Thursday, February 25, 2021

Yakinkah anda pandemi Covid-19 bisa cepat diakhiri lewat vaksinasi?

Elang terbang tinggi sendirian, hening, tangguh, menembus awan-awan. Bebek membentuk kawanan, bersuara ribut, mengekor sang pemimpin. Elang tak akan pernah menjadi bebek. Begitu juga, bebek tak akan pernah menjadi elang.


YAKINKAH ANDA PANDEMI COVID-19 BISA CEPAT DIAKHIRI LEWAT VAKSINASI?

Seharusnya kita yakin. Tapi mewujudkan keyakinan ini dalam waktu cepat SANGAT SULIT. 

Program Covax Facility WHO yang menjanjikan akan dengan adil mendistribusikan vaksin-vaksin top dalam harga murah, nyatanya tersendat-sendat, nyaris tak jalan. PBB juga terlihat tak begitu dihiraukan negara-negara kaya yang kini, sejumlah 10 negara, menguasai 75% vaksin-vaksin top (yang memperlihatkan "effectivity rate" 95%). 

Amerika Serikat, sebagai salah satu negara terkaya dunia, menyuntik dosis tunggal 1,4 juta warganya per hari dengan vaksin mRNA Pfizer (dosis lengkap 2 shot), vaksin mRNA Moderna (dosis lengkap 2 shot), dan segera dengan vaksin adenovirus Johnson&Johnson (yang ini cukup dan lengkap dengan dosis 1 kali shot saja). Sebagai pembanding yang jomplang, Indonesia sementara waktu berjalan ini hanya mampu menginjeksi dosis tunggal vaksin SinoVac (dengan "effectivity rate" 60%) sejumlah 60.000-an orang per hari. 

Summer mendatang di USA diharapkan akan menyenangkan, selanjutnya di musim autumn segalanya diinginkan kembali normal. Hebat, bukan?

Untuk meningkatkan "vaccination rate", jauh di atas 1,4 juta per hari, para pekerja kesehatan Amerika akan juga melakukan vaksinasi dari pintu ke pintu, dari blok ke blok, tidak cuma dilakukan di sentra-sentra vaksinasi. Biaya operasional vaksinasi nasional tentu jadi akan naik, tapi akan tertutup oleh keuntungan-keuntungan lain kalau pandemi di Amerika dapat ditekan lalu diakhiri dengan jauh lebih cepat.

Pada sisi lain, kini ada 130 negara yang belum menerima satu pun dosis tunggal. Di 32 negara yang tidak stabil, sarat dengan konflik dan perang, seperti Yemen, Suriah, Sudan Selatan, Somalia, dan Ethiopia, baru 1% saja dari vaksin-vaksin yang ada yang telah masuk. 

Bagaimana pun juga, WHO dan mitra-mitranya, serta PBB dan mitra-mitranya, adalah tumpuan harapan kita satu-satunya untuk vaksin-vaksin Covid-19 dapat didistribusikan dengan adil dan merata ke negara-negara miskin dan terbelakang. 

Dirjen WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyatakan bahwa "kita tidak akan dapat mengakhiri pandemi di mana pun jika kita tidak mengakhirinya di segala tempat." 

Covax Facility menargetkan akan mengirim 2 milyar dosis vaksin-vaksin dalam tahun 2021, ke negara-negara yang berpartisipasi dalam program Covax, untuk kalangan yang paling membutuhkan.

Sejauh ini, Covax baru berhasil mengirim 600.000 dosis vaksin Oxford-AstraZeneca (vaksin termurah, 4 USD per dosis) ke Ghana pada 23 Februari 2021. 

Bisakah suatu negara kaya, Amerika misalnya, aman sendiri jika seluruh penduduknya sudah divaksinasi, tanpa peduli pada negara-negara lain? Ya tidak bisa. 

Globalisasi dan lalu-lintas mobilitas warga dunia yang sangat tinggi, penyeberangan lewat perbatasan-perbatasan negara-negara yang relatif mudah, hubungan internasional yang aktif, adalah beberapa faktor penentu yang tidak memungkinkan negara-negara kaya "mengisolasi diri" dengan penduduk di dalam negara-negara ini sudah divaksinasi semua atau 85% dari jumlah populasi masing-masing. 

Tentu, di zaman modern ini, tak ada negara kaya mana pun yang cerdas yang mau mengisolasi diri. Pengisolasian diri oleh negara mana pun hanya akan menimbulkan keterbelakangan, kemunduran, kemiskinan, kualitas kehidupan yang buruk, dan kekuatan oligarkhi yang merepresi rakyat sendiri.

Untuk mencapai "global herd immunity", harus dalam waktu cepat (2 atau 3 tahun ke depan) 85% penduduk dunia HARUS SUDAH divaksinasi dengan vaksin-vaksin top dunia (katakanlah ada 10 vaksin top, dengan vaksin Pfizer dan vaksin Moderna menduduki dua posisi teratas, yang akan disusul oleh vaksin Johnson&Johnson). Inilah hal yang justru mungkin sekali sangat sulit dicapai.

Ketimpangan berat pendistribusian vaksin-vaksin top Covid-19 ADALAH BAGIAN DARI KETIMPANGAN EKONOMI DUNIA sekarang ini. 

Bayangkan, ini faktanya: 

Sekarang ini (sejak 2015) segelintir orang, yakni orang terkaya dunia yang merupakan 1% penduduk dunia, menguasai kekayaan jauh lebih banyak dibandingkan total kekayaan yang dimiliki 99% penduduk dunia lainnya. Data 2017 menunjukkan bahwa total kekayaan yang dipunyai 8 orang superkaya dunia sama dengan total kekayaan yang dimiliki separuh penduduk termiskin dunia. 

Orang-orang terkaya ("the super-riches") dunia tidak mungkin tidak memanfaatkan masa berat pandemi untuk makin memperkaya diri lewat bisnis vaksin-vaksin paling top dunia. Ada tangan-tangan mereka di dalam proses pengembangan vaksin-vaksin top dunia. "Invisible hands", tentunya. 

Kok tega ya mereka? Ya, ketegaan mereka itulah yang telah menjadikan mereka kalangan superkaya dunia, tahun demi tahun. 

Dengan kondisi ketimpangan yang kesetanan seperti itu, susah sekali pandemi Covid-19 dapat diakhiri dengan cepat. 

Mari yuuk, kita ubah dunia yang timpang kesetanan seperti saat ini dengan sebuah nyanyian baru bagi Tuhan. Mari kita ciptakan sebuah nyanyian baru. Nyanyian adalah kekuatan. Songs are power.

Baik, selanjutnya, saya mau cerita sedikit.

Tadi sore, saat mendung, saya duduk sendirian di wuwungan genteng rumah, menatap ke awan-awan hitam yang sedang bergerak jauh di atas kepala saya. 

Tiba-tiba, di antara awan-awan hitam itu, saya melihat seekor elang hitam besar sedang terbang sendirian dengan begitu gagah dan mempesona. Terbang melingkar, meliuk, lurus, bolak-balik, jauh di atas awan-awan, selama sepuluh menit. Kadang hilang di balik awan, tapi segera si elang terlihat lagi. Sayapnya begitu lebar terkembang, gagah, indah dan mistikal.

Saya merasa, si elang ini sedang menyampaikan pesan-pesan "dari atas" ke saya. Tapi pesan apa? 

Di saat itu saya lantas teringat pada kisah Yesus melihat langit terbuka dan (sosok seperti) seekor burung merpati turun dan hinggap pada-Nya, ketika Dia baru dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis. Dan terdengar suara dari awan-awan, dari angkasa, dari langit, dari sorga. 

Di saat saya sedang "terhanyut" dengan "kegaiban" si elang itu, tiba-tiba di angkasa sebelah kiri saya sebuah helikopter lewat dengan suara bising. 

Saya menemukan kontras: si helikopter itu terbang rendah, jauh di bawah awan-awan hitam dan bersuara ribut. Sebaliknya, si elang itu terbang tinggi jauh di atas awan-awan gelap, sendirian, tanpa suara, hening, keheningan dan keperkasaan yang gaib.

Sungguh, seumur hidup saya, baru tadi sore itu saya sungguh-sungguh tersedot hanyut dalam pengalaman seperti masuk ke alam lain yang terasa begitu memukau dan misterius serta sarat pesan. 

Setelah terbang berputar-putar, keluar masuk awan-awan, selama 10 menit, si elang itu menghilang. Kenapa tak muncul lagi? Ada rasa sedih di hati saya. Saat itu, saya masih terus menunggu. Tapi sang kawan elang itu telah terbang ke lokasi lain di angkasa tinggi. Kapan engkau akan memperlihatkan diri lagi ke aku? Hujan pun turun, makin deras. Aku basah kuyup. 

Kenapa saya menceritakan pengalaman saya dengan si elang itu? 

Di masa pandemi Covid-19 sekarang ini, ketika tatap-muka langsung, "face to face", "person to person", dengan banyak teman dan anggota keluarga lain, sudah makin jarang, atau bahkan sudah terhenti, dan ketika kita tidak yakin bahwa pandemi ini akan cepat berlalu, dan di saat ibadah "in-person" sudah berubah menjadi ibadah "online", kita semua makin merasa hidup seperti sendirian. "Alone". Mungkin juga "lonely". Tentu kita tahu, "aloneness" beda dari "loneliness".

Jangan takut dengan "aloneness". Si elang gaib yang saya lihat tadi sore terbang jauh di angkasa, di antara awan-awan mendung, betul-betul "alone", sendirian. 

Elang bukan bebek. Elang sendirian, terbang tinggi, hening, kokoh dan tangguh. Bebek membentuk kawanan, berkoek-koek ramai, melenggok mengikuti si pemimpin mereka. Tak ada keheningan. 

Ya, sendirian. Tapi si elang itu begitu perkasa, tidak gentar dengan awan-awan gelap yang bergerak cepat di hadapannya dan yang mengepungnya. Ada kekuatan besar dalam diri si elang yang "alone". Kekuatan langit.

Sayap-sayapnya yang dibentangkan dan dikembangkan, dan dikepak-kepakkan, dengan begitu indah dan memukau, terlihat seperti layar sebuah kapal laut yang terkembang yang sedang mengarungi lautan yang bergelora besar. Sepasang layar terkembang si elang, membuatnya dapat terbang dengan kencang, menantang dan menembus dan mengalahkan awan-awan gelap, yang akan menjadi hujan. 

Nah, sekalipun banyak di antara kita yang merasa sendirian, sunyi, dan sepertinya Covid-19 adalah awan-awan hitam yang sangat menakutkan dan tak pernah hilang, marilah kita terus terbang tinggi dengan tangguh, tanpa takut. 

Fly, fly, fly, up up to the sky, come, come, nearer and nearer, to Jesus, in aloneness, in strength, in silence. 

Ingatlah dan imajinasikanlah bahwa kita adalah si elang misterius yang saya lihat tadi sore, dalam kesendirian dan keheningan, dan ketangguhan.  

25 Februari 2021
ioanes rakhmat

https://www.oxfam.org/en/research/economy-99

https://www.aljazeera.com/news/2021/2/17/un-chief-urges-global-plan-to-reverse-unfair-vaccine-access

https://www.nytimes.com/2021/02/26/opinion/vaccine-covid-coronavirus.html

https://www.who.int/news/item/24-02-2021-covid-19-vaccine-doses-shipped-by-the-covax-facility-head-to-ghana-marking-beginning-of-global-rollout