Thursday, March 11, 2021

Problem Teodise: Tuhan Di Manakah Engkau? Mengapa Engkau Membungkam?

Yesus dan langit yang berdiam diri...


Baca juga PROBLEM DOGMA TRITUNGGAL

N.B. Diedit 15 Mei 2022


Pada kesempatan ini, saya mau membebeberkan apa itu teodise dan problem-problemnya serta delapan jalan keluar yang dapat ditemukan, sejauh sudah saya eksplorasi. 

Sudah ada sekian tulisan saya lainnya tentang teodise. Salah satu di antaranya berjudul Penderitaan Adalah Bukti Tidak Adanya Tuhan. Betulkah?, yang mengupas habis Trilema Epikurus. Jangan dilewati, karena ulasannya luas dan mendalam.

Teodise berasal dari kata Inggris theodicy, yang dibentuk dari 2 kata Yunani theos (Allah) dan dikē (keadilan). Arti harfiahnya "keadilan Allah".

Jadi, problem teodise adalah problem tentang "keadilan Allah". Problem ini diformulasikan dengan pertanyaan: Mengapa kekasih-kekasih Allah, orang-orang yang saleh dan hidup benar, menderita dan harus menanggung azab, dan Allah tampak berdiam diri, tidak turun tangan untuk menolong dan membebaskan mereka dari penderitaan? Di mana keadilan Allah? 

Tujuh premis

Teodise menjadi problem lantaran sedikitnya tujuh premis yang mendasarinya. 

1) Allah mahakasih. 2) Allah mahabaik. 3) Allah mahaadil. 4) Allah mahahadir. 5) Allah mahatahu. 6) Allah mahasetia. 7) Allah mahakuasa.

Jadinya, setiap orang yang saleh, beriman, dekat ke Tuhan, hamba Tuhan, anak Tuhan, sahabat Tuhan, mustinya tidak akan dibiarkan atau ditinggalkan Allah, tidak akan mengalami kekejaman, kejahatan, azab, ketidakadilan, kemalangan, keburukan, bencana, kesendirian, ketidakberdayaan, keterlantaran, dst. Mengapa mustinya? 

Karena mereka yakin bahwa mereka akan selalu dijaga, dilindungi, dibela, ditolong, diketahui, dilepaskan oleh Allah dari segala bentuk azab, dan Allah sanggup dan mau melakukan itu semua karena 7 premis di atas.

Tapi, kenyataan berbicara lain. Sangat banyak orang saleh hidup penuh azab, dan Allah berdiam diri saja, membisu, tidak aktif, bersembunyi, tidak hadir, tidak tahu, tidak nampak adil, tidak setia.

Jadi, mana sifat mahakasih, mahaadil, mahabaik, mahahadir, mahatahu, mahasetia dan mahakuasa Allah?

Itulah problem teodise, problem keadilan (dikē) Allah. Harap diingat bahwa problem teodise muncul hanya pada orang yang menganut kepercayaan monoteistik. 

Kekristenan tentu memegang monoteisme, tetapi monoteisme yang sudah "dimodifikasi" ("modified monotheism") dengan menerima adanya pluralitas atau kemajemukan dalam hakikat Allah yang esa. Diversity in unity, atau plurality in oneness.

Alhasil, muncullah doktrin Tritunggal: Allah yang esa memiliki diversitas dalam hakikat diri-Nya, sehingga Allah yang esa ini dapat mengambil tiga cara berada dalam jagat raya dan dalam komunikasi-Nya dengan manusia. Yakni, sebagai sang Bapa, sang Putera, dan sang Roh Kudus atau Roh Kebenaran atau Roh Penghibur (Yunani: ho paraklētos).

Tapi, sebuah pertanyaan muncul: Jika Allah yang esa itu Allah yang mahatakterbatas, mengapakah cara berada atau cara berkomunikasi-Nya harus manusia batasi cuma tiga cara? Bukankah bisa juga sepuluh cara berada, bahkan dapat berada dalam cara-cara yang tak terhitung jumlahnya, infinite modes of being

Itu suatu problem serius, tapi bukan problem teodise, melainkan problem dogma Tritunggal Kristen ortodoks. Biarkan saja. Karena setiap dogma memang memiliki problem masing-masing. Ya, saya sudah tulis, bacalah PROBLEM DOGMA TRITUNGGAL.


Premis Allah mahakaya

Nah, premis teodise bisa ditambah terus tanpa batas, sebab meyakini Tuhan itu tak terbatas berarti juga meyakini sifat "maha" Tuhan yang tanpa batas. Tuhan yang mahasegalanya.

Tapi, tak ada seorang pun yang bisa menemukan tanpa batas, infinite, limitless, segala sifat Tuhan. Bentangan langit tanpa batas, siapa yang bisa menulis habis semua sifat Tuhan di situ? Pakai tinta apa? Berapa panjang pena yang dibutuhkan?

Di kalangan pemuja teologi sukses atau teologi anak Raja atau teologi kemakmuran, ada satu sifat Tuhan yang paling utama buat mereka. Yakni, Tuhan itu mahakaya. Ini premis lainnya bagi teodise, yang telah disalahgunakan oleh mereka yang pada dasarnya tamak dan selalu haus harta.

Bertolak dari premis ini, para penganut teologi kemakmuran dan keberlimpahan harta menyatakan bahwa barangsiapa yang percaya dan menyembah Tuhan sang Raja yang mahakaya, maka sebagai anak-anak Tuhan sang Raja, mereka akan pasti kaya, tak akan pernah miskin, dan hidup mereka akan selalu diberkati Tuhan sehingga akan selalu bertambah sukses material dan akan makin kaya raya.

Tuhan akan malu jika anak-anak-Nya hidup miskin. Itu kata mereka yang sebetulnya tidak tahu malu karena sengaja menutup telinga dan mata mereka terhadap ajaran Yesus yang sebenarnya.

Timbullah problem teodise ketika orang yang mengikut Tuhan sang Raja yang mahakaya, ternyata hidup miskin, atau gagal bisnis, bangkrut, lalu kehilangan kekayaan, selanjutnya hidup melarat dan banyak persoalan berat melanda.

Atau, supaya terbukti Tuhan mereka memberi mereka kekayaan besar, mereka pun hidup tanpa etika lagi, korupsi besar-besaran, menipu dan menilep, dan menghancurkan bisnis semua kompetitor mereka. Akhirnya korupsi mereka ketahuan, diproses hukum, dan mereka bermuara di sel penjara.

Mereka pun meraung-raung, marah besar ke Tuhan. Mengapa aku jatuh miskin? Mengapa Engkau Tuhan yang menjadi Rajaku dan aku anak-Mu, tidak melindungi aku ketika aku korupsi? Mengapa Engkau meninggalkan aku dalam kemelaratan dan kini aku dipenjara?

Sudah bisnis bangkrut, juga ditimpa krisis berat psikoreligius. Hancur berganda-ganda. Menjadi debu selagi masih hidup.

Padahal, kita semua tahu, Yesus meminta para murid-Nya atau orang yang mau ikut Dia untuk menjual harta mereka lalu mengikut Yesus, dan membagikan uang mereka ke orang miskin (Markus 10:21 dan par). Apakah ada orang yang mampu memenuhi permintaan Yesus ini? Ada, cuma langka.

Ada berapa banyakkah penganut teologi kemakmuran, yang meminta bukan Roh Allah, Roh Kebenaran, tetapi kekayaan material? Wah, ada sangat banyak, banyak banget, dan bagian terbesar mereka adalah para rohaniwan. Berapa persisnya? Saya tidak tahu. Hitung sendiri saja.

Tapi, saya juga bisa memakai premis Allah mahakaya dengan positif untuk menjungkalkan teologi keberlimpahan harta atau teologi sukses orang-orang rakus. Really? Absolutely, yes!

Jika Allah mahakaya, maka Allah akan sanggup memakmurkan semua penduduk dunia (sekarang hampir 8 milyar orang) di segala tempat dan di segala waktu. Semua? Ya, semua, tidak ada yang diistimewakan. Tidak pilih bulu.

Allah tidak akan pernah kehabisan sumber-sumber daya dunia, termasuk sumber daya ekonomi dan keuangan, untuk digunakan-Nya bagi kemakmuran semua orang di segala negara dan kawasan. Are you sure? Yes, I am very sure. Bagaimana caranya?

Ya, dengan menggerakkan orang-orang terkaya dan orang-orang kaya dunia, dan negara-negara dan bangsa-bangsa terkaya dunia, untuk menata ulang sistem-sistem ekonomi dunia, pendistribusian kekayaan dunia, dan pemanfaatan segala sumber daya alam dan sumber daya manusia, agar semuanya ini dijalankan dengan adil, setara, merata, empatetis dan kooperatif bagi seluruh populasi dunia.   

Nah, yang pertama-tama perlu Tuhan gerakkan adalah para hamba Tuhan yang menghayati teologi kemakmuran dan, karenanya, haus harta terus-menerus. 

Ya, Allah sedang menggerakkan mereka untuk mempraktekkan dan mewujudkan dalam tindakan mereka bukan teologi kemakmuran individual, melainkan teologi kemakmuran bersama, teologi kemakmuran global, teologi kemakmuran setiap individu sedunia. Apakah bisa? Ya, bisa, sebab Allah mahakaya, dan Allah mau. 

Masalahnya bukan pada Allah, tapi pada manusia-manusia yang diberi Allah power dan kecerdasan dan nurani serta berbagai sumber daya untuk mengubah dunia yang sekarang ini sedang timpang berat, mulai dari para rohaniwan, pengusaha-pengusaha besar dunia hingga ke para pemimpin negara-negara kaya dunia. 

Tapi, maukah mereka? That's the problem, the human problem. Not God's problem.

Selanjutnya, sebuah pertanyaan harus dimunculkan: Bagaimana keluar dari problem teodise?

Delapan jalan keluar

Ada kurang lebih delapan ide yang telah dimunculkan untuk mengatasi problem teodise. Mari kita tengok satu per satu.

Dualisme kosmik

Pertama, semua keburukan dan azab yang dialami orang saleh, bukan ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi oleh "kuasa anti-Tuhan"  yang diberi nama Setan atau Iblis dan nama-nama lain. Ini teologi dualisme kosmik: ada dua kekuatan dalam jagat raya ini, yang berlawanan satu sama lain.

Ya, faktanya begitu, selalu ada antitesis terhadap sebuah tesis. Dalam ilmu fisika, ada "matter", juga ada "antimatter". Dalam filsafat Tiongkok, ada Yin, ya ada Yang. Dalam kepercayaan Yahudi, ada dua roh dalam pikiran manusia yang bertempur satu sama lain terus-menerus, "roh kebaikan" versus "roh kejahatan". Ada utara, berarti ada selatan. Langit suatu saat cerah, terlihat putih dan biru segar; di saat lain mendung dan menghitam.

Tetapi ide jalan keluar di atas membawa orang ke problem teodise yang sama: Mengapa Tuhan kalah kuat dari Setan? Bukankah Tuhan mahakuasa, mahakuat? Mengapa Tuhan membiarkan Setan mendera orang saleh seperti yang dikisahkan dalam kitab Ayub dalam Perjanjian Lama? Mengapa Tuhan begitu tega? Di mana hati-Mu Tuhan? Mengapa harus ada Setan dalam kehidupan manusia? Mengapa Setan bisa menjadi kolaborator Tuhan dengan Tuhan membiarkan Setan menghantam orang saleh? Membiarkan, berarti berkolaborasi, memihak. Tak ada netralitas murni.

Tentu, Setan yang tidak kelihatan, tidak akan terlihat mendera dan menindas manusia kekasih-kekasih Allah. Tapi, Setan bisa real terlihat ada lewat pikiran-pikiran, kata-kata dan perbuatan-perbuatan orang-orang durjana, yang kita namakan "orang-orang yang kesetanan". Lewat orang-orang inilah si Setan mendera dan mendatangkan azab ke diri kekasih-kekasih Tuhan. Di dalam dan dengan kuasa dan kekudusan Tuhan, setan-setan yang mewujud dalam diri manusia-manusia durjana pasti dapat digempur dan dikalahkan, jika anda hidup kudus di jalan Tuhan sebagai para kekasih Tuhan. Ini sungguh-sungguh suatu pertempuran spiritual.

Orang-orang yang memiliki pengalaman iman yang otentik dengan Yesus, boleh yakin bahwa bersama Yesus, sang Putera Allah, mereka akan memenangkan pertempuran spiritual itu, sebab Yesus memiliki kuasa Allah (Yunani: ho daktulos tou Theou; harfiah: jari Allah) untuk mengalahkan setan-setan (Yunani: ta daimonia), dan Iblis pun sudah dikalahkan-Nya (Lukas 11:20; 4:1-13).

Jika diperluas, kedurjanaan setan juga tampak dalam berbagai kesengsaraan, azab dan kematian yang timbul dari berbagai kejadian atau bencana alam yang dahsyat dan mengerikan. 

Dengan satu catatan serius: segala hal buruk dan para pelakunya memang kerap di-"demonisasi", dijadikan atau dilabelkan "Setan", meski bencana alam atau peristiwa alam yang menimbulkan azab pada manusia terjadi karena hukum-hukum alam ("natural laws") yang tidak memihak, entah ke Tuhan atau ke Setan, ke orang baik atau ke orang durjana, ke bayi-bayi atau ke orang dewasa dan orang uzur.

Kita tahu bahwa kita tidak bisa menuntut pertanggungjawaban yang real dari Tuhan jika azab dan kesusahan kita asalkan pada Tuhan (dus, premis Allah mahakasih kita batalkan). Hal yang sama juga terjadi, jika semua kesusahan dan bencana serta azab manusia kita asalkan pada Setan. 

Jika segala keburukan dan penderitaan yang dialami manusia diasalkan pada setan-setan dalam dunia yang tak kasat mata, dunia adikodrati, maka iptek, pengetahuan dan kearifan, dan horison pengalaman dan pembelajaran manusia tidak akan berkembang maju tanpa batas.

Allah mendidik

Kedua, ide jalan keluar lainnya adalah bahwa azab adalah cara Tuhan untuk mendidik dan mendewasakan iman dan kepribadian orang-orang saleh. 

Meminjam kata-kata Ayub, "... seandainya Dia menguji aku, aku akan timbul seperti emas" (Ayub 23:10b). Keren memang. 

Tapi pernyataan Ayub yang sedang tertimpa azab itu adalah bagian dari ucapan-ucapan pemberontakannya kepada Tuhan. Katanya, "Sekarang ini keluh kesahku menjadi pemberontakan" karena "tangan Tuhan menekan aku, sehingga aku mengaduh." (23:2). Dan Ayub tidak bisa melihat kehadiran Allah lagi, di utara, di selatan, di barat dan di timur (23:8-10).

Untuk tujuan mendidik, Tuhan itu ibarat seorang ayah yang menyabet pantat anaknya yang nakal dengan sebilah rotan panjang. Supaya si anak belajar bahwa dia bersalah, lalu kapok karena kesakitan terkena pukulan rotan, dan selanjutnya tumbuh menjadi anak yang makin baik.

Begitu juga, jika Tuhan Allah bermaksud mendidik wakil-wakil umat manusia dengan menghukum mereka, terlalu berat hukuman-hukuman yang dijatuhkan Allah kepada Adam dan Hawa (Kejadian 3:16-19), padahal sebetulnya Hawa, menurut kisah asal-usul yang disusun pada abad ke-10 SM oleh mazhab Yahwis, mengikuti dorongan hatinya yang baik untuk dapat mengetahui hal yang jahat dan hal yang baik dengan memetik, mencoba dan memakan "buah pohon yang ada di tengah-tengah" taman Eden. 

Yang menjadi persoalan serius dalam kisah teologis etiologis Taman Eden dalam kitab Kejadian bukanlah tindakan Hawa yang berani itu, tetapi mengapa Allah menutup jalan dan pintu yang dapat membawa Adam dan Hawa ke dunia pengetahuan, mula-mula pengetahuan moral yang kemudian akan berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang penuh dengan nilai-nilai kehidupan. 

Mengapa Allah yang mahatahu menutup pintu pengetahuan bagi manusia, sepertinya Allah membekap pengetahuan untuk diri-Nya sendiri? Padahal Adam, dalam tuturan yang lain dalam bagian awal kitab Kejadian yang disusun mazhab Priester di masa pembuangan bangsa Israel di Babilonia abad ke-6 SM, diciptakan sebagai "gambar dan rupa" Allah, yang diberi status dan tugas rajani untuk menguasai alam (menurut teologi dominasi), atau untuk menatalayani Bumi dan segenap isinya (menurut teologi penatalayanan).

Jelas, problem teodise tetap tak terselesaikan. Mengapa Tuhan yang mahakasih dan mahatahu tidak memakai cara yang edukatif, persuasif dan lembut, lewat sapaan halus atau lewat dialog yang akrab, atau lewat pelukan hangat, untuk mematangkan jiwa dan pikiran dan kepribadian anak-anak-Nya? 

Jika cara-cara itu yang dipakai, maka betul adanya bahwa persoalan dan kesulitan bahkan penderitaan akan dapat mematangkan jiwa dan kepribadian manusia. Semua pengalaman dan segala kejadian dapat menjadi guru-guru dan pelajaran-pelajaran bagi kita semua sejauh kita masih dapat memikul dan menjalani semuanya, tahap demi tahap.

Masalah lainnya juga adalah bahwa daya tahan raga dan mental setiap orang berbeda-beda ketika mereka sedang menanggung kesukaran dan azab. 

Ada yang bisa tahan hingga azab reda, dengan meninggalkan luka batin atau luka jiwa yang ringan. Ada yang langsung patah semangat dan kehilangan kekuatan, lalu putus asa, meski kesengsaraan yang sedang dipikul ringan saja, atau sedang-sedang saja. 

Jadi, memang ada persoalan fisik dan psikis berat kalau orang mau dimatangkan dan didewasakan lewat kesukaran dan penderitaan, apalagi lewat azab yang didatangkan Tuhan bertubi-tubi.

Kenapa Tuhan harus memakai cara-cara yang keras dan mendera bertubi-tubi kekasih-kekasih-Nya? Cara-cara yang keras dan keji, kita tahu, kerap berakhir dengan tindakan bunuh diri karena orang yang didera Tuhan sudah tidak tahan lagi, di puncak krisis mental. Ketimbang makin matang dalam kepribadian, mereka malah bunuh diri.

Ilmu pendidikan modern melarang edukasi para pelajar yang dilakukan lewat cara-cara kekerasan dalam berbagai bentuk, kekerasan ucapan maupun kekerasan tindakan.

Memukul dengan rotan terus-menerus hanya akan merusak jiwa si anak korban KDRT. Atau membuat si anak makin nakal dan makin melawan si ayah, mula-mula dalam hati, dan akhirnya terang-terangan dengan kekuatan fisik si anak. Ayah dan anak akhirnya bisa gebuk-gebukan.

Deraan Tuhan lewat penyakit berat, misalnya, yang dimaksudkan Tuhan untuk menghasilkan kebaikan pada diri orang saleh, faktanya, sering berakhir dengan kematian mengenaskan mereka. Dokter-dokter tak berhasil menolong mereka.

Nah, bukankah dokter-dokter, lewat ilmu kedokteran dan berbagai instrumen medik, berjuang semaksimal mungkin untuk menyembuhkan para pasien, yang saleh atau yang tidak saleh? Loh, mengapa Tuhan malah justru menimpakan penyakit berat kepada para penyembah-Nya yang saleh?

Bukankah, jika begitu, kekejaman ada pada Tuhan sendiri, meski Tuhan bermaksud mengedukasi? Bukankah Tuhan dibuat menjustifikasi segala cara untuk mencapai tujuan edukasi-Nya? 

Tuhan, dus, mempraktekkan pepatah "the end justifies the means", padahal seharusnya Tuhan yang mahaadil dan mahabijaksana akan bertindak adil dan arif, bahkan dalam mendidik manusia. Ini sebuah ironi teologis.

Supaya nama Allah dimuliakan

Ketiga, jalan keluar selanjutnya berupa ide bahwa azab dialami orang saleh karena lewat azab mereka, Tuhan mau nama-Nya dimuliakan dan diri-Nya dihormati dan ditakuti.

Jadi, menurut ide ini, si saleh yang sedang ditimpa persoalan dan penderitaan berat seharusnya bersyukur karena mereka dipakai Tuhan dengan sengaja untuk memuliakan dan menghormati Tuhan.

Tetapi tetap muncul problem teodise. Bukankah semakin sewenang-wenang tindakan seorang penguasa, semakin dia dibenci dan dijauhi rakyatnya? Jadi, Tuhan yang suka menimpakan azab sesuai kehendak Tuhan sendiri, tidak akan membuat nama-Nya dimuliakan. Sebaliknya, Tuhan semacam ini akan makin dibenci, lalu akan ditinggalkan.

Sebaliknya, semakin seorang penguasa memperhatikan dan mempedulikan rakyatnya, dan membangun kesejahteraan mereka, semakin si penguasa ini dihormati, disegani, ditaati, disanjung dan dimashyurkan. Begitu juga Tuhan seharusnya.

Jika Tuhan ingin dihormati dan disanjung lewat cara menggertak, mendera, menakut-nakuti, dan menimpakan kesengsaraan dan sakit-penyakit kepada umat-Nya, bukankah Tuhan menjadi Tuhan yang otokratis, otoriter dan tiranis? Jadi, di mana kasih Tuhan? Di mana kebaikan Tuhan? Di mana keagungan Tuhan? Di mana keadilan Tuhan, bahkan terhadap diri Tuhan sendiri? Problem teodise tetap tak terpecahkan.

Patut dijawab, dengan cara bagaimana penderitaan dan azab yang menimpa kekasih-kekasih Tuhan dapat mempermuliakan Tuhan, dapat menyingkapkan karya-karya Tuhan yang agung?

Biasanya dijawab, ya... lewat mukjizat-mukjizat yang dibuat Tuhan untuk membebaskan orang-orang saleh dari penderitaan dan kesusahan berat mereka.

Lazimnya sosok Ayub dalam kitab Ayub dipakai sebagai sebuah contoh tentang problem teodise yang terpecahkan lewat tindakan "pemulihan" (Ayub 42:10) yang Allah lakukan terhadap Ayub yang saleh dan hidup benar. Sebelumnya, semua azab Ayub ditimpakan Iblis kepadanya dengan izin Tuhan.

Lewat tindakan restorasi Allah, semua penyakit berat Ayub diangkat. Semua harta miliknya yang telah lenyap dikembalikan Allah dua kali lipat dari sebelumnya. Tujuh putera dan tiga puteri Ayub yang telah mati, diganti dengan tujuh putera dan tiga puteri juga. Saya tak tahu, apa cara yang dipakai Allah, dalam kisah Ayub, untuk bisa seketika menggantikan sepuluh anaknya yang telah mati dengan sepuluh anak lagi. Rupanya, bagi si penulis kisah (atau oleh seorang editor belakangan) hal itu tidak penting sama sekali untuk dikisahkan.

Kisah dalam Injil Yohanes 9 juga umum dipakai untuk mendukung hal yang sama, bahwa lewat mukjizat-Nya, orang saleh disembuhkan dari penyakit mereka. Alhasil, nama Tuhan dipuji dan kemuliaan-Nya dinyatakan. Dus, problem teodise terpecahkan. Apa ya?

Kisah dalam Yohanes 9 itu bertujuan untuk membuktikan kebenaran ucapan figuratif Yesus bahwa Dialah "terang dunia" (Yunani: to phōs tou kosmou) (ayat 5). Caranya? Ya dengan Yesus membuat suatu "tanda" (Yunani: sēmeion. TB LAI memakai kata "mukjizat") mencelikkan mata seorang pengemis dewasa yang dilahirkan buta. Kita tak diberitahu, apakah si pengemis buta ini seorang yang saleh. Tampaknya tidak. 

Ketika bertemu si pengemis buta ini, murid-murid Yesus bertanya kepada-Nya, "Rabbi, siapakah yang telah berbuat dosa, orang itu sendiri atau orangtuanya, sehingga Dia dilahirkan buta?" Lalu Yesus menjawab, "Bukan dia dan juga bukan orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah (Yunani: ta erga tou theou, "karya-karya Allah") harus dinyatakan di dalam dia." (9:2-3). Karya-karya Allah yang diperlihatkan Yesus membuat nama Allah dan diri Yesus sendiri dimuliakan, sekaligus, dalam kasus si pengemis ini, malah menimbulkan perbantahan dan silang-sengketa.

Tapi masalahnya, apakah azab kekasih-kekasih Allah dalam dunia nyata lenyap semuanya dengan mudah lewat intervensi Allah yang mengadakan mukjizat-mukjizat? Jujur saja, umumnya tidak.

Kalau pun ada kesaksian-kesaksian tentang mukjizat Allah di zaman kita kini, semua kesaksian itu harus diverifikasi lewat ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk kebenaran atau kebohongannya terlihat dan terbuktikan. Di zaman sangat kuno PL dan PB, verifikasi tidak diadakan, tentu saja.

Kalau lewat intervensi Allah yang memakai mediator-mediator para penginjil modern yang giat menjalankan kebaktian "penyembuhan ilahi" ("divine healing") di stadion-stadion dan ruang-ruang gereja megah dan modern banyak orang sakit disembuhkan, ya syukurlah. Tapi, verifikasi harus dijalankan. Allah yang mahatahu dan mahakuasa tidak takut diverifikasi. Orang-orang yang mengaku bisa membuat atau mendatangkan mukjizat lazimnya takut pada verifikasi.

Selanjutnya, mari kita langsung ajak para penginjil penyembuh itu untuk mengunjungi rumah-rumah sakit BPJS dan rumah-rumah sakit rujukan COVID-19 yang sekarang penuh pasien, untuk mereka melakukan penyembuhan ilahi bagi semua pasien, apapun penyakit mereka, apapun tingkat keparahan penyakit mereka, tanpa ada yang dikecualikan.

Allah yang tunduk pada hukum-hukum alam

Keempat, ide jalan keluar lainnya yang diajukan adalah azab dan kemalangan berat menimpa orang saleh karena Tuhan memang tidak mampu, tidak berdaya, dan tidak punya kekuatan dan kuasa, untuk meniadakan azab, kesengsaraan, sakit-penyakit, bencana alam dan keburukan yang dialami orang saleh dan manusia pada umumnya.

Segala keburukan dan kemerosotan dan degenerasi dan kematian dalam dunia ini sebetulnya adalah bagian terpadu dari "struktur alam" atau "struktur kosmologis" yang berlaku selamanya sesuai dengan jalannya hukum-hukum alam ("natural laws") yang tidak bisa diintervensi oleh Allah meski Dia jugalah yang, dipercaya, menciptakan dan menetapkan hukum-hukum alam lalu membiarkan hukum-hukum ini selanjutnya berjalan sendiri.

Problem teodise tetap muncul, sejauh kepercayaan pada adanya Allah sang Pencipta yang mahakuasa dipertahankan dan dibenturkan dengan hukum-hukum alam.

Jika itu jalan keluarnya, maka Tuhan yang mahakuasa diubah menjadi Tuhan yang tidak mahakuasa, Tuhan yang powerless, tak memiliki daya dan keperkasaan, Tuhan yang lemah. Jarang sekali ada orang yang mau percaya pada Tuhan yang lemah dan tak memiliki kuasa. 

Tapi ada juga yang memegang jalan keluar ini, dengan akibat mereka dapat menerima azab mereka sementara tetap percaya pada Allah yang kuasa-Nya terbatas, Allah yang tidak sempurna, Allah yang membuat sebuah lingkaran yang belum penuh, baru setengah lingkaran. 

Ide bahwa ketidaksempurnaan Allah membuat Allah menjadi sempurna, adalah sebuah oxymoron: gabungan dua kata atau dua ungkapan yang bertentangan, tidak ada dalam realitas tapi dapat digunakan untuk menimbulkan efek-efek retoris dan politis. Misalnya, lingkaran segitiga, es yang panas, duka yang membahagiakan, raja bengis yang baik hati, sungai yang mengalir ke puncak gunung, si pandir yang cerdas.

Ya, dengan jalan keluar itu, Tuhan diubah, menjadi Tuhan yang tunduk atau disingkirkan oleh hukum-hukum alam yang dibangun-Nya sendiri, lalu berjalan sendiri tanpa campur tangan Tuhan lagi.

Pemecahan cara ini sering dianalogikan dengan relasi jam tangan ("watch") dan si pembuatnya ("watchmaker"). Sekali sebuah jam tangan jadi, si pembuat jam tangan tidak ikut campur tangan lagi dengan jam yang dibuatnya. Jam itu akan bekerja sendiri lewat sistem mekanik dan/atau elektrik rumit yang sudah dirancang dengan cerdas oleh si pembuatnya.

Jalan keluar ini diterima dengan baik oleh kalangan penganut deisme, sebuah sistem kepercayaan pada Allah sebagai "a watchmaker", "seorang pembuat jam tangan".

Baruch de Spinoza dan Albert Einstein, antara lain, menerima pemecahan problem teodise dengan metafora relasi "watch" dan "watchmaker".

Sebab, bagi dua sosok ternama ini, Allah adalah "natural laws" sendiri. Allah tidak berada di luar, tetapi di dalam, dan bekerja lewat  hukum-hukum alam yang netral, yang bekerja bagi dan di dalam jagat raya dan segenap isinya. Hukum-hukum alam (yang dipandang sebagai kehendak dan pikiran Allah yang paling jelas) tetap bekerja baik bagi orang yang saleh beragama maupun bagi orang yang tidak beragama. Tidak pilih buluh. Tidak memihak. Tidak berhatinurani.

Terkait semua organisme biologis, termasuk manusia, misalnya, adalah hal yang alamiah kalau semua organisme bisa sakit, bahwa sistem biologis manusia akan makin merosot dan rapuh sejalan dengan gerak "panah waktu" atau gerak "the arrow of time" (istilah fisika-nya entropi) yang akan bermuara pada kondisi sistem yang tidak tertata lagi, tidak sinkron, tidak seimbang, akhirnya kacau lalu runtuh. 

Dari kondisi kuat, gesit dan enerjik sewaktu berusia muda, lambat-laun, karena entropi bekerja, semua orang akan masuk ke usia lanjut, tubuh makin melemah, tenaga berkurang, letoi, kulit mengeriput, lalu sering jatuh sakit, dan sistem biologis mulai terganggu tahap demi tahap, lalu tidak terkoordinasi, akhirnya macet, kacau dan runtuh alias mati. 

Terkait alam, kita tahu gempa Bumi, Tsunami serta badai besar, misalnya, melanda siapa saja dan kawasan apapun, tanpa pertimbangan moral. Gravitasi juga berlaku bagi semua orang dan segala benda. Jadi, sama sekali tidak ada problem teodise.

Hukum-hukum alam tidak bisa kita tiadakan atau batalkan, tetapi kendala-kendala yang ditimbulkan hukum-hukum alam dapat kita atasi atau lampaui lewat teknologi. Gravitasi, misalnya, tidak dapat kita batalkan, tetapi teknologi jet sebagai daya pendorong membuat kita dapat terbang melesat ke atas, melawan gaya gravitasi.

Jika untuk mengadakan mukjizat, Tuhan membatalkan kerja hukum-hukum alam tertentu, maka pembatalan ini juga harus lewat hukum-hukum alam yang baru yang akan terus berlaku selamanya di manapun. Nyatanya tokh tidak.

Ya, dalam jalan keluar yang keempat ini, Allah sebagai hukum-hukum alam, dibuat menjadi Allah yang "impersonal". Alhasil, "watchmaker" disamakan dengan "watch". Bagi kalangan yang percaya pada Allah yang "personal", Allah yang memiliki kasih sayang, rasa keadilan, pertimbangan, kepedulian, sifat mahapenolong, problem teodise muncul lagi.

Ya, problem teodise tidak dihadapi juga oleh orang yang tidak memerlukan agama dalam kehidupan mereka. Krisis psikologis tentu mereka dapat alami juga, tapi bukan karena problem teodise. Mereka tentu pernah kecewa berkali-kali tetapi bukan kecewa terhadap Tuhan.

Ketika mereka sedang menghadapi persoalan-persoalan berat dalam kehidupan mereka, sebagai kalangan yang "areligius" atau "nonreligius", mereka tidak mengalami berbagai krisis psikologis yang dipicu oleh kepercayaan teologis yang tak terpenuhi atau gagal dan meleset. Ini yang dinamakan krisis psikologis "disonansi kognitif".

Mereka tentu tidak bisa memarahi Allah atau merasa ditelantarkan Allah. Mereka mencari jalan-jalan natural untuk keluar dari masalah-masalah yang menghimpit kehidupan mereka. Misalnya, dengan memeriksa dan memantau isi pikiran mereka sendiri (ini yang dinamakan "metakognisi", yakni "thinking about your own thinking"), dengan berkonsultasi ke para ahli pemecahan masalah, atau dengan mendatangi para pekerja profesional medik, atau dengan terlibat kegiatan sosial lebih banyak, dll.

Teologi naturalis

Kelima, jalan keluar berikutnya dari problem teodise adalah berpegang pada "natural theology" atau teologi naturalis sementara krisis-krisis berat kehidupan dijalani dan dipikul oleh orang-orang saleh yang ikhlas, tanpa mereka kehilangan iman dan kepercayaan mereka pada Allah.

Dalam "teologi naturalis", segala hal yang alamiah, yang kodrati, yang berjalan menurut hukum-hukum alam atau "natural laws", diterima dengan bersyukur apa adanya, dan dilihat bahwa kasih karunia (Latin: gratia) atau kebaikan (Latin: benignitas atau beneficium) Allah tidak merusak atau menghancurkan hukum-hukum alam yang kodrati, tetapi menyempurnakan atau menggenapkan hukum-hukum alam.

Thomas Aquinas (1224-1274) dengan ringkas mengungkapkan inti teologi naturalis begini: "Gratia non tollit naturam, sed perficit" (Summa Theologiae, I, I, 8 ad 2). Ungkapan yang serupa berbunyi "Gratia non destruit sed supponit et perficit naturam". Artinya, anugerah (Allah) tidak menghancurkan atau membinasakan alam, tapi menyempurnakan atau menggenapkan segala potensinya.

Para penganut teologi naturalis mengkombinasi, tidak membenturkan, kepercayaan pada kasih karunia Allah dengan dunia alam termasuk hukum-hukum alam yang membuat "mesin jagat raya" tetap berjalan, sejak big bang (13,8 milyar tahun lalu) hingga bermilyar-milyar tahun yang akan datang (entah sampai kapan), dan berbagai bentuk kehidupan telah dan terus tercipta dan menyebar.

Yang menakjubkan saya adalah ketika saya mengetahui bahwa astronom Amerika yang beken, Carl Sagan, juga mengulas teologi naturalis. Baginya, teologi naturalis adalah rekan dialog sains modern. 



 Carl Sagan, The Varieties of Scientific Experience: A Personal View of the Search for God (2006)


Dalam bukunya yang berjudul The Varieties of Scientific Experience: A Personal View of the Search for God (diedit oleh Ann Druyan. New York: Penguin Press, 2006), Sagan menyatakan bahwa dalam teologi naturalis "pengetahuan teologis dibangun oleh nalar dan pengalaman dan eksperimen saja. Bukan oleh wahyu, bukan oleh pengalaman mistikal, tapi hanya oleh nalar", "oleh bukti". Pendek kata, baginya teologi naturalis "adalah segala sesuatu tentang dunia ini yang tidak disediakan oleh wahyu." (hlm. 147, 152-153, xvii). Dalam jalur pemikiran Sagan ini, ya Allah bertransformasi menjadi Allah yang berilmu, sang Ilmuwan Besar yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan insani.

Dalam teologi naturalis yang dibangun para teolog Katolik, ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian dari dunia alam, yang dihasilkan lewat kerja keras dan kerja cerdas otak Homo sapiens, organisme cerdas, tidak dilihat berkonflik dengan kepercayaan pada anugerah ("gratia") Allah. Sebaliknya, karunia Allah dipandang bersinergi dengan iptek, dan makin menyempurnakan iptek. Posisi yang keren banget, bukan?

Jadi, ketika menghadapi berbagai kesulitan dan kesengsaraan, serta azab, mereka tidak mempertanyakan Tuhan apalagi mempersalahkan dan memurkai lalu meninggalkan Tuhan. Tak ada krisis psikologis karena problem teodise, dalam diri mereka.

Mereka melihat semua kesusahan itu, baik yang sifatnya natural seperti bencana alam atau pandemi yang dahsyat, maupun yang sifatnya biologis, antropologis, individual dan sosial yang juga bekerja menurut hukum-hukum dunia kodrati, bukan Allah yang timpakan atau timbulkan. Tetapi semuanya muncul dari hukum-hukum alam yang luas, yang bekerja baik dalam "dunia" partikel-partikel quantum maupun dalam seluruh jagat raya yang terus bergerak mengembang dengan makin cepat, ibarat sebuah balon raksasa yang sedang ditiup. 

Tak ada yang salah dan buruk pada hukum-hukum alam kodrati. Alam ini dinamis, bergerak, berfungsi, dan beroperasi, menurut hukum-hukumnya sendiri, dan semua dipandang Allah "baik" adanya. Langit penuh misteri yang "menceritakan kemuliaan Allah" (Mazmur 19:2). Carilah itu, maka kamu akan menemukan. Ketuk gerbang-gerbang jagat raya, maka gerbang akan dibukakan. Ikuti kuriositas atau rasa haus pengetahuan anda.

Tapi, menurut teologi naturalis, alam kodrati belum sempurna, karena jagat raya belum selesai (dan tak pernah selesai) diciptakan atau menciptakan diri. Inilah ide "creatio continuata", atau "continuous creation" yang memiliki basis keilmuan. Alhasil, dunia alam tetap memerlukan "gratia" atau "karunia" Allah untuk terus-menerus diangkat ke kesempurnaan, ke potensi-potensinya yang makin kuat, lengkap, agung dan penuh.

Karena Allah juga memberi kehendak bebas, freewill, maka, bukan cuma manusia, hukum-hukum alam yang sudah dibuat berjalan sendiri dengan bebas tentu juga memiliki kehendak bebas untuk nyelonong keluar dari relnya. 

Jika demikian, berarti selalu terbuka kemungkinan muncul hukum-hukum alam yang baru yang belum ditemukan ilmu pengetahuan. Catat: pernyataan ini tak terkait dengan klaim-klaim keagamaan tentang mukjizat.

Akibatnya positif: para ilmuwan tidak akan pernah selesai dalam mempelajari berbagai fenomena alam dan hukum-hukum alam yang bekerja di dalam fenomena-fenomena alam itu. Fisika-fisika baru akan terus dilahirkan, tentu dengan tidak mudah dan tidak dalam sekejap mata. Dan, ini semua adalah bagian dari karya gratia Allah yang menyempurnakan dunia kodrati terus-menerus.

Dalam sistem biologis tubuh manusia, kehendak bebas dari hukum-hukum biologis yang sudah tertata dan bekerja pada rel-rel yang benar, dapat menimbulkan hal-hal yang abnormal, yang tidak bisa disembuhkan, mulai dari molekul-molekul, sel-sel tubuh, jejaring, hingga ke organ-organ dan anggota-anggota tubuh. Untuk mengatasi abnormalitas ini, sistem biologis tubuh dan jejaringnya perlu diedit, disetel ulang, disempurnakan lagi lewat berbagai cara.

Dalam rangka "penyempurnaan" alam kodrati itulah, ilmu pengetahuan dan teknologi dikaruniakan Allah, tanpa pernah habis, untuk manusia dapat makin luas dan makin mampu memahami jagat raya dan segala fenomena dan potensi yang ada di dalamnya, juga segala misteri jagat raya. 

Juga, supaya manusia makin mampu mengelola alam atau menatalayani alam dengan bertanggungjawab untuk mendatangkan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan bagi kehidupan umat manusia, jiwa dan raga, di segala bidang dalam alam ini.

Dengan demikian, penderitaan dan kesukaran berat dalam kehidupan orang-orang yang menjadi kekasih-kekasih Allah dapat dipikul dengan tabah, ikhlas dan berpengharapan, sebagai hal-hal yang natural, yang dapat berfungsi positif jika dapat selesai terpikul. Bukan didatangkan Allah sebagai pencobaan-pencobaan. "Allah tidak mencobai", itu bagian dari keyakinan penganut teologi naturalis.

Mereka yakin, penderitaan manusia adalah jalan alam yang oleh Allah yang penuh kasih karunia akan ditingkatkan atau disempurnakan menjadi jalan yang akan bermuara pada kualitas kehidupan manusia yang lebih baik, lebih lengkap dan makin sempurna. Jalan alam yang edukatif lewat karunia Allah, lewat kekuatan dan kecerdasan yang Allah berikan.

Apakah problem teodise terpecahkan lewat jalan keluar teologi naturalis? Ya, tapi tidak sepenuhnya.

Dalam teologi, ya ini suatu pemecahan teologis yang bagus. Tapi dalam kenyataan kehidupan, penderitaan dari alam dan hukum-hukum alam banyak kali tidak mendatangkan kesempurnaan bagi manusia lewat karunia Allah, melainkan menghancurkan manusia dan alam itu sendiri. Kita semua tidak sanggup untuk memandang kehidupan yang kandas dan hancur sebagai karunia Allah.

Tentu, perspektif teologi naturalis juga benar, sebab banyak orang yang menderita, yang tidak mempersalahkan Tuhan tapi memandang semua azab mereka timbul dari alam, bisa tetap tenang dalam kehidupan mereka, tetap berpengharapan kepada Tuhan, dan tabah luar biasa. 

Ya, ketabahan dan ketenangan di saat kita sedang menanggung penderitaan berat dapat dialami jika kita tidak melekatkan diri kita kepada azab yang sedang kita pikul. Kita mengambil jarak. Dalam Buddhisme, prinsip "tidak melekatkan diri" atau prinsip "nekkhamma" adalah salah satu prinsip utama dalam orang menjalani dan melakoni kehidupan. 

Jalan kesengsaraan, bagi para penganut teologi naturalis, akan dielevasi, diangkat dan disempurnakan Allah, menjadi jalan keselamatan, jalan kebangkitan, jalan memperoleh tubuh dan kehidupan yang makin dikuatkan dan disempurnakan. Kesempurnaan kehidupan sebagai pemberian Allah memerlukan lebih dulu jalan-jalan penderitaan dan ketabahan.

Garis takdir

Keenam, problem teodise disarankan diatasi dengan ide tentang garis takdir atau garis pradestinasi secara menyeluruh, mencakup seluruh kehidupan setiap manusia dan jagat raya.

Ada banyak orang yang berkeyakinan bahwa "jalan kehidupan" setiap orang, entah jalan yang baik dan membahagiakan, atau jalan yang buruk dan menyengsarakan, sudah digariskan atau dibuat skenario finalnya lebih dulu atau sejak sebelum dunia ini ada oleh Tuhan yang tidak bisa diubah lagi oleh manusia. 

Semua orang tinggal menjalani dan pasrah menerima garis atau skenario ilahi ini, dan segala usaha untuk mengubah atau mengedit garis pradestinasi atau garis takdir ("destiny" atau "fate"; Latin: fatumini akan sia-sia. Takdir atau "fate" tidak dapat diubah. Inilah yang dinamakan fatalisme atau takdirisme.

Setiap manusia, jadinya, cuma robot-robot buatan Tuhan Allah yang "jalan kehidupan" bahkan "watak dan kepribadian" mereka masing-masing sudah fixed diprogram oleh Tuhan sebelum mereka dilahirkan. Tidak ada daya dan kehendak bebas yang diberikan oleh Allah untuk setiap insan melakukan reprogramming jalan-jalan kehidupan mereka masing-masing. 

Bahkan adanya jagat raya, semua bentuk kehidupan di dalamnya, semua kejadian dalam alam, ihwal kapan jagat raya akan binasa total, dan jalan-jalan hukum-hukum alam, bukan hanya jalan kehidupan setiap insan sejak dalam rahim, sudah digariskan oleh Allah dalam satu desain besar ilahi yang tak bisa diubah lagi. Semaju apapun iptek, tidak akan bisa mengubah takdir kosmologis dan takdir antropologis yang sudah digariskan dari "atas".

Tapi, pada sisi lain, manusia malah lebih maju dari suatu sosok adikodrati yang menetapkan garis takdir. Kita telah dan sedang menciptakan robot-robot "android" atau "humanoid" (artinya: "seperti manusia") yang memiliki kecerdasan buatan atau "artificial intelligence" (AI) yang, sedemikian rupa, mandiri, mampu makin melipatgandakan berbagai kecerdasan mereka terus-menerus, tanpa batas, dan besar-besaran, dalam waktu yang makin cepat. Kemampuan ini dinamakan "recursive self-improvement". 

Mereka memang robot, tetapi robot yang bebas. Tidak dibuatkan garis takdir untuk mereka oleh manusia yang menciptakan mereka.

Bidang AI memang suatu bidang yang rumit yang melibatkan banyak bidang keilmuan lain, dan tentu akan dapat mendatangkan risiko-risiko berbahaya yang serius bagi ketahanan kehidupan Homo sapiens sendiri di masa depan. Mereka bisa---oleh karena suatu perkembangan berantai dalam kecerdasan mereka--- berbalik menyerang dan memusnahkan kehidupan manusia. Ketakutan negatif semacam inilah yang dinamakan Robokalipsis atau "Apokalipsis robot", dan lebih khusus lagi ketakutan ini ditujukan terhadap AI yang nanti akan mencapai level Super-AI.

Ancaman itu sudah dilihat dan dipahami betul; dus, pengembangan AI dan robot-robot cerdas humanoid terus dilakukan supaya mesin-mesin yang memiliki AI yang otonom nantinya juga memiliki kemampuan-kemampuan dan kecakapan-kecakapan mental yang ada pada manusia, yang kini dinamakan "soft skills", seperti emosi, cinta kasih, empati, kecerdasan artistik, kecerdasan eksistensial, kecerdasan sosial, kecakapan metakognitif, dll. 

Salah satu cara yang sedang dikaji dan dikembangkan adalah menggabung, merging, antara manusia biologis organik dengan mesin-mesin mekanik cerdas yang bertubuh logam dan silikon. Organisme gabungan yang terdiri atas bagian-bagian tubuh biologis organik dan bagian-bagian tubuh mekanik (atau "biomekatronik") dinamakan cybernetic organism atau cyborg oleh Manfred Clynes dan Nathan S. Kline di tahun 1960.

Nah, kita kembali ke ide takdir. Dengan ide garis takdir, kata pendukung ide ini, problem teodise tidak akan muncul karena manusia cukup tunduk, pasrah dan menerima garis takdir atau skenario pradestinasi ilahi ini, sejak sebagai janin hingga mati. Tak usah protes ke Tuhan atau tak usah mengalami guncangan religiopsikologis. Tak usah memohon kekuatan karena percuma. Dus, ya tak usah berdoa atau bersembahyang. Tak usah juga mencari pertolongan dalam bentuk apapun. Teorinya atau doktrinnya begitu. Tapi, apakah ada manusia yang sampai bersikap dan berpendirian fatalistik ekstrim seperti itu? Tidak ada!

Doktrin garis takdir menimbulkan banyak masalah, termasuk masalah teodise. 

Doktrin ini tidak mendorong orang untuk bekerja keras dan bekerja cerdas untuk mengubah jalan kehidupan mereka dan membuat mereka jadi lebih baik, lebih berbahagia, lebih membahagiakan, lebih berdayatahan, dan lebih maju. 

Orang juga jadi tidak mau menarik pelajaran dan hikmah dari setiap kejadian berat dan buruk yang telah menimpa mereka, untuk membuat jalan kehidupan di depan mereka lebih baik, lebih maju dan lebih laju. 

Kemiskinan akan dibiarkan. Bencana alam tak diusahakan dicegah sebelumnya dan ditanggulangi. Orang tidak terdorong untuk menemukan dan mengembangkan iptek tanpa akhir. Kuriositas atau dorongan ingin tahu dikekang dan dibinasakan. Kelaparan dan kekurangan gizi dipandang sudah digariskan dari "atas". Pandemi dipandang tak perlu dilawan dan diatasi. Anehnya, para pemegang doktrin garis takdir tetap melihat ke kiri dan ke kanan jalan raya sebelum mereka menyeberang. Kenapa tidak tutup mata saja?

Lalu, mengapa para penganut takdirisme atau doktrin pradestinasi global tidak bisa dan tidak mau mengakui bahwa orang-orang juga dapat ditadirkan untuk melawan dan mengubah garis takdir mereka masing-masing? Juga mengapa mereka tidak mau dan tidak bisa melihat sebagai takdir bahwa iptek harus dilahirkan dan terus berkembang tanpa batas? Berhubung garis takdir tidak ada cetak birunya, tidak dicetak hitam di atas putih, mengapa mereka yakin bahwa garis takdir mereka tidak bisa diubah? Dari mana mereka tahu hal ini?

Jika anda penganut keras takdirisme, bukankah anda masih punya kebebasan untuk berkata, "Aku ditakdirkan untuk melawan dan mengubah garis takdirku sendiri!" Ya, bukan? Nah, katakanlah itu dengan lantang dan jelas, dan laksanakan dengan yakin.

Selain itu, doktrin garis takdir atau garis pradestinasi menampilkan suatu sosok Tuhan yang tidak adil karena menggariskan jalan kehidupan satu orang sebagai jalan keberuntungan, keberhasilan dan kebahagiaan, sedangkan untuk orang yang lain sosok Tuhan yang sama, yang esa, menggariskan jalan kehidupan yang penuh kemalangan, kegagalan dan azab. Di mana keadilan Tuhan? 

Mengapa Tuhan pilih bulu? Tuhan jadinya diibaratkan sebagai sosok orangtua yang pilih kasih terhadap anak-anak mereka. Ada yang menjadi anak kesayangan, dan ada yang menjadi anak kebencian. Sedih ya.

Celakanya, ketika disodorkan ihwal sosok Allah yang pilih kasih dan pilih bulu, para penganut doktrin pradestinasi atau takdirisme memberi reaksi defensif keras di saat mereka menjawab dan membela Allah bahwa pilih kasih itu ada sepenuhnya dalam kedaulatan absolut Allah. 

Bagi saya, kedaulatan absolut Allah ini makin mengabsolutkan ketidakadilan dan ketidakseimbangan Allah. Saya tidak bisa jatuh cinta pada Allah yang seperti ini, yang serba diabsolutkan oleh manusia. Tentu, ada banyak hal pada Tuhan Allah yang absolut, misalnya bahwa Allah adalah cinta kasih semesta, bahwa Allah itu menyelamatkan, bahwa Allah itu mahasuci, bahwa Allah itu transenden sekaligus imanen.

Patut diingat, Yahweh Elohim dikisahkan dalam Tenakh Yahudi bukan cuma memiliki hal-hal yang absolut, tapi juga hal-hal yang dinamis, luwes, lentur, fleksibel, dan mengalir berliku. Yahweh Elohim terlibat tawar-menawar dengan Abraham terkait dengan penduduk kota Sodom (Kejadian 18:16-33), bahkan bertarung dengan Yakub di Pniel, dekat sungai Yabok, dengan kemenangan dialami Yakub (Kejadian 32:22-32). Bahkan karena tergerak oleh belas kasih, dan karena hal-hal lain, Yahweh digambarkan berubah pikiran (NRSV: change the mind. TB LAI: menyesal. Ibrani: nākhêm) (Keluaran 32:12-14; 2 Samuel 24:16; Yeremia 18:8; 26:3, 13, 19; Amos 7:1-6; Yunus 3:9-4:2).

Allah yang bersembunyi

Ketujuh, problem teodise diatasi dengan ide bahwa Allah itu tetap mahahadir dan mahatahu dan mahamendengar, tetapi tidak jarang Dia sengaja menyembunyikan diri, menjadi "the hidden God", ketika orang-orang yang menjadi kekasih-kekasih Allah sedang dilanda kesusahan berat dan azab.

Dalam kitab suci Ibrani, ada sebuah ucapan kenabian dalam kitab (Deutero-) Yesaya (ditulis sebelum kejatuhan Babilonia ke tangan pasukan Koresh, raja Persia, 29 Oktober 539 SM) tentang Allah yang bersembunyi. Bunyinya berikut ini:

"Sungguh, Engkau Allah yang menyembunyikan diri, Allah Israel, sang Juruselamat." (Yesaya 45:15)

Ucapan kenabian itu muncul setelah sebelumnya ada pengakuan dari bangsa-bangsa lain bahwa Allah, satu-satunya Allah, hanya ada di tengah-tengah bangsa Israel. Ini tampak seperti sebuah ironi. Kelihatannya, terhadap bangsa-bangsa yang bukan pilihan Allah Israel, Allah menyembunyikan diri. Allah bebas memilih, kepada siapa Dia akan terlihat, dan kepada siapa Dia akan tersembunyi. Tetapi, kebebasan itu tidak terpisah dari tanggungjawab dan kebajikan.

Dalam Mazmur 89:47, dikatakan bahwa jika TUHAN sedang murka besar, bernyala-nyala, Dia bersembunyi terus-menerus. Pemazmur bertanya, "Berapa lama lagi, ya TUHAN, Engkau bersembunyi  terus-menerus? Berapa lama lagi, murka-Mu berkobar-kobar laksana api?"

Jadi, gagasan bahwa Allah menyembunyikan diri bukan gagasan yang asing bagi bangsa Israel kuno.

Tentu, orang yang percaya pada Tuhan dan menjalani kehidupan sebagai kekasih-kekasih Tuhan, masih dapat menerima jika Tuhan betul-betul menyembunyikan diri dari orang-orang biadab dan durjana, yang mengaku beragama. Seruan doa mereka yang keji ini tidak terdengar oleh Tuhan yang bersembunyi. Wajah dan kemuliaan Tuhan tak terlihat oleh mereka. Sebaliknya, di tempat persembunyian-Nya Tuhan murka dengan bernyala-nyala terhadap mereka. Murka yang masih disembunyikan. Itulah yang ada dalam pikiran si penulis Mazmur 89:47.

Tetapi, jika di tengah azab yang sedang dialami sendiri oleh orang-orang saleh dan benar, Allah menyembunyikan diri, tidak mau terang-terangan mendatangi dan menolong mereka, problem teodise tetap tak terpecahkan. Ini juga problem teodise yang dikisahkan penulis Injil Markus dihadapi Yesus ketika Dia disalibkan, sedang sekarat, dan tidak melihat Allah, Bapa-Nya, hadir dan menolong-Nya. Allah menyembunyikan diri ataukah Allah menyatu dengan Yesus yang sedang sengsara berat?

Adakah seorang ayah atau seorang bunda yang lari bersembunyi ketika anak-anak mereka sedang terancam bahaya besar atau sedang tertimpa azab? Mungkin sekali tidak ada. Jika ada, dunia yang beradab akan pasti marah kepada si ayah atau ke si bunda itu, dan menilai mereka sebagai orangtua yang sangat tega dan tidak bertanggungjawab dan tidak menyayangi anak-anak mereka.

Begitu juga halnya dengan Tuhan, jika Tuhan malah menyembunyikan diri ketika anak-anak-Nya sedang menanggung kesengsaraan besar. Problem teodise tidak terselesaikan lewat ide Allah yang bersembunyi dengan sengaja.

Orangtua yang sejati akan bertindak sebagai tameng pelindung jika anak-anak mereka sedang terancam bahaya besar. Jika Allah adalah sang Bapa atau sang Bunda sejati, Allah juga tidak akan pernah bersembunyi jika anak-anak-Nya sedang memikul penderitaan dan duka lara yang berat. Allah akan membela, melindungi dan menyelamatkan mereka.



"Puisi" ratapan Yesus terhadap kota Yerusalem dan penduduknya


Ketika berada di Bukit Zaitun dan memandang kota Yerusalem, Yesus peduli pada kota ini dan penduduknya, hati-Nya menjadi gundah, lalu Dia "meratapi" kota ini dengan menggambarkan diri-Nya lewat sebuah metafora feminin sebagai seekor induk ayam yang dengan sayap-sayapnya yang dibentangkan melindungi dan memperisai anak-anaknya. 

Kata Yesus, "Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti seekor induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau." (Matius 23:37-39; Lukas 13:34-35).

Ya, dalam "puisi" ratapan itu, Yesus memandang diri sebagai "seorang bunda" yang mau menjadi tameng buat warga Yerusalem, meskipun mereka dikenal sebagai penolak dan perajam nabi-nabi. 

Tapi, kenyataannya memang kerap Allah tampak tidak hadir, bersembunyi, ketika orang-orang saleh dan benar sedang terancam bahaya atau sedang menanggung penderitaan.

Allah kerap menjadi sebuah teka-teki.  Di manakah kini Allah, yang mahahadir, berada sementara Dia memang tidak hadir? Apakah Dia dengan misterius hadir dalam ketidakhadiran-Nya? Presence in absence? Fullness in emptiness? Voice in silence? Everywhere in nowhere? Sebuah teka-teki besar. A big conundrum. Tanpa teka-teki, tanpa pertanyaan, tanpa mulut terkatup dalam keheningan, Allah kehilangan keallahan-Nya.

Tapi, jika Allah sedang bersembunyi karena Dia sedang main petak umpet dengan kita, umat-Nya, dan kita mencari-cari-Nya dengan gembira dan penuh semangat, saatnya akan tiba bahwa kita akan menemukan-Nya lalu merangkul-Nya dengan senang. Mungkin kita akan temukan Dia sedang sembunyi di balik sebuah pohon besar. Datangilah. Berlarilah ke pohon besar itu. Lalu bermain petak umpet dari awal lagi. 

Ya, kita akan makin akrab dan makin kenal lebih dalam dan dalam banyak segi siapa dan bagaimana Allah itu lewat bermain petak umpet dengan-Nya. 

Ketersembunyian Allah dalam suatu permainan petak umpet, kita perlu alami, sebab dengan adanya jarak antara Allah dan kita, dengan tak terlihatnya Allah oleh kita yang sedang mencari-Nya, kita mendapatkan kesempatan untuk merenungi Allah dengan lebih dalam, luas dan jauh lagi. Alhasil, kita akan bisa menjumpai dimensi-dimensi lain dari diri dan karya Allah yang sebelumnya kita tidak lihat.

Allah suka bermain dan bergembira bersama kita. Ya, bermainlah. Otak bertambah pintar lewat banyak kegiatan bermain. Perasaan dan emosi menjadi tenang teduh. Kecerdasan sosial berkembang 

Allah yang berempati

Kedelapan, problem teodise diatasi dengan ide bahwa dalam penderitaan berat yang menimpa orang-orang yang saleh dan benar, Allah berempati dengan mereka. Allah menempatkan diri pada mereka. Ikut merasakan sedalam-dalamnya azab mereka sebagai Allah yang berbelarasa, yang "ikut menderita", "the compassionate God".

Bahkan Allah menanggung kesengsaraan mereka dengan Allah menyatu dengan diri mereka. Allah tidak berada di luar mereka ("God without"), tetapi berada dan bersatupadu dengan mereka ("God within"). Memakai frasa dari Injil Yohanes, Allah "berdiam dalam" (Yunani: menein ev) diri manusia, umat-Nya, dan umat-Nya "berdiam dalam" diri Allah.

Manusia menderita, ya Allah menderita juga. Allah tidak kebal dari penderitaan. Allah sengaja masuk dalam kemalangan manusia dan merasakannya. Jika dilihat dari sudut ini, ya kemalangan dan duka tidak berasal dari Allah.

Pemecahan problem teodise ini diinspirasi oleh teologi Immanuel, yakni keyakinan atau pengakuan bahwa "Allah ada bersama kita", manusia.

Kekristenan melihat wujud sang Immanuel ada pada diri Yesus orang Nazareth, sang Tuhan dan sang Kristus ("Messias") gereja.

Dalam seluruh jalan kehidupan Yesus---sejak Dia berada bersama-sama murid-murid-Nya dan rakyat jelata Yahudi, mengajar mereka, menolong mereka, memberdayakan mereka, lalu mengalami masa-masa kesengsaraan, dan berakhir pada kematian-Nya di kayu salib---sang Immanuel kudus berada di antara manusia, ikut mengalami pergumulan dan kesusahan manusia dengan real. Sang Immanuel yang setiawan. Kawan sejati seperjalanan. Kawan yang tidak meninggalkan kita ketika kita sedang susah. Kawan yang tak akan pernah berkhianat.

Jalan keluar kedelapan dari problem teodise ini juga diilhami oleh teologi "pengosongan diri" (Yunani: kenosis) yang dikembangkan dari Filipi 2:5-11. 

Yakni keyakinan atau doktrin bahwa Yesus Kristus sebagai "rupa Allah" (Yunani: morfē theou) dengan segala kemuliaan ilahi, telah mengosongkan diri-Nya sendiri (Yunani: ekenōsen heauton), meniadakan kepentingan-Nya sendiri, menyangkal keakuan diri, dengan masuk ke dalam sikon serendah-rendah dan sesusah-susahnya manusia. Yakni, dengan "menjadi sama dengan manusia" (Yunani: en homoiōmati anthrōpōn genomenos) dalam status terendah sebagai "seorang budak" (Yunani: doulos) yang rentan didera azab, ketidakadilan, kekerasan, kesewenang-wenangan, kemalangan, dan kematian.

Teologi kenosis paralel dengan teologi inkarnasi (Latin: incarnatio, dari dua kata in dan caro, artinya "dalam daging", "in the flesh", "in-carne") atau teologi "penjelmaan" yang dirumuskan singkat padat oleh penulis Injil Yohanes (1:14a) dalam kalimat "Sang Firman itu telah menjadi daging" (Yunani: ho logos sarks egeneto). Memakai terjemahan LAI, "Firman itu telah menjadi manusia".

Sang Firman, dengan menjadi "daging", menjadi biologi manusia, yakni Yesus Kristus, sungguh-sungguh telah mengecap dan mengalami sampai ke akar-akarnya suka dan duka, azab dan sengsara, dalam kehidupan real manusia. 

Tuhan tidak tinggal berdiam di suatu menara gading yang tinggi jauh di atas Bumi, tetapi membangun "tempat tinggal di antara kita" (Yohanes 1:14b. Yunani: eskēnōsen en hēmin). 

Di dalam diri Yesus, Allah yang transenden berada di dunia bawah, bersama kita, manusia di Bumi, sebagai kita, manusia, yang memiliki darah, daging, organ-organ, tulang dan otot, dan nafas. Satu sosok manusia senyata-nyatanya yang dapat dipersepsi lewat lima indra.

Jadi, kemahakuasaan dan kemuliaan dan kasih Allah tidak disangkal meski orang-orang yang saleh, benar dan suci kerap menanggung azab dan kesusahan berat.

Dengan jalan keluar ini, setiap kekasih Allah yang sedang menderita, yang ada dalam sikon kehidupan yang paling susah dan berat, yang masuk ke situasi terendah dalam kehidupan mereka, bahkan diserang keraguan dan dibanjiri pertanyaan di manakah Tuhan berada, apakah Dia masih setia--- mereka dibuat tetap tabah, ikhlas, kuat, dan tetap tak kehilangan pengharapan. Karena dalam azab mereka, seolah Tuhan telah menjauh, mereka tetap menemukan dan mengalami Allah tetap bersama mereka, bahkan ikut menderita di dalam diri mereka. Allah tidak bersembunyi, tetapi menyatu dengan manusia. Ya, Allah bersembunyi dalam diri kita, dengan menjadi satu dengan diri kita.

Kalau dalam kesusahan kita, ada orang yang mau peduli, yang berempati pada kita, yang merangkul kita, niscaya kita akan merasa ditemani, menemukan orang yang mau ikut menanggung penderitaan kita, mendapatkan kawan yang setia. Alhasil, kita akan dikuatkan, diberi tenaga baru, diberi ketabahan dan daya tahan, meski kesusahan dan penderitaan masih kita tanggung.



Teriak Yesus, "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Tapi langit tertutup awan gelap. Allah membisu.


Seandainya pun orang-orang saleh terjungkal ke dalam perasaan gundah yang besar dan dalam, yang membuat mereka, tanpa tertahan, berteriak putus asa "Ya Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?", mereka akan segera ingat dan memandang Yesus yang juga pernah mengalami sikon keputusasaan religiopsikologis yang sama berat.

Di saat Yesus terpancang di kayu salib, sekarat dan menjelang ajal, penulis kisah Injil Markus mencantumkan suatu ucapan putus asa Yesus, "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?" (Markus 15:34). Teriakan Yesus itu juga teriakan komunitas penulis Injil Markus di tahun 70 ketika kota Yerusalem sudah dibumihanguskan dan Bait Allah sudah dihancurkan menjadi puing-puing dalam Perang Yahudi Pertama. Penulis Injil Markus mengutipnya dari Mazmur 22:2 (oh ya, keseluruhan Mazmur 22 dapat kita pandang sebagai "miniatur kitab Ayub"). Teriakan Yesus itu juga teriakan kita. Dan... teriakan kita adalah juga teriakan Yesus.

Apakah Allah, sang Bapa, telah meninggalkan-Mu, Yesus? Bersembunyi dari-Mu, Yesus? Oh tidak, Yesus. Allah, Bapa-Mu, telah menyatupadu dengan diri-Mu di saat Engkau sengsara sangat berat di kayu salib. Putera menderita, Bapa juga menderita. Jeritan Putera, derita Bapa.

Temukan Allah sebagai Allah yang menderita di saat anda sedang menderita. Seperti anda, Allah juga tidak kebal dari penderitaan. Anda tidak sendirian di saat anda sengsara. God is within you in your agony! Anda ditemani, anda dirasakan, anda dikecap, oleh Allah, oleh Tuhan Yesus.

Masih ada sebuah gambaran simbolik lainnya. Di saat itu, ketika Yesus sedang kesakitan dan berteriak di kayu salib, "kegelapan menyelimuti seluruh daerah itu"-- suatu ungkapan simbolik langit tertutup, Allah di sorga tak terlihat dan tak bersuara, berdiam diri, senyap dan lenyap. Yesus, kata pengisah Injil Markus, pernah mengalami keadaan ini, ditinggalkan Allah, sang Abba, yang membuat-Nya makin berat menanggung azab.

Jika kita terperosok ke dalam problem teodise, dan kita bertanya di mana Allah, mengapa Allah membungkam, Yesus sudah mengalaminya. Kita tidak sendirian. Kita dirasakan oleh Yesus.

Di saat kita disadarkan dan diingatkan lagi tentang apa yang pernah menimpa Yesus di ujung jalan kehidupan-Nya, kita pun menemukan kawan yang setia, Tuhan yang tahu apa artinya kesengsaraan berat, tahu apa yang terjadi dalam batin kita di saat kita merasakan Tuhan sang Bapa telah menghilang, pergi, atau mungkin tersembunyi di balik awan-awan gelap yang menutup angkasa. 

Orang pun menjadi tabah. Tak kecewa pada Tuhan. Tak marah pada sang Bapa. Sekalipun akhirnya mereka mati dalam penderitaan mereka, seperti Yesus. Kematian kekasih-kekasih Yesus dirasakan oleh Yesus. What a privilege!

Ya, ketabahan dan keikhlasan menjauhkan kita dari problem teodise yang dapat menguras banyak tenaga kita, fisik dan mental. Pengharapan pun terbangun, karena kita ditemani Tuhan, dirasakan Tuhan. Karena lewat kesengsaraan dan kematian-Nya, Tuhan kita, Yesus Kristus, mengalahkan kesengsaraan dan kematian. Fajar pagi yang merekah akan datang juga. Kabar gembira dan kemenangan akan kita dengar dan alami. Be hopeful. Be brave. Be tough. Be strong.

Penutup

Baiklah, itu delapan jalan keluar yang dapat dipikirkan, jika kita mau memecahkan problem teodise. Selanjutnya, adalah tugas anda untuk memilah-milah, jalan keluar yang mana yang paling kena di hati anda dan masuk dalam pemikiran teologis anda.

Sekali lagi ingatlah bahwa problem teodise muncul manakala seseorang yang percaya pada Allah yang esa, yang hidup benar dan sungguh-sungguh menjauhkan diri dari pikiran dan tindakan yang berdosa, mengaitkan kemalangan dan penderitaan yang dialaminya kepada Allah yang dipercayainya, dari mana pun penderitaannya berasal.

Si orang yang saleh dan hidup benar ini tentu tahu bahwa penderitaan bisa dialaminya karena kesalahannya sendiri dalam memakai kebebasannya untuk memutuskan sesuatu atau untuk bertindak. Atau karena kejahatan orang lain yang kesetanan. Atau karena sistem-sistem dalam penataan masyarakat tidak adil. Atau karena tindakannya sendiri yang ceroboh, atau tidak disengaja. Atau karena kecelakaan yang tak diduga atau karena bencana alam, dan karena kerja hukum-hukum alam. Dan masih banyak lagi. 

Apa pun sumber dan penyebab azab yang menimpa orang yang menjadi kekasih-kekasih Tuhan, problem teodise muncul jika, sekali lagi, azab mereka dikaitkan ke Tuhan yang dipercaya mereka sebagai sang Tuhan pelindung, penjaga, pemelihara, yang memiliki segala kuasa untuk selalu mengayomi dan menolong mereka.

Hemat saya, jalan keluar kedelapan di atas, mengakhiri segala problem teodise.

Akhir kata, selamat bermain petak umpet dengan Tuhan. Saya suka bermain dengan Tuhan, bermain petak umpet, bermain adu lari cepat dan adu hening. Be happy. 

11 Maret 2021
ioanes rakhmat

N.B. edited 22 Desember 2021