Thursday, April 15, 2021

Sketsa Sikon Ilmuwan Perempuan Masa Pandemi Covid-19

 


DALAM DUNIA MASA KINI yang dikuasai "budaya pria", patriarkhi dan misogini, apalagi di masa pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung kurang lebih satu setengah tahun, para ilmuwan perempuan di negara-negara maju kini sedang menanggung banyak dampak negatif dari pandemi.

Mereka tidak produktif mempublikasi makalah riset. Mengepalai uji klinis lebih sedikit. Dan---ini sudah lama berlangsung--- pengakuan terhadap kecakapan dan prestasi akademik mereka makin berkurang. 

Selain hal-hal itu, para ilmuwan perempuan juga harus mengalami banyak goncangan emosional dan stres yang datang dari pandemi.

Bersamaan dengan itu, mereka juga harus menunaikan panggilan gender mereka untuk melancarkan berbagai protes terhadap rasisme struktural dalam dunia akademik.

Sebagai para ibu, mereka juga dilanda kekhawatiran besar terhadap kemajuan pendidikan dan kesehatan mental anak-anak mereka. 

Urusan rumahtangga yang tak habis-habisnya selama bekerja online dari rumah membuat mereka tidak punya waktu yang teduh dan cukup untuk berpikir cerdas dan berkarya inovatif.

Jumlah ilmuwan perempuan yang masih dapat berprestasi di masa pandemi, dus, jauh menurun dibandingkan ilmuwan lelaki.

Keadaan-keadaan itu lebih diperburuk oleh sikon kehidupan mereka di berbagai bidang yang makin tidak dapat ditanggung dan dipertahankan dibandingkan sebelumnya.

Untuk mendapat gambaran-gambaran real yang lebih luas tentang berbagai sikon yang tidak menguntungkan para ilmuwan perempuan di masa pandemi ini, silakan baca Women Scientists Systematically ExcludedAcademic Productivity DifferencesThe Proportions of FemaleOnly Second-Class TicketsFewer Womendan Gender Disparities. 





Seorang biostatistikus perempuan kulit hitam dari Universitas Pennsylvania, Amerika, yang juga seorang ibu dari dua anak, dan selama masa pandemi bekerja dari rumah, Dr. Alisa Stephens, mengungkapkan sikon diri dan pekerjaannya selama masa pandemi Covid-19, demikian:

"Mungkin aku bekerja cuma dengan 80% kecakapanku, tidak bisa 100%. Meski turun jadi 80%, dalam batas tertentu aku masih dapat menyelesaikan tugas-tugasku. Ini tentu bukan prestasi besar, bukan hal terbaik yang dapat kucapai, tapi ini sudahlah cukup untuk saat ini." Baca lebih lanjut Epidemic of Loss

Seorang peneliti obesitas di Universitas Florida, Amerika, Michelle Cardel, menyatakan bahwa gabungan semua faktor yang sudah ditulis di atas 

"telah menimbulkan badai yang betul-betul menghancurkan para ilmuwan perempuan. Orang sudah tiba pada suatu titik patah, pada situasi krisis yang menghancurkan. Ketakutanku yang besar adalah bahwa kita kini sedang memasuki pandemi kedua, yakni pandemi kehilangan, khususnya untuk para perempuan karier tahap awal di bidang STEM ["science, technology, engineering and mathematics]." Dikutip dari Epidemic of Loss

Sebuah artikel riset statistik yang kontroversial karena berisi tafsiran data yang tendensius seksis yang ditulis oleh Bedoor AlShebli, Kinga Makovi dan Talal Rahwan telah terbit di jurnal Nature Communications 11, nomor 5855, November 17, 2020. Judulnya "The Association between early career informal mentorship in academic collaborations and junior author performance". 

Karena telah menimbulkan reaksi dan protes serta kemarahan banyak ilmuwan perempuan dan para pendukung mereka, baik lelaki maupun perempuan, yang disampaikan lewat berbagai media, artikel tersebut telah ditarik pada 21 Desember 2020.

Para penulis artikel itu menyatakan bahwa gender memainkan suatu peran signifikan baik dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu tugas kepembimbingan ("mentorship") terhadap para mahasiswa, maupun dalam membangun relasi antara para peneliti senior dan para peneliti yunior. Peran itu sedemikian rupa berjalan sehingga pada dasarnya merongrong posisi pembimbing perempuan dan mahasiswa yang mereka bimbing.

Mereka menyimpulkan bahwa jika para mentor perempuan berperan lebih besar dan lebih banyak, dampak pasca-kepembimbingan pada para mahasiswa perempuan yang mereka sudah bimbing akan menurun, sekaligus hal itu hanya akan mendatangkan sedikit manfaat bagi para mentor perempuan.

Sebaliknya, kata mereka, jika tugas "mentorship" dipikul para mentor lawan jenis (yakni mentor lelaki), maka pastilah dampak para peneliti yunior perempuan dalam pengejaran suatu karir keilmuan akan meningkat.

Banyak ilmuwan perempuan telah memberi komentar terhadap artikel yang tendensius seksis tersebut. Salah seorang dari antara mereka adalah seorang neurosaintis dari Universitas Rockefeller, New York, yang bernama Leslie Vosshall.

Ditegaskan oleh Ms. Vosshall bahwa masa pandemi ini 

"adalah masa yang luar biasa sulit untuk menjadi seorang perempuan dalam dunia ilmu pengetahuan. Kami real ada di antara orang banyak. Kami sudah jatuh berlutut. Kami sudah letih. Eeh... sebuah makalah begitu saja ditulis, yang mendepak kami lewat ucapan, 'Kami mempunyai solusinya, yuuk kita pindahkan mahasiswa-mahasiswa untuk dibimbing hanya oleh para mentor lelaki senior."

Well, dalam kekristenan, patriarkhi dan misogini memang masih tetap kuat hingga di zaman modern ini. Perilaku tendensius misoginik ini memang memiliki akar-akar pada teks-teks skriptural Yahudi-Kristen.

Seorang bapak gereja pada abad kedua yang bernama Tertullianus, dengan berdasar kisah teologis etiologis dalam kitab Kejadian 3 Tenakh Yahudi, berkata sangat keras terhadap para perempuan di zamannya, yang dianggapnya juga berlaku untuk kaum perempuan di segala zaman dan tempat.

Hardiknya,

“Kamu semua adalah pintu gerbang masuknya setan ke dalam dunia... kalian adalah Hawa yang membujuk Adam, yang setan tidak berani serang.... Tahukah kalian bahwa setiap orang dari antara kalian adalah seorang Hawa? Hukuman Allah terhadap gender kalian tetap berlaku dalam zaman ini; begitu juga, kesalahan yang dibuat Hawa bagaimanapun juga tetap ada” (Tertullianus, De Cultu Feminarum I, 12).

Tak dapat disangkal bahwa Tertullianus memperlihatkan bias seksisme dalam bentuk yang ekstrim, yang dinamakan misogini (Inggris: misogyny, dari dua kata Yunani miseô, "membenci", dan gynē, "perempuan"). Yakni kebencian terhadap perempuan yang sangat mungkin akan membuahkan kekerasan dan ketidakadilan yang parah terhadap kaum perempuan di mana pun dan kapan pun.

Jika dalam zaman sekarang ini kita mau melakukan tafsir ulang terhadap kisah teologis etiologis dalam Tenakh Yahudi tersebut, dengan mengubah perspektif tafsir dari yang semula perspektif budaya dominan, yakni "budaya lelaki", menjadi perspektif "budaya marjinal", yakni "budaya perempuan", maka Hawa, representasi simbolik kaum perempuan universal, akan tampil lain.

Hawa atau kaum perempuan pun jadi dapat kita lihat sebagai sosok-sosok yang berani mengikuti kuriositas mereka, rasa ingin tahu mereka.

Alhasil, Hawa mendapatkan mula-mula pengetahuan moral. Di kemudian hari, pengetahuan moral pun berkembang setahap demi setahap menjadi ilmu pengetahuan yang sarat dengan nilai-nilai kebenaran, kemajuan, penemuan, keagungan, kebajikan dan daya tahan dalam kehidupan kita semua.

Hawa, atau kaum perempuan, bukan saja ibu kehidupan, tapi juga ibu ilmu pengetahuan, seperti halnya Dewi Saraswati dalam kepercayaan Hinduisme.

Kalau dulu di Indonesia kaum perempuan dipandang hanya pantas berada di dapur, kini, di masa pandemi Covid-19 dan nanti di era pasca-Covid-19, mereka juga sudah waktunya berada juga di laboratorium riset selain juga di dapur.

Untuk ke situ, jalannya sulit dan berat serta panjang. Mereka harus memiliki tekad kuat, berani, mampu dan memiliki kesempatan untuk bersekolah tinggi, meraih gelar Ph.D. dalam bidang ilmu-ilmu pengetahuan alam.

Selain itu, kaum lelaki pun, bukan hanya pantas berada di kantor dan di laboratorium, tetapi juga perlu berada di dapur.

Jakarta, 15 April 2021
ioanes rakhmat