Seorang teman yang manis (bernama Lila) memberi saya sebuah tulisan bertema “Sains Islam” yang ditulis oleh Dr. Wendi Zarman dan terpasang online di http://www.hidayatullah.com/read/26246/07/12/2012/mengislamkan-sains:-apanya-yang-diislamkan?-.html. Saya tahu, Lila ingin saya menanggapi tulisan Dr. Zarman ini. Ok-lah, Lila! Tapi, silakan anda yang lain membaca dulu tulisan Dr. Zarman itu.
Saya
baca tulisan Dr. Zarman itu sampai tiga kali untuk menemukan isi sains Islam-nya; tapi saya tak
menemukannya sama sekali. Saya sangat berharap dapat menemukan matematika
Islam, fisika Islam, ilmu kedokteran Islam, astronomi Islam, dll. Tapi tak ada
di dalam tulisannya itu.
Saya
hanya bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “sains Islam” oleh Dr. Zarman
adalah teologi Islam tentang apa itu
sains dan bagaimana sains itu harus dimanfaatkan. Yang menyusahkan hati saya adalah Dr. Zarman menyamakan teologi Islam tentang sains dengan sains itu sendiri.
Dalam
teologi Dr. Zarman, sains adalah usaha memahami/menjelaskan alam sebagai ayat
dan tanda keberadaan Alloh SWT. Jika
sains dipandang sebagai suatu usaha menyingkap ayat dan tanda keberadaan Alloh,
bagi Dr. Zarman, umat Islam akan bisa memanfaatkan sains dengan baik dan benar. Jadi,
yang disampaikan Dr. Zarman bukanlah isi sains Islam per se, tapi moral atau etika Islam dalam pemanfaatan sains.
Ya,
hal yang disampaikan oleh Dr. Zarman tentu saja akan bisa diterima oleh orang
non-Muslim juga, bahkan oleh orang ateis. Siapa yang tidak setuju jika sains
harus digunakan dengan bermanfaat oleh manusia, apapun agama mereka? Silakan saja umat Islam memakai astronomi
untuk keperluan menentukan waktu ibadah, matematika untuk menghitung warisan,
dst.
Yang
ingin saya temukan, misalnya matematika Islam, atau astronomi Islam, ilmu ukur
Islam, ilmu kedokteran Islam, psikologi Islam, dll, apakah akan bisa ada dalam dunia ini? Misalnya,
menurut ilmu ukur Islam, sudut siku-siku bukan 90 derajat, tapi 97 derajat,
sudut lingkaran bukan 360, tapi 357 derajat. Atau, Dr. Zarman bisa usulkan,
menurut kosmologi Islam, jagat raya kita baru berusia 6000 tahun, bukan 13,72
milyar tahun. Atau, Dr. Zarman bisa usulkan, menurut ilmu kedokteran Islam, segumpal
janin dalam rahim seorang ibu memerlukan masa 2 tahun dalam kandungan sebelum
dilahirkan sebagai seorang bayi yang sehat. Atau, dalam neurobiologi Islam, Dr. Zarman dapat mengusulkan bahwa setiap insan Muslim berpikir tidak dengan mekanisme neurologis dalam otak, tetapi dengan mekanisme kardiologis dalam jantung. Nah, sains-sains Islam yang khas
dan unik inilah yang, jika ada, saya mau temukan dari pemikiran Dr. Zarman. Tapi dia tidak
menyodorkannya; padahal saya berharap minimal contoh-contoh kecilnya saja dapat saya temukan dalam tulisannya.
Dr.
Zarman juga menegaskan bahwa sains Islam harus pertama-tama bertolak dari “pengakuan”
akan wujud dan keberadaan Tuhan Alloh SWT. Kalau memakai istilah sains yang
umum, “pengakuan” (atau “keimanan”) disebut sebagai “aksioma” atau “postulat”. Ya,
Dr. Zarman tentu benar, sebab setiap sains, termasuk sains eksakta, bukan hanya sains Islam, berpijak pada suatu
aksioma atau postulat. Aksioma atau postulat adalah sebuah pernyataan tentang
sesuatu yang kebenarannya tak diragukan lagi, hanya diterima benar apa adanya,
tak perlu dibuktikan.
Tapi
ada perbedaan sangat mendasar antara aksioma dalam dunia sains, dan kepercayaan
atau pengakuan atau iman dalam agama sebagai aksioma. Aksioma dalam sains jelas terlihat, bisa
objektif digambarkan dengan angka, coretan, tanda, simbol, bentuk, dll, pada papan tulis
atau pada layar LCD komputer anda. Aksioma dalam agama tidak demikian.
Ambil contoh sebuah aksioma
geometri (Euklidean, dari 5 aksioma yang ada): garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik. Aksioma
ini bisa digambar pada bidang datar papan tulis dan berlaku universal dan abadi. Aksioma yang
ditegaskan Dr. Zarman adalah aksioma agama: Alloh SWT itu ada. Aksioma Dr. Zarman ini tak
bisa digambarkan pada papan tulis dalam bentuk apapun, dan tidak berlaku
universal: bagi orang Yahudi, Yahweh
Elohim yang menyatakan diri kepada Nabi Musa adalah Allah mereka; bagi orang
Kristen, Allah mereka memiliki tiga kepribadian yang tidak bercampur dan juga
tidak terpisah; bagi orang Yunani kuno, Dewa Zeus adalah Allah teragung mereka. Jadi, sebetulnya, setiap orang beragama akan mengakui dan mempercayai Allah mereka sendiri saja, dan akan menolak untuk mengakui dan mempercayai Allah orang yang beragama lain. Tidak ada teologi yang universal!
Nah,
kalau Dr. Zarman ingin membangun sains Islam, dia minimal harus tunjukkan bahwa isi aksioma
atau isi pengakuan imannya itu ada, bisa diperlihatkan, bisa digambar pada
papan tulis. Artinya: kalau sains Islam mau dibangun dan harus diakui sebagai
sains, semua aksioma Dr. Zarman harus bisa diperlihatkan objektif ada. Tegasnya: Dr. Zarman harus bisa
minimal menggambarkan di papan tulis bahwa Alloh SWT itu ada, jika dia mau membangun
sains Islam yang betul-betul sains, bukan agama yang “disains-sainskan”, atau
sains yang “diagama-agamakan”.
Dr.
Zarman juga telah dengan keliru menyatakan bahwa dalam sains modern, alam atau
jagat raya dinilai sangat rendah oleh para saintis. Kata Dr. Zarman, jagat raya
telah kehilangan makna rohani transendentalnya di mata para saintis sekuler.
Betulkah? Tidak betul!
Setahu
saya, jagat raya dengan segala kebesaran dan misterinya memukau hampir semua
saintis yang mengeksplorasinya. Albert Einstein, misalnya, mengakui bahwa dia
masuk ke dalam suatu “suasana spiritual” non-agamawi ketika dia terpesona dan
dibuat kagum oleh struktur harmonis jagat raya yang tanpa batas. Richard
Feynman menyatakan bahwa ketika dia memandang langit malam dari suatu kawasan
di padang gurun, dia “merasakan” keindahan jagat raya dan bukan hanya mau
menjelaskannya secara saintifik. Saya
sendiri sedang mengembangkan sebuah spiritualitas yang saya namakan spiritualitas saintifik; simak di http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/12/menuju-spiritualitas-saintifik.html. Selain itu, dalam sains sendiri orang dapat menemukan banyak “magic” dan “wonder”, seperti beberapa di antaranya telah saya beberkan di http://www.ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/12/magic-and-wonder-in-science.html.
Tetapi
ada perbedaan sikap antara para agamawan dan para saintis ketika mereka
masing-masing menatap pada kebesaran jagat raya dan misteri-misterinya. Para
agamawan berusaha keras untuk menjaga misteri-misteri alam, yang diyakini
mereka sebagai misteri-misteri ilahi yang tak boleh ditembus dan tak akan bisa dijelaskan; semakin mereka tak bisa memahami dan tak bisa menjelaskan misteri-misteri jagat raya, semakin yakin dan tahu mereka bahwa Allah itu ada.
Sebaliknya, para saintis
justru terdorong kuat untuk menyibak dan menembus semua misteri alam, tentu
saja secara bertahap dan dengan tak kenal lelah. Kalau para saintis masih belum bisa menyibak sebuah misteri jagat raya, ya mereka dengan lapang dada akan mengakui keterbatasan mereka, dan tak akan membuat pernyataan-pernyataan yang spektakuler tanpa bukti apapun. Dalam dunia sains berlaku ini: extra-ordinary claims require extra-ordinary evidence! Jika anda mengajukan klaim-klaim yang luar biasa, sains menuntut anda untuk mengajukan bukti-bukti yang juga luar biasa untuk menopang kebenaran klaim-klaim anda itu!
Pada
akhirnya adalah sebuah pertanyaan: Apakah mungkin membangun apa yang dinamakan sains agama atau sains skriptural? Usaha
membangun sains agama atau sains skriptural adalah usaha keliru yang sia-sia
belaka, seperti usaha menjaring angin, atau seperti usaha mengecat hamparan langit biru dengan cat warna merah. Kenapa?
Kata
“sains” dan kata “agama” adalah dua kata yang bertabrakan satu sama lain,
khususnya pada level epistemologi.
Sains
memakai epistemologi evidensialis (Latin:
evidentia/bukti): setiap klaim
saintifik yang benar dan absah harus dilandaskan pada bukti-bukti objektif autentik. Suatu kesimpulan
saintifik, yang semula dijadikan hipotesis, ditarik lewat bukti, eksperimentasi, observasi, perhitungan
matematis, pengukuran, dan penalaran yang konsisten, dan mempunyai kemampuan prediktif.
Agama memakai epistemologi revelatif fideis: sesuatu diterima benar
jika bersumber dari wahyu (Latin: revelationem)
yang diterima hanya dengan iman (Latin: fidem),
tanpa bukti.
Jadi, menggabung kata “sains” dan kata “agama” hanya menghasilkan
sebuah istilah yang berkontradiksi pada dirinya sendiri (contradictio in terminis) atau sebuah oxymoron!
Jadi, beritahu Dr.
Zarman di Institut Teknologi Bandung, membangun sains agama adalah suatu kegiatan yang naif dan
sia-sia serta menyesatkan dan tidak mencerdaskan bangsanya sendiri, dan bisa ada hanya dalam dunia retorika saja sebagai oxymoron, tidak dalam dunia akademik.
Akhir
kata: pernyataan Dr. Zarman “sains mendorong orang semakin religius” adalah sebuah
pernyataan yang sangat patut diragukan kebenarannya! Kita patut bertanya, religius dalam arti apa? Bukankah orang yang sangat religius, sangat kuat memeluk agama mereka, umumnya malah jadi antisains dan tidak berani berpikir ilmiah. Kalau menurutnya hanya sains Islam yang dapat mendorong orang semakin religius, saya menunggunya untuk membeberkan isi sains Islamnya, sains Islam yang benar-benar sains, bukan teologinya tentang apa itu sains. Let
science be science! Don't religionize science!