Sunday, February 28, 2021

Teologi Salib versus Teologi Kemuliaan dalam Teks Markus 8:31-38


"Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!" Apakah ini sebuah pengakuan kebenaran, atau sebuah satir?


N.B. editing mutakhir 26 November 2021


Di pagi yang cerah tadi, Mulai pk. 9:20 WIB, Minggu, 28 Februari 2021, saya ikut ibadah online GKI Kepa Duri. Ada 2 penatua yang bertugas: Pnt. Elinne Ratnasari dan Pnt. Simon Tobing.

TPG Christian Siregar tampil sebagai pemberita firman. Khotbahnya keren dan otoritatif; saya mendengarkannya dengan penuh minat. Teks khotbah diambil dari Markus 8:31-38.

Terima kasih kepada Majelis Jemaat GKI Kepa Duri dan semua pihak yang berperan, yang memungkinkan ibadah online berjalan dengan baik setiap hari Minggu.

Pada kesempatan ini saya mau jauh lebih memperdalam telaah atas teks khotbah tersebut. Supaya para pelayan gereja dapat menyusun sebuah khotbah yang berbeda, yang tidak biasa, yang tidak usang, tidak klise, jika teks skriptural yang sama dipakai lagi.

Teks Markus 8:31-38 mengisahkan kali pertama ihwal Yesus memberitahukan kepada "murid-murid-Nya" dan "orang banyak" bahwa jalan yang akan ditempuh-Nya adalah jalan sengsara (Latin: via dolorosa) atau jalan salib (Latin: via crucis) (ay. 31, 34).

Kita sebut, teologi yang dihayati Yesus adalah theologia crucis (Latin) atau teologi salib (Yunani: staurotheologos). Frasa Inggrisnya "theology of the cross". Orang Jerman seperti Martin Luther menyebutnya Kreuzestheologie.

Tetapi Petrus tidak mendukung teologi salib Yesus. Dengan nekad, sang rasul kepala ini menarik Yesus ke samping dan "menegur" atau "memarahi" atau "memperingatkan" (Yunani: epitimaein) Yesus. Akibatnya, Yesus langsung di depan murid-murid-Nya "memarahi" balik Petrus, "menegur" sang rasul ini dengan sangat keras. Hardik Yesus:

"Enyahlah Iblis (Yunani: satana), sebab engkau (Petrus) bukan memikirkan (Yunani: fronein) apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." (ay. 33). 

Dalam Alkitab versi NRSV kata Yunani fronein diterjemahkan "on the side of", "memihak kepada": memihak kepada Allah, atau memihak kepada manusia. Jadi, Yesus melihat diri-Nya memihak ke Allah, sedangkan Petrus ke manusia yang sedang dikuasai Iblis. Tapi, terjemahan "memikirkan", hemat saya lebih tepat, lantaran kisah Markus ini adalah kisah bentrokan atau konflik dua ide teologis.

Ya, jelas ada konflik pandangan tentang siapa Yesus antara Yesus dan rasul Petrus. Bagi Yesus sudah jelas, teologi-Nya atau "pikiran Allah" adalah teologi salib. Lalu, apa teologi Petrus yang oleh Yesus disebut "pikiran manusia" yang dikehendaki Iblis

Kuncinya terdapat pada ucapan pengajaran pemuridan yang disampaikan Yesus pada ayat 36, "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia (Yunani: kerdainein ton kosmon holon), tetapi dia kehilangan nyawanya?"

Frasa "memperoleh seluruh dunia" mengingatkan kita pada kisah-kisah injil tentang Yesus dicobai Iblis/Setan. Penulis Injil Markus tidak mengisahkan terinci pencobaan (Yunani: peirasmos) apa saja yang dialami Yesus (Markus 1:12-13). Matius dan Lukas memuat kisah pencobaan ini dengan terinci (Matius 4:1-11, par. Lukas 4:1-13).

Salah satu tawaran Iblis kepada Yesus ketika Yesus dicobai adalah "semua kerajaan dunia" dengan "segala kuasa,  kemuliaan dan kemegahannya" akan diberikan Iblis kepada Yesus jika Yesus mau menyembah Iblis yang sedang mencobai-Nya (Matius 4:8-9; Lukas 4:5-7).

Tawaran si Iblis itulah yang ada dalam pikiran Petrus, yakni Yesus harus menguasai dunia, kerajaan dunia dengan segala yang ada di dalamnya: kuasa, kemegahan, dan kemuliaan (Yunani: doksa; Latin: gloria). Dus, jalan ke situ adalah Yesus harus menjadi raja Yahudi yang penuh kemuliaan. Inilah teologi kemuliaan, theology of glory, theologia gloriae.

Dalam bingkai teologi kemuliaan yang dipegang para murid Yesus dan orang Yahudi umumnya dalam masa kehidupan Yesus, mereka menantikan Zaman Mesianik tiba, dan seorang Messias raja muncul untuk meremukkan kekuasaan Kekaisaran Romawi yang sedang menjajah negeri Israel (sejak 63 SM), lalu kerajaan Daud yang agung dan mulia akan berdiri kembali. 

Oh ya, kata "Messias" dialihkan dari kata Ibrani Massiakh (Yunani: Khristos, Indonesia: Kristus), artinya "orang yang diurapi" atau "dilantik (atas nama Allah)" lewat suatu ritual peminyakan Yahudi untuk menjalankan tugas-tugas ilahi. Raja-raja Yahudi kuno, di samping jabatan-jabatan suci lainnya, dilantik lewat ritual ini menjadi Messias.

Nah, langsung setelah Yesus dikisahkan menyampaikan ajaran teologi salib untuk kali ketiga (Markus 10:32-34), dalam Markus 10:35-45 dengan jelas Markus menggambarkan bahwa dua orang murid Yesus lainnya, yakni Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, memegang teologi kemuliaan. Mereka meminta kepada Yesus kedudukan yang mulia nanti, ketika saatnya tiba, saat Yesus duduk di takhta mulia kerajaan messianik, yang melanjutkan dinasti Daud.

Kata mereka kepada Yesus, 

"Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang di sebelah kanan-Mu, dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu." (ay. 37). 

Seperti Petrus yang dimarahi Yesus, dua murid tersebut, setelah dituntun oleh Yesus ke pemahaman yang berbeda, juga dimarahi, tetapi bukan oleh Yesus, melainkan oleh sepuluh murid lainnya (ay. 41).

Ya, Markus 8:31-38 mengisahkan benturan antara teologi salib yang dipegang Yesus dan teologi kemuliaan yang digenggam erat oleh para murid Yesus dan orang banyak. 

Kalau menurut Yesus adalah suatu "keharusan ilahi" (Yunani: dei, Markus 8:31) bagi-Nya untuk menjalani jalan kesengsaraan, tidak demikian halnya menurut para murid-Nya dan orang banyak.

Tak ada ide teologis tentang sang Messias yang sengsara, yang memikul salib, lalu mati dibunuh di kayu salib, dalam pikiran orang Yahudi. Sebaliknya, setidaknya sejak Jenderal Romawi Pompey menaklukkan dan menguasai Palestina (63 SM), bangsa Yahudi menunggu kemunculan seorang Messias petempur, seorang Messias perang, "a warrior messiah", yang akan memerdekakan dan menyucikan kembali negeri mereka.

Juga, dalam ide messianik Yahudi, tak ada sang Messias yang menyerang Bait Allah di Yerusalem, seperti yang telah dilakukan Yesus (Markus 11:15-19; par. Matius 21:12-13; Lukas 19:45-48; Yohanes 2:13-16). Dalam ideologi messianisme Yahudi, seorang Messias sejati akan menjaga dan melindungi kota Yerusalem di mana Bait Allah berada (sebagai pusat kekuasaan religiopolitik dan pusat ekonomi), bukan menyerangnya.

Dalam karya pseudepigrafis yang ditulis dalam bahasa Yunani dalam kurun antara 63 SM dan 37 SM, yang diberi judul Mazmur-mazmur Salomo (Yunani: Psalmoi Solomontos, Inggris: Psalms of Solomon), kita temukan ungkapan eksplisit Yahudi pertama tentang pengharapan kedatangan seorang Messias keturunan Daud yang diberi gelar "Tuhan Kristus" (Yunani: Kurios Khristos) (17:32). Sang Messias ini digambarkan akan memulihkan dan mempertahankan kesucian kota Yerusalem yang di dalamnya Bait Allah berada (17:30). Dalam teks-teks gulungan dari Laut Mati, Dead Sea Scrolls, ditemukan juga pengharapan akan kedatangan seorang Messias keturunan Daud yang akan memerintah dengan adil dan berperang mempertahankan dan membela negeri Israel (4Q161; 4Q285; 4Q252; 4Q174).

Pendek kata, tidak ada tradisi Yahudi dalam Alkitab Ibrani, Pseudepigrafa, dan Apokrifa, tentang seorang Messias yang terang-terangan menolak dan menyerang Bait Allah.

Nah, terkait dengan aksi-Nya di salah satu bagian Bait Allah yang dinamakan Serambi Salomo (TB LAI. Ibrani: Ha-stav ha-Mal'ḥuti, הסטיו המלכות; Yunani: tē stoa tou Solomônos. Lihat Yohanes 10:23; juga KPR 3:11; 5:12), Yesus, dalam Injil Yohanes (ditulis tahun 95), berkata "Rombak Bait Allah ini,..." (Yohanes 2:19). 

TB LAI menerjemahkan kata Yunani lusate pada Yohanes 2:19 dengan "Rombak"; tapi sebetulnya lebih tepat diterjemahkan "Robohkan" atau "Hancurkan" (NRSV dengan tepat memakai kata "destroy"). Karena kata kerja lusate pada ayat itu bermodus imperatif permisif, terjemahannya yang pas adalah "Silakan kalian robohkan Bait Allah ini,..." 

Kalau pasal 15:29 (dan par.) dalam Injil Markus yang ditulis pada tahun 70 ketika Bait Allah baru saja dihancurkan oleh pasukan Romawi, kita perhatikan, maka kita dapat simpulkan bahwa maksud Yesus sebetulnya adalah Yesus sendirilah yang mau merobohkan atau menghancurkan Bait Allah di Yerusalem. 

Dalam teks Markus 15:29 dan par yang dipakai adalah kata sinonimnya kataluein dengan subjeknya Yesus. Teks ini memuat perkataan orang-orang yang lewat di lokasi penyaliban Yesus dan mengejek-Nya. Kata mereka, "Hai Engkau yang mau merobohkan (Yunani: kataluôn) Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, turunlah dari salib itu dan selamatkan diri-Mu!"

Bagi komunitas-komunitas Kristen awal yang sudah berdiri sebelum tahun 70, dan sempat menyaksikan (atau mendengar berita) kejatuhan kota Yerusalem dan penghancuran Bait Allah di tahun 70 oleh pasukan Romawi yang dipimpin Jenderal Titus, ucapan Yesus itu harfiah dipenuhi oleh Kekaisaran Romawi.

Peredaksian subjek dan modus kata kerja luein pada teks Yohanes 2:19 memungkinkan si pengisahnya mengaitkan aksi Yesus di Bait Allah itu dengan "tubuh" Yesus (to sômatos autou) yang nanti akan dirobohkan lewat penyaliban, yang akan disusul dengan kebangkitan-Nya pada hari yang ketiga (Yohanes 2:19, 21). Peredaksian dan pengaitan ini harus dilakukan lantaran Bait Allah sudah dirobohkan dan dihancurkan oleh pasukan Romawi pada tahun 70, sementara komunitas Kristen Yohanes menulis Injil Yohanes di tahun 95.

Dengan mengacu ke tubuh-Nya sendiri, Yesus, dalam kisah Injil Yohanes pasal 2, dipentaskan sudah mengetahui apa konsekuensi tindakan-Nya yang menimbulkan keributan di serambi Salomo (atau Portiko Rajani) Bait Allah: hukuman mati. Risiko ini juga yang membuat Yesus dan murid-murid-Nya di senja hari "keluar lagi dari kota Yerusalem", kembali ke Betania, untuk mengamankan diri (Markus 11:19, 12).

Ya, barangsiapa menyerang Bait Allah, apalagi di musim Paskah Yahudi yang rawan pemberontakan dan keributan (lihat Markus 14:2 dan par.), orang itu menyerang langsung Kekaisaran Romawi yang menjadi penguasa de jure Bait Allah. Si penyerang akan dieksekusi. Gerakannya langsung dipadamkan sebelum berkobar membesar.

Berbeda dari Injil-injil Sinoptik (Markus, Matius, Lukas) yang menempatkan kisah aksi Yesus di Bait Allah di bagian-bagian belakang masing-masing Injil (Matius 21:12-17; Markus 11:15-19; Lukas 19:45-48), penulis Injil Yohanes memuat kisah tersebut pada bagian awal Injil, Yohanes 2:13-21, bersisian dengan kisah Yesus mengubah air dalam tempayan ritual pembasuhan menjadi anggur dalam suatu perjamuan kawin di Kana (Yohanes 2:1-11). Peristiwa di Kana ini disebut sebagai "tanda (Yunani: semeion) yang pertama" dari semua "tanda-tanda" (Yunani: semeia) yang diperlihatkan Yesus. 

Dengan demikian, penyusun Injil Yohanes menempatkan aksi Yesus di Bait Allah dalam suatu latar atau konteks teologis yang mendorong "orang-orang Yahudi" untuk menantang Yesus memberi "tanda" bahwa Yesus berhak melakukan aksi keributan di Bait Allah itu (ayat 18). Patut diingat, "orang-orang Yahudi" (Yunani: hoi Ioudaioi) adalah suatu terma khas dalam Injil Yohanes yang mengacu ke lawan-lawan abadi Yesus yang terus-menerus muncul dalam keseluruhan Injil ini. 

Terhadap tantangan itu, Yesus menyebut sebuah "tanda" lain, yakni diri-Nya ("tubuh-Nya") yang akan "dirobohkan", atau disalibkan, lalu "bangkit pada hari ketiga" (ayat-ayat 19, 21-22). 

Selanjutnya, dengan programatis penulis Injil Yohanes menuntun para pembaca injil ini dari satu kejadian ke kejadian lain dalam jalan kehidupan Yesus, sampai tiba di puncaknya atau di penggenapannya atau di garis finish ketika Yesus di kayu salib berkata "Sudah selesai" (Yunani: tetelestai; Yohanes 19:30. Terjemahan NRSV: "It is finished."). 

Lewat salib, Yesus "ditinggikan" (12:32-33; Yunani: hupsoein) atau "diangkat" kembali dalam "kemuliaan" ke kawasan dari mana Dia telah datang, kawasan sang Bapa (antara lain, Yohanes 16:28). Inilah "tanda" yang paling agung dan mulia, yang membuat penuh lingkaran kehidupan Yesus: Dia datang dari "atas", Dia juga kembali ke "atas", lewat penyaliban.

Jadi, jelaslah, bahwa tindakan historis Yesus di Bait Allah itu bukan suatu tindakan simbolik (sebagaimana ditafsirkan dalam kitab-kitab Injil PB sebagai "penyucian Bait Allah", atau mengacu ke "tubuh-Nya sendiri"), tetapi, dalam realita sejarahnya, adalah tindakan perlawanan dan penolakan kuat Yesus terhadap sistem imamat yang dijalankan dalam ritual-ritual di Bait Allah. 

Kegiatan penukaran uang dan penjualan hewan-hewan kurban dibutuhkan untuk ritual-ritual ini dapat berjalan. Jadi, pada dirinya sendiri, tidak ada yang salah dengan semua aktivitas komersial ini, aktivitas berjualan. Tidak ada yang merampok, dan juga tidak ada yang dirampok. Yesus sama sekali bukan seorang penafsir harga pasaran atas semua barang yang diperjualbelikan atau penilai kurs mata uang. Jika begitu, mengapa Yesus sampai melakukan aksi keributan terhadap semua aktivitas komersial di serambi Salomo Bait Allah itu?

Yesus melihat Allah "dari bawah" ("from below"), dari rakyat jelata, "doing theology from below". Sedangkan para penguasa Bait Allah yang elitis melihat Allah "dari atas" ("from above"), yakni dari posisi tinggi mereka yang mengelola Bait Allah menurut aturan-aturan sistem imamat yang harus ditaati mutlak oleh rakyat Yahudi, yakni "theology from above".

Sistem imamat ini membuat jalan masuk ke Allah dikuasai dan dimonopoli segelintir orang, yang berbenturan dengan keyakinan dan ajaran-ajaran Yesus bahwa Allah dialami kehadiran-Nya dan karya kerahiman-Nya sebagai Raja langsung oleh rakyat Yahudi, tanpa perlu diperantarai sistem imamat. Kata Yesus berulangkali kepada murid-murid-Nya dan orang banyak, "Kerajaan Allah telah datang (Yunani: phthanein) kepada kalian" (Lukas 11:20 dan par.), atau "Kerajaan Allah ada di antara/di tengah kalian" (Yunani: hē basileia tou theou entos humôn estin; Lukas 17:21), tanpa perlu mediator sistem imamat.

Dengan latar teologi Yesus itu, yang dibangun-Nya dari perspektif "kalangan bawah", pantaslah jika para manajer religiopolitik dan ekonomi yang menjalankan sistem imamat disebut-Nya sebagai para "penyamun" (Yunani: lēstēs; yang juga berarti "bandit" atau "penjahat") yang bersarang di Bait Allah (Markus 11:17; Matius 21:13; Lukas 19:46). Kalangan elitis Bait Allah mengambil dari rakyat, sedangkan Allah, sang Bapa, memberi kemurahan kepada mereka. 

Jelas, memang ada konflik tajam antara Yesus dan Bait Allah. Dalam musim perayaan Paskah Yahudi yang berlangsung 7 hari, dengan sangat banyak orang (ratusan ribu) terhimpun di kota Yerusalem, Yesus menyerang Bait Allah, mau menghancurkannya. 

Tentu, sekali lagi, ada risiko berat bagi setiap orang yang melawan dan mau menghancurkan Bait Allah, meski perlawanan dan penyerangan yang kecil saja. Melawan dan menyerang Bait Allah berarti melawan dan menyerang pusat kekuasaan religiopolitik Yahudi dan pusat ekonomi yang semuanya, pada dasarnya, ada dalam genggaman Kekaisaran Romawi.

Selanjutnya, dalam konsep messianik Yahudi menjelang dan pada abad 1 M, seperti ditemukan dalam sastra pseudepigrafis Mazmur-mazmur Salomo yang sudah disebut diatassang Messias yang akan datang haruslah satu sosok agung, mulia dan kuat yang dengan gagah berani akan mengobarkan perang untuk mengusir penjajah tanah mereka. "A warrior messiah", itulah yang dinanti orang Yahudi, juga di masa kehidupan Yesus.

Yesus tak pernah diakui sebagai sang Messias oleh orang Yahudi yang beragama Yahudi hingga saat ini. Lantaran dua kriteria messianik minimal tersebut (menjaga dan melindungi Bait Allah, dan menjadi Messias perang) tak terpenuhi dalam jalan kehidupan Yesus.

Ya, Yesus menempuh jalan lain, via dolorosa, yang akhirnya memberi signifikansi universal, bukan nasional Yahudi. Ketimbang menyayangi bangsa Yahudi saja, Yesus menjadi wujud aktif kasih Allah bagi seisi dunia. 

Makna kehidupan Yesus yang berhorison universal ini ditemukan, misalnya, oleh penulis Injil Yohanes (3:16a). Jika wujud aktif kasih Allah terhadap dunia ini dipercaya, maksudnya: diaktualisasi, oleh seseorang atau oleh gereja, maka orang itu, atau gereja, menjalankan suatu kehidupan sekualitas kehidupan Allah, yakni kehidupan kekal, dalam dunia sekarang ini. 

Di era kekristenan awal, adakah sosok Yahudi yang tampil sebagai seorang messias perang? Ada. 

Dalam Pemberontakan Yahudi Kedua (132-135 M), Simon bar Kokhba mengambil peran sebagai sang Messias Yahudi, yang menjadi panglima perang. 

Dalam beberapa bagian tulisan para rabbi Yahudi, nama Simon bar Kokhba (atau Simon bar Kosevah/Kosibah) muncul, digambarkan sebagai panglima perang atau nasi ("pangeran") yang berkarakter keras, gigih dan sangat percaya diri (Talmud Yerusalem, Ta'anit 4:5; Ratapan Rabbah 2:5).

Perang Yahudi Pertama (66-73 M) berakhir dengan kekalahan bangsa Yahudi, kota Yerusalem dibumihanguskan, dan Bait Allah dihancurkan (tahun 70 M). 

Dalam perang kedua yang dipimpin Messias Simon bar Kokhba ("bar Kokhba" artinya "si anak bintang", suatu simbol messianik), akhirnya, setelah 3 tahun bangsa Yahudi berhasil menjadi kerajaan yang merdeka, Roma berhasil mengalahkan Simon bar Kokhba dan pasukannya (200.000 orang Yahudi) setelah benteng pertahanan mereka di kota kecil Betar dikepung lalu jatuh ke tangan pasukan Romawi. Sang Messias Simon bar Kokhba ditawan dan dibawa ke Roma, dan di sana kepalanya dipenggal.

Sebagai tindak lanjut kemenangan Romawi, pada tahun 135 Kaisar Hadrianus mengeluarkan Dekrit Hadrianus yang melarang orang Yahudi mendiami tanah Israel kembali, dan nama kota Yerusalem diubah menjadi Aelia Capitolina (dari salah satu nama Hadrianus, Aelius).

Selain itu, Hadrianus juga mengkonsolidasi 3 provinsi lama negeri Israel (Yudea, Samaria dan Galilea), menjadi satu provinsi negara baru Palestina Syria.

Langkah-langkah strategis Hadrianus ini menutup kemungkinan orang Yahudi mengklaim kembali Palestina sebagai negara mereka dan Yerusalem sebagai kota suci negara mereka. Begitulah, Messianisme nasionalis Yahudi gagal total.

Jadi, bisa dipahami, meski ditolak tegas oleh Yesus, jika para murid-Nya dan orang banyak Yahudi mengharapkan Yesus berjuang keras untuk meraih posisi yang mulia sebagai sang raja Yahudi yang akan melanjutkan keagungan dinasti raja Daud, dengan mengalahkan Kekaisaran Romawi yang sedang menguasai negeri mereka. 

Bagaimana pun juga, teologi salib Yesus berkonflik dengan teologi kemuliaan Yahudi. Benturan dua teologi ini paling keras terjadi ketika Yesus akhirnya dibunuh lewat penyaliban. Para penganut teologi kemuliaan, termasuk para pemimpin religiopolitik Yahudi, dan orang-orang lain, menghujat, mengejek dan memperolok Yesus pada peristiwa penyaliban (Markus 15:29-32).

Namun, bagi penulis Injil Markus, teologi salib yang dihayati Yesus akhirnya bermuara juga pada pengakuan akan kemuliaan Yesus, bukan berupa duduknya Yesus di takhta kerajaan dinasti Daud, melainkan ketika Dia diakui sebagai "Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!" oleh kepala pasukan Romawi yang berdiri berhadapan dengan Yesus saat Yesus mati di kayu salib dan melihat cara kematian Yesus (Markus 15:39). Kemuliaan jenis ini tak bisa masuk ke dalam ide Messianisme Yahudi. Paradoks kemuliaan Yesus!

Bagi penulis Injil Markus, takhta mulia Yesus sebagai sang Messias, Anak Allah, bukan takhta emas kerajaan dunia, tapi kayu salib, dan mahkota Yesus adalah anyaman duri (Markus 15:17). 

Dalam dunia pagan Greko-Romawi, sosok-sosok besar yang dipandang adiinsani, superhuman, tidak ada yang berakhir di kayu salib. Sosok-sosok besar di kawasan luas ini diberi status atau dipercaya sebagai demigod atau semideus (Latin) atau hēmitheos (Yunani) atau theios anēr (Yunani), atau sosok setengah dewa atau manusia ilahi. Dilihat dari sudut ini, ada dasar untuk menafsirkan pernyataan sang kepala pasukan Romawi tentang siapa Yesus sebagai sebuah satir, bukan suatu pengakuan seorang pagan yang sungguh-sungguh. Roma pun ikut mengejek Yesus, mengejek Yerusalem.



Paradoks mahkota kemuliaan Yesus

Apakah ada pesan simbolik dari mahkota anyaman duri ini? Tampaknya ada. Pada Kejadian 3:18, ditulis bahwa salah satu hukuman Allah kepada Adam, wakil umat manusia, adalah tanah yang sudah dikutuk Allah akan cuma "menghasilkan semak duri dan rumput duri" untuk Adam. Maksudnya: hidup menjadi sangat berat bagi Adam. Bumi tak menghasilkan hal-hal yang berguna untuk Adam. 

Jadi, mahkota anyaman duri pada kepala Yesus membawa ingatan pembaca pada akhir kisah Taman Eden dan penghukuman yang harus ditanggung Adam. Ketika disalibkan, Yesus, dus, memakai ide Paulus (1 Korintus 15:47), menjadi "Adam kedua". 

Sebagai Adam kedua, Yesus menanggung kerja dan kesukaran berat dan kesia-siaan yang harus dijalani Adam primordial yang telah menjadi seperti Allah, tetapi, ironisnya, harus diusir dari Taman Eden dan, selanjutnya, harus berpeluh dan berkeringat ketika mengusahakan tanah yang hanya menghasilkan rumput duri dan semak duri. 

Adam pertama, sebagai representasi manusia universal bersama Hawa, sangat menderita di dunia real, bukan di taman impian. Adam kedua yang disalibkan berempati pada Adam pertama, wakil umat manusia. Yesus memakai mahkota duri pedih Adam pada kepala-Nya. Yesus yang tersalib memikirkan umat manusia yang harus hidup dengan sangat berat. Pada Markus 10:45, tercantum ucapan Yesus bahwa Dia datang "untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."

Tapi, Markus mengisahkan lebih lanjut. Ada sebuah krisis batin berat yang dialami Yesus di saat Dia sedang sekarat di kayu salib.

Di kayu salib, Yesus memanggil-manggil Allah, sang Bapa-Nya, karena Yesus melihat diri-Nya ditelantarkan dan ditinggalkan Allah. Teriak Yesus, "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?" Artinya, "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Markus 15:34). Tetapi Allah tidak menjawab, "God in silence". Allah tidak bertindak, Allah tidak hadir. "God in absence". "God is unseen". Langit tertutup oleh "kegelapan yang meliputi seluruh daerah itu" (Markus 15:33). Tak ada suara dari langit yang tertutup, suatu kontras dengan "langit yang terbuka/terkoyak" lalu Allah "berbicara" dalam kisah Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis (Markus 1:9-11). Dalam peristiwa penyaliban, Allah membungkam, diam seribu basa. Silent. Still. Quiet. Empty. Unseen.

Teriakan ngenes Yesus di kayu salib dapat ditafsirkan sebagai suatu problem teodise (problem tentang keadilan atau dikē Allah) yang Yesus tak bisa pahami: Engkau, sang Bapa, yang menyayangi-Ku, Anak-Mu (Markus 1:11), mengapa Engkau tidak peduli dan tidak menolong-Ku di saat Aku sedang sengsara? Di mana keadilan-Mu? Mengapa Engkau menghilang?

Ya, PROBLEM TEODISE dialami banyak orang yang saleh dan benar di seluruh dunia dan di segala zaman. Problem ini dapat memakan banyak energi biologis siapapun, menimbulkan stres religiopsikologis. Syukurlah, ada banyak jalan keluarnya. Salah satunya, berikut ini.

"Ketiadaan Allah" atau "Allah yang hening, membungkam" juga bisa ditafsirkan sebagai menyatunya Allah dalam kesengsaraan berat yang sedang dialami Yesus ketika Dia disalibkan. Allah sang Bapa ikut menderita, ber-compassion, berbelarasa, berempati, bergabung dan berpadu dalam diri Yesus yang sedang berada di ujung dan puncak jalan salib-Nya. 

Allah sang Bapa tidak meninggalkan-Mu, Yesus. Sang Bapa ada begitu dekat dengan-Mu, menyatupadu dengan diri-Mu yang sedang sengsara berat di kayu salib. Teologi salib yang Engkau yakini sebagai "pikiran Allah" sedang menuju puncaknya, di saat Engkau sedang sekarat. 

Yesus,... yakinlah bahwa Allah sang Bapa tidak membatalkan "pikiran"-Nya ketika Engkau tersalib. Allah sang Bapa konsekuen dengan pikiran-Nya. Di kayu salib itu, Allah ada dalam diri-Mu, bahkan menyelubungi diri-Mu. Derita-Mu sebagai Anak Allah juga derita Allah, sang Bapa. Di saat sang Anak menderita, sang Bapa juga menderita dalam keheningan yang dalam. Tak ada problem teodise, Yesus. Gantilah teriakan-Mu dengan keheningan sang Bapa.

Ya, cobalah terbenam dan hanyut dalam kontemplasi ketidakhadiran Allah atau kebisuan Allah. Pada puncaknya, paradoksnya, kita, dalam penderitaan kita, akan menemukan kehadiran Allah dan suara-Nya yang hening. "Presence in absence". "Voice in silence". "Fullness in emptiness".

Akhirnya, tertinggal pertanyaan-pertanyaan ini: Dalam Perjanjian Baru siapa yang awalnya menyebut teologi salib, atau berita tentang salib (Yunani: to kerugma/ho logos tou staurou)? Bukan penulis Injil Markus di tahun 70, tetapi lebih awal lagi, yakni rasul Paulus (lihat 1 Korintus 1:18, 23). Lalu, selanjutnya Martin Luther di abad ke-16 juga membenturkan theologia crucis dan theologia gloriae. Apa yang dimaksud Luther dengan dua teologi yang tidak dapat bertemu ini? Hal-hal ini akan diurai lain kali.


28 Februari 2021
ioanes rakhmat

Thursday, February 25, 2021

Yakinkah anda pandemi Covid-19 bisa cepat diakhiri lewat vaksinasi?

Elang terbang tinggi sendirian, hening, tangguh, menembus awan-awan. Bebek membentuk kawanan, bersuara ribut, mengekor sang pemimpin. Elang tak akan pernah menjadi bebek. Begitu juga, bebek tak akan pernah menjadi elang.


YAKINKAH ANDA PANDEMI COVID-19 BISA CEPAT DIAKHIRI LEWAT VAKSINASI?

Seharusnya kita yakin. Tapi mewujudkan keyakinan ini dalam waktu cepat SANGAT SULIT. 

Program Covax Facility WHO yang menjanjikan akan dengan adil mendistribusikan vaksin-vaksin top dalam harga murah, nyatanya tersendat-sendat, nyaris tak jalan. PBB juga terlihat tak begitu dihiraukan negara-negara kaya yang kini, sejumlah 10 negara, menguasai 75% vaksin-vaksin top (yang memperlihatkan "effectivity rate" 95%). 

Amerika Serikat, sebagai salah satu negara terkaya dunia, menyuntik dosis tunggal 1,4 juta warganya per hari dengan vaksin mRNA Pfizer (dosis lengkap 2 shot), vaksin mRNA Moderna (dosis lengkap 2 shot), dan segera dengan vaksin adenovirus Johnson&Johnson (yang ini cukup dan lengkap dengan dosis 1 kali shot saja). Sebagai pembanding yang jomplang, Indonesia sementara waktu berjalan ini hanya mampu menginjeksi dosis tunggal vaksin SinoVac (dengan "effectivity rate" 60%) sejumlah 60.000-an orang per hari. 

Summer mendatang di USA diharapkan akan menyenangkan, selanjutnya di musim autumn segalanya diinginkan kembali normal. Hebat, bukan?

Untuk meningkatkan "vaccination rate", jauh di atas 1,4 juta per hari, para pekerja kesehatan Amerika akan juga melakukan vaksinasi dari pintu ke pintu, dari blok ke blok, tidak cuma dilakukan di sentra-sentra vaksinasi. Biaya operasional vaksinasi nasional tentu jadi akan naik, tapi akan tertutup oleh keuntungan-keuntungan lain kalau pandemi di Amerika dapat ditekan lalu diakhiri dengan jauh lebih cepat.

Pada sisi lain, kini ada 130 negara yang belum menerima satu pun dosis tunggal. Di 32 negara yang tidak stabil, sarat dengan konflik dan perang, seperti Yemen, Suriah, Sudan Selatan, Somalia, dan Ethiopia, baru 1% saja dari vaksin-vaksin yang ada yang telah masuk. 

Bagaimana pun juga, WHO dan mitra-mitranya, serta PBB dan mitra-mitranya, adalah tumpuan harapan kita satu-satunya untuk vaksin-vaksin Covid-19 dapat didistribusikan dengan adil dan merata ke negara-negara miskin dan terbelakang. 

Dirjen WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyatakan bahwa "kita tidak akan dapat mengakhiri pandemi di mana pun jika kita tidak mengakhirinya di segala tempat." 

Covax Facility menargetkan akan mengirim 2 milyar dosis vaksin-vaksin dalam tahun 2021, ke negara-negara yang berpartisipasi dalam program Covax, untuk kalangan yang paling membutuhkan.

Sejauh ini, Covax baru berhasil mengirim 600.000 dosis vaksin Oxford-AstraZeneca (vaksin termurah, 4 USD per dosis) ke Ghana pada 23 Februari 2021. 

Bisakah suatu negara kaya, Amerika misalnya, aman sendiri jika seluruh penduduknya sudah divaksinasi, tanpa peduli pada negara-negara lain? Ya tidak bisa. 

Globalisasi dan lalu-lintas mobilitas warga dunia yang sangat tinggi, penyeberangan lewat perbatasan-perbatasan negara-negara yang relatif mudah, hubungan internasional yang aktif, adalah beberapa faktor penentu yang tidak memungkinkan negara-negara kaya "mengisolasi diri" dengan penduduk di dalam negara-negara ini sudah divaksinasi semua atau 85% dari jumlah populasi masing-masing. 

Tentu, di zaman modern ini, tak ada negara kaya mana pun yang cerdas yang mau mengisolasi diri. Pengisolasian diri oleh negara mana pun hanya akan menimbulkan keterbelakangan, kemunduran, kemiskinan, kualitas kehidupan yang buruk, dan kekuatan oligarkhi yang merepresi rakyat sendiri.

Untuk mencapai "global herd immunity", harus dalam waktu cepat (2 atau 3 tahun ke depan) 85% penduduk dunia HARUS SUDAH divaksinasi dengan vaksin-vaksin top dunia (katakanlah ada 10 vaksin top, dengan vaksin Pfizer dan vaksin Moderna menduduki dua posisi teratas, yang akan disusul oleh vaksin Johnson&Johnson). Inilah hal yang justru mungkin sekali sangat sulit dicapai.

Ketimpangan berat pendistribusian vaksin-vaksin top Covid-19 ADALAH BAGIAN DARI KETIMPANGAN EKONOMI DUNIA sekarang ini. 

Bayangkan, ini faktanya: 

Sekarang ini (sejak 2015) segelintir orang, yakni orang terkaya dunia yang merupakan 1% penduduk dunia, menguasai kekayaan jauh lebih banyak dibandingkan total kekayaan yang dimiliki 99% penduduk dunia lainnya. Data 2017 menunjukkan bahwa total kekayaan yang dipunyai 8 orang superkaya dunia sama dengan total kekayaan yang dimiliki separuh penduduk termiskin dunia. 

Orang-orang terkaya ("the super-riches") dunia tidak mungkin tidak memanfaatkan masa berat pandemi untuk makin memperkaya diri lewat bisnis vaksin-vaksin paling top dunia. Ada tangan-tangan mereka di dalam proses pengembangan vaksin-vaksin top dunia. "Invisible hands", tentunya. 

Kok tega ya mereka? Ya, ketegaan mereka itulah yang telah menjadikan mereka kalangan superkaya dunia, tahun demi tahun. 

Dengan kondisi ketimpangan yang kesetanan seperti itu, susah sekali pandemi Covid-19 dapat diakhiri dengan cepat. 

Mari yuuk, kita ubah dunia yang timpang kesetanan seperti saat ini dengan sebuah nyanyian baru bagi Tuhan. Mari kita ciptakan sebuah nyanyian baru. Nyanyian adalah kekuatan. Songs are power.

Baik, selanjutnya, saya mau cerita sedikit.

Tadi sore, saat mendung, saya duduk sendirian di wuwungan genteng rumah, menatap ke awan-awan hitam yang sedang bergerak jauh di atas kepala saya. 

Tiba-tiba, di antara awan-awan hitam itu, saya melihat seekor elang hitam besar sedang terbang sendirian dengan begitu gagah dan mempesona. Terbang melingkar, meliuk, lurus, bolak-balik, jauh di atas awan-awan, selama sepuluh menit. Kadang hilang di balik awan, tapi segera si elang terlihat lagi. Sayapnya begitu lebar terkembang, gagah, indah dan mistikal.

Saya merasa, si elang ini sedang menyampaikan pesan-pesan "dari atas" ke saya. Tapi pesan apa? 

Di saat itu saya lantas teringat pada kisah Yesus melihat langit terbuka dan (sosok seperti) seekor burung merpati turun dan hinggap pada-Nya, ketika Dia baru dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis. Dan terdengar suara dari awan-awan, dari angkasa, dari langit, dari sorga. 

Di saat saya sedang "terhanyut" dengan "kegaiban" si elang itu, tiba-tiba di angkasa sebelah kiri saya sebuah helikopter lewat dengan suara bising. 

Saya menemukan kontras: si helikopter itu terbang rendah, jauh di bawah awan-awan hitam dan bersuara ribut. Sebaliknya, si elang itu terbang tinggi jauh di atas awan-awan gelap, sendirian, tanpa suara, hening, keheningan dan keperkasaan yang gaib.

Sungguh, seumur hidup saya, baru tadi sore itu saya sungguh-sungguh tersedot hanyut dalam pengalaman seperti masuk ke alam lain yang terasa begitu memukau dan misterius serta sarat pesan. 

Setelah terbang berputar-putar, keluar masuk awan-awan, selama 10 menit, si elang itu menghilang. Kenapa tak muncul lagi? Ada rasa sedih di hati saya. Saat itu, saya masih terus menunggu. Tapi sang kawan elang itu telah terbang ke lokasi lain di angkasa tinggi. Kapan engkau akan memperlihatkan diri lagi ke aku? Hujan pun turun, makin deras. Aku basah kuyup. 

Kenapa saya menceritakan pengalaman saya dengan si elang itu? 

Di masa pandemi Covid-19 sekarang ini, ketika tatap-muka langsung, "face to face", "person to person", dengan banyak teman dan anggota keluarga lain, sudah makin jarang, atau bahkan sudah terhenti, dan ketika kita tidak yakin bahwa pandemi ini akan cepat berlalu, dan di saat ibadah "in-person" sudah berubah menjadi ibadah "online", kita semua makin merasa hidup seperti sendirian. "Alone". Mungkin juga "lonely". Tentu kita tahu, "aloneness" beda dari "loneliness".

Jangan takut dengan "aloneness". Si elang gaib yang saya lihat tadi sore terbang jauh di angkasa, di antara awan-awan mendung, betul-betul "alone", sendirian. 

Elang bukan bebek. Elang sendirian, terbang tinggi, hening, kokoh dan tangguh. Bebek membentuk kawanan, berkoek-koek ramai, melenggok mengikuti si pemimpin mereka. Tak ada keheningan. 

Ya, sendirian. Tapi si elang itu begitu perkasa, tidak gentar dengan awan-awan gelap yang bergerak cepat di hadapannya dan yang mengepungnya. Ada kekuatan besar dalam diri si elang yang "alone". Kekuatan langit.

Sayap-sayapnya yang dibentangkan dan dikembangkan, dan dikepak-kepakkan, dengan begitu indah dan memukau, terlihat seperti layar sebuah kapal laut yang terkembang yang sedang mengarungi lautan yang bergelora besar. Sepasang layar terkembang si elang, membuatnya dapat terbang dengan kencang, menantang dan menembus dan mengalahkan awan-awan gelap, yang akan menjadi hujan. 

Nah, sekalipun banyak di antara kita yang merasa sendirian, sunyi, dan sepertinya Covid-19 adalah awan-awan hitam yang sangat menakutkan dan tak pernah hilang, marilah kita terus terbang tinggi dengan tangguh, tanpa takut. 

Fly, fly, fly, up up to the sky, come, come, nearer and nearer, to Jesus, in aloneness, in strength, in silence. 

Ingatlah dan imajinasikanlah bahwa kita adalah si elang misterius yang saya lihat tadi sore, dalam kesendirian dan keheningan, dan ketangguhan.  

25 Februari 2021
ioanes rakhmat

https://www.oxfam.org/en/research/economy-99

https://www.aljazeera.com/news/2021/2/17/un-chief-urges-global-plan-to-reverse-unfair-vaccine-access

https://www.nytimes.com/2021/02/26/opinion/vaccine-covid-coronavirus.html

https://www.who.int/news/item/24-02-2021-covid-19-vaccine-doses-shipped-by-the-covax-facility-head-to-ghana-marking-beginning-of-global-rollout

Monday, February 22, 2021

BUSUR atau PELANGI (Kejadian 9:13-16)?



"Bow of war" or "rainbow"?


N.B. diedit 30 Desember 2021

Kemarin, mulai jam 14 WIB, Minggu 21 Feb 2021, saya ikut beribadah online GKI Kepa Duri, Jakarta. Pengkhotbahnya Pdt. Daud Chevi Naibaho dengan memakai teks Kejadian 9:8-17.

Teks tersebut adalah teks tentang "perjanjian" (Ibrani: berith. Inggris: "covenant") antara Allah dan Nuh (dan semua keturunannya) dan dengan segenap makhluk lain di Bumi (yakni, semua hewan yang ada bersama Nuh dalam bahtera) setelah air bah. Sebagai tanda perjanjian itu, Allah dengan sengaja "menaruh" (Ibrani: nātan) "busur" (Ibrani: qešet) Allah di awan.

Khotbah Pdt. Daud menarik. Sebagai pelengkap pencerah bagi khotbahnya, ada dua hal penting yang pada kesempatan ini perlu diperdalam dari teks Kejadian 9:8-17. Yang pertama adalah "perjanjian" yang Allah bangun, dan yang kedua adalah "busur Allah" sebagai tanda perjanjian-Nya sehabis air bah. 

Berikut ini, saya bagikan ke para pelayan gereja sebuah uraian simpel tentang arti busur dalam teks Kejadian tersebut, yang saya dapat susun setelah memperhatikan dan mengolah beberapa tulisan pendek online via Internet dan dua buku tebal konkordansi.

Dalam Alkitab Ibrani (PL) dan dalam PB total ada enam perjanjian yang dibangun Allah, salah satunya perjanjian Allah dengan Nuh (pada teks Kejadian 9:8-17 kata "perjanjian" muncul berulang kali, menandakan kata ini penting sekali).

Tema "perjanjian" merangkai dokumen-dokumen Perjanjian Lama (Alkitab Ibrani) yang beraneka ragam menjadi satu "sejarah keselamatan" (Heilsgeschichte) Allah. Sekaligus menempatkan Perjanjian Baru (antara Allah, Yesus dan gereja)---menurut sudut pandang kekristenan awal--- sebagai kelanjutan dan puncak semua perjanjian Allah sebelumnya yang disebut dalam kitab suci Ibrani. 

Enam perjanjian itu akan dibahas lain kali setelah pembahasan sekarang dalam tulisan pendek ini tentang "busur Allah" yang "ditaruh" atau "digantungkan" Allah di awan, sebagai tanda perjanjian-Nya dengan Nuh. 

Pada kesempatan ini, tanpa diuraikan dan dibahas, saya mau menyebut saja seluruh enam perjanjian tersebut: 

• Perjanjian dengan Adam (lihat teks NRSV Hosea 6:7, "But like (/at) Adam they transgressed the covenant;..."); 

• Perjanjian dengan Nuh dan umat manusia, segenap organisme lain, dan alam; 

• Perjanjian dengan Abraham; 

• Perjanjian dengan Musa (yang mengatasnamakan bangsa Israel); 

• Perjanjian messianik dengan raja Daud; 

• Perjanjian dengan Yesus Kristus (atas nama Israel yang baru).

Dalam khotbah Daud Chevi sempat disebut kata Ibrani qešet tanpa ditelaah, yang oleh LAI diterjemahkan "busur" (Inggris: "bow"), bukan "pelangi" ("rainbow") yang dapat muncul sehabis hujan. Pdt. Daud melaju kencang dan yakin, sampai menyebut Yesus Kristus sebagai "pelangi kasih" (tentu mengacu tak langsung pada sebuah lagu gereja).

Ya, qešet dalam teks Kejadian 9:8-17 tepat jika diterjemahkan "busur", bukan pelangi yang lazimnya muncul alamiah sehabis hujan sejak planet Bumi ada (usia planet kita ini 4,5 milyar tahun, dan manusia cerdas, Homo sapiens, baru muncul 300.000 tahun lalu di suatu tempat di Afrika), bukan baru muncul setelah bencana air bah zaman Nuh. Hanya orang yang rapat-rapat menutup akal dan pengetahuan mereka, akan ngotot menyatakan bahwa pelangi baru muncul di zaman Nuh.

Apa yang dimaksudkan dengan busur atau qešet oleh penulis Kejadian 9:8-17 dalam konteks perjanjian Allah dengan Nuh pasca-air bah? 

Kata qešet (Yunani: tokson) muncul 76 kali dalam Alkitab Ibrani. Hanya pada 2 teks kata ini jelas dimaksudkan sebagai pelangi alamiah yang diberi makna figuratif sebagai kehadiran Allah dalam kemuliaan-Nya (Yehezkiel 1:28,  "busur pelangi"), dan sebagai testimoni karya Allah sang Pencipta (Sirakh 43: 11-12, "rainbow", teks NRSV).

Dalam teks-teks lainnya, qešet dimaknai figuratif sebagai simbol kekuasaan, keagungan dan otoritas (misalnya Sirakh 50:7, mengacu ke Imam Besar Simon, putera Onias, teks NRSV), atau, lebih sering, sebagai senjata untuk berperang atau berburu.

Pada 2 Samuel 1:18 kata busur (dengan vokalisasi berbeda qāšet) muncul dengan latar peperangan yang telah menewaskan Saul dan Yonathan yang sedang diratapi Daud ("nyanyian busur" atau "nyanyian ratapan"). Busur juga dimaknai figuratif sebagai keperkasaan dan kekuatan yang diberi Allah yang membuat orang dapat "melengkungkan/melenturkan busur tembaga" (teks LAI 2 Samuel 22:35; Mazmur 18:35).

Ada 11 teks dalam Alkitab Ibrani yang menggambarkan TUHAN menggunakan busur sebagai senjata dalam melawan musuh-musuh-Nya, antara lain Babel, Elam dan Gog sebagai musuh Israel/Yehuda.

Teks Habakuk 3:9 menyatakan secara figuratif bahwa Tuhan bertindak terhadap Bumi, "membelah Bumi", dengan menggunakan busur-Nya. Dalam Mazmur 7:13-14, busur, anak panah dan pedang ditempatkan dalam suatu konteks kekerasan suatu penyerangan.

Dalam Zakharia 9:10, Mazmur 46:9, Hosea 2:17, digambarkan bahwa untuk mengakhiri konflik dan membangun perdamaian dan ketenteraman, Allah mematahkan, membuang dan melenyapkan busur perang.

Kata benda "bumi" (Ibrani: erets), yang dikaitkan dengan busur yang digantungkan atau dijauhkan, muncul dalam 4 teks PL (Kejadian 9:10, 13, 16, 17; Hosea 2:17; Zakharia 9:10; Mazmur 46:9).

Jadi, qešet dalam banyak teks Alkitab Ibrani diartikan sebagai senjata untuk berperang, selain untuk berburu, atau diberi makna figuratif sebagai simbol otoritas, kekuasaan dan keagungan. Saya tidak tahu apakah olah raga memanah sudah ada di zaman Nuh.

Nah, apa yang harus kita pahami dengan busur atau qešet sebagai tanda perjanjian Allah dengan nabi Nuh dan segenap bentuk kehidupan lain serta Bumi dalam Kejadian 9:13-16? Apakah harus diartikan sebagai senjata dalam berperang ("bow") atau sebagai pelangi alamiah ("rainbow")?

Baiklah kita berpaling dulu ke teks Hosea 2:15-22 yang jelas sekali menyajikan tema yang sejajar dengan teks Kejadian 9:13-16. Fokus kita tujukan pada ayat 17, yang saya kutipkan penuh berikut ini (dari teks TB LAI).

"Aku akan mengikat perjanjian bagimu pada waktu itu dengan binatang-binatang di padang dan dengan burung-burung di udara, dan binatang-binatang melata di muka Bumi. Aku akan meniadakan busur panah, pedang dan alat perang dari negeri, dan akan membuat engkau berbaring dengan tenteram."




Ilustrasi seorang prajurit pemanah di medan laga. Sumber gambar: archery360.com


Seluruh Hosea 2:15-22 itu (lihat teks NRSV juga) adalah ucapan kepada isteri Hosea. Jika kata ganti dalam teks MT diikuti (seperti diikuti TB LAI), menjadi jelaslah bahwa "perjanjian" yang dibuat itu tertuju ke bentuk-bentuk kehidupan non-insani: hewan-hewan di padang, burung-burung di angkasa, dan reptilia di muka Bumi.

Tak pelak lagi, teks Hosea tersebut berpadanan dengan teks Kejadian 9:13-16 tentang perjanjian Allah dengan Nuh, keluarganya dan keturunan mereka dan dengan semua bentuk kehidupan lain non-manusia.

Dalam Hosea, perjanjian Allah ini ditandakan dengan "peniadaan" (TB LAI) atau "pematahan" busur dan senjata-senjata perang lainnya, artinya Allah mengakhiri konflik dan perang. Tanda perjanjian Allah dengan Nuh yang ditandai oleh "peletakan" atau "penggantungan" busur Allah di awan, juga bermakna sama.

Jika senjata perang busur Allah digantungkan di awan, itu artinya Allah mengakhiri konflik dan kegeraman-Nya terhadap umat manusia setelah air bah menghukum mereka semua. 

Yang diluputkan Allah hanya Nuh dan keluarganya dan keturunannya dan hewan-hewan berpasangan yang ikut masuk ke dalam bahtera yang dibangun Nuh dalam waktu sangat panjang atas perintah Allah sebelum air bah melanda dan menenggelamkan muka Bumi selama 150 hari. 

Tentu saja, kisah air bah zaman Nuh ini tidak ada kaitannya dengan siklus panjang Zaman-zaman es di planet Bumi. Zaman Es paling belakangan, yang dinamakan Pleistosin, berakhir 12.000 tahun yang lalu ketika glasier-glasier (bongkahan atau endapan es yang terakumulasi di muka Bumi) mulai melumer. Setelah zaman Pleistosin, muncul zaman Holosin yang di dalamnya kita sekarang hidup dan membangun peradaban-peradaban.




Buku The Epic of Gilgamesh, salah satu buku kertas yang masih saya miliki.


Kisah air bah dalam zaman Nuh ini jelas mengikuti tema serupa dari Epik Gilgamesh yang ditulis di kawasan Mesopotamia lima ribu tahun lalu. Lihat bab 5 ("The Story of the Flood") buku The Epic of Gilgamesh yang diterjemahkan oleh N. K. Sandars (London, etc.: Penguin Books, 1960, cetak ulang dengan revisi 1964, 1972). 

Seandainya ada sebuah anak panah lepas dari busur yang tergantung di awan-awan, anak panah ini akan melesat menjauhi muka Bumi. Tidak akan menusuk dan menancap pada perut bunda Bumi. Kehilangan daya tusuknya, lalu terhempas melayang di ketinggian. 

Perlu diingat, dalam berbagai mitologi kuno, jika digambarkan busur-busur ditaruh atau digantungkan di awan-awan, ini adalah gambaran kemenangan di akhir perang. Dengan latar ini juga, busur yang ditaruh di awan dalam kisah Kejadian 9 menggambarkan secara metaforis bahwa Allah dengan sengaja, berdasarkan pertimbangan-Nya, menyingkirkan senjata busur perang untuk mengakhiri peperangan-Nya dengan umat manusia dan Bumi yang sebelum air bah datang melanda dipandang-Nya "sungguh telah rusak/bejad" (Kejadian 6:11-13; juga ayat 5-6).

Ya, paradoks-nya adalah: lewat air bah yang destruktif Allah memenangkan perang dengan memenangkan umat manusia, Bumi dan segala binatang. Allah sendiri yang memulai peperangan destruktif total, Allah juga yang mengakhirinya.

Busur Allah sudah digantung tinggi di awan, di atas muka Bumi. Perang antara Allah dan umat manusia berakhir sudah. Busur Allah menjadi tanda rekonsiliasi antara Allah, umat manusia, organisme non-manusia, dan Bumi. Rekonsiliasi ini dibangun dengan ikatan perjanjian yang ditandai oleh penggantungan busur perang Allah di awan. Isi perjanjian ini adalah bahwa "tidak akan ada lagi air bah yang akan memusnahkan segala yang hidup" yang ada di Bumi (Kejadian 9:15). 

Busur juga menjadi suatu tanda memorial yang mengingatkan Allah pada perjanjian-Nya dengan Nuh yang berlaku kekal (ayat 12, 16). Kelihatannya, hemat saya, busur baru bisa menjadi tanda pengingat jika secara berkala muncul di awan-awan, dan tampaknya di sini qešet diberi juga makna "rainbow" atau pelangi.

Seharusnya memang, Allah menaati dan selalu ingat perjanjian ini selamanya. Allah tak perlu lagi menurunkan busur perang-Nya dari awan untuk berperang lagi. Tetapi masalahnya ada pada manusia yang dapat merusak ekosistem Bumi dan mengubah iklim global, dus mengancam kehidupan.

Nah, jika ditempatkan dalam latar banyak peperangan yang telah dan sedang berlangsung antar berbagai suku bangsa di Timur Tengah kuno saat Kejadian 9:13-16 ditulis, maka ikatan perjanjian Allah dengan Nuh berbicara dengan suatu perspektif lain. Bahwa Allah peperangan, "the God of war", telah memilih jalan perdamaian dan rekonsiliasi dengan kalangan yang tidak disukai Allah, dengan busur perang-Nya dihalau dan digantung jauh dari Bumi, di awan-awan tinggi. Siapa yang bisa mengambil busur perang Allah di angkasa dengan tangan?

Allah yang disembah Nuh lebih memilih untuk akur dan berdamai dengan semua ciptaan, demi Nuh yang diberkati dan hidup bergaul dengan Allah (Kejadian 6:9), dan demi keturunannya. "The God of war and destruction" bertransformasi menjadi "the God of peace, reconciliation and construction" tapi dengan harga yang sangat mahal yang harus dibayar sebelumnya, yakni pemusnahan nyaris seluruh umat manusia. Ini suatu kisah tragedi teologis besar.

Ya, jika lewat Yesus Kristus yang "digantung" (seperti busur) pada kayu salib Allah mengadakan perdamaian dan rekonsiliasi dengan umat manusia, dan kegeraman Allah diganti atau berubah menjadi "kasih yang begitu besar" (Yohanes 3:16a), bisa tepat juga jika Yesus Kristus yang tersalib dipandang sebagai "sang pelangi kasih", atau lebih tepat "sang busur kasih", tanda perjanjian yang baru yang dimeteraikan oleh pengorbanan Yesus.

Di dalam peristiwa Yesus, dalam suatu perjanjian yang baru, ketimbang membasmi umat manusia (seperti yang dilakukan Allah nabi Nuh lewat air bah), Allah dimetaforakan "menggantung" diri-Nya sendiri di kayu salib, berkorban diri, lewat tangan Roma dan para pemimpin Yahudi, untuk mendatangkan kedamaian dan kehidupan bagi dunia. Kematian agung sang Immanuel, yang memberi kehidupan.

22 Februari 2021
ioanes rakhmat

Dibaca kembali 9 Agustus 2021


Thursday, February 18, 2021

Temuan Terkini WHO Terkait Asal-usul Wabah Covid-19 di Wuhan, dan Mutasi Mutakhir Coronavirus


Tim misi WHO yang terdiri atas 17 ilmuwan yang dipimpin Peter Ben Embarek, bersama 17 ilmuwan China, telah melakukan investigasi langsung pertama di lokasi selama satu bulan tentang asal-usul wabah virus SARS-CoV-2 di Wuhan dan kawasan sekitarnya yang terletak di provinsi Hubei, China.

Seperti halnya dengan semua negara lain, apalagi negara besar seperti China, protokol "surveillance" yang ketat diberlakukan pemerintah China terhadap pekerjaan investigatif tim misi WHO. Bagaimana pun juga, tim ini telah sukses bekerja selama satu bulan bersama 17 ilmuwan China sebagai kolega mereka.

Temuan-temuan Pertama

Tim misi WHO itu baru saja telah merilis temuan-temuan mereka di Wuhan. Berikut ini.

1) Wabah infeksi coronavirus telah berlangsung lebih awal di Wuhan, sejak Oktober 2019, TANPA TERDETEKSI oleh para ilmuwan dan pemerintah China.

2) Saat wabah resmi dinyatakan telah terjadi, pertengahan Desember 2019 di Wuhan, SUDAH ADA tiga belas varian coronavirus yang telah menyebar luas.

Penemuan atas 13 varian coronavirus tersebut didapat setelah dilakukan sekuensing genetik terhadap sampel-sampel material-material genetik virus dari kasus-kasus positif Desember 2019 dan sebelumnya. Hasilnya, ditemukan 13 sekuen genetik virus yang berbeda.

Sampel-sampel material genetik ini berasal dari data pasien-pasien sepanjang 2019. Beberapa di antaranya berasal dari pasar-pasar, termasuk pasar seafood Huanan di Wuhan yang diduga berperan penting dalam penyebaran virus, dan beberapa lagi tidak terkait dengan pasar-pasar.

3) Penemuan PERTAMA KALI tiga belas sekuensing genetik virus yang berlainan tersebut menyarankan bahwa coronavirus SUDAH MENYEBAR LAMA sebelum Desember 2019 di Wuhan tanpa terdeteksi.

Lazimnya, setiap wabah virus di manapun baru resmi terdeteksi beberapa waktu (dalam hitungan minggu atau bulan) sesudah kejadian infeksi-infeksi pertama yang tak diketahui. Kasus wabah di Wuhan, resmi terdeteksi pertama di pasar seafood Huanan, Wuhan.

Pasien pertama Covid-19 asal Wuhan adalah seorang pria umur 40-an. Pria ini hidup normal dan biasa-biasa saja, bekerja di kantor sebuah perusahaan privat. Tak pernah mendaki gunung dan memasuki goa-goa. Juga tidak terkait dengan pasar-pasar seafood, dan sebelum sakit tidak pernah mengunjungi kota-kota lain. Tim misi WHO telah bertanyajawab dengannya.

4) Tim misi WHO tersebut juga menganalisis 92 kasus suspek Covid-19 yang muncul Oktober-November 2019, dengan simtom seperti Covid-19 dan simtom berat/parah.

Setelah dilakukan test antibodi terhadap 67 orang (yang bersedia) dari antara 92 orang tersebut pada Januari 2021, hasilnya NEGATIF semua. Test antibodi lanjutan akan dilakukan lagi sementara saat ini belum ada kejelasan apakah antibodi (yang terbentuk lewat kesembuhan) terhadap coronavirus dapat bertahan hingga 1 tahun sejak terbentuk.

92 kasus tersebut bukan kasus klaster, tapi terpisah-pisah dalam kurun 2 bulan dan muncul di banyak tempat di provinsi Hubei tempat kota Wuhan. Para ilmuwan WHO masih belum mendapat kejelasan tentang apakah 92 kasus suspek ini benar-benar kasus coronavirus, mengapa muncul menyebar dan tidak terjadi dalam klaster-klaster, dan apa yang diindikasikan oleh kenyataan ini.

Nah, tim misi investigatif WHO ini akan kembali datang ke Wuhan beberapa bulan yang akan datang untuk melanjutkan penyelidikan. Mereka berharap, nanti akan dapat meneliti sampel-sampel biologis serum darah yang akan diperoleh dari bank donor darah di Wuhan yang berasal dari kurun 2019 dan 2020. Pemerintah China menyatakan tersedia 200.000 sampel biologis yang telah diteliti untuk tujuan litigasi. Sebetulnya ada lagi sampel biologis lain (seperti faeses dan urin) yang dapat bermanfaat, tetapi sudah dibuang setelah sebelumnya diteliti.

Dari Kelelawar, ke Hewan Jinak, Lalu ke Manusia

Sudah kita ketahui, Donald Trump sewaktu masih menjabat presiden Amerika Serikat, bersama Trump Administration, telah mengumbar klaim politis yang spekulatif bahwa coronavirus penyebab penyakit Covid-19 berasal dari sebuah laboratorium virologis di Wuhan. Pada waktu itu, lembaga intelejen Amerika menyatakan tidak mungkin coronavirus diciptakan para ilmuwan atau dibiakkan dari virus lain yang sudah dimodifikasi secara genetik.

Setelah tim misi WHO mengunjungi laboratorium Wuhan Institute of Virology, ketua tim, Peter Ben Embarek, menegaskan bahwa "sangatlah tidak mungkin" coronavirus lolos dari lab tersebut lewat "kebocoran" yang tidak disengaja.

Peter Daszak, anggota tim misi WHO, (presiden EcoHealth Alliance di New York, spesialis penyakit hewan dan penularannya ke manusia), bersama seluruh ilmuwan tim WHO ini, menyatakan klaim Trump itu sangat tidak mungkin benar, dan tak patut diinvestigasi lebih lanjut.

Menurut Daszak (yang pernah bekerjasama dengan Wuhan Virology Institute, yang berakibat penghentian bantuan dana ke organisasinya oleh Trump Administration), coronavirus berasal-usul di Asia Tenggara (antara lain Vietnam, Laos, atau Myanmar, juga Kamboja, Thailand, bahkan juga Jepang) atau China Selatan. Penularan terjadi dari hewan-hewan liar, kelelawar paling mungkin (selain trenggiling), lalu lewat tautan hewan-hewan peliharaan yang sudah dijinakkan (seperti cerpelai, hewan-hewan ternak berbulu lebat, musang, anjing rakun, biul slentek) akhirnya masuk ke Wuhan.

Lewat mekanisme yang lazim dinamakan "Horizontal Genes Transfer" (HGT), coronavirus lompat ("spill-over") dari inang-inang kelelawar (dan trenggiling) masuk ke inang-inang hewan yang sudah dijinakkan, lalu dari hewan-hewan jinak lompat lagi ke manusia.

Kelelawar adalah hewan yang paling mungkin menjadi "reservoa alamiah" tempat hidup coronavirus, lalu virus-virus ini pindah inang ke hewan jinak sebelum akhirnya menginfeksi manusia. Tetapi mata rantai penularan HGT ini tidak berlangsung awalnya di Wuhan, tetapi di kawasan-kawasan lain di China atau di Asia Tenggara.

Tim WHO ke depannya akan fokus pada penelitian terhadap "mata rantai dingin" ("cold chain") sebagai medium penyebaran virus, yakni mata rantai pengangkutan, pemasokan dan perdagangan makanan-makanan yang dibekukan. Mata rantai ini melibatkan tempat-tempat lain di China dan kawasan-kawasan perbatasan dengan negara-negara Asia Tenggara.

Nah, uraian di atas menunjukkan berbagai usaha keilmuwan yang terarah ke masa satu atau dua tahun lalu terkait awal pandemi Covid-19. Selanjutnya, perlu kita ketahui juga apakah virus SARS-CoV-2 masih terus bermutasi pada saat ini. Jawabnya jelas, ya mutasi terus berlangsung. Ikuti pemaparan berikut.

Bermutasi Konvergen

Di beberapa negara bagian Amerika Serikat ditemukan tujuh varian virus SARS-CoV-2 yang berasal dari garis-garis silsilah yang berbeda, telah BERMUTASI KONVERGEN. Artinya, 7 varian virus corona ini telah mengalami mutasi ke arah yang sama, yaitu mutasi pada SATU GEN yang berpengaruh pada cara virus masuk ke dalam sel-sel manusia.

Persisnya mutasi yang sama ini terjadi pada asam amino yang ke-677 pada protein-protein "spike" tujuh varian virus ini. Protein-protein "spike" virus corona sendiri terdiri lebih dari 1.200 molekul yang membentuk rantai terlipat, yang menjadi unit-unit dasar ("building blocks") pembangun virus yang hidup.

Dari tujuh varian virus yang bermutasi konvergen ini, varian dari garis silsilah yang sama dideteksi (lewat sekuensing genetik) paling awal pada 1 Desember 2020. Lalu, beberapa minggu kemudian, sampai akhir Januari 2021, semuanya menjadi lebih umum mendominasi, di Lousiana.

Bahkan di negara bagian New Mexico, varian yang bermutasi pada protein ke-677 ditemukan lebih awal lagi, Oktober 2020.

Enam varian dari garis silsilah yang berbeda, yang bermutasi mandiri dan berkonvergensi pada mutasi gen yang sama, ditemukan di beberapa negara bagian yang lain.

Temuan 7 varian virus mutan itu berasal dari sekuensing genetik terhadap kurang dari 1% sampel-sampel test SARS-CoV-2. Bayangkan, kurang dari 1% sampel test! Kalau sampel test yang dilakukan sekuensing genetik lebih banyak, jauh di atas 1%, tentu akan ditemukan jauh lebih banyak varian virus yang bermutasi konvergen.

Mutasi pada protein ke-677 dapat mempermudah virus-virus masuk ke dalam sel-sel manusia karena "spike" mereka lebih mudah diaktivasi. Diakui, ihwal bagaimana tombak "protein spike" ditancapkan pada sel-sel manusia, masih misterius juga. Mutasi pada gen ke-501 seperti pada mutan virus Inggris dan Afrika Selatan, misalnya, yang mengubah "spike" virus-virus mutan, membuat bagian puncak "spike" virus dapat lebih kuat mencengkeram sel-sel manusia, dan infeksi dapat lebih efektif.

Mutasi konvergen varian-varian virus dari silsilah yang berlainan ini memberi dua keuntungan bagi virus-virus mutan: menjadi lebih unggul dibandingkan varian virus lain, dan lebih kuat dalam melawan sistem imun manusia.

Ingat ya, sekuensing genetik mutakhir virus corona di Amerika telah dilakukan baru pada kurang dari 1% kasus terinfeksi. Bagaimana dengan kondisi Indonesia? Belum terdengar berita adanya mutan-mutan virus Jakarta, Jawa Barat, misalnya. Soalnya terletak pada teknologi sekuensing genomik virus.

Trajektori penyebaran SARS-CoV-2 dari Wuhan ke Jakarta dan ke Jawa Barat dan seterusnya, yang sudah berlangsung lebih dari 12 bulan, bukanlah trajektori viral yang unilinier statis, dengan virus yang itu itu juga. Tidak demikian. Adalah logika keilmuan yang bekerja jika siapa pun berpikir bahwa mutan-mutan virus Jakarta, Jawa Barat dst, sangatlah mungkin sudah ada.

Apa pun juga, vaksinasi nasional dengan vaksin-vaksin yang sudah tersedia (meski belum di-"adjust" untuk menangkal mutan-mutan besar virus) perlu dijalankan (dan sedang berjalan) sekarang ketimbang menunggu vaksin-vaksin lain yang mendatang, yang mungkin akan jauh lebih efektif yang dikembangkan sebagai respons antisipatif terhadap mutan-mutan besar coronavirus.




Kita sudah ketahui, "vaccination rate" di Indonesia masih sangat rendah, ya sekitar 60.000-an dosis tunggal per hari, sementara target Indonesia (kata seorang teman dokter) adalah 100.000 dosis vaksin perhari. Bagaimana dengan Amerika? Pemerintah Amerika mengvaksinasi hampir 1,4 juta orang penduduk per hari dengan dosis tunggal.

Dengan "vaccination rate" yang sangat rendah itu, berapa lama waktu dibutuhkan Indonesia untuk tuntas mengvaksinasi ganda 180-190 juta orang dari total 240 juta penduduknya untuk mencapai "herd immunity"? Ya hitunglah sendiri. A long wait!

Jangan lupa, virus corona di Indonesia, jika tidak lenyap begitu saja dari planet Bumi, delapan sampai sepuluh tahun mendatang, lewat berbagai mutasi besar, akan sudah jauh berbeda dari virus corona sekarang.

18 Februari 2021
ioanes rakhmat

Berita-berita yang diperhatikan:

https://www.nytimes.com/2021/02/14/health/coronavirus-variants-evolution.html

https://www.cnn.com/2021/02/14/health/who-mission-china-intl/index.html

https://www.nytimes.com/2021/02/14/health/WHO-covid-daszak-china-virus.html

https://www.bbc.com/news/world-asia-china-55996728

Sunday, February 14, 2021

APA PESAN KISAH MARKUS tentang "Yesus berubah rupa" (Markus 9:2-13)?



Tadi, mulai pukul 9 pagi, Minggu, 14 Feb 2021, saya mengikuti kebaktian online GKI Kepa Duri lewat tayangan Youtube. Pengkhotbahnya Pdt. Cordelia Gunawan. Saya menikmati seluruh rangkaian ibadah ini, termasuk khotbah di dalamnya.

Sekarang saya ingin mengetengahkan apa sebenarnya maksud dan pesan Markus 9:2-13, yang saya berhasil temukan. Baca kisah paralelnya juga dalam Matius 17:1-13 dan Lukas 9:28-36 yang sudah mengalami penyuntingan oleh penulis masing-masing Injil ini.

Pesan saya kepada Pdt. Cordelia, kalahkanlah kecenderungan yang ada dalam diri para rohaniwan umumnya untuk dengan berapi-api membenturkan akal dan ilmu pengetahuan dengan teks-teks kitab suci yang mengisahkan hal-hal "luar biasa" seperti teks khotbahnya.

Kata "transfigurasi" (dari kata Latin transfiguratio) tidak dipakai dalam teks Markus tersebut dalam terjemahan LAI. Yang dipakai LAI frasa "berubah rupa". Kata Yunaninya metamorfē, artinya: perubahan wujud ("morfē"), melampaui ("meta") sosok ragawi, berubah menjadi sosok cahaya, "the light figure".

Artinya, di suatu momen kehidupan aktif Yesus di masa dewasa, "di atas sebuah gunung yang tinggi", Yesus mengalami pencahayaan ilahi, menampakkan kemuliaan ilahi, mengalami penerangan sorgawi atau "divine enlightenment". Ini menjadi sumber kekuatan spiritual besar bagi Yesus dalam menjalani alur kehidupan-Nya yang akan diwarnai penderitaan, lalu berakhir dalam kematian di kayu salib (Markus 9:9-13).

Pada momen pencerahan itu, "datanglah awan" menaungi mereka. Maksudnya: "awan kemuliaan ilahi", "wujud kehadiran Allah dalam kemuliaan-Nya". Dalam sastra-sastra rabbinik, setelah tahun 70, manifestasi kemahahadiran ilahi yang agung dan mulia ini dinamakan "Shekinah" (Ibrani: Šekīnahשכינה).

Lalu terdengar suara dari awan kemuliaan ilahi itu, suara Allah sang Bapa, "Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia." 

Penyingkapan status Yesus ini paralel dengan penyingkapan yang telah terjadi sebelumnya, ketika "langit terbuka" sesaat sesudah Yesus dibaptis, yang didengar oleh Yesus saja: "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan." (Markus 1:9-11).

Peristiwa metamorfē, saat Yesus mentransendir wujud ragawi, menjadi wujud cahaya---"wajah-Nya berubah, bercahaya seperti Matahari" (Matius 17:2; Lukas 9:29), dengan pakaian-Nya terlihat sangat putih bercahaya-cahaya--- adalah peristiwa yang sangat mendasar bagi Yesus. Ini peristiwa pencerahan budi, yang menjadi sumber inspirasi kata-kata Yesus yang patut manusia "dengarkan" karena Yesus berbicara sebagai sang Anak Allah yang diperkenan Allah, yang menjadi suatu manifestasi Shekinah.

Metamorfē sebagai momen "enlightenment", momen penerangan budi, yang selanjutnya menjadi sumber pengetahuan dan kebijaksanaan dan kekuatan spiritual, lazim dialami para sosok besar yang mulia dan agung, pengubah sejarah dunia, juga para sosok besar religius. Frasa lain yang paralel adalah "fotisme", "pencahayaan dari kawasan lain". Ini adalah suatu fenomena antropologis lintasbudaya. 

Ya, kita tentu teringat juga pada nabi Musa. Dikisahkan, ketika dia telah turun dari Gunung Sinai setelah berjumpa dengan Allah, "kulit wajahnya bercahaya-cahaya oleh karena dia telah berbicara dengan Tuhan" (Keluaran 34:29-35; disinggung juga oleh rasul Paulus pada 2 Korintus 3:7, 13). Cahaya kemuliaan Tuhan menguasai wajah Musa. Sang nabi utama bangsa Yahudi ini mengalami penerangan budi ilahi. Inilah yang memampukan dia, dalam kepercayaan Yahudi, untuk menjadi pemimpin yang tangguh, nabi tersuci, pemberi hukum Allah, dan peletak fondasi legal awal agama Yahudi.

Dalam karya Philo yang berjudul Life of Moses, di saat menceritakan akhir perjalanan kehidupan nabi Musa, Philo pada bagian 2.288 karyanya itu memuat sebuah deskripsi tentang kenaikan Musa ke sorga lalu hidup abadi setelah tubuh dan jiwanya disatukan, berubah menjadi "pikiran" yang "murni seperti cahaya Matahari". Baik, saya kutipkan bagian itu sepenuhnya.

"Setelah itu, tibalah waktunya untuk dia [Musa] harus membuat perjalanan panjang dari Bumi ke sorga, dan untuk melepaskan kehidupan fana di dunia ini demi memperoleh kehidupan abadi. Sang Bapa memanggilnya dari Bumi ini dengan menjadikan satu kesatuan tunggal kodrat rangkap dua tubuh dan jiwanya, lalu mengubah keseluruhan keberadaannya menjadi pikiran, murni seperti cahaya Mentari."

Philo juga bimbang apakah betul Musa raib, diangkat ke sorga, dan tidak mengalami kematian, tetapi berubah menjadi sosok cahaya, menjadi pikiran yang bebas dan abadi. Dalam bagian 2.291 karyanya itu, Philo masih menyebut kematian dan penguburan Musa./*/

Dalam Ulangan 34:5-8, ditulis bahwa Musa mati dan dikuburkan di sebuah lembah di tanah Moab meskipun tidak ada orang yang tahu di mana lokasi kuburan Musa. Ketidaktahuan ini menimbulkan spekulasi bahwa Musa tidak pernah mati, tetapi diangkat langsung ke sorga dengan tubuh yang sudah diubah.

Tapi, oleh injil-injil PB, Yesus digambarkan lebih tinggi dan lebih unggul dari Musa. Yesus telah mengalami penerangan ilahi dua kali, saat Dia dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis dan saat Dia mengalami metamorfē di atas sebuah gunung yang dilihat oleh tiga murid terdekat-Nya.

Bagi penulis Injil Markus, pencerahan yang dialami Yesus ini menempatkan Yesus pada posisi sejajar dengan Elia dan Musa. Tapi Yesus juga melampaui dua nabi PL ini. Yesus bukan hanya nabi, tapi juga "Anak yang dikasihi Allah". Bangsa Israel sebagai "anak Allah" (tradisi PL) direpresentasi oleh satu sosok yang tercerahkan dan memancarkan kemilau kehadiran ilahi, Yesus sang Anak Allah yang disenangi sang Bapa, Yesus sang Shekinah.

Teks Markus 9:9 penting diperhatikan. Pada teks ini, diisyaratkan bahwa "metamorfē" Yesus di atas gunung itu akan dapat dipahami umum setelah Yesus ("Anak manusia") "dibangkitkan dari antara orang mati".

Maksudnya, kebangkitan Yesus yang dikerjakan oleh sang Bapa ("dibangkitkan") adalah juga peristiwa "metamorfē" yang ketiga dan definitif, peristiwa Yesus melampaui kefanaan ragawi-Nya, berubah, masuk ke dalam kondisi tidak lagi dikuasai kefanaan, menjadi Tuhan yang hidup, yang hadir melampaui ruang dan waktu, kapan saja dan di mana pun, Yesus dalam "rupa yang lain" (Yunani: hē hetera morfē) seperti ditulis pada Markus 16:12, bagian dari Markus 16:8b-20.

(Markus 16:8b-20 lazim dipandang sebagai pelengkap penutup tambahan setelah teks asli Injil Markus berakhir pada 16:8a. Tambahan pelengkap penutup pendek ada pada Markus 16:8b dan tambahan pelengkap penutup panjang ada pada Markus 16:9-20. Dua tambahan belakangan ini dirasa perlu oleh editor belakangan mengingat Injil Markus ditutup semula pada 16:8a yang bernada negatif pesimistik, "Lalu mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut.").

Yesus yang telah dibangkitkan, adalah Yesus yang mengambil rupa yang lain, Yesus yang telah mengalami "metamorfē", bertubuh sorgawi, yang tak tunduk pada batasan ruang dan waktu, menjadi Tuhan yang hidup di segala zaman dan tempat. Perubahan ke wujud yang lain ini, lewat kebangkitan-Nya, telah diantisipasi dalam peristiwa pencerahan ilahi yang dialami Yesus di atas gunung sebelumnya.

Nah, sebagai murid Yesus, kita juga perlu mempunyai pengalaman pencerahan budi, pengalaman diterangi oleh cahaya ilahi, dan wajah kita menjadi "bercahaya kemilau", dipenuhi aura kehadiran Allah dalam kemuliaan-Nya. Memakai kata-kata Paulus, kita perlu "diubah menjadi serupa (Yunani: metamorphousthai) dengan gambar Yesus, dalam kemuliaan yang makin besar." (2 Korintus 3:18).

Metamorfē kita ini akan menjadi sumber hikmat, pengetahuan dan kekuatan spiritual besar bagi kita semua dalam pelayanan dan kehidupan kita yang berliku-liku. Bahkan sumber kekuatan besar untuk kita bangkit kembali dari genangan lumpur penderitaan dan kesukaran berat.

Baiklah. Happy Sunday. Selamat hari Minggu. Selamat beribadah.

Jakarta, 14 Feb 2021
ioanes rakhmat

Catatan

/*/ Lihat H. Chadwick, "St. Paul and Philo of Alexandria", BJRL 48 (1966), 301. Juga LCL, 2.288; juga L. Ginzberg (Legends, 6.152 n. 904) yang berpendapat bahwa ketika T. Moses (1.15) dan Ps.Philo (Bib.Ant, 19-20 d) menekankan bahwa Musa dikuburkan di area pemakaman umum, ini dimaksudkan untuk menggempur pandangan bahwa Musa tidak mati tetapi diangkat ke sorga.

Saturday, February 13, 2021

Perayaan Imlek Di-"Alkitabiah"-kan


Menarik sekali, dalam sekian e-cards ucapan selamat tahun baru Imlek dan video-video pendek tentang Imlek yang saya telah terima dalam beberapa hari terakhir ini, ada selipan ayat-ayat Alkitab.

Antara lain, Yesaya 40:31 tentang kekuatan baru yang diberi Tuhan lewat Imlek. Mazmur 90:17a tentang kemurahan Tuhan sebagai inti makna Imlek. 2 Korintus 8:14 tentang keseimbangan lewat saling memberi yang menjadi jiwa Imlek.



Dan ada lirik-lirik lagu Imlek yang menggemakan tema-tema Alkitab, misalnya tentang kasih Allah yang begitu besar (Yohanes 3:16a), tentang Allah yang menggenapi firman-Nya, dan berisi ucapan Yesus tentang berbahagialah orang yang percaya. 



Gambar persis di atas ini mempesona. Imajinasi yang kreatif membawa kita ke Perjamuan Malam Imlek, dengan Tuhan Yesus bertindak selaku sang Tuan Rumah.

Nah, usaha-usaha sederhana "mengalkitabiahkan" perayaan Imlek itu tentu dimaksudkan untuk menyingkirkan keraguan orang Tionghoa Kristen yang tetap ingin merayakan Imlek sebagai pesta budaya Tionghoa.

Jadi, lewat usaha mengalkitabiahkan perayaan Imlek, orang Tionghoa Kristen hendak diyakinkan bahwa tidak ada benturan atau konflik antara kehidupan sebagai seorang Kristen dan perayaan musim semi Imlek dalam tradisi leluhur orang Tionghoa.

Syukurlah. Memang seharusnya begitu. Tradisi-tradisi besar leluhur apapun perlu diintegrasikan lembut dan gemulai dengan kehidupan sebagai orang Tionghoa Kristen.

Saya ingat, tiga puluh atau empat puluh tahun lalu, terkait Imlek ada ajaran keras dari aliran gereja tertentu yang para pendirinya ironisnya orang Tiongkok asli. Mereka wanti-wanti mengingatkan dengan keras bahwa karena orang Kristen adalah "ciptaan baru", maka tradisi perayaan Imlek dari para leluhur orang Tionghoa HARUS DISINGKIRKAN dari kehidupan orang Tionghoa Kristen.

Mereka yang keras terhadap tradisi Tiongkok itu anehnya gampang saja mengadopsi tradisi Jerman yang menjadi fondasi kekristenan yang mereka anut dan sebarkan. Apakah ada kekristenan murni puritan yang tidak berisi kebudayaan apapun? Ya TIDAK ADA.

Syukurlah, ajaran kekristenan keras itu tidak bisa membuang tradisi perayaan Imlek dari orang Tionghoa Kristen. Ajaran keras itu tidak laku.

Ya, bagaimanapun juga, kebudayaan adalah bagian dari agama, dan agama juga bagian dari kebudayaan. Manusia di muka Bumi hidup tidak bisa lepas dari berbagai macam bentuk dan corak kebudayaan. Kebudayaan lahir dari DAYA AKAL BUDI. Akal budi yang diberdayakan, membuat kehidupan lebih baik dan lebih maju. Akal budi yang ditindas dan dibunuh, melahirkan kebodohan dan keterbelakangan, dan kematian.

Jadi, beragama tanpa menghargai kebudayaan sendiri adalah beragama yang telah kehilangan bagian sangat penting dari dasar kehidupan. Beragama yang kehilangan sesuatu yang berharga yang ada dalam jiwa kita yang dalam.

Lewat perayaan Imlek, ikatan kekeluargaan dibarui dan diperkuat. INI SANGAT BAIK DAN POSITIF. 

Keluarga-keluarga yang kuat membuat kota juga kuat. Kota-kota yang kuat dan terpadu menjadikan negara dan bangsa juga kuat.

Sekali lagi, "happy chinese new year 2021". Semoga semua orang berbahagia dan makmur. GONG XI FA CAI.

12 Feb 2021 (hari dimulainya tahun baru Imlek 2021 yang berzodiak lembu jantan logam, "the year of the metal ox")

ioanes rakhmat

* Editing mutakhir 10 Februari 2024 (saat dimulainya tahun baru lunar Naga)