N.B. diedit 29 Desember 2021
CERN (Prancis: “Conseil Européen pour la Recherche Nucléaire”) adalah organisasi pusat riset nuklir di Eropa, yang didirikan 29 September 1954, dan kini beralamat di Route de Meyrin 385, 1217 Meyrin, Switzerland.
Para ilmuwan CERN menjalankan mesin sains terbesar dan terkuat di dunia Large Hadron Collider antara lain untuk mencari dan menemukan partikel-partikel subatomik yang belum terobservasi atau yang baru. Jangan salah, LHC bukan mesin besar untuk memproduksi energi nuklir.
Lihat info pada gambar di atas. Tahun 1984, pembangunan LHC mulai dibayangkan, dikonsep dan dirancang. Sekian tahun kemudian, 1993, LHC mulai real dikonstruksi, dibangun di bawah tanah, berbentuk bangunan lingkaran cincin besar pipa yang sangat panjang, di kawasan Swiss dan Prancis.
Pembangunan LHC melibatkan 10.000 ilmuwan, ratusan universitas dan laboratorium, dan lebih dari 100 negara.
Pada 10 September 2008, mesin besar LHC pertama kali dijalankan. Selanjutnya, mengalami sekian peningkatan kemampuan.
Pernah dikhawatirkan kalau LHC akan menciptakan sebuah black hole yang akan dapat melahap planet Bumi. Tapi kekhawatiran ini sudah diredakan dengan penegasan bahwa kalaupun tercipta sebuah lubang hitam lewat LHC, lubang hitam yang akan tercipta sangat kecil dan tidak akan membahayakan Bumi sama sekali.
Di atas ini, diberikan tiga ilustrasi bentuk mesin LHC yang berupa cincin atau lingkaran terowongan pipa, yang dibangun di kedalaman 175 m di bawah tanah, di kawasan perbatasan negeri Swiss dan negeri Prancis, dekat Jenewa.
Panjang cincin terowongan LHC 27 km, yang berisi magnit-magnit superkondukting, dengan sejumlah struktur akselelator untuk terus-menerus memperkuat energi partikel-partikel yang melesat di sepanjang cincin ini.
Memang luar biasa. Klik gambar-gambarnya untuk memperbesar.
Bagian dalam terowongan cincin LHC
Magnit-magnit superkondukting LHC. Sumber gambar: SciTechDaily.
Anda mau tahu sedikit lebih jauh tentang bagian dalam terowongan cincin LHC? Jika ya, ikutilah Virtual Tour LHC.
Nah, di halaman depan gedung CERN pada 18 Juni 2004 dipasang patung indah dewa Hindu Siwa yang sedang berdansa, atau biasa dikenal dengan nama Siwa Nataraja, artinya Siwa sang Raja Pedansa. Patung ini disumbangkan ke CERN oleh pemerintah India.
Dalam mitologi kuno India, Siwa Nataraja, atau sang dewa Siwa Pedansa, menyimbolkan dansa atau gerak-gerik alam semesta saat terjadi penciptaan dan kebinasaan kembali, yang dilanjutkan dengan penciptaan kembali, membentuk siklus abadi keberadaan dan ketiadaan jagat semesta.
Dengan dipasangnya Siwa Nataraja di CERN, patung ini menjadi sebuah representasi simbolik dansa atau tari-tarian partikel-partikel subatomik yang diamati dan dianalisis oleh para fisikawan CERN.
Paralelisme antara dansa Siwa dan dansa partikel-partikel subatomik didiskusikan pertama kali oleh Fritjof Capra dalam sebuah artikel yang berjudul “The Dance of Shiva: The Hindu View of Matter in the Light of Modern Physics”, yang terbit di Main Currents in Modern Thought edisi tahun 1972.
Dansa Siwa kemudian menjadi sebuah metafora esensial dalam buku Capra yang berjudul The Tao of Physics, yang terbit tahun 1975. Lewat metafora Siwa Pedansa ini, Capra menggabung mitologi kuno India, seni patung keagamaan, dan fisika modern.
Siwa Nataraja
Tentu saja siapapun bisa melihat ada usaha Capra untuk mencocok-cocokkan (cocokologi) mitologi kuno India Siwa Pedansa dan fisika partikel modern.
Sudah jelas juga, mitologi Siwa Nataraja tidak memberi sumbangan keilmuan baru apapun dalam fisika partikel. Sudah jelas juga bahwa tanpa lahirnya fisika partikel dalam dunia modern, Siwa sang Raja Pedansa tidak akan pernah terpikirkan untuk dipakai sebagai sebuah metafora tari-tarian partikel-partikel.
Dengan kata lain, yang terjadi adalah fisika partikel oleh Capra dibawa masuk ke dalam mitologi kuno India, dan bukan mitologi kuno ini yang melahirkan atau meramalkan fisika partikel. Tentu, hal ini disadari betul oleh Capra seperti tercermin dari frasa “in the light of modern physics” pada judul artikel tahun 1972 yang ditulisnya.
Tentang masalah-masalah serius yang muncul dalam cocokologi, saya sudah pernah membeberkannya. Cocokologi adalah suatu kegiatan superfisial, tidak substantif, dan akan terus melelahkan para pelakunya./1/
Bagaimanapun juga, patung Siwa Nataraja atau Siwa Raja Pedansa sudah ditafsir sebagai sebuah metafora dansa atau gerak-gerik partikel-partikel subatomik, yang dulu tentu saja belum teramati oleh para pujangga, para pemahat patung, dan ahli keagamaan India kuno.
Tentu saja Capra kreatif ketika dia berimajinasi bahwa dansa sang Siwa paralel dengan tari-tarian partikel-partikel dalam dunia mekanika quantum. Kreativitasnya ini minimal telah membuat Siwa Nataraja dikenal para fisikawan dunia, meskipun tentu saja sang patung ini tidak memberi sumbangan ilmiah apapun bagi fisika modern. Selain itu, tentu saja Capra telah menambah satu lagi metafora ke dalam dunia ilmu pengetahuan.
Jangan sepelekan patung-patung, atau kesenian membangun patung-patung, sebab benda-benda mati ini, dan juga semua hasil kesenian lainnya, sanggup menghidupkan imajinasi yang dalam dan luas dalam otak manusia. Imajinasi tak bisa dilepaskan dari sains, bahkan kerap mendahului formulasi posisi keilmuan baru. Tentu saja, imajinasi yang dimaksud adalah imajinasi yang berdisiplin, tak sembarangan.
Pada pihak lain, ikonoklasme atau mentalitas antipatung atau anti kesenian memahat, tidak membantu bagian artistik dan estetik otak berkembang, malah membuat mesin otak berjalan seret, cepat panas. Kreativitas manusia berkembang bukan saja lewat matematika, tapi juga lewat berbagai aktivitas kesenian.
Sudah jelas juga, mitologi Siwa Nataraja tidak memberi sumbangan keilmuan baru apapun dalam fisika partikel. Sudah jelas juga bahwa tanpa lahirnya fisika partikel dalam dunia modern, Siwa sang Raja Pedansa tidak akan pernah terpikirkan untuk dipakai sebagai sebuah metafora tari-tarian partikel-partikel.
Dengan kata lain, yang terjadi adalah fisika partikel oleh Capra dibawa masuk ke dalam mitologi kuno India, dan bukan mitologi kuno ini yang melahirkan atau meramalkan fisika partikel. Tentu, hal ini disadari betul oleh Capra seperti tercermin dari frasa “in the light of modern physics” pada judul artikel tahun 1972 yang ditulisnya.
Tentang masalah-masalah serius yang muncul dalam cocokologi, saya sudah pernah membeberkannya. Cocokologi adalah suatu kegiatan superfisial, tidak substantif, dan akan terus melelahkan para pelakunya./1/
Bagaimanapun juga, patung Siwa Nataraja atau Siwa Raja Pedansa sudah ditafsir sebagai sebuah metafora dansa atau gerak-gerik partikel-partikel subatomik, yang dulu tentu saja belum teramati oleh para pujangga, para pemahat patung, dan ahli keagamaan India kuno.
Tentu saja Capra kreatif ketika dia berimajinasi bahwa dansa sang Siwa paralel dengan tari-tarian partikel-partikel dalam dunia mekanika quantum. Kreativitasnya ini minimal telah membuat Siwa Nataraja dikenal para fisikawan dunia, meskipun tentu saja sang patung ini tidak memberi sumbangan ilmiah apapun bagi fisika modern. Selain itu, tentu saja Capra telah menambah satu lagi metafora ke dalam dunia ilmu pengetahuan.
Jangan sepelekan patung-patung, atau kesenian membangun patung-patung, sebab benda-benda mati ini, dan juga semua hasil kesenian lainnya, sanggup menghidupkan imajinasi yang dalam dan luas dalam otak manusia. Imajinasi tak bisa dilepaskan dari sains, bahkan kerap mendahului formulasi posisi keilmuan baru. Tentu saja, imajinasi yang dimaksud adalah imajinasi yang berdisiplin, tak sembarangan.
Pada pihak lain, ikonoklasme atau mentalitas antipatung atau anti kesenian memahat, tidak membantu bagian artistik dan estetik otak berkembang, malah membuat mesin otak berjalan seret, cepat panas. Kreativitas manusia berkembang bukan saja lewat matematika, tapi juga lewat berbagai aktivitas kesenian.
Bahwa ikonoklasme pernah berlangsung keras dalam Kekristenan di era kekaisaran Byzantium dan di era Reformasi Protestan di Eropa, saya sudah menuliskannya./2/
Well, Friedrich Nietzsche berkata, “Tanpa musik, kehidupan menjadi suatu kesalahan, suatu kerjaberat, suatu pembuangan.”/3/
Pelukis dan pemahat patung terkenal Pablo Picasso menyatakan bahwa “seni mencuci bersih debu-debu kehidupan sehari-hari dari jiwa kita.”/4/
Well, Friedrich Nietzsche berkata, “Tanpa musik, kehidupan menjadi suatu kesalahan, suatu kerjaberat, suatu pembuangan.”/3/
Pelukis dan pemahat patung terkenal Pablo Picasso menyatakan bahwa “seni mencuci bersih debu-debu kehidupan sehari-hari dari jiwa kita.”/4/
Tanpa kesenian, hidup kita menjadi seumpama sebuah taman bunga tetapi tak ada satu pun bunga yang tumbuh di situ, tak ada kupu-kupu yang berterbangan, tak ada suara merdu kicauan burung-burung, tak ada warna-warni.
Dus, bayangkanlah, dunia tanpa seni akan menjadi apa? Mungkin akan bisa menjadi sebuah padang gurun luas yang sangat gersang, atau daratan luas tanpa sungai dan mata air, atau jagat raya mahaluas yang kosong sia-sia.
Tetapi saya sangat mengharapkan, seni muncul dari mana-mana, termasuk dari gurun-gurun yang gersang, bahkan dari lubang-lubang kepundan gunung-gunung tinggi berapi. Atau dari dalam jagat raya sendiri, yang sunyi sepi tetapi ramai dan meriah. Bahkan dari mulut dan tangan bayi-bayi.
Alam semesta sebetulnya adalah dentuman puisi bermusik yang dipancarkan lewat big bang, 13,8 milyar tahun lalu, yang selanjutnya dilantunkan lewat butir-butir atom yang bergetar dan menari-nari sebagai dawai-dawai. Juga lewat gerak-gerik mengembang makin cepat balon jagat raya.
Fisika, matematika dan kesenian tidak terpisahkan. Para ilmuwan adalah para penari, pemahat, penyair, penyanyi, meskipun tarian, pahatan, syair, puisi dan nyanyian mereka tidak biasa bagi banyak orang non-ilmuwan.
Kesenian mereka berasal dari “kawasan yang lebih tinggi”, higher realms, mengeksplorasi jagat semesta, dari jagat mikro dunia partikel hingga ke jagat-jagat raya, setinggi-tingginya tanpa kubah, sedalam-dalamnya tanpa dasar, sejauh-jauhnya tanpa pantai. Lewat imajinasi dan ilmu pengetahuan, mereka menggubah puisi-puisi dan bentuk-bentuk kesenian lain.
Dus, bayangkanlah, dunia tanpa seni akan menjadi apa? Mungkin akan bisa menjadi sebuah padang gurun luas yang sangat gersang, atau daratan luas tanpa sungai dan mata air, atau jagat raya mahaluas yang kosong sia-sia.
Tetapi saya sangat mengharapkan, seni muncul dari mana-mana, termasuk dari gurun-gurun yang gersang, bahkan dari lubang-lubang kepundan gunung-gunung tinggi berapi. Atau dari dalam jagat raya sendiri, yang sunyi sepi tetapi ramai dan meriah. Bahkan dari mulut dan tangan bayi-bayi.
Alam semesta sebetulnya adalah dentuman puisi bermusik yang dipancarkan lewat big bang, 13,8 milyar tahun lalu, yang selanjutnya dilantunkan lewat butir-butir atom yang bergetar dan menari-nari sebagai dawai-dawai. Juga lewat gerak-gerik mengembang makin cepat balon jagat raya.
Fisika, matematika dan kesenian tidak terpisahkan. Para ilmuwan adalah para penari, pemahat, penyair, penyanyi, meskipun tarian, pahatan, syair, puisi dan nyanyian mereka tidak biasa bagi banyak orang non-ilmuwan.
Kesenian mereka berasal dari “kawasan yang lebih tinggi”, higher realms, mengeksplorasi jagat semesta, dari jagat mikro dunia partikel hingga ke jagat-jagat raya, setinggi-tingginya tanpa kubah, sedalam-dalamnya tanpa dasar, sejauh-jauhnya tanpa pantai. Lewat imajinasi dan ilmu pengetahuan, mereka menggubah puisi-puisi dan bentuk-bentuk kesenian lain.
Ya, sungguh betul, seperti bunyi sebuah teks dalam kitab suci Ibrani, keindahan jagat raya ini atau langit “menceritakan kemuliaan Tuhan”. Ya, Tuhan menyukai seni, dan menciptakannya.
Catatan-catatan
/1/ Ada tujuh masalah cocokologi yang saya telah uraikan dalam tulisan saya "Memperlakukan Agama-agama di Era Sains Modern".
/2/ Lihat uraian sejarahnya oleh Ioanes Rakhmat, "Ikonoklasme dalam Kekristenan masa lalu".
/3/ Friedrich Nietszsche, Twilight of the Idols, Or, How to Philosophize With the Hammer (first publication 1889; Indianapolis, Indiana: Hackett Publishing Company, 1997), hlm. vii (“Letter to Koselitz, 1/15/88”).
/4/ Pablo Picasso dianggap sebagai pencipta ucapan tersebut pertama kali oleh kritikus sastra Aline Saarinen pada acara tinjauan program jejaring TV NBC, 21 Januari 1964, yang diberi nama The Art of Collecting.
Namun, ucapan terkenal tersebut sebenarnya berasal dari Berthold Auerbach dalam novel Jermannya yang berjudul Auf der Höhe: Roman in acht Buchern von Berthold Auerbach, Vol. 2, (Stuttgart, Germany: Cotta'schen Buchhandlung, 1864, 1866), hlm. 70. Tautannya ini https://babel.hathitrust.org/cgi/pt?id=hvd.hwdrn7&view=1up&seq=6.
Dalam buku berbahasa Jerman itu, Auerbach menulis “...die Musik wäscht ihnen den Alltagsstaub von der Seele...”
Dalam bahasa Inggris, Fanny Elizabeth Bunnett menerjemahkannya “Music washes away from the soul, the dust of everyday life” (1867). Terjemahan 1883, “Music washes away from the soul the dust of everyday life.” (dalam “The Speaker's Garland and Literary Bouquet”).
/4/ Pablo Picasso dianggap sebagai pencipta ucapan tersebut pertama kali oleh kritikus sastra Aline Saarinen pada acara tinjauan program jejaring TV NBC, 21 Januari 1964, yang diberi nama The Art of Collecting.
Namun, ucapan terkenal tersebut sebenarnya berasal dari Berthold Auerbach dalam novel Jermannya yang berjudul Auf der Höhe: Roman in acht Buchern von Berthold Auerbach, Vol. 2, (Stuttgart, Germany: Cotta'schen Buchhandlung, 1864, 1866), hlm. 70. Tautannya ini https://babel.hathitrust.org/cgi/pt?id=hvd.hwdrn7&view=1up&seq=6.
Dalam buku berbahasa Jerman itu, Auerbach menulis “...die Musik wäscht ihnen den Alltagsstaub von der Seele...”
Dalam bahasa Inggris, Fanny Elizabeth Bunnett menerjemahkannya “Music washes away from the soul, the dust of everyday life” (1867). Terjemahan 1883, “Music washes away from the soul the dust of everyday life.” (dalam “The Speaker's Garland and Literary Bouquet”).
Jadi, aslinya ucapan Auerbach tersebut berbunyi “Musik mencuci bersih debu-debu kehidupan sehari-hari dari jiwa kita.” Untuk memperluas, ya musik boleh diganti seni, no problem.
Lihat riset singkat literatur tentang sumber ucapan tersebut oleh Quote Investigator, “Music Washes Away from the Soul the dust of Everyday Life”, 17 February 2016, https://quoteinvestigator.com/2016/02/17/soul.