang timbul, yang distimulasi vaksin Arcturus ini, terus-menerus bertambah banyak sampai 60 hari setelah injeksi dosis pertama. Data praklinis juga memperlihatkan induksi sel T CD8 dan respons imun selular berupa sel "Th1 biased T-helper" atau sel "T-penolong yang dibiaskan T-penolong1". Terma-terma medis ini cukup dibaca saja, tak perlu dipusingkan.

Kandidat vaksin ARCT-021 tidak berisi virus dan tidak memakai vektor-vektor virus atau "viral adjuvants" atau virus pembantu, tetapi menggunakan teknologi mRNA yang dimiliki Arcturus, yang dapat "mereplikasi diri" dan "self-transcribing" atau "melakukan transkripsi mandiri" (Arcturus menamakannya teknologi STARR, singkatan dari "self-transcribing and replicating-mRNA"). 

Selain itu, Arcturus juga memakai teknologi baru "sistem pengiriman yang diperantarai lipid", yang dinamakan LUNAR (singkatan dari "Lipid-enabled and Unlocked Nucleomonometer Agent modified RNA"). LUNAR memakai partikel-partikel pengirim asam nukleat ke sel-sel dan jaringan yang secara klinis penting, yang menjadi target. Proses pengiriman ini dinamakan endositosis. Partikel-partikel LUNAR ini melebur dengan membran-membran sel target, lalu masuk ke dalam sel di mana partikel-partikel ini mengirim muatan RNA/DNA. Sel ini selanjutnya menggunakan medikasi RNA/DNA untuk menangani penyakit-penyakit yang menimbulkan kerusakan genetik dan menghasilkan protein yang sehat dan normal. Penggunaan teknologi LUNAR adalah kekuatan vaksin Arcturus.

Vaksin mRNA bekerja dengan mengkodekan sekuen mRNA, yakni molekul yang memberitahu sel-sel tubuh tentang apa yang harus dibangun, untuk antigen penyakit yang spesifik. Di saat sudah dihasilkan oleh sel-sel dalam tubuh, antigen ini dikenali oleh sistem imun dan mempersiapkan sistem imun untuk memerangi patogen penyusup yang real.

Ada kelebihan vaksin mRNA jika dibandingkan dengan vaksin terinaktivasi tradisional.

Vaksin mRNA dapat melindungi penerima vaksin dari anekaragam mutasi yang akan terjadi pada virus SARS-CoV-2 di masa depan. Kok bisa? Ya, karena vaksin ini mencakupi protein-protein "spike" virus sepenuhnya sehingga vaksin ini akan dapat menangani suatu mutasi virus dari awal hingga yang mutakhir, "at either end".

Keuntungan besar vaksin mRNA adalah bahwa RNA dapat diproduksi dalam lab dari suatu template DNA dengan menggunakan material-material yang sudah tersedia. Alhasil, biaya pengembangan dan produksi vaksin mRNA akan lebih murah dan lebih cepat dibandingkan vaksin konvensional yang memerlukan telur-telur ayam atau sel-sel mamalia lain.

https://ir.arcturusrx.com/news-releases/news-release-details/arcturus-therapeutics-announces-it-has-initiated-dosing-its

https://gvwire.com/2020/07/31/a-darkhorse-vaccine-developer-in-san-diego-is-quietly-gaining-global-attention-in-covid-19-fight

https://arcturusrx.com/proprietary-technologies/lunar/

Vaksin Moderna

Kandidat vaksin yang kedua dengan tingkat efektivitas di atas 90 % sedang dikembangkan oleh Moderna Inc., dan kini sedang diuji klinis tahap akhir. Kandidat vaksin Covid-19 Moderna ini juga dikembangkan dengan memakai teknologi mRNA yang belum pernah digunakan sebelumnya.

Dalam analisis pendahuluan atas uji klinis besar tahap akhir yang melibatkan 30.000 relawan, kandidat vaksin Moderna ditemukan efektif 94,5 %. Angka persentase yang tinggi ini, patut dicatat, bukan serokonversi, tapi persentase relawan yang berhasil diproteksi oleh vaksin Moderna, yang didapat dari uji klinis vaksin yang telah disuntikkan ke salah satu grup relawan, sementara grup yang lainnya menerima suntikan placebo (berisi hanya cairan saline atau NaCl). Uji klinis dapat dijalankan dengan metode "double blind, placebo, controlled trial" (DBPCT), atau metode "single blind, placebo, controlled trial" (SBPCT).

Baiklah, sebagai pelengkap, mau saya gambarkan dulu dengan singkat apa itu DBPCT atau SBPCT.

DBPCT atau SBPCT adalah suatu metode ilmiah yang diakui, yang dijalankan dalam riset uji klinis vaksin-vaksin (atau obat-obatan, atau berbagai penanganan suatu penyakit).

Dalam DBPCT, baik para relawan maupun para peneliti (dokter atau ilmuwan) tidak tahu siapa saja yang diberi suntikan vaksin (yang sedang diteliti) dan siapa saja yang mendapat suntikan placebo (berupa cairan NaCl, yang tidak memberi efek apapun) sebagai kelompok kontrol.

Karena para relawan tidak tahu ("blind"), dan para peneliti juga tidak tahu ("blind") dan karenanya tidak bisa memberi isyarat atau tanda kecil kepada para relawan, maka apapun kepercayaan para relawan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya tidak akan merusak atau mengkontaminasi hasil-hasil selanjutnya. Begitu juga, para peneliti tidak akan mengkontaminasi atau menodai hasil-hasil riset dengan ekspektasi mereka sendiri yang berbias tentang apa yang akan menjadi hasil riset.

Oh ya, jika hanya para relawan yang tidak tahu apa yang telah disuntikkan ke tubuh mereka, sedangkan para peneliti tahu, maka riset yang sedang dijalankan dinamakan SBPCT.

https://www.verywellhealth.com/double-blind-placebo-controlled-clinical-trial-715861

Kembali ke kandidat vaksin Moderna. Hasil-hasil interim menyatakan bahwa vaksin Moderna ini dapat memblokir kasus-kasus Covid-19 yang tergolong parah. Bahkan kasus yang paling serius dapat efektif dicegah dan dihambat oleh kandidat vaksin ini sehingga tidak memburuk. Data dari 30.000 relawan menunjukkan vaksin ini mencegah perkembangan semua kasus simtomatik. Ini diumumkan oleh perusahaan Moderna, Senin, 16 Nov 2020.

Dalam uji klinis besar tahap akhir itu, 30.000 relawan dibagi dalam 2 kelompok. Sejumlah 15.000 orang diberi suntikan placebo yang tentu saja tidak memberi efek apa-apa. Setelah beberapa bulan, 90 orang dari mereka terkena Covid-19, dengan 11 orang di antara mereka menjadi sakit parah.

Kelompok 15.000 relawan lainnya disuntik vaksin, dan hanya 5 orang dari antara mereka yang belakangan terinfeksi virus corona baru, dan tak ada seorang pun dari antara mereka tergolong sakit parah.

Selain hasil-hasil itu, ditemukan juga kandidat vaksin Moderna tidak menimbulkan efek-efek samping apapun yang signifikan. Hanya sedikit yang mengalami simtom seperti pusing dan sakit tubuh setelah menerima suntikan vaksin.

Well, menurut pakar penyakit infeksius Amerika, Dr. Anthony Fauci, "Efektif 94,5 % sungguh luar biasa. Capaian ini sudah bagus." Pakar penyakit infeksius Amerika ini meminta vaksinasi vaksin Moderna sebaiknya diadakan akhir Desember 2020, tidak di awal Desember, terkait dengan rencana Moderna untuk mengajukan permohonan otorisasi kepada FDA atas vaksin mereka segera setelah data keamanan vaksin terhimpun dalam bulan November ini. Untuk resmi diotorisasi, suatu vaksin harus mampu memproteksi minimal 60 % dari populasi.

Satu hal penting patut juga dikemukakan. Kandidat vaksin Moderna ini dapat disimpan selama 30 hari dalam refrigerator yang bersuhu minus 20°c, suatu kapasitas refrigerator yang umum dipakai di kebanyakan kantor dokter dan farmasi.

https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-11-16/moderna-vaccine-is-found-highly-effective-at-preventing-covid-19

https://edition.cnn.com/world/live-news/coronavirus-pandemic-11-16-20-intl/h_3c91c6f3b13c0b6d96bd126d9cda9018

Vaksin Pfizer-BioNTech

Nah, kandidat vaksin ketiga berasal dari perusahaan farmasi raksasa Pfizer yang bermitra dengan perusahaan farmasi Jerman BioNTech SE.

Pfizer-BioNTech adalah perusahaan pertama Amerika-Jerman yang pada 8 Nov 2020 telah mengumumkan hasil-hasil uji klinis tahap akhir terhadap vaksin yang dikembangkannya dengan teknologi mRNA.

Sudah kita tahu, teknologi ini berproses cepat, tidak memerlukan kultur virus dalam jumlah yang sangat besar, tapi membutuhkan hanya sekuens genetik SARS-CoV-2 (pertama kali tersedia di China untuk seluruh dunia Januari 2020) untuk memulai proses pengembangan vaksin. Pada esensinya, vaksin mRNA mengubah sel-sel tubuh jadi semacam "mesin-mesin" kecil pembuat vaksin. Lalu vaksin yang dibuat sel-sel tubuh ini menginstruksikan sel-sel tubuh untuk mengkopi protein "spike" coronavirus, dus menstimulir sistem imun untuk memproduksi antibodi-antibodi pelindung.

Vaksin Pfizer telah dengan efektif mencegah 90 % relawan dari penyakit Covid-19, dibandingkan dengan penerima suntikan placebo. Analisis ini berdasarkan data dari 94 kasus infeksi SARS-CoV-2 dari antara para relawan kelompok yang divaksinasi dan para relawan kelompok yang diberi placebo. Hasil ini mencakup data dari 38.955 relawan dari total 43.538 yang telah mendaftar. Temuan ini diperoleh dari data yang dihimpun selama 7 hari setelah uji klinis tahap 3 dengan dosis 2 suntikan telah selesai sebelumnya.

Seperti halnya dengan vaksin Moderna, angka 90 % untuk efektivitas vaksin Pfizer tidak mengacu ke serokonversi, jadi tidak mencerminkan tingkat imunitas yang komplit dalam menangkal infeksi. Angka ini adalah persentase relawan yang terproteksi terhadap Covid-19 karena telah divaksinasi dengan vaksin ini.

Koran online Bloomberg tanggal 18 Nov memberitakan bahwa Pfizer-BioNTech telah mengumumkan hasil analisis final atas data uji klinis vaksin mereka. Data ini menunjukkan bahwa vaksin Pfizer efektif 95 %, lebih tinggi dari yang telah diumumkan sebelumnya (90 %). Perkembangan ini membuka jalan bagi perusahaan ini untuk mengajukan permohonan otorisasi regulatif yang pertama di Amerika kepada FDA dalam beberapa hari mendatang.

Vaksin Pfizer diklaim memberi proteksi kepada orang dari segala usia (?) dan segala etnisitas, juga efektif untuk manula usia 65 tahun ke atas dengan tingkat efektivitas 94 %.

Bagaimana dengan efek samping vaksin Pfizer? Umumnya tubuh para relawan dapat dengan baik mentolerir vaksin ini. Sejauh ini ditemukan hanya 3,8 % dari mereka yang mengalami rasa lelah setelah menerima suntikan dosis kedua. Rasa lelah adalah satu-satunya efek negatif yang berat, yang dialami lebih dari 2 % orang yang telah disuntik vaksin.

https://time.com/5909322/pfizer-covid-19-vaccine-effective/

https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-11-18/pfizer-biontech-plan-filing-as-vaccine-proves-95-effective

Vaksin Pfizer harus disimpan dalam ruang refrigerator atau freezer bersuhu minus 70°c ("ultra cold"), lebih dingin dari suhu musim dingin di Antarktika. Ini seperti vaksin Ebola, yang virusnya tidak menyebar luas dan global, beda dari virus corona baru. Dalam suhu sedingin itu, vaksin Pfizer (dan juga vaksin Moderna yang memerlukan suhu ruang penyimpanan minus 20 °c) akan awet sampai enam bulan. Dua perusahaan ini akan terus menjalankan riset supaya suhu penyimpanan makin dapat ditinggikan, bahkan sampai suhu kamar biasa. Tentu ini baru akan terjadi pada generasi-generasi berikutnya dari masing-masing vaksin mereka. Direncanakan, pada 2022 vaksin Covid-19 Pfizer akan dapat disimpan dalam suhu 2-8 °c.

Mengapa sampai suhu sedingin itu, minus 70 °c? Karena mRNA dapat hancur atau mengalami degradasi dengan mudah (jika ini terjadi, vaksin mRNA tidak dapat digunakan), berhubung ada banyak sekali enzim dari tubuh manusia yang akan memecah-memecahnya. Untuk mencegah ini, atau membuat vaksin stabil, ditempuh tiga jalan. Pertama, memodifikasi nukleosid mRNA, "building blocks" vaksin RNA. Kedua, menggunakan nanopartikel lipid sebagai salut atau "coating" luar RNA. Akhirnya, sebagai penstabil ketiga, menempatkan vaksin mRNA dalam ruang penyimpanan yang luar biasa dingin.

Yang sudah jelas adalah suhu "ultra cold" untuk penyimpanan vaksin Pfizer ini akan menimbulkan banyak masalah (atau tantangan?). Tidak semua sentra kesehatan atau rumah sakit atau perusahaan farmasi dapat menyediakan refrigerator khusus yang mampu mencapai suhu minus 70 °c. Vial vaksin harus dibuat dari beling khusus yang tahan suhu super dingin.

Kendala juga akan muncul pada pengiriman vaksin ini ke mana-mana, lebih lagi ke negara-negara terbelakang dan negara berkembang, yang harus didukung oleh infrastruktur yang andal, sampai kawasan pedesaan dan kawasan terpencil. Juga dry ice (karbon dioksida padat yang bersuhu sekitar minus 78°c) diperlukan sangat banyak untuk mempertahankan suhu ultra-dingin saat pengiriman dari tempat ke tempat ("ultra-cold chain"). 

Tantangan infrastruktur dan logistik bagi vaksin Pfizer memang sangat berat dan ruwet. Jadi, jangan berharap di 2021 atau 2022 vaksin Pfizer sudah tersedia di negara anda! Kalaupun dapat disediakan dengan segera, tentu harga per dosisnya akan jadi sangat mahal. Tentu, pemerintah federal Amerika bersama organisasi-organisasi lain, termasuk WHO, akan bekerjasama dengan Pfizer untuk mengatasi segala masalah dan tantangan yang telah dilihat dan yang akan ditemukan, baik bagi kepentingan jangka pendek maupun bagi kepentingan jangka panjang, jika vaksin Covid-19 Pfizer memang vaksin unggulan.



Dr. William Moss, direktur eksekutif International Vaccine Access Center di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, mengatakan bahwa

"Akan luar biasa menantang, jika bukan mustahil, untuk mengirim vaksin Pfizer ke, sebutlah, Afrika Sub-Sahara dan banyak tempat di Asia, di mana infrastruktur yang tersedia tidak seperti yang kita miliki di Amerika."

https://www.npr.org/sections/health-shots/2020/11/17/935563377/why-does-pfizers-covid-19-vaccine-need-to-be-kept-colder-than-antarctica

https://time.com/5911543/pfizer-vaccine-cold-storage/

https://edition.cnn.com/2020/11/21/world/coronavirus-vaccine-dry-ice-intl/index.html

Kita harapkan, vaksin yang efektivitasnya tinggi 90 % ke atas, baik efektivitas serokonversi maupun efektivitas persentase relawan (di luar uji klinis,  persentase populasi), bukan hanya tiga vaksin yang sudah dipaparkan di atas. 

Vaksin Oxford-AstraZeneca

Ya betul, dunia masih menunggu laporan final uji klinis tahap-tahap akhir dari vaksin Oxford-AstraZeneca (yang memakai adenovirus yang diambil dari simpanse), yang dijalankan tim Universitas Oxford, Inggris, yang dipimpin oleh begawan vaksin Sarah Gilbert. Sementara ini diberitakan bahwa vaksin ini (ChAdOx1nCoV-19) lebih dapat ditolerir oleh lansia ketimbang oleh orang yang lebih muda, dan menimbulkan respons imun (imunogenisitas) yang serupa di semua golongan usia setelah partisipan menerima suntikan 1 dosis booster. Uji klinis tahap 2/3 vaksin ini dilangsungkan 30 Mei - 8 Agustus 2020.

https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)32466-1/fulltext

https://www.ox.ac.uk/news/2020-11-19-oxford-coronavirus-vaccine-produces-strong-immune-response-older-adults

Selain itu, ada juga vaksin Covid-19 yang berupa tablet dan cairan, yang diarahkan ke perut kecil lewat mulut. 

Vaksin Vaxart

Vaksin Covid-19 yang berbentuk tablet oral ini, dan juga dalam bentuk cairan oral bagi anak-anak dan orang dewasa yang tidak bisa mencerna tablet, sedang dalam tahap awal pengembangan oleh perusahaan Vaxart. Vaksinnya dilabeli VXA-CoV2-1.

Vaksin ini ditargetkan masuk ke perut kecil. Pada bagian luar tablet diberi salut atau "coating" enterik untuk melindungi zat-zat aktifnya dari lingkungan asam dalam perut. Target perut kecil dimaksudkan untuk membuat vaksin ini "tersetel pas" dengan sistem imun perut, sehingga akan menimbulkan respons-respons imun mukosal dan sistemik yang akan menghasilkan imunitas yang kuat, luas dan bertahan lama.

Sebagai vaksin rekombinan adenoviral oral, vaksin Vaxart tersebut tidak berisi virus-virus yang dibunuh atau yang dilemahkan, juga tidak memakai telur dalam proses produksi.

Vaxart percaya, target membangkitkan imunitas mukosal terhadap Covid-19 sebagai penyakit lapisan mukus saluran pernafasan, akan memposisikan vaksin mereka sebagai "salah satu kandidat yang paling memberi harapan bagi kampanye vaksinasi massal yang sukses di Amerika dan di negara-negara lain."

https://www.precisionvaccinations.com/vaccines/vaxart-covid-19-oral-vaccine

Covid-19 akan jadi musiman?

Makin banyak merk vaksin yang aman dan efektif, ya makin baik, lantaran akan makin banyak dan makin cepat vaksin-vaksin produk berbagai perusahaan farmasi tersedia bagi dunia yang berpenduduk 8 milyar lebih manusia sehingga pandemi Covid-19 akan cepat terkendali, tertangani, dan jika mungkin terakhiri.

Akan lenyapkah Covid-19 dari muka Bumi, dari dunia kita? Jawabnya bergantung pada keamanan dan efektivitas vaksin-vaksin, ketersediaan dan keterjangkauan (jarak dan lokasi geografis dan harga) vaksin-vaksin, level imunogenisitas vaksin-vaksin, daya tahan dan durabilitas imunitas yang dibangkitkan oleh vaksin-vaksin yang aman dan efektif yang telah disuntikkan ke dalam tubuh, perilaku manusia dalam interaksi dengan lingkungan hidup, alam dan teknologi, kesediaan manusia untuk divaksinasi, persentase "herd immunity" yang tercapai, dan perilaku dan resiliensi virus SARS-CoV-2 dan mutasi-mutasinya yang akan terus berlangsung.

Skenario yang perlu siap kita jalani adalah vaksin-vaksin yang ada hanya akan mengubah Covid-19 menjadi Covid musiman, sehingga kita nantinya perlu satu atau dua tahun sekali divaksinasi ulang sebagai booster, atau dengan vaksin-vaksin generasi berikutnya yang lebih responsif dan efektif dalam menangkal virus corona baru yang terus bermutasi.

Hal itu tentu bergantung pada durasi atau durabilitas antibodi total (humoral dan selular) yang diproduksi sistem imun manusia ketika kita sudah menerima vaksinasi. Berapa lama total antibodi yang dihasilkan sistem imun "bawaan" dan sistem imun "adaptif" akan bertahan dalam cairan tubuh kita ("humoral antibodies") dan dalam sel-sel tubuh ("cellular antibodies"), setahun, dua tahun, enam tahun, atau seumur hidup? Ini yang belum bisa dijawab. 

Pilih vaksin yang mana?

Nah, dari tiga vaksin unggulan (Arcturus, Moderna, dan Pfizer-BioNTech), bahkan empat atau lima vaksin, manakah yang nanti Indonesia pilih?

Kandidat vaksin Arcturus baru akan selesai menjalani uji klinis akhir 2020. Jika efektivitas (serokonversi) vaksin ini dalam uji klinis tahap 3 nanti ditemukan sama atau dekat dengan yang sudah ditemukan dari uji praklinis, katakanlah antara 95% hingga 100 %, tentu Indonesia, seperti Singapura, perlu memilih vaksin Arcturus. Kenapa?

Karena, selain serokonversi yang tinggi, vaksin Arcturus cuma perlu disuntikkan 1 kali ("one shot", tidak "two shots") dengan dosis yang rendah (2 µg atau 2 mikrogram). Belum diketahui, vaksin ini harus disimpan dalam suhu refrigerator berapa. Apakah suhu sangat rendah di bawah 0°c seperti vaksin Pfizer (minus 70°c), atau suhu rata-rata penyimpanan vaksin-vaksin lain pada umumnya, seperti vaksin Moderna yang perlu disimpan pada suhu minus 20 °c.

Perlu diingatkan lagi bahwa efektivitas tinggi vaksin Pfizer (95%) dan vaksin Moderna (94,5%) mengacu ke persentase populasi (dalam uji klinis tahap 3, ke para relawan) yang terproteksi oleh vaksin-vaksin ini, tidak merujuk ke serokonversi. Jadi, apakah dua vaksin ini tidak akan menghasilkan antibodi yang banyak dan komplit? Oh tidak demikian.

Persentase populasi yang tinggi juga berarti dua vaksin ini bekerja efektif; dus, tentu menghasilkan antibodi-antibodi dalam jumlah yang signifikan juga. Cuma tidak terdata berapa % serokonversi vaksin-vaksin produk Pfizer dan Moderna. Pendekatan dua perusahaan ini adalah pendekatan kesehatan publik, bukan pendekatan imunologis seperti dilakukan Arcturus.

Kalau vaksin Arcturus, dalam uji praklinis, cukup 1 suntikan dalam dosis rendah untuk menimbulkan antibodi total (dalam tubuh hewan-hewan pengerat), dua vaksin lainnya yang bersaing memerlukan 2 suntikan pada satu orang, dus berarti memerlukan dosis yang besar. Ini kelebihan kandidat vaksin Arcturus.

Harap diingat, Indonesia juga memilih vaksin konvensional terinaktivasi (bukan vaksin mRNA) produk Sinovac Biotech China (yang memerlukan suhu penyimpanan 2 hingga 8°c) yang memperlihatkan serokonversi sekitar 90 % (hasil uji klinis tahap 2). Vaksin Sinovac ini diberi nama CoronaVac. Pilihan Indonesia ini sudah benar. Uji klinis tahap tiga vaksin ini masih sedang berlangsung di Indonesia.


Perlu diketahui, di China ada lima vaksin Covid-19 yang dikembangkan, yang satu sama lain berkompetisi, yang sejauh ini sedang menjalani uji klinis. Total, ada 10 perusahaan China yang terjun ke dalam usaha pengembangan vaksin-vaksin Covid-19.

https://www.bioworld.com/articles/435989-cnbg-reports-100-seroconversion-rate-for-covid-19-vaccine-candidate

Dunia real beda dari dunia uji klinis

Satu catatan penting. Persentase populasi yang terlindungi oleh vaksin Moderna dan vaksin Pfizer-BioNTech memang tinggi. Tetapi, hasil ini adalah hasil dari konteks uji klinis tahap akhir yang terkontrol dan terus dimonitor dengan ketat dan dekat, dengan para partisipan yang dipilih, dan yang dipersiapkan untuk suatu riset ilmiah yang terbatas. Konteks riset tentu berbeda dari konteks dunia nyata yang luas. Mari kita lihat hal ini lebih dekat.

• Dalam dunia real, orang yang perlu divaksinasi sangat beraneka ragam, mencakup semua golongan usia, dan banyak yang mengidap berbagai penyakit penyerta (komorbiditas), dan terdampak oleh kondisi kesehatan umum. Keadaan ini tidak ditemukan dalam konteks uji klinis tahap akhir kandidat vaksin-vaksin Covid-19.

• Berbeda dari yang berlangsung dalam uji klinis, dalam dunia nyata anggota masyarakat yang divaksinasi tidak dipantau dekat, cermat dan ketat dalam waktu lama oleh para ilmuwan. Perilaku orang di dunia real umumnya berbeda dari perilaku para relawan selama uji klinis vaksin-vaksin. Dr. Paul Offit, direktur Vaccine Education Center di RS Anak Philadelphia, menyatakan bahwa "di saat anda menempatkan suatu vaksin di dunia nyata, orang dapat berkelakuan berbeda."

• Selain itu, perilaku virus SARS-CoV-2 sangat "protean" (seperti dikatakan Dr. Anthony Fauci), sangat mudah berubah wujud dan sifat dari waktu ke waktu, sehingga menyulitkan para ilmuwan untuk mengenal dan tahu persis virus ini. Virus ini tidak bisa dimasukkan ke dalam kantung anda, lalu risleting kantung anda itu anda tarik tutup. Anda tidak bisa menguasainya. Dus, dalam jangka panjang, suatu vaksin yang efektif akhirnya tidak akan efektif lagi. Kondisi ini tidak muncul dalam uji klinis vaksin Covid-19 apapun, termasuk vaksin baru mRNA, yang berlangsung beberapa bulan saja.

• Satu poin lagi. Jika durasi atau durabilitas antibodi yang ditimbulkan vaksin ini tidak lama (hal ini sekarang belum dapat dipastikan), maka imunitas akan dapat lenyap. Saat ini terjadi, orang akan dapat terinfeksi kembali. Ini yang tidak dapat dialami dalam setiap uji klinis. Jadi, lambat laun efektivitas 90 % atau lebih akan turun. 

Tapi, mengingat tidak adanya reinfeksi Covid-19 secara umum yang menyebar selama ini (sejak Januari 2020), dapat diharapkan durasi imunitas alamiah (tidak lewat vaksin) cukup bagus untuk dapat mempertahankan efektivitas vaksin-vaksin yang tinggi itu bahkan dalam dunia nyata. Sayangnya, kita masih harus melihat berapa lama imunitas yang ditimbulkan vaksin-vaksin Covid-19, lewat pembentukan antibodi-antibodi, akan bertahan dalam tubuh kita. Dalam hitungan bulan, atau dalam hitungan tahun, atau selamanya? For now, nobody knows. 

Nah, akan bisa terjadi bahwa ketika vaksin Pfizer dan vaksin Moderna sudah dikerahkan ke masyarakat dan dunia luas, dan vaksinasi besar-besaran dijalankan di mana-mana, bertahun-tahun, persentasi populasi yang terlindungi ternyata turun dari 90 %, katakanlah menjadi 50 % atau 60 %. Lain halnya jika yang diandalkan adalah persentase serokonversi vaksin mRNA yang tinggi, yang tetap tinggi meskipun virus SARS-CoV-2 terus bermutasi. 

Tetapi masalahnya tidak sesimpel itu. Ketika antibodi-antibodi dalam tubuh orang yang sudah sembuh (antibodi-antibodi humoral dan selular) makin berkurang dan akhirnya menghilang, tidak serta-merta tubuh mereka tak mempunyai kekuatan pelawan terhadap virus SARS-CoV-2 yang menginfeksi kembali, dan membuat mereka jatuh sakit kembali. Kenapa bisa begitu?

Karena sistem imun tubuh kita masih mempunyai sel-sel limfosit B dan sel-sel T (dalam kasus infeksi SARS-CoV-2, sel-sel T CD4+ dan CD8+) yang membentuk sel-sel memori. Sel-sel memori senantiasa mampu mengingat patogen-patogen yang pernah menyerbu atau menyusup kapanpun juga sebelumnya. Jadi, kalau terjadi reinfeksi (yakni virus SARS-CoV-2 kembali menyusup ke dalam tubuh orang yang telah sembuh dari Covid-19), sel-sel memori akan ingat dan mengenali si patogen, lalu dengan cepat memproduksi antibodi-antibodi kembali.

Pamela Bjorkman, seorang pakar biokimia di California Institute of Technology, menyatakan bahwa "adalah mungkin orang yang sebelumnya telah terinfeksi dapat menggunakan respons-respons memori imunologis untuk memproduksi antibodi-antibodi baru jika mereka terpapar SARS-CoV-2 kembali. Jadi tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang sudah terinfeksi SARS-CoV-2 tidak terproteksi dari suatu infeksi lain di kemudian hari."  

Nah, pertanyaan berapa lama antibodi-antibodi yang dibangkitkan vaksin-vaksin Covid-19 yang efektif akan bertahan dalam tubuh, belum dapat dijawab sekarang. Bagaimana pun juga, jika antibodi-antibodi ini lambat-laun akan menghilang, durabilitasnya tidak panjang, kita masih akan dapat terlindungi oleh sel-sel B dan sel-sel T. Masalahnya, kita belum tahu pasti apakah vaksin-vaksin Covid-19 yang efektif akan juga dapat, lewat sistem imun, mengaktifkan sel-sel B dan sel-sel T pada waktunya jika diperlukan, sama seperti yang terjadi ketika orang telah sembuh dari Covid-19 dan memiliki imunitas secara natural, tanpa dilindungi oleh vaksin apapun.


Penutup

Waaah..., kalau begitu apakah waktu Tuhan betul sudah tiba, atau betul sedang datang? Ya, lihatlah apa yang sedang dikerjakan para ilmuwan, dan ikutilah, dari waktu ke waktu (jika anda tahan, tidak lelah), sejauh mana mereka telah berhasil, atau gagal, mengembangkan vaksin-vaksin Covid-19 yang safe and effective dan mampu menstimulir sistem imun untuk menghasilkan antibodi-antibodi yang bertahan langgeng.

Bagaimana pun juga, dengan tetap realistik, kita dapat optimistik jika kita memperhatikan uji-uji praklinis dan uji-uji klinis vaksin-vaksin Covid-19 dan pemantauan terhadap para relawan sesudah tahap-tahap uji klinis selesai, meski dunia real tidak sama dengan dunia uji klinis.

Well, hal terpenting yang kini harus kita lakukan adalah menjalankan protokol kesehatan: memakai masker, menjauhi kerumunan, melakukan distansi sosial/fisik, cuci tangan pakai sabun, menyediakan ventilasi ruangan indoor yang cukup, dan mendisinfektan dengan teratur ruang indoor dan permukaan benda-benda.

Jakarta, 22 November 2020
ioanes rakhmat

Friday, November 20, 2020

Penularan virus lewat udara yang stagnan dalam ruang indoor




Hingga sekarang ini, orang umumnya terfokus pada ancaman penularan virus SARS-CoV-2 lewat sentuhan terhadap permukaan benda-benda padat yang diwaspadai telah terkontaminasi virus. Tangan yang telah menyentuh permukaan benda-benda padat yang sudah terkontaminasi akan menyentuh mulut, hidung atau mata, atau luka yang terbuka, yang menjadi "pintu masuk" virus ke dalam tubuh. Maka penularan terjadi. Inilah yang disebut "fomite transmission" (FT).

Kewaspadaan terhadap FT telah membuat orang di mana-mana menghabiskan biaya, tenaga dan waktu, untuk melap atau membersihkan dengan disinfektan permukaan benda-benda padat yang ada dalam ruangan-ruangan. Bahkan pakaian yang sedang dipakai juga diharuskan didisinfektan lewat cara-cara dan mesin-mesin penyemprot tertentu yang dapat membahayakan kulit dan mata orang yang memakainya.

Tetapi studi-studi lebih lanjut menunjukkan bahwa FT tidak terjadi, atau kalaupun terjadi kasusnya sedikit. Tak ada bukti, atau hanya ada sedikit bukti, bahwa FT dapat berlangsung. Pengetahuan ini juga ditopang oleh temuan-temuan yang menunjukkan bahwa kalau pun permukaan benda-benda padat telah terkontaminasi virus, virusnya sudah mati, atau sekarat, sehingga tak punya kemampuan menginfeksi lagi, sudah tidak infeksius lagi.

Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa penularan terbesar terjadi lewat udara indoor yang stagnan, relatif tidak bergerak, di dalam ruang indoor tertutup apapun yang tak memiliki ventilasi dan filtrasi yang baik dan memadai.

Virus cepat sekali terakumulasi dan terkonsentrasi dan makin bertambah banyak dalam ruang-ruang indoor yang tertutup seiring makin banyaknya orang yang keluar masuk dan yang berada lama di ruang-ruang tersebut. Kondisi ini dijumpai di ruang tertutup restoran, bar, nightclub, rumah ibadah, perkantoran, ruang pertemuan, studio, ruang kelas, bus, MRT dan LRT, pasar swalayan, toko-toko, bahkan ruang dalam rumah, dll.


AC bukanlah ventilasi. Udara dalam ruang ber-AC tidak mengalir keluar ruangan, tetapi stagnan,... ya berhembus, terasa fresh, tetapi tidak berganti secara teratur dengan udara luar. Udara dalam ruang indoor ber-AC mutar-mutar di tempat.

Di dalam ruang indoor yang tertutup dan tak berventilasi, lewat hembusan nafas, suara dari mulut, bersin, batuk, menguap, orang yang membawa virus menyebarkan virus yang ada di dalam sangat banyak droplet kecil atau mikrodroplet atau aerosol yang terhembus, lalu lewat udara indoor menyebar dalam ruang.

https://news.yahoo.com/coronavirus-airborne-indoors-were-still-200413633.html

https://www.nature.com/articles/d41586-020-02058-1

Meski aerosol berukuran sangat kecil, yakni kurang dari 5 um (atau 5 mikrometer), dus memuat sedikit virus, bahaya muncul jika aerosol terakumulasi dalam jumlah besar dan berada stagnan dalam ruang indoor yang tak memiliki ventilasi yang cukup, dan juga bergerak mengikuti gerak udara ruang indoor yang terjadi seiring gerakan manusia di dalamnya. Jika orang menghirup udara dalam ruang ini, aerosol tersedot masuk ke saluran pernafasan. Droplet yang lebih besar akan langsung jatuh ke tanah/lantai, bisa sampai 1,5 m dari mulut yang memuncratkannya.

Ketika orang melakukan gerak apapun dalam ruang indoor yang tertutup, udara pun ikut bergerak, dan mikrodroplet ikut bergerak. Tidak bergerak terbuang ke luar, masuk ke ruang outdoor, tetapi stagnan dalam ruang indoor, mutar-mutar di ruang yang sama. Hembusan AC mempercepat gerak udara indoor dalam ruang yang itu itu saja.

Nah, dalam ruang indoor yang tertutup tanpa ventilasi (yang terasa dingin dan segar jika AC dipasang), orang juga menarik nafas. Maka mikrodroplet-mikrodroplet yang bermuatan virus, yang menyebar dalam udara ruang indoor, ikut tersedot, masuk ke dalam saluran pernafasan semua orang yang ada dalam satu ruang indoor yang besar atau yang kecil. Penularan pun terjadi, bisa luas. Orang pun kemudian jatuh sakit. Inilah yang dinamakan "airborne transmission" (AT) atau penularan lewat udara.

Membuat ventilasi yang cukup dan baik adalah jalan terbaik untuk mengurangi atau meredam AT dalam ruang indoor apapun.

Salah seorang direktur Van der Walls-Zeeman Institute, Universitas Amsterdam, Daniel Bonn, menegaskan bahwa "Ventilasi yang modern membuat risiko terinfeksi aerosol yang berisi virus tidak besar. Jumlah virus dalam mikrodroplet relatif sedikit, tetapi akan jadi berbahaya jika anda berada lama dalam satu ruang yang ventilasinya buruk bersama orang-orang lain yang sudah terinfeksi atau sesudah orang yang terinfeksi batuk-batuk di dalam ruang itu."

https://scitechdaily.com/aerosol-microdroplets-not-very-effective-at-spreading-the-covid-19-virus/

Ya, aerosol menjadi berbahaya dan mengancam jika terakumulasi, terhimpun, tergabung, membentuk suspensi, di dalam udara ruang indoor yang tak bersirkulasi, tak ganti-berganti dengan udara luar yang bersih dan tak terkontaminasi kuman-kuman.

Dalam sebuah artikel riset yang terbit di jurnal The Lancet edisi 24 Juli 2020, Kevin P. Fennelly, MD, menyatakan bahwa "Aerosol yang infeksius adalah himpunan patogen-patogen dalam partikel-partikel dalam udara, yang tunduk pada hukum-hukum fisika dan biologis. Ukuran partikel adalah penentu terpenting dari perilaku aerosol. Partikel-partikel yang berukuran 5 ug atau lebih kecil dapat bertahan dalam udara tanpa batas waktu di dalam kebanyakan kondisi ruang indoor, kecuali aerosol ini disingkirkan lewat aliran udara atau lewat ventilasi pembuang udara."

https://www.thelancet.com/journals/lanres/article/PIIS2213-2600(20)30323-4/fulltext

Nah, AT dalam ruang indoor yang tanpa ventilasi, atau yang udaranya tidak tersaring, tidak terfiltrasi, harus dengan serius diwaspadai, jauuuhh perlu diwaspadai dan dihindari dibandingkan mewaspadai permukaan benda-benda padat.

Penularan coronavirus yang sangat cepat di seluruh dunia adalah penularan lewat udara yang berisi sangat banyak aerosol yang mengandung virus.

Hari ini, 26 November, kasus terinfeksi global mencapai jumlah 60.346.970, dengan total kematian 1.420.462 orang, meliputi 191 negara/wilayah. Ini data dari Johns Hopkins Coronavirus Resource Center.

https://coronavirus.jhu.edu/map.html

Jadi, kewaspadaan terhadap AT harus jauh di atas kewaspadaan terhadap FT. Bahkan ketika anda berada dalam ruang kamar di rumah anda sendiri, atau di tempat kost atau di asrama anda, sejauh ada orang lain yang kedapatan sudah terinfeksi. Di tempat-tempat ini orang menghembuskan nafas ke udara yang sama, dan juga menghisap oksigen dari udara yang sama.

Untuk menekan angka AT, setiap ruang indoor, publik atau privat, harus berventilasi cukup dan baik, dan udaranya tersaring.

AC yang dijalankan dalam sebuah restoran yang tertutup, dan tanpa ventilasi, memang menyegarkan, tapi juga membahayakan. Anda mau, ramai-ramai makan enak di sebuah restoran sejuk segar ber-AC tetapi tidak mempunyai ventilasi yang cukup dan filtrasi udara yang bagus, namun beberapa hari setelah itu anda terpapar virus corona baru? Tentu tidak mau, bukan?


Jika kamar tidur anda ber-AC, dan anda akan tidak bisa tidur malam jika AC tidak dihidupkan, ya gunakanlah, lalu di pagi hingga sore hari bukalah pintu dan jendelanya supaya udara di dalamnya bersirkulasi dan cahaya Matahari yang kaya UV-A dan UV-B dapat masuk (sinar UV-C yang ampuh membunuh virus tidak bisa sampai ke permukaan Bumi, tetapi dapat diciptakan lewat berbagai instrumen teknologis).

Jika anda sekarang memutuskan untuk secara berkala menyemprotkan disinfektan dalam ruang-ruang indoor rumah anda atau tempat tinggal anda, lakukanlah dengan cara yang benar dan dengan memakai disinfektan yang aman dan tidak berbahaya.

Jangan masuk dan berada lama dalam ruang-ruang indoor yang tertutup, yang tidak memiliki ventilasi, dan yang udaranya tidak terfiltrasi. Entah ruang restoran, ruang tunggu di sebuah rumah sakit, ataupun ruang rumah ibadah anda. Tentu jika di dalam ruang-ruang indoor itu ada banyak orang, terhimpun padat.

Jangan lupa, memakai masker wajah itu menyelamatkan, jauh lebih perlu ketimbang menjaga jarak tetapi tidak memakai masker.

Akhirnya, mungkin ada yang akan bertanya, Masuk ke sebuah supermarket yang ramai padat, amankah? Ya, relatif aman sejauh anda memakai masker wajah (plus perisai wajah, "face shield"), dan tidak berlama-lama di dalamnya, meski ambil jarak 1,5 m hingga 2 m mustahil dapat dilakukan. Protokol kesehatan memakai masker memberi perlindungan 90 % ke anda dari bahaya tertular virus. Tetapi jika mungkin, pilihlah supermarket yang tidak terlalu ramai, dan ruang indoor-nya berventilasi baik dan cukup.

Kita bernafas sepanjang waktu, tetapi kita menyentuh benda-benda padat tidak sepanjang waktu. Bernafaslah dalam udara yang bergerak, yang tidak terkontaminasi virus, dan dengan tidak menyebarkan virus. Ini salah satu protokol kesehatan lagi.


Jakarta, 20 November 2020

Dimutakhirkan 26 November 2020

ioanes rakhmat


Monday, November 9, 2020

Vitamin D3 sebagai imunomodulator makin penting di masa pandemi


Ada dua artikel medik yang saya akan rujuk untuk post ini. Keduanya mengupas seluk-beluk vitamin D3 sebagai imunomodulator, yakni sebagai bahan atau senyawa kimiawi yang berfungsi untuk meningkatkan daya dan kinerja sistem imun.

Artikel pertama ditulis Michelino Di Rosa, Lucia Malaguamera, et al., "Vitamin D3: A helpful immunomodulator", Immunology 134 (2): 123-39, Oct 2011. 

Ini linknya.

https://www.researchgate.net/publication/51620253_Vitamin_D3_A_helpful_immuno-modulator. 

Di bawah ini saya berikan abstrak (dalam bahasa Inggris) dari artikel yang pertama. Kenapa hanya abstraknya? Ya karena jika saya mau masuk ke keseluruhan artikel, saya perlu mengajukan permintaan dulu. Saya enggan melakukannya. Silakan seluruh abstrak ini dibaca sendiri. 

Ada bagian yang saya kutip lebih dulu dari abstrak itu, dan saya telah terjemahkan. Berikut ini. 

"Peran vitamin D3 dalam regulasi imunitas ("immunoregulation") telah menghasilkan konsep tentang suatu fungsi dual/ganda baik sebagai hormon sekosteroid yang meregulasi homeostasis kalsium dalam tubuh maupun sebagai suatu senyawa organik yang esensial yang telah diperlihatkan memiliki efek yang krusial pada respons-respons imun (atau sel-sel imun)." 

Sekarang abstraknya saya salin. Berikut ini. 

Abstract

The active metabolite of vitamin D, 1α, 25-dihydroxyvitamin D3 [1,25(OH)(2) D3], is involved in calcium and phosphate metabolism and exerts a large number of biological effects. Vitamin D3 inhibits parathyroid hormone secretion, adaptive immunity and cell proliferation, and at the same time promotes insulin secretion, innate immunity and stimulates cellular differentiation. The role of vitamin D3 in immunoregulation has led to the concept of a dual function as both as an important secosteroid hormone for the regulation of body calcium homeostasis and as an essential organic compound that has been shown to have a crucial effect on the immune responses.

Altered levels of vitamin D3 have been associated, by recent observational studies, with a higher susceptibility of immune-mediated disorders and inflammatory diseases. This review reports the new developments with specific reference to the metabolic and signalling mechanisms associated with the complex immune-regulatory effects of vitamin D3 on immune cells."

Selanjutnya, uraian bersumber pada artikel yang lain  yang dimuat dalam jurnal Nutrient. 

Francesca Sassi, Cristina Tamone, Patrizia D'Amelio, "Vitamin D: Nutrient, Hormone, and Immunomodulator", Nutrient 10 (11): 1656, 3 Nov 2018.

Ini link ke artikelnya.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6266123/. 

Sekian poin berikut saya sarikan dari artikel persis di atas (yang sangat padat informasi). 

1. Beberapa studi memperlihatkan adanya suatu peran penting vitamin D sebagai modulator; dan data yang kuat menunjukkan peran molekul aktif vitamin D, yaitu 1,25 (OH)2D3, dalam meningkatkan sistem imun bawaan kelahiran ("innate") untuk memerangi patogen-patogen (seperti virus dan bakteri patogenik). 

Tapi, data efek molekul aktif vitamin D dalam modulasi (= peningkatan daya dan kinerja sistem imun) terhadap sistem imun "adaptif" atau sistem imun "acquired" (yang dapat mengembangkan kemampuannya lewat pembelajaran terhadap patogen-patogen lantaran sistem imun ini memiliki suatu memori imunologis) lebih menimbulkan perbedaan pendapat. 

2. Observasi-observasi dan studi-studi eksperimental menunjukkan suatu peran penting vitamin D dalam peningkatan dan pemeliharaan fungsi sistem imun. Molekul aktif vitamin D, yaitu 1,25 (OH)2 D3, dapat mengontrol fungsi imun pada level-level yang berlainan. 

Vitamin D dan reseptor vitamin D (VDR) bersama-sama memiliki suatu peran penekan/supresif pada otoimunitas dan suatu efek anti-inflamasi.

Studi pada hewan-hewan memperlihatkan suatu peran penting suplementasi molekul aktif 1,25 (OH)2 D3 dalam mengendalikan penyakit-penyakit otoimun eksperimental seperti encefalomylitis (EAE) dan arthritis yang ditimbulkan kolagen (CIA). Dalam dua kondisi penyakit ini, molekul aktif vitamin D mencegah timbulnya penyakit-penyakit ini dan mengurangi peningkatan atau progres keduanya


3. Vitamin D adalah salah satu faktor dari relasi-relasi yang ruwet antara mikrobiota perut atau gut microbiota (yaitu mikroorganisme yang berdiam dan hidup dalam perut manusia) dan modulasi sistem imun. Pemberian vitamin D mempengaruhi komposisi mikrobiota perut; dan dalam data in vitro diperlihatkan bahwa vitamin D meningkatkan kemampuan makrofag untuk membunuh bakteri E. coli

4. Pasien-pasien IBD (Inflamatory Bowel Disease, atau penyakit radang perut) mengalami reduksi yang signifikan pada ekspresi reseptor VDR (kurang lebih 50%) dalam epithelium usus besar (colon). Reduksi besar ini timbul dari efek yang berbeda pada komposisi mikrobiota perut di saat dosis oral tinggi vitamin D3 diberikan ke pasien-pasien penyakit Crohn (salah satu penyakit IBD). Vitamin D yang diberikan sebagai suplemen ke pasien-pasien IBD berefek pada mikrobiota perut, dan juga menimbulkan bakteri-bakteri yang bersifat anti-inflamasi

Pasien penyakit sistik fibrosis mengalami kekurangan atau defisiensi vitamin D, terkait dengan mikrobiota yang berbeda, yang hidup dalam perut dan pada saluran pernafasan. Pemberian oral vitamin D sebanyak 50.000 IU per minggu berpengaruh signifikan pada komposisi mikrobiota. 

5. Molekul pasif ("bentuk terhidroksilat") vitamin D, yakni 25 (OH) D3, mensupres imunitas adaptif. Dalam eksperimen-eksperimen, molekul ini menurunkan level respons imun yang diperantarai sel-sel "T-helper (Th)1"; dengan demikian, menghambat produksi sitokin-sitokin  yang pro-inflamasi atau pro-peradangan.

Itu lima poin yang dapat saya bagikan, yang saya lihat penting dalam artikel medik di atas. Artikel medik yang menjadi sumber acuan lima point tersebut masih lebih kompleks dari yang dapat saya sajikan di sini. Jadi anda masih harus membaca sendiri keseluruhannya.

Silakan post ini anda share jika dirasa bermanfaat untuk orang lain di masa pandemi Covid-19. Minumlah vitamin D3 dengan teratur dan dalam dosis yang pas untuk memperkuat imunitas.

☆ ioanes rakhmat

9 November 2020


Sunday, November 8, 2020

Ketika test swab anda positif, apakah dunia lantas kiamat?



Kita tahu, test swab/usap (atau test PCR atau RT-PCR, "Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction") bertujuan untuk mendeteksi material genetik (yang tidak hidup) virus corona pada sampel atau gabungan sampel yang diambil dari bagian dalam rongga hidung (nasofaring) dan tenggorokan (orofaring).

Sampel dari dua tempat ini harus digabung jadi satu dalam satu tabung untuk meningkatkan muatan atau "load" virus sehingga hasil test lebih dapat diandalkan. Ini arahan WHO.

Selain itu, test PCR mendapatkan hasil dengan melipatgandakan muatan material genetik RNA virus dalam gabungan spesimen lewat siklus yang diulang-ulang (sampai 35 hingga 40 siklus). Ini adalah proses kimiawi.

Sekali lagi, lewat test ini, yang mau ditemukan adalah material genetik RNA virus yang ada pada sampel atau spesimen yang telah diambil dan disatukan. Bukan keseluruhan virus yang hidup, yang dinamakan virion. 

Material genetik suatu virus bukanlah keseluruhan virus utuh yang hidup, tapi cuma asam nukleat DNA atau RNA virus ini, tidak menyertakan cangkang (atau "shell") luarnya yang berupa protein, dan juga enzim. 

Baiklah, saya kutipkan suatu paragraf dari buku Mollecular Cell Biology edisi keempat, butir 6.3, "Viruses: Structure, Function, and Uses". Link-nya di bawah ini. 

"Suatu virus adalah suatu parasit yang tidak dapat memperbanyak diri atau mereproduksi diri pada dirinya sendiri. Ketika suatu virus menginfeksi sel yang rentan, virus yang infeksius ini dapat mengarahkan mesin sel inang untuk menghasilkan lebih banyak virus. Umumnya virus memiliki entah RNA atau DNA sebagai material genetik mereka.

Asam nukleat RNA/DNA ini dapat bertipe tunggal (heliks tipe tunggal) atau bertipe ganda (heliks tipe ganda).





Keseluruhan partikel virus yang infeksius, yang dinamakan virion, terdiri atas asam nukleat (material genetik RNA/DNA) dan cangkang ("shell") luarnya yang berupa protein.

Virus paling sederhana berisi RNA/DNA dalam jumlah cukup saja untuk mengkodekan 4 protein. Virus yang paling rumit dapat mengkodekan 100 hingga 200 protein." 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK21523/ 

Bisa terjadi, pada secuil sampel test swab gabungan yang kebetulan terambil tidak ada material genetik virus. Dus, disimpulkan, si pasien negatif

Tetapi, material genetik virus bisa ada di bagian-bagian lain dalam rongga hidung dan tenggorokan, yang tidak terwakili oleh gabungan sampel dari dua lokasi dalam saluran pernafasan. 

Sudah diketahui, virus SARS-CoV-2 sebagai penyebab penyakit Covid-19 ("COrona VIrus Disease"), ada di dan menyerang sejumlah organ tubuh, bukan cuma menyerang, dan ada pada, saluran pernafasan dan organ paru. 

Virus corona dapat menyerang bagian tertentu organ otak, juga organ ginjal, dan organ lain. Juga dapat membuat darah menggumpal kecil-kecil dalam pembuluh darah.

Jadi, tidak ditemukannya material genetik virus pada sampel-sampel yang diambil dan disatukan untuk test swab (atau hasil test negatif), tidak mutlak berarti si pasien tidak terinfeksi virus

Lantaran itulah, test swab perlu diulang beberapa kali (dengan biaya habis lebih banyak!) pada pasien yang bergejala (batuk, bersin, puyeng, demam dengan suhu tubuh 38°c ke atas, muka pucat, ditambah diare, dan rasa lelah luar biasa dan sesak nafas untuk yang bergejala berat), atau yang tak bergejala, tetapi dengan hasil test swab negatif. 

Sebetulnya, gejala terjangkit Covid-19 lebih dari itu, mencakup juga antara lain:

• kehilangan berat tubuh yang sangat cepat
• kehilangan kemampuan untuk membedakan rasa dan kemampuan untuk mencium bau
• hypoxia, yakni persentase saturasi oksigen rendah dalam darah, di bawah 90%, tetapi tidak langsung berefek negatif, dus tidak diketahui, tetapi akhirnya nenimbulkan kematian mendadak. Kematian mendadak? Ya, karena organ paru sebagai "mesin" biologis pemasok oksigen telah rusak diam-diam atau mengalami "silent lung damage" dengan akibat darah, sel-sel tubuh, organ tubuh dan organ otak tidak menerima oksigen lagi. Inilah penyebab kematian karena hypoxia.
• darah yang menggumpal kecil-kecil dalam pembuluh darah
• ruam-ruam merah kecil pada kulit
• gangguan pada organ seperti ginjal dan hati. 

Jadi, ya... test swab juga terbatas. Karena tidak bisa mendeteksi material genetik (yang tidak hidup) virus di luar sampel gabungan yang telah diambil yang tidak berisi material genetik RNA/DNA virus. Dus, diagnosis negatif atau tidak terinfeksi virus lewat test swab juga bisa salah. Ini dinamakan "false negative" (FN). 

Penting juga diingat bahwa FN akan didapat jika seorang yang sebetulnya sudah terinfeksi mengambil test PCR di saat virus masih belum menyusup ke sel-sel tubuh lalu memperbanyak diri, dan gejala belum muncul (karena baru akan muncul 4-5 hari setelah terinfeksi). OTG yang sebetulnya membawa virus dalam jumlah kecil dapat ditest negatif juga. Dalam jurnal British Medical Journal, dokter-dokter Amerika dan Inggris melaporkan hasil FN berkisar antara 2 hingga 29 % dari seluruh test PCR yang telah dilakukan.

Juga ada hasil test PCR yang false positive (FP), ditest positif padahal tidak membawa virus. FP berpeluang muncul karena gabungan sampel material genetik telah melewati siklus multiplikasi yang diulang banyak kali. Proses kimiawi ini dapat menghasilkan FP meski dalam sampel semula/asli tidak ada RNA coronavirus. Orang yang telah sembuh tapi masih membawa sisa-sisa material genetik virus yang sudah tidak infeksius, juga dapat ditest FP.

https://www.thenationalnews.com/uae/science/false-negatives-and-positives-how-accurate-are-pcr-tests-for-covid-19-1.1113187

Nah, ada sisi lain. 

Jika hasil test swab ditemukan positif, artinya: si pasien terinfeksi virus, kiamatkah dunia ini? Oh tentu tidak. Tidak sama sekali! 

Dalam peringkat yang signifikan, ada jauh lebih banyak orang yang sembuh dibandingkan orang yang tidak sembuh, ketika terjangkit Covid-19. 

Ratio sembuh dan tak sembuh atau "recovery rate" kasus Covid-19 di Indonesia Oktober 2020 adalah 80,51%. Artinya, jumlah orang yang sembuh 4 kali lipat orang yang tak sembuh. Perhatikan kutipan berikut. 

"Jumlah kasus sembuh dari Covid-19 dan pasien yang selesai isolasi di Indonesia mencapai 317.672 orang, dengan tingkat kesembuhan ["recovery rate"] 80,51 persen. Rasio tersebut diklaim jauh di atas angka dunia [73,60%]." 

https://kabar24.bisnis.com/read/20201026/15/1310014/rasio-kesembuhan-dari-covid-19-di-indonesia-kian-jauhi-angka-global 

Tentu, pasien dengan gejala berat, dan ada dalam kondisi sakit berat dan kritis (dikenakan ventilator dan berbagai instrumen medik lain untuk menggantikan fungsi paru yang sudah rusak berat atau fungsi jantung pada pasien yang punya penyakit ikutan), jauh berisiko tinggi untuk tidak bisa sembuh. Penderita berat dan kritis tidak bisa lakukan isolasi mandiri. Mereka memerlukan perawatan intensif di rumah-rumah sakit yang dapat diandalkan. 

Nah, ketika hasil test swab PCR positif, dan pasien memperlihatkan gejala ringan (hingga sedang), lalu selanjutnya menjalankan isolasi mandiri di rumah dan minum obat-obatan (seperti kapsul China LIAN HUA QINGWEN) dan vitamin sebagai suplemen (seperti vitamin D3) serta madu hutan hitam pahit, peluang mereka sembuh sangat besar

Berpengharapanlah! Be hopeful! 

Nah, ketika mereka sudah melewati masa 14 hari isolasi mandiri (masa inkubasi virus corona), ditambah 10 hingga 15 hari lagi untuk memberi waktu yang cukup ke sistem imun tubuh untuk bekerja, mereka yang positif terinfeksi (diketahui dari test swab) akan sembuh, dan sistem imun mereka akan menghasilkan antibodi IgG (yang akan bertahan lama) dan IgM (yang akan lenyap setelah dua atau tiga bulan sejak terinfeksi). Keberadaan antibodi ini diperlihatkan lewat rapid test atau test serologi yang memakai serum darah pasien, yang diambil dari pembuluh vena. Jika ditemukan antibodi, maka hasil test ini disebut reaktif. Jika antibodi tidak terdeteksi, hasil test dikatakan non-reaktif.

Antibodi IgG inilah yang selanjutnya akan melindungi orang yang telah sembuh dari serangan virus SARS-CoV-2 berikutnya. 

Sementara vaksin yang aman, efektif, dan terjamin belum ada hingga saat ini, ya beruntunglah orang yang telah memiliki antibodi IgG dalam tubuh mereka ketika sudah sembuh dari Covid-19. 

Dilihat dari satu sudut, orang  yang telah positif tertular, dan telah sembuh, dan sudah memiliki antibodi, lebih santai dalam menjalani kehidupan dibandingkan orang yang belum pernah terpapar virus, di masa pandemi Covid-19 yang kita sama sekali tidak ketahui kapan akan berakhir. Bisa lima tahun di depan lagi, atau malah 10 tahun lagi. Devastating indeed! 

Tentu, mereka yang telah memiliki antibodi, harus tetap menjalankan protokol kesehatan, yakni: menghindari kerumunan atau tempat banyak orang berkumpul, tetap memakai masker di ruang publik (bisa juga di rumah sendiri jika ada anggota keluarga yang terinfeksi dan sedang dirawat di rumah), menjalankan "physical distancing", mencuci tangan dengan sabun, mendisinfektan dengan teratur ruang dan permukaan benda-benda dalam rumah. 

Mereka yang telah sembuh, dan memiliki antibodi, tapi belum menerima vaksin yang aman dan efektif, tetap tidak akan bisa 100 % dan selamanya terlindung penuh dari efek-efek jangka panjang penyakit Covid-19 yang pernah menjangkit mereka. 

Kini makin disadari, bahwa orang yang telah sembuh, masih belum terbebas penuh dari long covid. Sebab masih mungkin virus SARS-CoV-2 dalam muatan ("viral load") yang besar dalam tubuh, tidak terbunuh semua dalam tubuh mereka, tetapi berhasil sembunyi dalam sistem imun mereka lewat cara-cara yang belum diketahui. 

Kondisi itulah yang membuat orang yang sudah sembuh ("recovered") masih mungkin dalam jangka lama yang berkepanjangan ("long") ke depan tetap didera dengan berbagai kelemahan tubuh dan gangguan kesehatan. 

https://www.newscientist.com/article/mg24833064-100-long-covid-why-are-some-people-sick-months-after-catching-the-virus/ 

Kondisi seperti "long covid" sebetulnya dapat muncul juga pada orang yang menderita berbagai penyakit lain, penyakit biasa atau penyakit kritis. Kelemahan tubuh dan banyak masalah kesehatan mendera mereka juga dalam kurun yang panjang. 

Masa pandemi Covid-19 memang masa yang berat bagi penduduk dunia. Berat! 

Sekali lagi, jika test swab anda positif, tetaplah berpengharapan. Tetaplah tenang, rileks, tidak stres. Tetaplah rasakan kemerdekaan. Anda akan sembuh dan selanjutnya memiliki antibodi. Be happy. Stay strong. Keep smiling. Be hopeful, always. Ever. 

Dekatkan diri lewat doa dan nyanyian ke Yesus Kristus, sang Immanuel kudus, sang pemelihara dan penyembuh. 

☆ ioanes rakhmat
8 Nov 2020 

N.B. Jika uraian pendek di atas dirasakan bermanfaaf buat lebih banyak orang, silakan share tanpa perlu minta izin ke penulisnya. Thx.