Si burung pipit ini sedang menafsir ulang dirinya sendiri dari perspektif yang berbeda
N.B. Perlu dibaca juga APAKAH TEKS SKRIPTURAL SELALU RELEVAN?
Jika anda sudah bisa masuk, lewat tafsir eksegetis lintasilmu, ke dunia zaman lampau (saya namakan Horison 1), untuk memahami teks-teks skriptural anda, dan ketika anda sudah betul-betul mengenali dan memahami dunia zaman anda sekarang (Horison 2) lewat studi lintasilmu juga, lalu apa yang selanjutnya anda perlu lakukan?
Pertama-tama, ya jalankan seni dan ilmu hermeneutik, untuk "mempertemukan" atau "menjembatani" dengan cerdas dan kreatif Horison 1 dan Horison 2 yang terpisah oleh jurang sejarah dan jurang budaya yang lebar dan dalam.
Di saat langkah itu anda lakukan, anda sedang berperan sebagai dewa Hermes yang ditugaskan untuk menjembatani "kawasan atas" dewa-dewi dengan "kawasan bawah" dunia manusia, untuk membawa dan menerjemahkan pesan-pesan Dewa Zeus dan dewa-dewi lain supaya dapat dimengerti oleh manusia di Bumi.
Tentu anda sudah tahu, dari nama Hermes dibentuklah kata Yunani hermeneuein, yang artinya "menerjemahkan" atau "memindahkan" atau "menjembatani" atau "mengangkat".
Ilmu dan seni hermeneutik adalah ilmu dan seni menerjemahkan, menjembatani, memindahkan atau mengangkat Horison 1 ke Horison 2 dengan mempertemukan keduanya sehingga tercipta interseksi antara kedua horison ini.
Interseksi dua horison
Apa itu interseksi? Menjelaskan dengan gambar akan lebih mudah. Nah, perhatikan gambar di bawah ini.
Lingkaran di sebelah kiri adalah Horison 1; lingkaran di sebelah kanan adalah Horison 2. Ketika lingkaran H1 dan lingkaran H2 dipertemukan, maka akan ada wilayah petemuan atau wilayah tumpang tindih antara keduanya. Wilayah yang berwarna biru itulah interseksi H1 dan H2.
Hans-Georg Gadamer dalam karya besar-nya Truth and Method (edisi kedua, London: Sheed and Ward, 1989; aslinya buku ini ditulis dalam bahasa Jerman, 1960, berjudul Warheit und Methode) berbicara tentang "hermeneutik filosofis" yang merupakan perluasan ide Martin Heidegger dalam bukunya Being and Time (1927).
Gadamer, dalam magnum opus-nya itu, sangat kuat menekankan "komunikasi antar-subjek" dalam mencari dan menemukan kebenaran. Objek yang diteliti, dan si penelitinya, saling mempengaruhi.
Jadi, menurut Gadamer, tidak ada objektivitas murni dalam ilmu-ilmu humaniora.
Tegas Gadamer juga, dibutuhkan suatu Horizontverschmelzung (Jerman) atau "a fusion of horizons" atau "suatu fusi horison-horison" ketika orang-orang yang memiliki horison masing-masing bertemu lalu menggabung horison-horison masing-masing untuk mendapatkan kebenaran yang makin luas. Inilah juga "komunikasi antar-subjek".
Dalam bukunya itu, Gadamer mendefinisikan "horison" sebagai "suatu rentangan visi-visi yang mencakup segala sesuatu yang dapat dilihat dari suatu sudut pandang tertentu."
Jika ide Gadamer ini diterapkan pada ilmu tafsir, ketika H1 dan H2 dipertemukan, saya melihat hal yang dihasilkan bukanlah fusi atau peleburan atau penggabungan penuh dua lingkaran H1 dan H2, melainkan interseksi.
Ya, lantaran H1 tidak mungkin sepenuhnya menjadi H2, begitu juga sebaliknya. Kesenjangan-kesenjangan ("gaps") selalu ada antara H1 dan H2, tetapi lewat ilmu dan seni hermeneutik "gaps" atau jurang-jurang sejarah dan budaya dipersempit lewat interseksi.
Dan jangan disangkal, seperti dilihat Gadamer, bahwa untuk mendapatkan H1 dan H2 kita selalu memakai titik pijak, menggunakan sudut-sudut pandang atau perspektif tertentu yang kita pilih (atau dipilihkan oleh orang lain).
Juga perlu diingat bahwa kita tak pernah bisa menghasilkan H1 dan H2 sepenuh-penuhnya dan selengkap-lengkapnya lantaran banyak penyebab.
Antara lain, karena kita kekurangan sumber-sumber primer dan sekunder, data dan info otentik, saksi-saksi otentik, artefak-artefak dll, serta tidak mampu menjadi orang-orang dan subjek-subjek yang kita teliti apa adanya, selalu ada jarak dan pengaruh timbal-balik antara si peneliti dan objek yang diteliti, baik untuk mendapatkan H1 maupun untuk memperoleh H2.
Rekonstruksi
Alhasil, meskipun kita memakai pendekatan lintasilmu, H1 dan H2 yang kita dapatkan adalah H1 dan H2 yang kita rekonstruksi.
Ya memang tidak ada jalan lain. Kita hanya bisa merekonstruksi, dan ini sudah lebih dari cukup. Tidak ada yang salah dengan rekonstruksi. Para detektif juga melakukan rekonstruksi-rekonstruksi untuk bisa tiba pada penemuan siapa pelaku kejahatan yang sebenarnya.
Lazimnya, rekonstruksi yang satu akan menimbulkan rekonstruksi yang lainnya, demikian seterusnya. Hasilnya, semua rekonstruksi yang dipandang meyakinkan (lewat debat keilmuan), perlu kita sintesiskan, kita pertemukan, atau kita fusi-kan, dan fusi ini akan membawa kita ke pengetahuan-pengetahuan yang makin luas dan mendalam, tentang masa lalu dan masa kini. Don't worry about reconstructions of reality.
Nah, bertolak dari interseksi horison-horison tersebut, anda selanjutnya perlu menyusun sebuah khotbah yang berbobot, terpelajar sekaligus persuasif (dengan memanfaatkan ilmu dan seni retorika), untuk umat anda.
Lewat interpretasi ulang, mangkok makan logam tradisional berubah menjadi mangkok modern berbahan plastik
Tetapi, apa yang anda harus lakukan jika Horison 1 sama sekali tidak bisa dipertemukan dengan Horison 2, atau dengan kata lain interseksi tidak bisa ditemukan? Pendek kata, Horison 1 sudah tidak relevan atau tidak kena lagi dengan Horison 2?
Jangan khawatir. Keep praying! Keep finding out! Knock the door!
Tafsir ulang
Terhadap teks-teks skriptural yang sudah tidak relevan lagi, yang anda temukan lewat kajian yang terpelajar, anda dapat melakukan tafsir ulang atau reinterpretasi untuk membuat teks-teks tersebut tetap dapat digunakan dan tetap berbicara di dunia masa kini.
Berikut ini, saya ajukan tujuh cara tafsir ulang. Ikutilah dengan tekun, dan semoga anda memiliki kesempatan untuk menjalankan cara-cara tafsir ulang ini.
1) Mengganti "sudut pandang" tafsir
Tafsir ulang dapat dilakukan dengan mengganti "sudut pandang" atau "standpoint" penafsiran.
Anda tahu tentunya sosok Hawa, sosok perempuan yang mewakili semua perempuan umat manusia, dalam kisah teologis etiologis Taman Eden dalam Kejadian 3. Kita pakai sosok Hawa untuk ditafsir ulang lewat penggantian sudut pandang tafsir.
Hawa telah distigmatisasi dan ditindas luar biasa, meski dia sosok yang ada dalam sebuah kisah teologis etiologis dalam Tenakh, kitab suci Yahudi.
Perhatikan apa yang telah ditulis oleh seorang pemimpin gereja Tertullianus pada abad ke-2 tentang kaum perempuan zamannya dengan memakai kisah Kejadian 3 sebagai dasarnya, berikut ini:
“Kalian adalah pintu gerbang masuknya setan ke dalam dunia... kalian adalah Hawa yang membujuk Adam, yang setan tidak berani serang.... Tahukah kalian bahwa setiap orang dari antara kalian adalah seorang Hawa? Hukuman Allah terhadap gender kalian tetap berlaku dalam zaman ini; begitu juga, kesalahan yang dibuat Hawa bagaimanapun juga tetap ada” (Tertullianus, De Cultu Feminarum I, 12).
Jelas, tak perlu disangkal, bahwa Tertullianus memperlihatkan bias seksisme dalam bentuk yang ekstrim, yang dinamakan misogini (Inggris: misogyny, dari dua kata Yunani miseô, "membenci", dan gynē, "perempuan"). Yakni kebencian terhadap kaum perempuan yang sangat mungkin akan membuahkan kekerasan dan ketidakadilan yang parah terhadap kaum ini.
Karena misogini, kaum perempuan kerap menerima upah atau gaji yang lebih kecil dibandingkan yang diterima kaum lelaki untuk suatu pekerjaan yang sama.
Juga baca dengan seksama dan dengan mata terbelalak teks-teks patriarkhis misoginis Perjanjian Baru di 2 Korintus 11:3 dan 1 Timotius 2:11-14. Ditulis oleh orang-orang yang dipandang suci. Karena itu, ketika dipraktekkan, si praktisi misogini tidak merasa dirinya bersalah atau keliru.
Dokumen ekstrakanonik Pistis Sofia (ditulis tahun 250 M) memuat ucapan Maria Magdalena kepada Yesus tentang misogini rasul Petrus. Bunyinya bikin kaget. Ucapan ini mencerminkan adanya kompetisi religiopolitik antara rasul-rasul perempuan dan rasul-rasul pria yang tak mau disaingi pada masa gereja awal dulu.
“Guruku, aku memahami dalam pikiranku bahwa aku dapat maju ke muka kapan saja untuk menafsirkan apa yang Pistis Sofia telah katakan, tetapi aku takut kepada Petrus, karena dia telah mengancam aku dan membenci gender kami.” (Pistis Sofia 72)
Misogini membuat kaum pria membungkam kaum perempuan
Terkait sosok Hawa skriptural yang terstigmatisasi sebagai "sumber dosa asal", yang kemudian melahirkan patriarkhi dan misogini, tafsir ulang dapat dan harus dijalankan dengan mengganti "sudut pandang", dari tafsir "sudut pandang pria", diubah menjadi tafsir "sudut pandang perempuan".
Perubahan "standpoint" atau "perspective" dalam menafsir suatu teks, dapat menghasilkan cakrawala-cakrawala pemahaman baru yang menakjubkan.
Kalau suatu teks yang biasa ditafsir dari sudut pandang "penguasa" atau "budaya yang dominan", katakanlah "budaya pria", anda tafsir ulang dengan memakai sudut pandang rakyat jelata atau sudut pandang budaya marjinal, "budaya perempuan", atau sudut pandang "pihak korban", misalnya, maka anda akan menemukan pemahaman-pemahaman baru atas teks itu.
Dengan sudut pandang tafsir yang diubah, sosok naratif Hawa berubah menjadi sosok heroik yang tercerahkan, pembawa pengetahuan bagi umat manusia, mula-mula pengetahuan moral, lalu berkembang menjadi ilmu pengetahuan.
Alih-alih sebagai sumber dosa asal, Hawa adalah sumber inspirasi tentang keberanian dan pemenuhan kuriositas insani yang menjadi pendorong kemajuan pengetahuan manusia.
Stephen Hawking bisa jadi akan setuju jika Hawa dalam kisah teologis etiologis Taman Eden dipandang sebagai sosok yang berani mengikuti kuriositas atau rasa ingin tahunya. Kata mahafisikawan ini, "Sangatlah penting bagi orang muda untuk mempertahankan rasa takjub mereka dan senantiasa bertanya mengapa dan mengapa."
2) Dijadikan metafora
Reinterpretasi suatu teks skriptural yang sudah tak relevan juga dijalankan dengan mengubahnya jadi metafora, bukan teks tentang fakta-fakta.
Metafora itu bukan kiasan, bukan dongeng kosong, melainkan suatu wahana sastrawi atau suatu wahana artistik (yang indah, puitis dan retoris) yang "membawa anda ke seberang" (Yunani: ferein), memasuki "kawasan lain", kawasan adinilai, yang "melampaui" (Yunani: meta) kawasan dunia sehari-hari yang sudah rutin dan biasa anda jalani tanpa direnungi lebih dalam makna dan manfaatnya.
Pada gambar di atas ini, tangga adalah metafora, yang "menyeberangkan" anda ke kawasan transenden, kawasan yang luar biasa besar dan menakjubkan, yang "melampaui" kawasan Bumi tempat anda tinggal sehari-hari di mana rutinitas dan keusangan menguasai anda.
Lewat metafora, anda dibawa masuk ke hal-hal besar yang menakjubkan, yang transenden, yang akan mengubah dan mengarahkan watak, pikiran, aksi, perilaku, nilai-nilai dan horison kehidupan anda ke tingkat-tingkat yang makin tinggi dan agung.
Karena Allah dipercaya ada dalam dunia transenden, di sorga, maka Yesus dari Nazareth, misalnya, memakai banyak metafora, yakni perumpamaan-perumpaan-Nya, untuk membuat rakyat jelata Yahudi masuk dan berjumpa dengan Allah, yang Yesus panggil sebagai Bapa, Abba, di saat mereka mendengarkan dan mengalami kisah-kisah metaforis Yesus.
Lewat berbagai metafora yang disusun Yesus, Allah dibawa masuk ke Bumi, hadir dan berkarya di tengah rakyat. Kisah-kisah metaforis Yesus memang menawan hati, dan memiliki power untuk mengubah hati dan pikiran para pendengar, dulu dan kini. Metafora Yesus memang powerful.
Tak ada cara lain selain memakai metafora jika kita mau memasuki, membayangkan dan mengerti dunia atau hal-hal adikodrati, yang ada "di seberang" dunia dan hal-hal kodrati. Pada dasarnya, semua teologi adalah metafora, suatu wahana sastra yang "menyeberangkan" kita ke dunia adikodrati yang "melampaui" dunia kodrati.
"Perang-perang suci", holy wars, yang memakan banyak korban manusia, yang diklaim atas nama Tuhan, atau diklaim atas perintah Tuhan, dapat ditafsir baru bukan sebagai perang militeristik bengis di luar, di medan tempur, alias "war without", dengan membawa-bawa nama Allah. Tetapi sebagai sebuah metafora "war within", yakni pertempuran dalam hati nurani untuk memenangkan kebaikan dan keagungan, kejujuran dan kebajikan, dan pertempuran dalam pikiran, "within the mind", untuk memenangkan ilmu pengetahuan, rasa ingin tahu, kemajuan peradaban, dan keteduhan dan kedamaian pikiran.
Ketika dimetaforakan, sorga menjadi ada bersama kita di Bumi ini. Yaitu ketika kita hidup di suatu dunia yang di dalamnya segala nilai kebajikan dan keagungan terwujud: keadilan dan kesetaraan, kedamaian dan perdamaian, kebahagiaan, kemerdekaan dari tirani dan perbudakan, hak-hak individual dan kolektif, kesejahteraan, kebaikan, persaudaraan antar segenap insan, pemeliharaan dan pelestarian dunia alam fauna dan flora serta lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, dorongan kuriositas yang membangun, kemajuan, kesehatan raga dan mental, kehidupan beragama yang membahagiakan dan cerdas.
Neraka, saat dimetaforakan, adalah suatu kondisi kehidupan di Bumi di mana nilai-nilai kebajikan, kebaikan dan keagungan yang sudah disebut di atas sama sekali tidak ada, diganti dengan kebalikannya sampai ke akar-akarnya.
Sorga di Bumi, itulah yang kita ingin dirikan di Bumi. Kata Yesus, "Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di Bumi seperti si sorga!" Sesungguhnya, fokus utama Yesus adalah kehidupan di Bumi.
Yang real menakutkan, yang membuat semua orang yang berkemauan baik dan berjiwa mulia tertantang untuk melenyapkannya, adalah neraka-neraka di Bumi ini, sekarang ini. Sementara, ada banyak orang, juga yang beragama, yang ingin dan sedang membangun berbagai neraka di Bumi.
Ya, tentu, tak semua teks skriptural yang sudah tak relevan bisa ditafsir ulang sebagai metafora, sehingga memang dengan berat hati harus tak dipakai lagi. Kalau dipaksa untuk dipakai juga, ya akan timbul banyak masalah. Ini sudah jelas.
3) Mencari "semangat" atau "spirit" teks
Selain itu, dalam rangka reinterpretasi, supaya teks-teks skriptural yang sudah tak relevan masih bisa dipakai, kita mencari bukan huruf-hurufnya tetapi semangatnya, spirit-nya.
Atau, idiom-idiom mitologis teks-teks skriptural yang sudah tak relevan kita cari titisan jiwanya, kita jelmakan dalam idiom-idiom modern.
Perang melawan setan-setan, misalnya, kita ubah idiom-nya menjadi perang melawan bakteri-bakteri dan virus-virus serta berbagai parasit lain yang berinang dalam tubuh manusia dan melawan semua sumber asali penyakit. Tentu saja dengan memakai sains dan teknologi pengobatan sebagai senjata pamungkasnya.
Setan tak terlihat, alhasil digambarkan secara imajinatif dalam gambar-gambar yang mengerikan. Ya, sosok setan perlu ditafsir kembali.
Kita perlu memandang bahwa setan-setan menitis atau menjelma dalam diri manusia-manusia durjana dan keji, yang sosiopatis, yang psikopatis. Manusia-manusia yang memuja kematian dan kehancuran dan kebinasaan dunia dan peradaban. Manusia-manusia yang tanpa nurani, manusia-manusia yang kesetanan dalam segala dimensi, sehingga menjadi manusia setan.
Jadi, setan, bahkan yang terkeji, ada bukan di luar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri, yang bekerja dan bertindak lewat pikiran yang jahat dan durjana, hati yang hitam gelap, penuh kedengkian dan kebencian yang membara, ucapan yang tak terkontrol dan menyabet dan menebas sana-sini, dan tindakan yang barbar, biadab dan menghancurkan.
Semakin dalam kasih anda kepada Tuhan, dan semakin erat Tuhan merangkul anda sebagai kekasih-Nya, maka semakin ngebet si Setan untuk, lewat orang-orang yang durjana dan kesetanan, merebut anda dari rangkulan Tuhan. Ini bukan hanya pertempuran dalam batin anda, tapi juga pertempuran real dalam masyarakat manusia.
Semua kebengisan dan kebarbaran itu harus dipertanggungjawabkan oleh manusia-manusia real yang menjadi titisan setan-setan. Menuntut setan, ya sama dengan menuntut bayang-bayang gelap yang selalu mengikuti tubuh kita, atau menuntut dan mengadili kegelapan malam yang tanpa rembulan.
Apakah seseorang itu titisan Setan atau kepunyaan Setan, Albert Einstein memberi sebuah petunjuk ringkas. Katanya, "Wahai generasi-generasi mendatang yang kusayangi, jika engkau tidak menjadi lebih adil, lebih damai, dan pada umumnya lebih arif dan berwawasan,... maka boleh jadi si Setan sudah menguasaimu."
4) Allegorisasi
Reinterpretasi juga dapat dilakukan dengan memberi arti lain yang bukan arti harfiah dari sebuah kata atau sebuah frasa. Ini dinamakan penafsiran allegoris. Kata Yunani allēgorein (dari dua kata allos, "lain"; dan agoreuein, "berkata") berarti "memberi makna lain".
Tidaklah tepat jika allegorisasi diartikan sebagai "rohanisasi" atau "moralisasi" makna suatu kata atau suatu frasa, di luar makna harfiahnya, meski makna lain yang diberi bisa memuat pesan-pesan kerohanian atau pesan-pesan moral.
Hukuman penyaliban yang dialami Yesus (dan sangat banyak orang lain di masa Kekaisaran Romawi menjajah bangsa Yahudi, sejak 63 SM), adalah hukuman yang sangat biadab. Bagi orang Yahudi, orang yang disalibkan adalah orang yang dikutuk Allah (lihat Ulangan 21:23. Dikutip Paulus dalam Galatia 3:13). Jadi, bagi orang Yahudi, betul-betul suatu "batu sandungan" (Yunani: skandalon) jika Yesus orang Nazareth yang dihukum mati lewat penyaliban dipandang sebagai Tuhan dan sang Messias/Kristus yang diberitakan rasul Paulus.
Dalam kisah-kisah epik Yunani, yang dinamakan aretalogi, sosok-sosok insani yang gagah-perkasa, yang menghasilkan prestasi-prestasi besar "adiinsani" atau "superhuman", misalnya Aleksander Agung, dipuja dan dimuliakan, dan dijadikan "demigod" atau "manusia dewa" (Latin: semideus; Yunani: hēmitheos. Juga theios anēr atau theioi andres). Kultus-kultus pemujaan dibangun untuk mereka, juga kuil-kuil suci, baik ketika mereka masih hidup, maupun ketika mereka sudah "diangkat" atau "naik" ke kawasan adikodrati yang dilihat oleh para saksi mata. Lebih lanjut tentang aretalogi, bacalah SOSOK-SOSOK ADIINSANI DUNIA LAUT TENGAH KUNO.
Nah, wajarlah jika orang Yunani, menurut rasul Paulus, menilai adalah suatu "kebodohan" (Yunani: môria) jika orang Kristen percaya pada satu sosok yang mati disalibkan sebagai Tuhan dan sang Kristus.
Nah, penyaliban Yesus, sebagai suatu fakta yang keras dan mempermalukan, membuat orang-orang Kristen awal, rasul Paulus khususnya, sangat tidak merasa nyaman. Mereka tidak menyembunyikan fakta penyaliban Yesus. Karena memang sangat tidak mungkin. Rasa tidak nyaman yang berat ini, yang timbul karena disonansi kognitif, harus diatasi. Apa jalan keluarnya?
Ya, mereka melakukan reinterpretasi dengan mengallegorisasi peristiwa penyaliban. Alhasil, salib ditafsirkan allegoris sebagai "jalan pendamaian" antara Allah dan manusia yang berdosa, dengan meminjam ritual tradisional penyucian dosa Yahudi.
Lewat allegorisasi ini, kekerasan penyaliban dianulir, berganti menjadi karya kasih karunia penyelamatan yang dilakukan Allah lewat Yesus sebagai sang korban, menggantikan umat manusia. Korban cukup satu, satu-satunya, yakni Yesus Kristus, sekali untuk selamanya. Jangan ada korban lain.
Imajinasi penting dalam membangun konstruk sebuah pemikiran teologis. Saya mau memperlihatkan hal ini sekarang, dengan melakukan allegorisasi imajinatif juga.
Pada hukuman "penyaliban", orang yang dieksekusi dapat dipantek pada batang pohon atau potongan kayu besar vertikal saja, tanpa batang horisontalnya. Nah, umumnya Yesus dibayangkan dieksekusi pada balok kayu yang berbentuk salib, ada bagian vertikalnya dan ada bagian horisontalnya. Imajinasi saya pun bekerja. Sebuah kisah saya susun dengan bersemangat.
Yesus disalibkan sebagai perisai
Peristiwa penyaliban Yesus adalah peristiwa Yesus menjadikan diri-Nya sebuah perisai, sebuah tameng, dengan berdiri tegak di depan dan dengan kedua tangan-Nya terentang ke kiri dan ke kanan. Di belakang tubuh salib Yesus, berdiri umat manusia dan gereja, anda dan saya termasuk, berlindung merunduk.
Para durjana dan manusia-manusia yang kesetanan yang mau menghajar, melukai, menganiaya dan membunuh kita, tidak bisa mencapai kita, karena dihalangi atau dibarikade tubuh Yesus sebagai sang perisai.
Sebagai sang perisai pelindung, Yesus ikhlas menanggung segala risiko yang akan didatangkan oleh manusia-manusia keji kesetanan itu yang pasti akan naik pitam karena dihalang-halangi oleh tubuh salib Yesus.
Akhirnya para manusia setan itu berkelahi dan bergulat dengan Yesus yang dengan tangguh, kokoh dan gesit terus melawan mereka, menjaga kita semua yang berlindung di belakang tubuh salib-Nya.
Semua manusia yang kesetanan itu roboh tak berdaya, satu demi satu. Mereka telah dilumpuhkan habis oleh Yesus sang perisai kita.
Tapi,... tubuh dan kepala Yesus juga penuh luka dan darah, terkena gebukan dan tikaman manusia-manusia keji yang kesetanan itu. Akhirnya Yesus pun roboh, terkapar sekarat di tanah.
Sebelum mati, Yesus sempat berkata, "Sudah selesai!" Ya, sudah selesai karena semua manusia durjana berhati iblis sudah dibuat tak berkutik sama sekali, roboh dan terkapar semua, sekarat dan tewas. Kita yang tadi ditamengi tubuh salib Yesus selamat semua, lolos dari maut. Tubuh salib Yesus membuat kita tetap hidup. Itulah keselamatan.
Memandang tubuh Yesus yang tersalib, ya memandang Dia yang terus-menerus bertempur, berkelahi dan bergulat melawan para insan durjana yang kesetanan, demi melindungi dan menjaga keselamatan manusia yang merunduk berlindung di belakang tubuh salib-Nya. Di segala zaman dan di segala tempat. Yang menjadi korban kedurjanaan cukup satu orang saja, Yesus.
Selanjutnya, Lex talionis potong tangan dalam agama Islam, misalnya, dapat diallegorisasi dengan memberinya makna lain, yakni hukuman terberat pada zaman kini terhadap para kriminal berat, setelah melewati proses hukum.
Meskipun demikian, saya masih bertanya-tanya, hukuman potong tangan yang semustinya dikenakan pada seorang pencuri kelas teri (misalnya seorang pencuri kambing), harus diganti dengan hukuman penjara terberat berapa tahun? Jadi, ya tidak bisa diallegorisasi.
Dalam Galatia 4:21-31 Paulus memakai kata Yunani allegorein ketika dia menafsirkan anak Abraham dari Hagar sebagai anak "menurut daging", dan anak dari Sarah sebagai anak "menurut janji", dan Hagar sebagai "Gunung Sinai" di tanah Arab atau "Yerusalem yang ada sekarang" (Yunani: nun Iērousalēm), sedangkan Sarah sebagai "Yerusalem dari atas" (Yunani: anô Iērousalēm. TB LAI "Yerusalem sorgawi").
Dalam Injil Yohanes yang ditulis tahun 90-an abad pertama M, ketika Bait Allah di kota Yerusalem sudah dihancurkan menjadi puing dan reruntuhan (pada tahun 70 M oleh pasukan Romawi yang dipimpin Jenderal Titus dalam Perang Yahudi Pertama tahun 66-73M), bangunan Bait Allah yang sudah tidak ada dipindahkan atau ditransposisikan, dipindahtempatkan, dan diallegorisasikan, sebagai tubuh Yesus yang telah "dirobohkan" lewat penyaliban (Yohanes 2:19-21).
5) Transposisi
Transposisi adalah pemindahan tempat, dari satu wilayah ke wilayah lain, dari satu dimensi ke dimensi lain, dari satu posisi ke posisi lain, atau dari satu jabatan ke jabatan lain. Sinonim dengan reposisi atau mutasi, yang menunjuk pada gerakan berpindah tempat atau posisi, atau berganti wujud.
Transposisi dipakai dalam tafsir ulang supaya teks zaman kuno tetap beroleh tempat di zaman sekarang.
Dalam usaha berteologi-Nya, Yesus mentransposisi kehadiran dan karya Allah di sorga, atau yang disentralisasi di Bait Allah yang dikelola menurut sistem Bait atau sistem imamat atau sistem puritas ("purity system"). Alhasil, sorga berada di Bumi, dan kehadiran serta karya Allah dialami di tengah rakyat jelata yang harus menanggung beban berat dan penuh keletihan dan kelesuan dalam kehidupan mereka.
Oleh Yesus, Allah didesentralisasi ke tengah umat, dipindahtempatkan dari Ruang Maha Kudus dalam Bait Allah, masuk ke kehidupan orang banyak. "Tirai/tabir Bait Suci terbelah dua dari atas hingga ke bawah" di saat Yesus mati di kayu salib (Markus 15:38)--- simbol Allah atau Shekinah ("kehadiran Allah dalam kemuliaan-Nya", "the glorious presence of God") telah meninggalkan Ruang Maha Kudus dalam Bait Allah, memasuki kehidupan rakyat Yahudi, berada di antara manusia, tanpa mediator institusi keagamaan lagi yang semula mengurung-Nya.
Dalam teologi Yesus, Allah tidak lagi berada dalam Bait Allah, tapi berada di antara murid-murid-Nya dan rakyat Yahudi. Bait Allah tidak relevan.
Karena itu, kehadiran Allah ditransposisikan oleh Yesus. Dalam usaha menunjukkan transposisi ini Yesus melakukan suatu aksi keributan di portiko Salomo Bait Allah, yang disertai dengan ucapan-Nya yang keras bahwa Dia mau "merobohkan" Bait Allah hingga menjadi puing-puing. Dalam kisah Injil Yohanes, Bait Suci Yesus transposisikan ke "tubuh-Nya" sendiri yang akan "dirobohkan" atau "dihanguskan" lewat penyaliban sebagai jalan untuk Dia "ditinggikan", kembali ke kawasan adikodrati, kawasan asal-usul-Nya.
Perjalanan ziarah ke tanah suci Israel dan kota suci Yerusalem, atau ke tempat-tempat sakral lain, yang umum dilakukan oleh warga Gereja Roma Katolik pada era Reformasi Protestan di Eropa abad ke-16, dipandang para reformator gereja Prostestan tidak relevan.
Dus, mereka, khususnya Martin Luther, mentransposisikan lokasi-lokasi tempat suci, ke gereja-gereja lokal yang ada yang juga, dalam pandangan Luther, dihadiri oleh Allah yang sama. Mereka menyatakan bahwa di manapun kita berdiri dan memuliakan Tuhan lewat kehidupan kita, di situlah tanah suci, di situlah kota suci, di situlah Allah hadir dan berkarya, di situlah Shekinah ditemukan. Transposisi yang hebat, bukan?
Dalam salah satu bagian bukunya yang terbit 1520, To the Christian Nobility of the German Nation, Martin Luther, dalam semangat yang kuat dan sengit melawan Katolisisme, menulis demikian:
"Semua ziarah ke tempat-tempat suci harus diakhiri. Tak ada kebaikan dalam ziarah-ziarah itu. Tidak ada perintah yang harus ditaati untuk melaksanakannya. Sebaliknya, ziarah-ziarah itu telah menjadi kesempatan-kesempatan yang tak terbilang banyaknya untuk orang berbuat dosa dan mencerca perintah-perintah Allah."
Dalam perumpamaan Yesus tentang "Orang Samaria Yang Baik Hati" (Lukas 10:25-37), jalan menurun yang menyeramkan dari Yerusalem ke Yerikho---seolah di sepanjang jalan itu Tuhan tidak hadir karena di situ banyak perampok yang bersembunyi--- oleh Yesus diubah, dengan mentransposisikan Allah dari Bait Allah di Yerusalem justru ke jalan yang menakutkan itu.
Di jalan itu, tutur Yesus, Tuhan hadir dan bekerja, bukan melalui seorang imam suci Bait Allah atau seorang Lewi yang juga terkait dengan Bait Allah di kota Yerusalem yang kebetulan melewati jalan yang menakutkan itu.
Melainkan, tanpa diduga oleh para pendengar kisah ini yang waktu itu berkerumun di sekitar Yesus, melalui seorang Samaria yang "tergerak hatinya oleh belas-kasihan" sehingga dia menolong sampai tuntas seorang yang menjadi korban perampokan dan penganiayaan berat di jalan itu. Oh ya, orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria yang dinilai najis dan tidak berdarah murni Yahudi.
Tidak ada tempat yang terlalu menakutkan sehingga Tuhan menjadi takut untuk hadir dan bekerja. Bait Allah bukan pusat kehadiran Allah. Karena Allah mahahadir, maka Bait Suci menjadi tidak relevan bagi Yesus. Allah ada di rumah, di dalam Bait, tetapi Allah juga dan terutama ada di jalan-jalan, berkelana, menjelajah, dalam lautan kosmik mahaluas.
Ketika anda sendirian, dalam kesunyian dan keheningan, dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak berjawab, dalam kepungan para penjahat dan orang durjana, Tuhan mentransposisikan diri, turun dan pindah, dari "atas" ke "bawah", untuk ada bersama anda, meski anda merasa sunyi dan sendiri.
Dalam kesunyian dan kesendirian, in aloneness and in silence, Tuhan hadir, hadir tanpa suara, tanpa jejak, tanpa tanda. Always present, even in His absence.
6) Analogi
Untuk memberi suatu penjelasan tentang sesuatu hal dengan lebih jelas dan lebih kena atau relevan, orang juga lazim memakai sebuah analogi (Yunani: analogia).
Analogi dibangun untuk menjelaskan dan menafsirkan sesuatu dengan memakai "sesuatu yang lain atau yang berbeda", yang bersesuaian atau berkoresponden, supaya sesuatu yang sedang dijelaskan atau ditafsirkan itu dapat dengan jelas, kena dan relevan ditangkap dan dimengerti oleh orang yang menerima penjelasan.
Penulis surat Ibrani dalam Perjanjian Baru gereja memakai analogi dalam Ibrani 12:3-11 (kata kerja Yunani yang muncul analogisasthe, ayat 3). Kata Yunani ini diterjemahkan oleh LAI dengan "Ingatlah"; teks NRSV memakai "Consider". Tapi sebetulnya, si penulis surat Ibrani dalam bagian itu memang sedang menganalogikan penderitaan Yesus Kristus dulu pada waktu Dia disalibkan dengan penderitaan jemaat Kristen penerima surat ini di zaman dan tempat mereka.
Jadi, dengan memakai analogi, azab kita ya bersesuaian dengan azab yang pernah dialami Yesus; sekaligus azab Yesus dulu juga berkoresponden dengan azab kita di masa kini di tempat kita. Tentu dua kejadian ini berbeda, tapi juga bersesuaian atau paralel.
7) Mencari paralel
Paralel kita mudah bayangkan jika kita memakai ilustrasi rel kereta api. Masing-masing rel membentuk garis sejajar atau garis paralel (lurus atau berbelok), terus demikian, di mana pun rel ini terletak, jadi tak pernah mengerucut, tak pernah bertemu pada satu titik.
Rel sebelah kiri dan rel sebelah kanan terus paralel, tak pernah bertemu pada satu titik dalam dunia real.
Paralelisme diterapkan pada tafsir ulang suatu teks kuno yang ketika sudah di-eksegese dengan cermat ditemukan sudah tidak bisa diterapkan pada zaman lain di tempat lain. Kita sebut, Horison teks kuno tidak bisa bertemu dengan Horison dunia kini dan budaya kita.
Nah, jika keadaannya demikian, tafsirkan ulang teks kuno tersebut supaya bisa relevan bagi zaman sekarang. Caranya?
Ya, mencari elemen-elemen tekstual yang masih mungkin ada dalam suatu teks kuno, yang masih dapat paralel dengan sikon-sikon dalam zaman modern di dunia kita. Paralel ya, tapi tak bisa dikerucutkan dalam satu titik temu. Tidak segala sesuatu bisa ada titik temunya. Ya, carilah dan manfaatkan paralelnya.
Dalam surat 1 Korintus pasal 9, rasul Paulus menyebut peristiwa Eksodus atau pembebasan "nenek moyang" bangsa Israel dari perbudakan di Mesir dengan "melintasi laut", selanjutnya mereka berjalan kaki panjang dan lama menuju Tanah Perjanjian. Oleh Paulus, kejadian "melintasi laut" ini dipandangnya paralel dengan ritual "pembaptisan". Tulisnya pada ayat 2, "Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut".
Ingat saja, dalam kisah epik Eksodus dalam kitab Keluaran 14:21-22, laut sudah "terbelah" oleh hembusan angin badai dari timur yang pasti berkuatan luar biasa besar, dan bangsa Israel, heran juga, dapat dengan tenang "berjalan di tanah kering", tidak terlontar dahsyat ke segala arah. Jelas, ini betul-betul kisah epik yang dituturkan untuk meninggikan nabi Musa.
Ya, terlalu jauh waktunya di masa lampau sehingga sulit jika jemaat Kristen awal membayangkan peristiwa Eksodus, karena mereka tentu saja tidak ambil bagian dalam perayaan Paskah Yahudi selama 7 hari untuk mengenang dan menapaktilaskan Eksodus dari Mesir.
Anyway, jitu dan kena juga jika rasul Paulus mengallegorisasi Eksodus kuno zaman Musa sebagai "pembaptisan", dan sekaligus memparalelkannya dengan "baptisan Kristen" yang harus membuahkan kehidupan Kristen yang bermoral, kontras dengan kehidupan bangsa Israel yang penuh dosa sewaktu menempuh perjalanan panjang dan lama menuju tanah Kanaan setelah meninggalkan negeri Mesir.
Ya, sudah jelas, kedua "peristiwa" itu dapat diparalelkan, tapi tidak bisa dipertemukan. Kisah epik "penyeberangan Laut Teberau" (atau "Laut Alang-alang") yang terdapat dalam Keluaran 14:21-22, tentu saja berbeda jauh dari ritual baptisan Kristen, baik baptisan selam maupun baptisan percik.
Tidak ada hembusan angin sangat keras ketika setiap orang Kristen dibaptis dalam ruang bangunan gereja, atau di sebuah kolam renang di komplek gedung gereja. Mereka tidak melintasi tanah kering dengan di kiri dan di kanannya menjulang tinggi tembok-tembok batas air laut. Kalau baptisan Kristen dijalankan persis seperti peristiwa Keluaran atau Eksodus dari Mesir, tidak ada satu pun orang yang mau dibaptis.
Ya, untuk membuat penjelasan yang kena dan relevan tentang Eksodus dari Mesir bagi orang Kristen, Paulus mengallegorikannya dan juga memparalelkannya dengan ritual baptisan gereja. Itu saja. Tak lebih.
Penutup
Semoga, karena doa-doa anda, saya akan menemukan cara-cara tafsir ulang lainnya, untuk menambah tujuh cara yang sudah dibeberkan di atas.
Selamat menafsir ulang dengan gembira, rileks, dan cerdas. Tanpa kegembiraan dan sikap rileks, dan akal kritis yang cerdas, beragama akan menjadi suatu kuk berat yang harus dipikul manusia.
Jakarta, 16 Maret 2021
ioanes rakhmat