Monday, March 8, 2021

Aksi Yesus di Bait Allah menurut Injil Yohanes (2:13-22)


Serambi Salomo atau Stoa/Portiko Salomo atau Portiko Rajani, lokasi Yesus melakukan aksi-Nya yang menggegerkan di Bait Allah....


Kemarin pagi, mulai pukul 09:20 WIB, Minggu, 7 Maret 2021, saya ikut ibadah online GKI Kepa Duri. Pengkhotbahnya Pdt. Engeline Chandra, dengan teks khotbah diambil dari Yohanes 2:13-22. Teks ini mengisahkan aksi Yesus di Bait Allah kota Yerusalem. Khotbah Ibu Engeline saya dengarkan dengan cermat.

Penatua yang bertugas dua orang: Pnt. Cindar Prawijaya dan Pnt. Indahwati Wibowo.

Dalam khotbahnya, Pdt. Engeline Chandra menyatakan bahwa Yesus beraksi dalam kemarahan di Bait Allah--yakni dengan menggunakan anyaman cambuk tali mengusir semua pedagang hewan kurban bersama semua hewan yang mau mereka jual dan memporakporandakan meja-meja penukaran uang bersama semua uang yang ada-- karena Yesus menilai harga jual hewan-hewan kemahalan sehingga para penjual untung besar. Ini "pasar yang sangat jelek", kata Pdt. Engeline. 

Tidak disebut oleh Ibu Engeline, apakah nilai kurs mata uang kerendahan sehingga para pemilik "money changer" di Bait Allah itu untung besar juga.

Pada kesempatan ini, mari ikuti telaah pendalaman teks khotbah tersebut dengan cermat.

Baiklah, perlu disebut dulu suatu lokasi di dalam Bait Allah yang dinamakan "serambi Salomo" (TB LAI). Orang Ibrani menamakan serambi ini Ha-stav ha-Mal'ḥuti, הסטיו המלכות; orang Yunani menyebutnya hē stoa tou Solomônos. Lihat Yohanes 10:23; juga KPR 3:11; 5:12. Teks NRSV menyebut lokasi ini "portico of Solomon". Juga dapat diterjemahkan "stoa Salomo".

Nah, aksi Yesus yang bikin geger itu berlangsung di serambi Salomo. Dalam aksi itu, Yesus, dalam Injil Yohanes yang ditulis tahun 95, berkata "Rombak Bait Allah ini,..." (Yohanes 2:19). 

TB LAI menerjemahkan kata Yunani lusate pada Yohanes 2:19 dengan "Rombak"; tapi sebetulnya lebih tepat diterjemahkan "Robohkan" atau "Hancurkan" (NRSV dengan tepat memakai kata "destroy"). Karena kata kerja lusate pada ayat itu bermodus imperatif permisif, terjemahannya yang pas adalah "Silakan kalian robohkan Bait Allah ini,..." 


Komplek luas Bait Allah (sebelum tahun 70) yang membentang di kawasan yang dinamakan Gunung Bait atau "Temple Mount"

Selanjutnya kita perlu menjalankan tafsiran ("eksegese") intertekstual, dengan menyertakan teks-teks lain di luar Injil Yohanes.

Kalau pasal 15:29 (dan par.) dalam Injil Markus yang ditulis pada tahun 70 ketika Bait Allah baru saja dihancurkan oleh pasukan Romawi, kita perhatikan, maka kita dapat simpulkan bahwa maksud Yesus sebetulnya adalah Yesus sendirilah yang mau merobohkan atau menghancurkan Bait Allah di Yerusalem. 

Dalam teks Markus 15:29 dan par yang dipakai kata sinonim kataluein dengan subjeknya Yesus. Teks ini memuat perkataan orang-orang yang lewat di lokasi penyaliban Yesus sambil mengejek-Nya. Kata mereka, "Hai Engkau yang mau merobohkan (Yunani: kataluôn) Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, turunlah dari salib itu dan selamatkan diri-Mu!"

Bagi komunitas-komunitas Kristen awal yang sudah berdiri sebelum tahun 70, dan sempat menyaksikan (atau mendengar berita) kejatuhan kota Yerusalem dan penghancuran Bait Allah di tahun 70 oleh pasukan Romawi yang dipimpin Jenderal Titus, ucapan Yesus itu harfiah dipenuhi oleh Kekaisaran Romawi. Bukan oleh Yesus.

Peredaksian subjek dan modus kata kerja luein pada teks Yohanes 2:19 memungkinkan si pengisah Injil ini mengaitkan aksi Yesus di Bait Allah itu dengan "tubuh" Yesus (to sômatos autou) yang nanti akan "dirobohkan" lewat penyaliban, yang akan disusul dengan kebangkitan-Nya pada hari yang ketiga (Yohanes 2:19, 21). Peredaksian dan pengaitan ini harus dilakukan lantaran Bait Allah sudah dirobohkan dan dihancurkan oleh pasukan Romawi pada tahun 70, sementara komunitas Kristen Yohanes menulis Injil Yohanes di tahun 95.

Dengan mengacu ke tubuh-Nya sendiri yang akan "dirobohkan", Yesus, dalam kisah Injil Yohanes pasal 2, dipentaskan sudah mengetahui apa konsekuensi tindakan-Nya yang menimbulkan keributan yang disertai ucapan-Nya yang keras di serambi Salomo (atau Portiko Rajani) Bait Allah: hukuman mati. Risiko ini juga yang membuat Yesus dan murid-murid-Nya di senja hari "keluar lagi dari kota Yerusalem", kembali ke Betania, untuk mengamankan diri (dalam kisah Markus 11:19, 12).

Ya, barangsiapa menyerang Bait Allah, apalagi di musim Paskah Yahudi (perayaan mengenang kembali pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir) yang rawan pemberontakan dan keributan (lihat Markus 14:2 dan par.), orang itu menyerang langsung Kekaisaran Romawi yang menjadi penguasa de jure Bait Allah. Si penyerang akan ditangkap lalu dieksekusi. Gerakannya langsung dipadamkan sebelum berkobar membesar.

Berbeda dari Injil-injil Sinoptik (Markus, Matius, Lukas) yang menempatkan kisah aksi Yesus di Bait Allah di bagian-bagian belakang masing-masing Injil (Matius 21:12-17; Markus 11:15-19; Lukas 19:45-48), penulis Injil Yohanes memuat kisah tersebut pada bagian awal Injil, Yohanes 2:13-21, bersisian dengan kisah Yesus mengubah air dalam enam tempayan ritual pembasuhan (yang sudah diisi penuh atas permintaan Yesus sendiri) menjadi anggur dalam suatu perjamuan kawin di Kana (Yohanes 2:1-11). Peristiwa di Kana ini disebut sebagai "tanda (Yunani: semeion) yang pertama" dari semua "tanda-tanda" (Yunani: semeia) yang diperlihatkan atau dibuat Yesus. 

Dengan demikian, penyusun Injil Yohanes menempatkan aksi Yesus di Bait Allah dalam suatu latar atau konteks teologis yang mendorong "orang-orang Yahudi" (Yunani: hoi Ioudaioi, suatu terma khas dalam Injil Yohanes yang mengacu ke lawan-lawan abadi Yesus yang terus muncul dalam keseluruhan Injil ini) untuk menantang Yesus memberi "tanda" bahwa Yesus berhak melakukan aksi keributan di Bait Allah itu (ayat 18). 

Terhadap tantangan itu, Yesus menyebut sebuah "tanda" lain, yakni diri-Nya ("tubuh-Nya") yang akan "dirobohkan", atau disalibkan, lalu "bangkit pada hari ketiga" (ayat-ayat 19, 21-22). 

Selanjutnya, dengan programatis penulis Injil Yohanes menuntun para pembaca injil ini dari satu kejadian ke kejadian lain dalam jalan kehidupan Yesus, sampai tiba di puncaknya atau di penggenapannya atau di garis finish ketika Yesus di kayu salib, saat Dia "dirobohkan", berkata "Sudah selesai" (Yunani: tetelestai; Yohanes 19:30. Terjemahan NRSV: "It is finished."). 

Dalam Injil Yohanes, di kayu salib Yesus tampil gagah, yakin dan tenang hingga ajal-Nya, beda sekali dari Yesus di saat Dia meregang nyawa dan merasa ditinggalkan Allah dalam tuturan penulis Injil Markus (15:34). Kristologi yang berbeda melahirkan kisah-kisah tentang Yesus yang berbeda.

Jangan dilupakan, bagi penyusun Injil Yohanes, lewat salib, ketika Yesus "dirobohkan" oleh "orang-orang Yahudi", malah oleh Allah Dia "ditinggikan" (Yohanes 12:32-33; Yunani: hupsoein) atau "diangkat" kembali dalam "kemuliaan" ke kawasan dari mana Dia telah datang, kawasan sang Bapa (antara lain, Yohanes 16:28). Sebuah paradoks, ya jelas. Tapi, inilah "tanda" yang paling agung dan mulia, yang membuat penuh lingkaran kehidupan Yesus: Dia datang dari "atas", Dia juga kembali ke "atas", lewat penyaliban.

Jadi, jelaslah, bahwa tindakan historis Yesus di Bait Allah itu bukan suatu tindakan simbolik (sebagaimana belakangan ditafsirkan dalam kitab-kitab Injil PB sebagai "penyucian Bait Allah", atau mengacu ke "tubuh-Nya sendiri"), tetapi, dalam realita sejarahnya, adalah tindakan perlawanan dan penolakan kuat Yesus terhadap sistem imamat yang dijalankan dalam ritual-ritual di Bait Allah. 

Ada 4 teks mandiri yang memuat ucapan Yesus bahwa Dia mau merobohkan Bait Allah (Markus 11:15-18; juga 15:29-30 dan 13:1-4 dan paralelnya dalam Matius dan Lukas; lalu Yohanes 2:13-22; KPR 6:12-14; dan Injil Thomas 71). 

Dari empat teks independen ini, versi yang "paling orisinal" ada pada Injil Thomas 71. Saya berikan terjemahannya (terjemahan makna):

"Aku akan menghancurkan rumah ini sampai menjadi puing-puing sehingga tidak ada seorang pun yang akan dapat membangunnya kembali." 

Dengan memakai kriterion "multiple independent attestations", adanya empat sumber mandiri tersebut memastikan bahwa ucapan Yesus bahwa Dia mau merobohkan Bait Allah adalah ucapan langsung dari Yesus sendiri. Ucapan ini belakangan, karena konteks kehidupan yang berbeda, ditafsir lebih luas dalam Injil-injil PB, menjadi ucapan dan tindakan simbolik atau dihubungkan dengan kisah kesengsaraan Yesus dan kebangkitan-Nya.

Nah, sekarang bagaimana halnya dengan kegiatan komersial di Bait Allah? 

Kegiatan penukaran uang (dari uang besar ke uang receh, atau dari mata uang Romawi ke mata uang yang digunakan di Bait Allah) dan penjualan hewan-hewan kurban dibutuhkan untuk ritual-ritual ini dapat berjalan, dan sudah berjalan sangat lama sampai Bait Allah dihancurkan tahun 70. 

Jadi, pada dirinya sendiri, tidak ada yang salah dengan semua aktivitas komersial ini, aktivitas berjualan, plus aktivitas fiskal. Tidak ada yang merampok, dan juga tidak ada yang dirampok. Yesus sama sekali bukan seorang penafsir harga pasaran atas semua barang yang diperjualbelikan atau penilai kurs mata uang. 

Jika begitu, mengapa Yesus sampai melakukan aksi keributan terhadap semua aktivitas komersial di serambi Salomo Bait Allah itu?

Yesus melihat Allah "dari bawah" ("from below"), dari rakyat jelata, "doing theology from below". Sedangkan para penguasa Bait Allah yang elitis melihat Allah "dari atas" ("from above"), yakni dari posisi tinggi mereka yang mengelola Bait Allah menurut aturan-aturan sistem imamat yang harus ditaati mutlak oleh rakyat Yahudi, yakni "theology from above".

Sistem imamat ini membuat jalan masuk ke Allah dikuasai dan dimonopoli segelintir orang, yang berbenturan dengan keyakinan dan ajaran-ajaran Yesus bahwa Allah dialami kehadiran-Nya dan karya kerahiman-Nya sebagai Raja langsung oleh rakyat Yahudi, tanpa perlu diperantarai sistem imamat. Kata Yesus berulangkali kepada murid-murid-Nya dan orang banyak, "Kerajaan Allah telah datang (Yunani: phthanein) kepada kalian" (Lukas 11:20 dan par.), atau "Kerajaan Allah ada di antara/di tengah kalian" (Yunani: hē basileia tou theou entos humôn estin; Lukas 17:21), tanpa perlu mediator sistem imamat.

Benturan atau konflik teologi "dari bawah" yang dihayati Yesus dengan teologi "dari atas" kalangan penguasa Bait Allah akhirnya mendorong Yesus untuk melakukan aksi di serambi Salomo yang diperkeras lagi oleh ucapan-ucapan-Nya ketika Dia berkunjung ke Yerusalem. Di saat itu, tentu emosi Yesus naik. 

Dengan latar teologi Yesus itu, yang dibangun-Nya dari perspektif "kalangan bawah", pantas juga jika para manajer religiopolitik, ekonomi dan fiskal yang menjalankan sistem imamat disebut dalam Injil-injil Sinoptik sebagai para "penyamun" (Yunani: lēstēs; yang juga berarti "bandit" atau "penjahat") yang bersarang di Bait Allah (Markus 11:17; Matius 21:13; Lukas 19:46). Kalangan elitis Bait Allah mengambil dari rakyat, sedangkan Allah, sang Bapa, memberi kemurahan kepada rakyat Yahudi. Tentu kita ingat ucapan Yesus (Matius 5:7; bdk. Lukas 6:36), "Berbahagialah mereka yang murah hati, karena mereka akan beroleh kemurahan (dari Allah)."

Dalam tuturan Injil Yohanes 2:13-22, kita tidak temukan kata "penyamun", beda dari tuturan Injil-injil Sinoptik. Yang muncul dalam Injil Yohanes adalah perintah Yesus kepada semua pedagang burung merpati, "Ambil semua ini dari sini; jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku tempat berjualan (Yunani: emporion)."

Mengapa Yesus dalam kisah Injil Yohanes ini tidak mengizinkan orang berdagang di serambi Salomo? Bukankah Yesus tahu, bahwa semua aktivitas komersial ini diperlukan untuk ritual-ritual kurban dan persembahan dalam Bait Allah, serta kegiatan fiskal, dapat berjalan menurut sistem imamat?

Ya, kembali ke hal yang sudah ditulis di atas. Jika Yesus dapat mencegah dan menghentikan selamanya aktivitas komersial, finansial dan fiskal yang sebetulnya dibutuhkan dalam sistem imamat atau sistem Bait, maka, dalam keyakinan Yesus, sistem ini akan lumpuh, akan mati. Alhasil, rakyat dapat berjumpa Allah langsung, tanpa lewat broker sistem imamat. Allah didesentralisasi ke tengah-tengah rakyat, langsung, tidak perlu lagi tersentralisasi di Bait Allah.

Dan... Yesus tahu konsekuensi dari aksi keributan-Nya itu di serambi Salomo Bait Allah. Yesus akan dihukum mati lewat penyaliban, seperti sudah dikemukakan di atas.

Ya, murid-murid Yesus, termasuk komunitas penulis Injil Yohanes, tentu bergumul, apa yang mendorong Yesus sampai Dia menciptakan aksi keributan, disertai ucapan-Nya yang keras, di Bait Allah, meski Yesus sudah tahu apa yang akan jadi akibatnya. Mereka tidak melihat bentrokan antara "teologi dari bawah" yang dihayati Yesus dengan "teologi dari atas" yang termanifestasi dalam sistem imamat, sebagai penyebab aksi Yesus itu.

Mereka mencari teks dari Alkitab Ibrani, lalu melakukan kegiatan penafsiran (metode "pesher") untuk bisa menjelaskan mengapa Yesus bertindak dan berkata keras dalam Bait Allah. 

Nah, penulis Injil Yohanes menemukan teks Mazmur 69:10, dan dilihatnya teks ini dapat menjelaskan, atau dipenuhi oleh, tindakan dan perkataan keras Yesus itu. Perilaku keras Yesus itu muncul karena (mengutip TB LAI) "cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku."

Tapi kata "cinta" (Yunani: agapē) tidak muncul dalam kutipan Yohanes atas teks Mazmur tersebut. Yang dipakai dalam Yohanes 2:17 adalah kata Yunani zēlos (lengkapnya: ho zēlos tou oikou sou). Teks NRSV menerjemahkan ho zēlos dengan "zeal", dapat juga "passion". Teks NRSV Mazmur 69:10 (atau ayat 9) juga memakai kata "zeal".

Kata zēlos (dari kata ini muncul kata zēlôtēs) atau "zeal" sebaiknya diterjemahkan "emosi yang membara" atau "antusiasme yang berkobar" atau "gairah yang bergelora" atau "semangat yang menggebu", atau satu kata saja: fanatisme. Jika mau diterjemahkan "cinta", ya artinya "cinta buta", atau "cinta yang menyala-nyala".

Nah, "zeal" atau fanatisme Yesus terhadap "rumah Allah" atau Bait Allah, menurut penulis Injil Yohanes, adalah pendorong sangat kuat untuk Yesus melakukan aksi penolakan terhadap aktivitas komersial di serambi Salomo. Akibatnya sudah diketahui Yesus, bahwa Dia akan "dirobohkan", "dihanguskan".

Tapi ada sebuah paradoks terlihat: Bagaimana mungkin Bait Allah bisa ada dan berfungsi jika sistem imamat dengan ritual-ritualnya serta aktivitas perdagangan dan fiskal di dalamnya tidak dikehendaki Yesus? Bukankah kalau Yesus "cinta buta" terhadap Bait Allah, Dia harus terima Bait Allah dan sistem imamat apa adanya, dan menjaga keduanya untuk tetap ada dan berfungsi?

Karena melihat paradoks ini, penulis Injil Yohanes akhirnya mengalegorikan (yakni, memberi arti lain yang bukan arti harfiah) Bait Allah atau rumah Allah sebagai "tubuh" Yesus sendiri yang akan "dirobohkan" lewat penyaliban.

Tetapi sebuah paradoks lain muncul: Jika Yesus luar biasa mencintai tubuh-Nya, mengapa Yesus mempersilakan "orang-orang Yahudi", lawan-lawan-Nya yang paling keras, untuk "merobohkan" atau "menghancurkan"-nya?

Jawabannya, ya karena memang Yesus yang datang "dari atas" harus kembali "ke atas" lewat penyaliban tubuh-Nya yang dilakukan orang-orang Yahudi, pada saat mana Dia menyerahkan atau melepaskan "nyawa-Nya" (Yohanes 19:30b). Ke mana? Kembali ke sang Bapa, ke kawasan "Pada mulanya" (en arkhē) (Yohanes 1:1), kawasan adikodrati. Dengan sadar, Yesus mau menjalani drama "turun" dari lalu "naik" kembali ke sorga ini.

Jadi, sudah di awal Injil Yohanes, pasal 2, "jalan kehidupan Yesus" sudah diprogram oleh pengisahnya, yang selanjutnya dipentaskan dari satu adegan ke adegan lainnya hingga "sudah selesai" di kayu salib. 

8 Maret 2021
ioanes rakhmat