N.B. Baca juga pasangan tulisan ini Firman Hidup Versus Apologetika.
Saya buka dengan sebuah pertanyaan. Apa syarat untuk seseorang bisa diakui dengan formal sebagai seorang ilmuwan, apalagi ilmuwan terbaik level internasional?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3 (2005), ilmuwan adalah orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu; orang yang berkecimpung di dunia ilmu pengetahuan. Menurut Merriam Webster's Collegiate Dictionary (edisi 10, 1993), ilmuwan adalah seorang yang terpelajar dalam sains, khususnya sains IPA, seorang peneliti saintifik. Jadi, ilmuwan itu orang yang memiliki banyak pengetahuan dalam suatu bidang ilmu, ahli di bidangnya, bekerja di dunia sains, aktif meneliti.
Pertanyaannya: Dari mana kita tahu seseorang itu ilmuwan atau bukan? Ya dari karya-karya ilmiahnya yang diterbitkan dan bisa diakses umum untuk dibicarakan dan diperdebatkan sebagai wacana publik dengan terbuka.
Tetapi tentu saja tidak semua tulisan dapat disebut tulisan ilmiah, tulisan seorang ilmuwan. Karya-karya ilmiah seorang ilmuwan itu diakui ilmiah jika ditulis dengan memakai metode penulisan karya-karya ilmiah, tidak asal ditulis.
Sebuah karya ilmiah memiliki banyak ciri, antara lain:
• dengan jelas memuat hipotesis-hipotesis yang mau diuji kebenaran atau kesalahannya;
• dengan jelas memuat keterangan-keterangan mengapa subjek yang sedang dikaji dipandang penting;
• dengan terang merumuskan kerangka teoretis apa yang digunakan dalam argumen-argumen yang dibangun dan dikembangkan secara koheren dan tak bercacat;
• dengan tajam memuat informasi tentang argumen-argumen pokok yang sedang dibangun, yang didukung oleh argumen-argumen penunjang dan argumen-argumen tambahan lain;
• dengan jelas menyebutkan metode-metode penelitian yang digunakan: apakah penelitian lapangan secara khusus dengan memakai sampel yang sah sebagai target kajian yang kemudian dibandingkan dengan sampel-sampel lain pengontrol, ataukah eksperimen-eksperimen di laboratorium dengan menggunakan metode-metode yang sah, ataukah penelitian kepustakaan secara umum, apakah gabungan ketiganya, dan lain-lain;
• dengan padat memuat keterangan ringkas tentang isi setiap bagian karya yang diajukan;
• dengan jujur menyebutkan sumber-sumber otoritatif dari data dan informasi yang dipakai sebagai rujukan. Jika hal penting ini tidak anda lakukan, anda menjadi seorang plagiat;
• dengan jelas menyebutkan di mana kekuatan dan di mana kelemahan karya yang sedang digarap;
• dengan terang menunjukkan segi-segi apa yang masih harus diteliti lebih lanjut di masa depan.
Semua unsur dari sebuah karya ilmiah ini dibeberkan dengan sistematis dan koheren sejak awal hingga akhir karya, lalu ditutup dengan sebuah kesimpulan umum untuk keseluruhan karya.
Seseorang bisa produktif menulis ratusan buku, tapi jika penulisannya tak memenuhi standard metode penulisan ilmiah, dia bukan ilmuwan. Seseorang bisa menulis ratusan novel, tapi dia tak akan disebut ilmuwan, melainkan novelis. Seseorang bisa menulis ratusan artikel opini di koran-koran, tapi dia tak disebut ilmuwan, melainkan kolumnis.
Karya ilmiah besar pertama untuk seseorang disebut ilmuwan adalah disertasi doktor yang lulus pengujian dan memberinya hak menyandang gelar doktor (Ph.D., Doctor of Philosophy; atau gelar-gelar lain yang diakui ekuivalen).
Bahwa seseorang memang pantas bergelar doktor, akan diperlihatkannya terus lewat karya-karya ilmiahnya yang lain selain disertasinya. Tapi ada banyak orang yang bergelar doktor (Ph.D., atau gelar-gelar lain yang ekuivalen) stop menulis karya-karya ilmiah lain setelah dia menyelesaikan disertasi dan mempertahankannya.
Untuk doktor semacam itu, yang tak pernah menulis lagi setelah menulis sebuah disertasi, kita boleh sebut sebagai ilmuwan yang sudah lelah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3 (2005), ilmuwan adalah orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu; orang yang berkecimpung di dunia ilmu pengetahuan. Menurut Merriam Webster's Collegiate Dictionary (edisi 10, 1993), ilmuwan adalah seorang yang terpelajar dalam sains, khususnya sains IPA, seorang peneliti saintifik. Jadi, ilmuwan itu orang yang memiliki banyak pengetahuan dalam suatu bidang ilmu, ahli di bidangnya, bekerja di dunia sains, aktif meneliti.
Pertanyaannya: Dari mana kita tahu seseorang itu ilmuwan atau bukan? Ya dari karya-karya ilmiahnya yang diterbitkan dan bisa diakses umum untuk dibicarakan dan diperdebatkan sebagai wacana publik dengan terbuka.
Tetapi tentu saja tidak semua tulisan dapat disebut tulisan ilmiah, tulisan seorang ilmuwan. Karya-karya ilmiah seorang ilmuwan itu diakui ilmiah jika ditulis dengan memakai metode penulisan karya-karya ilmiah, tidak asal ditulis.
Sebuah karya ilmiah memiliki banyak ciri, antara lain:
• dengan jelas memuat hipotesis-hipotesis yang mau diuji kebenaran atau kesalahannya;
• dengan jelas memuat keterangan-keterangan mengapa subjek yang sedang dikaji dipandang penting;
• dengan terang merumuskan kerangka teoretis apa yang digunakan dalam argumen-argumen yang dibangun dan dikembangkan secara koheren dan tak bercacat;
• dengan tajam memuat informasi tentang argumen-argumen pokok yang sedang dibangun, yang didukung oleh argumen-argumen penunjang dan argumen-argumen tambahan lain;
• dengan jelas menyebutkan metode-metode penelitian yang digunakan: apakah penelitian lapangan secara khusus dengan memakai sampel yang sah sebagai target kajian yang kemudian dibandingkan dengan sampel-sampel lain pengontrol, ataukah eksperimen-eksperimen di laboratorium dengan menggunakan metode-metode yang sah, ataukah penelitian kepustakaan secara umum, apakah gabungan ketiganya, dan lain-lain;
• dengan padat memuat keterangan ringkas tentang isi setiap bagian karya yang diajukan;
• dengan jujur menyebutkan sumber-sumber otoritatif dari data dan informasi yang dipakai sebagai rujukan. Jika hal penting ini tidak anda lakukan, anda menjadi seorang plagiat;
• dengan jelas menyebutkan di mana kekuatan dan di mana kelemahan karya yang sedang digarap;
• dengan terang menunjukkan segi-segi apa yang masih harus diteliti lebih lanjut di masa depan.
Semua unsur dari sebuah karya ilmiah ini dibeberkan dengan sistematis dan koheren sejak awal hingga akhir karya, lalu ditutup dengan sebuah kesimpulan umum untuk keseluruhan karya.
Seseorang bisa produktif menulis ratusan buku, tapi jika penulisannya tak memenuhi standard metode penulisan ilmiah, dia bukan ilmuwan. Seseorang bisa menulis ratusan novel, tapi dia tak akan disebut ilmuwan, melainkan novelis. Seseorang bisa menulis ratusan artikel opini di koran-koran, tapi dia tak disebut ilmuwan, melainkan kolumnis.
Karya ilmiah besar pertama untuk seseorang disebut ilmuwan adalah disertasi doktor yang lulus pengujian dan memberinya hak menyandang gelar doktor (Ph.D., Doctor of Philosophy; atau gelar-gelar lain yang diakui ekuivalen).
Bahwa seseorang memang pantas bergelar doktor, akan diperlihatkannya terus lewat karya-karya ilmiahnya yang lain selain disertasinya. Tapi ada banyak orang yang bergelar doktor (Ph.D., atau gelar-gelar lain yang ekuivalen) stop menulis karya-karya ilmiah lain setelah dia menyelesaikan disertasi dan mempertahankannya.
Untuk doktor semacam itu, yang tak pernah menulis lagi setelah menulis sebuah disertasi, kita boleh sebut sebagai ilmuwan yang sudah lelah.
Ilmuwan yang sudah lelah tentu saja tak akan pernah berkontes di dunia internasional untuk mendapatkan sebutan ilmuwan terbaik dunia. Mungkin gelar Ph.D. yang disandangnya lebih tepat dibaca Pizza Hut Delivery. Bisa jadi, dia jauh lebih cocok dan lebih kerasaan bekerja sebagai seorang pengantar Pizza pesanan.
Untuk dunia bisa tahu seseorang itu ilmuwan, orang ini harus sudah menghasilkan banyak karya ilmiah yang berbentuk buku atau berbentuk artikel ilmiah yang terbit di jurnal-jurnal internasional. Tapi tidak selalu tulisan seorang doktor itu, sekalipun diterbitkan, adalah tulisan ilmiah yang memenuhi standard akademik internasional.
Ada kalanya seorang ilmuwan yang bergelar Ph.D. menghasilkan karya yang bermutu rendah jika dilihat dari standard akademik internasional.
Untuk dunia bisa tahu seseorang itu ilmuwan, orang ini harus sudah menghasilkan banyak karya ilmiah yang berbentuk buku atau berbentuk artikel ilmiah yang terbit di jurnal-jurnal internasional. Tapi tidak selalu tulisan seorang doktor itu, sekalipun diterbitkan, adalah tulisan ilmiah yang memenuhi standard akademik internasional.
Ada kalanya seorang ilmuwan yang bergelar Ph.D. menghasilkan karya yang bermutu rendah jika dilihat dari standard akademik internasional.
Karena itu setiap karya ilmiah yang mau diterbitkan di sebuah jurnal internasional bergengsi, harus lewat pengujian tim penguji jurnal ini dulu (misalnya editorial board sebuah jurnal).
Setelah itu sebuah karya ilmiah yang telah terbit di sebuah jurnal internasional akan diuji lagi oleh para pakar lain yang minimum selevel dengan si penulisnya. Pengujian oleh para pakar lain yang minimal selevel ini, disebut peer review. Berdasarkan apa pendapat para pakar internasional lain atas sebuah karya ilmiah yang telah terbit, karya ini menempati posisi keilmuan tertentu.
Nah lewat proses pengujian berlapis inilah karya-karya seorang ilmuwan akhirnya mendapatkan reputasi internasional, dipandang otoritatif. Hanya dengan lewat prosedur pengujian berlapis atas karya-karya seorang ilmuwan, si ilmuwan ini akan bisa digolongkan sebagai ilmuwan terbaik. Jadi sangat, sangatlah sulit jalannya untuk seorang ilmuwan dapat menyandang sebutan ilmuwan terbaik dunia. Jadilah dulu ilmuwan terbaik di universitas tempat anda mengajar.
Jadi sangat mustahil, tak masuk akal, seseorang disebut ilmuwan terbaik dunia jika dia tak pernah menerbitkan banyak karyanya di jurnal-jurnal internasional. Atau jika pola pikir, sikap dan kelakuannya tidak GO-INTERNATIONAL atau GO-GLOBAL, tapi partisan, sektarian, primordialistik, dan cuma bisa menyerang ad hominem orang yang berbeda posisi.
Tapi ingat: ada banyak perguruan tinggi murahan di luar negeri, yang dengan mudah memberi gelar doktor pada orang yang studi hanya 6-9 bulan di luar negeri, atau studi sekian bulan lewat Internet. Orang yang mendapatkan gelar doktor dengan cara-cara semacam ini, dan juga seorang Doktor Kehormatan, bukanlah ilmuwan. Mereka hanya pengejar gelar doktor (non-Ph.D.) untuk mendongkrak reputasinya sendiri di tempat kerjanya di negerinya sendiri.
Umumnya untuk mendapatkan gelar tertinggi akademik (Ph.D.) dari sebuah universitas ternama di luar negeri, dibutuhkan kerja keras 5 tahun studi, yang di dalamnya biasanya akan ada periode kesepian yang mendalam. Lima tahun studi ini termasuk periode penelitian dan penulisan disertasi untuk dipertahankan.
Salah satu ciri utama seseorang itu mampu berpikir ilmiah adalah orang itu mampu berpikir lintas-ilmu dan lintas-bidang, dan mampu mengkritik subjek yang sedang dikajinya, juga tak segan mengkritik dirinya sendiri, dan telah menulis minimal sebuah disertasi doktor yang telah berhasil dipertahankannya. Seorang yang sedang menulis disertasi untuk meraih gelar Ph.D. dikehendaki dapat membuka pandangan-pandangan baru berkaitan dengan subjek kajiannya, menghasilkan sebuah terobosan, sebuah breakthrough.
Tapi jangan lupa ada banyak universitas di luar negeri yang fakultas teologinya memberi gelar Ph.D. kepada orang yang justru cuma bisa berapologetik. Di sana, semakin piawai seseorang membela bulat-bulat sebuah doktrin agama, semakin pantas orang itu menyandang gelar Ph.D.
Ph.D. ahli apologetika itu jelas suatu keanehan, sebab seorang Ph.D. mustinya adalah seorang yang mampu membuka pandangan-pandangan baru, bukan mampu berapologetik.
Di lingkungan gereja, ada banyak orang yang bergelar Ph.D., dengan keahlian satu-satunya mempertahankan secara apologetik bahwa, misalnya, Yesus itu Allah, atau Tritunggal itu wahyu ilahi, atau agama Kristen itu agama terunggul dan paling benar satu-satunya di dunia, atau kitab Yunus itu memuat kisah sejarah. Atau John Calvin itu seorang yang demokratis, padahal faktanya (jadi, kita dibohongi) Calvin adalah seorang teokratis yang sangat keras yang atas perintahnya Michael Servetus, pengkritiknya yang paling tajam, dibunuh dengan dibakar (tewas 27 Oktober 1553 di Jenewa, Swiss). Waduuhh.
Jadi, saya anjurkan, jangan mudah terkecoh dengan gelar Ph.D. yang tertulis di belakang nama siapapun. Gelar Ph.D. (dan gelar lain yang ekuivalen) tak selalu menjamin mutu keilmuan si penyandangnya, atau bahwa si penyandangnya berwawasan luas dan dirinya sudah menjadi warga dunia. Kita harus selektif memberi bobot pada gelar doktor yang tertulis di belakang nama siapapun. Pertama-tama, ujilah bagaimana cara berpikir si penyandang gelar doktor itu, dan perhatikanlah apakah dia seorang yang sektarian atau sudah GO-GLOBAL.
Ph.D. di bidang agama sangat mudah mengecoh: kita semula berpikir orangnya berwawasan luas, nyatanya cuma mampu berapologetik sampai mati, wawasannya sangat sempit dan sangat fanatik beragama. Dan kerap juga memperalat dan memain-mainkan agama untuk menggolkan tujuan-tujuan politisnya yang sektarian dan tak bermoral.
Seorang ilmuwan yang bersikap dan berpandangan politis sektarian dan sedang memperjuangkan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan militer dirinya sendiri atau kalangan lain yang menyewa dan membayar mahal kepadanya, tidak lagi dipandang sebagai seorang ilmuwan, scientist proper, atau bona fide scientist, tapi sebagai seorang junk scientist, seorang pelacur di dunia sains.
Para ilmuwan jenis ini sangat piawai menyusun posisi-posisi ilmiah gadungan (pseudoscientific positions), lalu mengemas posisi-posisi ilmiah gadungan ini sedemikian rupa dengan berbagai pemelintiran dan pemalsuan data dan fakta. Kemudian mereka ngotot mengklaim kemasan posisi-posisi ilmiah gadungan ini sebagai kemasan posisi-posisi ilmiah yang sah. Mereka yang melakukan praktek sangat tercela ini disebut junk scientists. Posisi keilmuan para ilmuwan pelacur ini sangat cepat ketahuan dan dibongkar oleh komunitas para ilmuwan dunia. Dalam era yang diberi nama ganjil post-truth era, para ilmuwan gadungan, pelacur dan pecundang ini banyak jumlahnya.
Harap dicatat, dalam dunia sains, era post-truth tidak dikenal. Sains selamanya hanya berurusan dengan truth, tak menerima post-truth. Sebaliknya, jika sains terlibat, sains membongkar habis post-truth demi mempertahankan truth.
Setelah itu sebuah karya ilmiah yang telah terbit di sebuah jurnal internasional akan diuji lagi oleh para pakar lain yang minimum selevel dengan si penulisnya. Pengujian oleh para pakar lain yang minimal selevel ini, disebut peer review. Berdasarkan apa pendapat para pakar internasional lain atas sebuah karya ilmiah yang telah terbit, karya ini menempati posisi keilmuan tertentu.
Nah lewat proses pengujian berlapis inilah karya-karya seorang ilmuwan akhirnya mendapatkan reputasi internasional, dipandang otoritatif. Hanya dengan lewat prosedur pengujian berlapis atas karya-karya seorang ilmuwan, si ilmuwan ini akan bisa digolongkan sebagai ilmuwan terbaik. Jadi sangat, sangatlah sulit jalannya untuk seorang ilmuwan dapat menyandang sebutan ilmuwan terbaik dunia. Jadilah dulu ilmuwan terbaik di universitas tempat anda mengajar.
Jadi sangat mustahil, tak masuk akal, seseorang disebut ilmuwan terbaik dunia jika dia tak pernah menerbitkan banyak karyanya di jurnal-jurnal internasional. Atau jika pola pikir, sikap dan kelakuannya tidak GO-INTERNATIONAL atau GO-GLOBAL, tapi partisan, sektarian, primordialistik, dan cuma bisa menyerang ad hominem orang yang berbeda posisi.
Tapi ingat: ada banyak perguruan tinggi murahan di luar negeri, yang dengan mudah memberi gelar doktor pada orang yang studi hanya 6-9 bulan di luar negeri, atau studi sekian bulan lewat Internet. Orang yang mendapatkan gelar doktor dengan cara-cara semacam ini, dan juga seorang Doktor Kehormatan, bukanlah ilmuwan. Mereka hanya pengejar gelar doktor (non-Ph.D.) untuk mendongkrak reputasinya sendiri di tempat kerjanya di negerinya sendiri.
Umumnya untuk mendapatkan gelar tertinggi akademik (Ph.D.) dari sebuah universitas ternama di luar negeri, dibutuhkan kerja keras 5 tahun studi, yang di dalamnya biasanya akan ada periode kesepian yang mendalam. Lima tahun studi ini termasuk periode penelitian dan penulisan disertasi untuk dipertahankan.
Salah satu ciri utama seseorang itu mampu berpikir ilmiah adalah orang itu mampu berpikir lintas-ilmu dan lintas-bidang, dan mampu mengkritik subjek yang sedang dikajinya, juga tak segan mengkritik dirinya sendiri, dan telah menulis minimal sebuah disertasi doktor yang telah berhasil dipertahankannya. Seorang yang sedang menulis disertasi untuk meraih gelar Ph.D. dikehendaki dapat membuka pandangan-pandangan baru berkaitan dengan subjek kajiannya, menghasilkan sebuah terobosan, sebuah breakthrough.
Tapi jangan lupa ada banyak universitas di luar negeri yang fakultas teologinya memberi gelar Ph.D. kepada orang yang justru cuma bisa berapologetik. Di sana, semakin piawai seseorang membela bulat-bulat sebuah doktrin agama, semakin pantas orang itu menyandang gelar Ph.D.
Ph.D. ahli apologetika itu jelas suatu keanehan, sebab seorang Ph.D. mustinya adalah seorang yang mampu membuka pandangan-pandangan baru, bukan mampu berapologetik.
Di lingkungan gereja, ada banyak orang yang bergelar Ph.D., dengan keahlian satu-satunya mempertahankan secara apologetik bahwa, misalnya, Yesus itu Allah, atau Tritunggal itu wahyu ilahi, atau agama Kristen itu agama terunggul dan paling benar satu-satunya di dunia, atau kitab Yunus itu memuat kisah sejarah. Atau John Calvin itu seorang yang demokratis, padahal faktanya (jadi, kita dibohongi) Calvin adalah seorang teokratis yang sangat keras yang atas perintahnya Michael Servetus, pengkritiknya yang paling tajam, dibunuh dengan dibakar (tewas 27 Oktober 1553 di Jenewa, Swiss). Waduuhh.
Jadi, saya anjurkan, jangan mudah terkecoh dengan gelar Ph.D. yang tertulis di belakang nama siapapun. Gelar Ph.D. (dan gelar lain yang ekuivalen) tak selalu menjamin mutu keilmuan si penyandangnya, atau bahwa si penyandangnya berwawasan luas dan dirinya sudah menjadi warga dunia. Kita harus selektif memberi bobot pada gelar doktor yang tertulis di belakang nama siapapun. Pertama-tama, ujilah bagaimana cara berpikir si penyandang gelar doktor itu, dan perhatikanlah apakah dia seorang yang sektarian atau sudah GO-GLOBAL.
Ph.D. di bidang agama sangat mudah mengecoh: kita semula berpikir orangnya berwawasan luas, nyatanya cuma mampu berapologetik sampai mati, wawasannya sangat sempit dan sangat fanatik beragama. Dan kerap juga memperalat dan memain-mainkan agama untuk menggolkan tujuan-tujuan politisnya yang sektarian dan tak bermoral.
Seorang ilmuwan yang bersikap dan berpandangan politis sektarian dan sedang memperjuangkan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan militer dirinya sendiri atau kalangan lain yang menyewa dan membayar mahal kepadanya, tidak lagi dipandang sebagai seorang ilmuwan, scientist proper, atau bona fide scientist, tapi sebagai seorang junk scientist, seorang pelacur di dunia sains.
Para ilmuwan jenis ini sangat piawai menyusun posisi-posisi ilmiah gadungan (pseudoscientific positions), lalu mengemas posisi-posisi ilmiah gadungan ini sedemikian rupa dengan berbagai pemelintiran dan pemalsuan data dan fakta. Kemudian mereka ngotot mengklaim kemasan posisi-posisi ilmiah gadungan ini sebagai kemasan posisi-posisi ilmiah yang sah. Mereka yang melakukan praktek sangat tercela ini disebut junk scientists. Posisi keilmuan para ilmuwan pelacur ini sangat cepat ketahuan dan dibongkar oleh komunitas para ilmuwan dunia. Dalam era yang diberi nama ganjil post-truth era, para ilmuwan gadungan, pelacur dan pecundang ini banyak jumlahnya.
Harap dicatat, dalam dunia sains, era post-truth tidak dikenal. Sains selamanya hanya berurusan dengan truth, tak menerima post-truth. Sebaliknya, jika sains terlibat, sains membongkar habis post-truth demi mempertahankan truth.
Disinformasi yang disebar seorang pendukung post-truth mudah dipatahkan hanya dengan mengkonfrontasikannya dengan kebenaran ilmiah, scientific truth, dan dengan pemikiran kritis.
Well, dalam ujian disertasi, biasanya promotor anda akan mengawali dengan bertanya: Lewat disertasi ini apa sumbangan orisinal anda bagi dunia sains? Jadi, seorang Ph.D. memang dikehendaki berhasil menyumbang pemikiran dan temuan baru bagi dunia sains, bukan berapologetik.
Terlalu berat jika seorang sarjana S-1 dan sarjana S-2 diharapkan menyumbang sesuatu yang orisinal bagi dunia sains, tapi itu wajib bagi seorang Ph.D.
Jika anda seorang Ph.D, jadilah Ph.D. yang mampu berpikir orisinal dan mampu menyumbang hal baru bagi dunia sains. Negeri anda memerlukan banyak Ph.D. semacam ini. Jika anda Ph.D. bidang kajian agama, pikirkan ulang apakah tugas anda berapologetik atau justru melahirkan terobosan pemikiran-pemikiran baru buat agama anda, pemikiran-pemikiran baru yang jelas, simpel, tidak ruwet dan tidak rumit.
Ph.D. konservatif apologetik adalah sebuah oxymoron, sebuah contradictio in terminis, istilah yang berkontradiksi pada dirinya sendiri. Di dalam negeri semacam Indonesia yang sedang dijajah budaya agama, orang-orang yang bergelar doktor semacam ini sangat banyak. Padahal sudah mustinya seorang Ph.D. itu seorang yang mampu berpikir bebas dan bertanggungjawab, bukan seorang akademisi yang dikerangkeng seumur hidup oleh agamanya sendiri.
Seorang Ph.D. tulen seyogianya adalah seorang ilmuwan milik dunia, yang sudah GO-GLOBAL, dan pemikiran-pemikirannya melampaui sekat-sekat agamanya sendiri, dan mampu berpikir dan menganalisis lintas-ilmu dan lintas-bidang. Mereka pantang menjadi politikus bayaran, atau dengan membayar berubah karir menjadi politikus petualang gelandangan yang sudah kehilangan etika kehidupan.
Anda yang kritis, pasti akhirnya bertanya dalam hati, apakah si penulis tulisan ini memang seorang ilmuwan sebagaimana dimaksudkannya dalam rangkaian dan jalinan kata-kata di atas.
Ini jawabku lewat sebuah puisi yang kususun sendiri.
AKU SUKA MENYAPA SEMUT
Aku ini bukan ilmuwan
Sekolah hanya lima tahunan
Dulu cuma tamat SD swasta
Panjang ilmuku cuma sehasta
Bukuku pun kertas kosong
Seluas langit yang lowong
Kala malam dipenuhi bintang
Bercahaya terang gemilang
Sahabat pun bukan ilmuwan
Hanya angkasa dan awan
Juga Bumi, bulan dan bintang
Di darat berkawan belalang
Aku suka menyapa semut
Ditemani kura dan siput
Oktopus temanku di laut
Menyepi dalam hutan kabut
Tidur cuma beralas rumput
Sang Malam Kelam sebagai selimut
Putri malu menciumku di mulut
Saat kurangkul dia surut
Piknik cuma ke angkasa sepi
Ongkosnya murah sekali
Cuma imajinasi tak bertepi
Tanpa siapapun menyertai
Aku kesepian sendiri
Sunyi berteman alunan dawai
Yang bergetar riuh ramai
Dalam ruang ekstradimensi
Tak kupunya ilmu tinggi
Kutawarkan cuma teka-teki
Tebaklah dengan piawai
Supaya kau hidup abadi
Bersamaku yang sudah mati
Sebagai pikiran yang lestari
Berkelana lintasdimensi
Dari galaksi ke galaksi
Tanpa bidadari yang seksi
Mati tapi abadi
Abadi tapi mati
Ada tapi tiada
Tiada tapi ada
Salam,
ioanes rakhmat
Freidenk
Well, dalam ujian disertasi, biasanya promotor anda akan mengawali dengan bertanya: Lewat disertasi ini apa sumbangan orisinal anda bagi dunia sains? Jadi, seorang Ph.D. memang dikehendaki berhasil menyumbang pemikiran dan temuan baru bagi dunia sains, bukan berapologetik.
Terlalu berat jika seorang sarjana S-1 dan sarjana S-2 diharapkan menyumbang sesuatu yang orisinal bagi dunia sains, tapi itu wajib bagi seorang Ph.D.
Jika anda seorang Ph.D, jadilah Ph.D. yang mampu berpikir orisinal dan mampu menyumbang hal baru bagi dunia sains. Negeri anda memerlukan banyak Ph.D. semacam ini. Jika anda Ph.D. bidang kajian agama, pikirkan ulang apakah tugas anda berapologetik atau justru melahirkan terobosan pemikiran-pemikiran baru buat agama anda, pemikiran-pemikiran baru yang jelas, simpel, tidak ruwet dan tidak rumit.
Ph.D. konservatif apologetik adalah sebuah oxymoron, sebuah contradictio in terminis, istilah yang berkontradiksi pada dirinya sendiri. Di dalam negeri semacam Indonesia yang sedang dijajah budaya agama, orang-orang yang bergelar doktor semacam ini sangat banyak. Padahal sudah mustinya seorang Ph.D. itu seorang yang mampu berpikir bebas dan bertanggungjawab, bukan seorang akademisi yang dikerangkeng seumur hidup oleh agamanya sendiri.
Seorang Ph.D. tulen seyogianya adalah seorang ilmuwan milik dunia, yang sudah GO-GLOBAL, dan pemikiran-pemikirannya melampaui sekat-sekat agamanya sendiri, dan mampu berpikir dan menganalisis lintas-ilmu dan lintas-bidang. Mereka pantang menjadi politikus bayaran, atau dengan membayar berubah karir menjadi politikus petualang gelandangan yang sudah kehilangan etika kehidupan.
Anda yang kritis, pasti akhirnya bertanya dalam hati, apakah si penulis tulisan ini memang seorang ilmuwan sebagaimana dimaksudkannya dalam rangkaian dan jalinan kata-kata di atas.
Ini jawabku lewat sebuah puisi yang kususun sendiri.
AKU SUKA MENYAPA SEMUT
Aku ini bukan ilmuwan
Sekolah hanya lima tahunan
Dulu cuma tamat SD swasta
Panjang ilmuku cuma sehasta
Bukuku pun kertas kosong
Seluas langit yang lowong
Kala malam dipenuhi bintang
Bercahaya terang gemilang
Sahabat pun bukan ilmuwan
Hanya angkasa dan awan
Juga Bumi, bulan dan bintang
Di darat berkawan belalang
Aku suka menyapa semut
Ditemani kura dan siput
Oktopus temanku di laut
Menyepi dalam hutan kabut
Tidur cuma beralas rumput
Sang Malam Kelam sebagai selimut
Putri malu menciumku di mulut
Saat kurangkul dia surut
Piknik cuma ke angkasa sepi
Ongkosnya murah sekali
Cuma imajinasi tak bertepi
Tanpa siapapun menyertai
Aku kesepian sendiri
Sunyi berteman alunan dawai
Yang bergetar riuh ramai
Dalam ruang ekstradimensi
Tak kupunya ilmu tinggi
Kutawarkan cuma teka-teki
Tebaklah dengan piawai
Supaya kau hidup abadi
Bersamaku yang sudah mati
Sebagai pikiran yang lestari
Berkelana lintasdimensi
Dari galaksi ke galaksi
Tanpa bidadari yang seksi
Mati tapi abadi
Abadi tapi mati
Ada tapi tiada
Tiada tapi ada
Salam,
ioanes rakhmat
Freidenk