Thursday, February 18, 2021

Temuan Terkini WHO Terkait Asal-usul Wabah Covid-19 di Wuhan, dan Mutasi Mutakhir Coronavirus


Tim misi WHO yang terdiri atas 17 ilmuwan yang dipimpin Peter Ben Embarek, bersama 17 ilmuwan China, telah melakukan investigasi langsung pertama di lokasi selama satu bulan tentang asal-usul wabah virus SARS-CoV-2 di Wuhan dan kawasan sekitarnya yang terletak di provinsi Hubei, China.

Seperti halnya dengan semua negara lain, apalagi negara besar seperti China, protokol "surveillance" yang ketat diberlakukan pemerintah China terhadap pekerjaan investigatif tim misi WHO. Bagaimana pun juga, tim ini telah sukses bekerja selama satu bulan bersama 17 ilmuwan China sebagai kolega mereka.

Temuan-temuan Pertama

Tim misi WHO itu baru saja telah merilis temuan-temuan mereka di Wuhan. Berikut ini.

1) Wabah infeksi coronavirus telah berlangsung lebih awal di Wuhan, sejak Oktober 2019, TANPA TERDETEKSI oleh para ilmuwan dan pemerintah China.

2) Saat wabah resmi dinyatakan telah terjadi, pertengahan Desember 2019 di Wuhan, SUDAH ADA tiga belas varian coronavirus yang telah menyebar luas.

Penemuan atas 13 varian coronavirus tersebut didapat setelah dilakukan sekuensing genetik terhadap sampel-sampel material-material genetik virus dari kasus-kasus positif Desember 2019 dan sebelumnya. Hasilnya, ditemukan 13 sekuen genetik virus yang berbeda.

Sampel-sampel material genetik ini berasal dari data pasien-pasien sepanjang 2019. Beberapa di antaranya berasal dari pasar-pasar, termasuk pasar seafood Huanan di Wuhan yang diduga berperan penting dalam penyebaran virus, dan beberapa lagi tidak terkait dengan pasar-pasar.

3) Penemuan PERTAMA KALI tiga belas sekuensing genetik virus yang berlainan tersebut menyarankan bahwa coronavirus SUDAH MENYEBAR LAMA sebelum Desember 2019 di Wuhan tanpa terdeteksi.

Lazimnya, setiap wabah virus di manapun baru resmi terdeteksi beberapa waktu (dalam hitungan minggu atau bulan) sesudah kejadian infeksi-infeksi pertama yang tak diketahui. Kasus wabah di Wuhan, resmi terdeteksi pertama di pasar seafood Huanan, Wuhan.

Pasien pertama Covid-19 asal Wuhan adalah seorang pria umur 40-an. Pria ini hidup normal dan biasa-biasa saja, bekerja di kantor sebuah perusahaan privat. Tak pernah mendaki gunung dan memasuki goa-goa. Juga tidak terkait dengan pasar-pasar seafood, dan sebelum sakit tidak pernah mengunjungi kota-kota lain. Tim misi WHO telah bertanyajawab dengannya.

4) Tim misi WHO tersebut juga menganalisis 92 kasus suspek Covid-19 yang muncul Oktober-November 2019, dengan simtom seperti Covid-19 dan simtom berat/parah.

Setelah dilakukan test antibodi terhadap 67 orang (yang bersedia) dari antara 92 orang tersebut pada Januari 2021, hasilnya NEGATIF semua. Test antibodi lanjutan akan dilakukan lagi sementara saat ini belum ada kejelasan apakah antibodi (yang terbentuk lewat kesembuhan) terhadap coronavirus dapat bertahan hingga 1 tahun sejak terbentuk.

92 kasus tersebut bukan kasus klaster, tapi terpisah-pisah dalam kurun 2 bulan dan muncul di banyak tempat di provinsi Hubei tempat kota Wuhan. Para ilmuwan WHO masih belum mendapat kejelasan tentang apakah 92 kasus suspek ini benar-benar kasus coronavirus, mengapa muncul menyebar dan tidak terjadi dalam klaster-klaster, dan apa yang diindikasikan oleh kenyataan ini.

Nah, tim misi investigatif WHO ini akan kembali datang ke Wuhan beberapa bulan yang akan datang untuk melanjutkan penyelidikan. Mereka berharap, nanti akan dapat meneliti sampel-sampel biologis serum darah yang akan diperoleh dari bank donor darah di Wuhan yang berasal dari kurun 2019 dan 2020. Pemerintah China menyatakan tersedia 200.000 sampel biologis yang telah diteliti untuk tujuan litigasi. Sebetulnya ada lagi sampel biologis lain (seperti faeses dan urin) yang dapat bermanfaat, tetapi sudah dibuang setelah sebelumnya diteliti.

Dari Kelelawar, ke Hewan Jinak, Lalu ke Manusia

Sudah kita ketahui, Donald Trump sewaktu masih menjabat presiden Amerika Serikat, bersama Trump Administration, telah mengumbar klaim politis yang spekulatif bahwa coronavirus penyebab penyakit Covid-19 berasal dari sebuah laboratorium virologis di Wuhan. Pada waktu itu, lembaga intelejen Amerika menyatakan tidak mungkin coronavirus diciptakan para ilmuwan atau dibiakkan dari virus lain yang sudah dimodifikasi secara genetik.

Setelah tim misi WHO mengunjungi laboratorium Wuhan Institute of Virology, ketua tim, Peter Ben Embarek, menegaskan bahwa "sangatlah tidak mungkin" coronavirus lolos dari lab tersebut lewat "kebocoran" yang tidak disengaja.

Peter Daszak, anggota tim misi WHO, (presiden EcoHealth Alliance di New York, spesialis penyakit hewan dan penularannya ke manusia), bersama seluruh ilmuwan tim WHO ini, menyatakan klaim Trump itu sangat tidak mungkin benar, dan tak patut diinvestigasi lebih lanjut.

Menurut Daszak (yang pernah bekerjasama dengan Wuhan Virology Institute, yang berakibat penghentian bantuan dana ke organisasinya oleh Trump Administration), coronavirus berasal-usul di Asia Tenggara (antara lain Vietnam, Laos, atau Myanmar, juga Kamboja, Thailand, bahkan juga Jepang) atau China Selatan. Penularan terjadi dari hewan-hewan liar, kelelawar paling mungkin (selain trenggiling), lalu lewat tautan hewan-hewan peliharaan yang sudah dijinakkan (seperti cerpelai, hewan-hewan ternak berbulu lebat, musang, anjing rakun, biul slentek) akhirnya masuk ke Wuhan.

Lewat mekanisme yang lazim dinamakan "Horizontal Genes Transfer" (HGT), coronavirus lompat ("spill-over") dari inang-inang kelelawar (dan trenggiling) masuk ke inang-inang hewan yang sudah dijinakkan, lalu dari hewan-hewan jinak lompat lagi ke manusia.

Kelelawar adalah hewan yang paling mungkin menjadi "reservoa alamiah" tempat hidup coronavirus, lalu virus-virus ini pindah inang ke hewan jinak sebelum akhirnya menginfeksi manusia. Tetapi mata rantai penularan HGT ini tidak berlangsung awalnya di Wuhan, tetapi di kawasan-kawasan lain di China atau di Asia Tenggara.

Tim WHO ke depannya akan fokus pada penelitian terhadap "mata rantai dingin" ("cold chain") sebagai medium penyebaran virus, yakni mata rantai pengangkutan, pemasokan dan perdagangan makanan-makanan yang dibekukan. Mata rantai ini melibatkan tempat-tempat lain di China dan kawasan-kawasan perbatasan dengan negara-negara Asia Tenggara.

Nah, uraian di atas menunjukkan berbagai usaha keilmuwan yang terarah ke masa satu atau dua tahun lalu terkait awal pandemi Covid-19. Selanjutnya, perlu kita ketahui juga apakah virus SARS-CoV-2 masih terus bermutasi pada saat ini. Jawabnya jelas, ya mutasi terus berlangsung. Ikuti pemaparan berikut.

Bermutasi Konvergen

Di beberapa negara bagian Amerika Serikat ditemukan tujuh varian virus SARS-CoV-2 yang berasal dari garis-garis silsilah yang berbeda, telah BERMUTASI KONVERGEN. Artinya, 7 varian virus corona ini telah mengalami mutasi ke arah yang sama, yaitu mutasi pada SATU GEN yang berpengaruh pada cara virus masuk ke dalam sel-sel manusia.

Persisnya mutasi yang sama ini terjadi pada asam amino yang ke-677 pada protein-protein "spike" tujuh varian virus ini. Protein-protein "spike" virus corona sendiri terdiri lebih dari 1.200 molekul yang membentuk rantai terlipat, yang menjadi unit-unit dasar ("building blocks") pembangun virus yang hidup.

Dari tujuh varian virus yang bermutasi konvergen ini, varian dari garis silsilah yang sama dideteksi (lewat sekuensing genetik) paling awal pada 1 Desember 2020. Lalu, beberapa minggu kemudian, sampai akhir Januari 2021, semuanya menjadi lebih umum mendominasi, di Lousiana.

Bahkan di negara bagian New Mexico, varian yang bermutasi pada protein ke-677 ditemukan lebih awal lagi, Oktober 2020.

Enam varian dari garis silsilah yang berbeda, yang bermutasi mandiri dan berkonvergensi pada mutasi gen yang sama, ditemukan di beberapa negara bagian yang lain.

Temuan 7 varian virus mutan itu berasal dari sekuensing genetik terhadap kurang dari 1% sampel-sampel test SARS-CoV-2. Bayangkan, kurang dari 1% sampel test! Kalau sampel test yang dilakukan sekuensing genetik lebih banyak, jauh di atas 1%, tentu akan ditemukan jauh lebih banyak varian virus yang bermutasi konvergen.

Mutasi pada protein ke-677 dapat mempermudah virus-virus masuk ke dalam sel-sel manusia karena "spike" mereka lebih mudah diaktivasi. Diakui, ihwal bagaimana tombak "protein spike" ditancapkan pada sel-sel manusia, masih misterius juga. Mutasi pada gen ke-501 seperti pada mutan virus Inggris dan Afrika Selatan, misalnya, yang mengubah "spike" virus-virus mutan, membuat bagian puncak "spike" virus dapat lebih kuat mencengkeram sel-sel manusia, dan infeksi dapat lebih efektif.

Mutasi konvergen varian-varian virus dari silsilah yang berlainan ini memberi dua keuntungan bagi virus-virus mutan: menjadi lebih unggul dibandingkan varian virus lain, dan lebih kuat dalam melawan sistem imun manusia.

Ingat ya, sekuensing genetik mutakhir virus corona di Amerika telah dilakukan baru pada kurang dari 1% kasus terinfeksi. Bagaimana dengan kondisi Indonesia? Belum terdengar berita adanya mutan-mutan virus Jakarta, Jawa Barat, misalnya. Soalnya terletak pada teknologi sekuensing genomik virus.

Trajektori penyebaran SARS-CoV-2 dari Wuhan ke Jakarta dan ke Jawa Barat dan seterusnya, yang sudah berlangsung lebih dari 12 bulan, bukanlah trajektori viral yang unilinier statis, dengan virus yang itu itu juga. Tidak demikian. Adalah logika keilmuan yang bekerja jika siapa pun berpikir bahwa mutan-mutan virus Jakarta, Jawa Barat dst, sangatlah mungkin sudah ada.

Apa pun juga, vaksinasi nasional dengan vaksin-vaksin yang sudah tersedia (meski belum di-"adjust" untuk menangkal mutan-mutan besar virus) perlu dijalankan (dan sedang berjalan) sekarang ketimbang menunggu vaksin-vaksin lain yang mendatang, yang mungkin akan jauh lebih efektif yang dikembangkan sebagai respons antisipatif terhadap mutan-mutan besar coronavirus.




Kita sudah ketahui, "vaccination rate" di Indonesia masih sangat rendah, ya sekitar 60.000-an dosis tunggal per hari, sementara target Indonesia (kata seorang teman dokter) adalah 100.000 dosis vaksin perhari. Bagaimana dengan Amerika? Pemerintah Amerika mengvaksinasi hampir 1,4 juta orang penduduk per hari dengan dosis tunggal.

Dengan "vaccination rate" yang sangat rendah itu, berapa lama waktu dibutuhkan Indonesia untuk tuntas mengvaksinasi ganda 180-190 juta orang dari total 240 juta penduduknya untuk mencapai "herd immunity"? Ya hitunglah sendiri. A long wait!

Jangan lupa, virus corona di Indonesia, jika tidak lenyap begitu saja dari planet Bumi, delapan sampai sepuluh tahun mendatang, lewat berbagai mutasi besar, akan sudah jauh berbeda dari virus corona sekarang.

18 Februari 2021
ioanes rakhmat

Berita-berita yang diperhatikan:

https://www.nytimes.com/2021/02/14/health/coronavirus-variants-evolution.html

https://www.cnn.com/2021/02/14/health/who-mission-china-intl/index.html

https://www.nytimes.com/2021/02/14/health/WHO-covid-daszak-china-virus.html

https://www.bbc.com/news/world-asia-china-55996728