Thursday, January 27, 2022

“Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Markus 15:34)

 


Kegelapan meliputi daerah itu selama tiga jam.... Image credit: Steve K. Image source: Fine Art America.


Di pagi hari, 26 Januari 2022, saya tergerak untuk memakai teks Markus 15:34 sebagai fokus kontemplasi saya.

Kita tahu, teks ini terkenal, memuat jeritan Yesus di saat Dia sedang sekarat di kayu salib, dan menganggap diri-Nya telah ditelantarkan Allah, Bapa-Nya.

Dengan suara nyaring, Yesus berseru, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”

Saya bertanya dalam kalbu, mengapa sebelum teks itu, penulis Injil Markus menulis bahwa “Pada jam dua belas, kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga.” (Markus 15:33).

Pada jam tiga inilah, Yesus berteriak memanggil Allah, Bapa-Nya, yang tidak dilihat-Nya ada bersama-Nya, tapi telah meninggalkan-Nya, jauh, entah ke mana, entah di mana.

Apa makna kegelapan selama tiga jam itu, sebelum Yesus menjerit pilu kepada Allah, lalu “dengan suara nyaring” Dia menyerahkan nyawa-Nya” (TB LAI. Markus 15:37)?

Ada banyak penafsir Injil Markus yang mengacu ke kisah tulah kesembilan (dari sepuluh tulah) yang berupa kegelapan, yang dijatuhkan Allah kepada orang Mesir (Keluaran 10:21-23), untuk menyatakan bahwa kegelapan selama tiga jam menjelang Yesus berteriak putus asa lalu mengerang kuat ketika sekarat kemudian mati di kayu salib adalah simbolik kemurkaan Allah atas penduduk dunia, yang ditimpakan atau “ditulahkan” Allah kepada Yesus sebagai sosok “kambing hitampemikul dosa dan kekerasan hati umat manusia.

Ya, mungkin ada rujukan sekilas dalam Markus 15:33 ke tulah kesembilan yang dikisahkan dalam Keluaran 10 tersebut. Tetapi terdapat beberapa perbedaan tajam antara tulah kegelapan selama “tiga hari” yang dialami orang Mesir dan kegelapan selama tiga jam di saat Yesus disalibkan.

Dalam kisah tulah kesembilan di kitab Keluaran 10, kegelapan berlangsung tiga hari, bukan tiga jam, dan meliputi seluruh tanah Mesir.

Selain itu, kegelapan di Mesir dialami semua orang Mesir, sedangkan orang Israel yang diperbudak di sana mengalami terang di masing-masing tempat kediaman mereka. Tentu saja, mustahil kita dapat membayangkan bagaimana tempat kegelapan (bagi seluruh orang Mesir) dan tempat terang (bagi orang Israel saja) dapat real terjadi dan muncul pada waktu yang bersamaan di negeri Mesir ketika tulah kesembilan dijatuhkan.

Dalam kisah penyaliban Yesus, pembedaan tempat gelap dan tempat terang tidak ada, tetapi, sebaliknya, dikatakan bahwa kegelapan “meliputi seluruh daerah itu” (TB LAI. Teks Yunani: ef holēn tēn gēn, “meliputi seluruh negeri/Bumi”, NRSV: “over the whole land/Earth”).

Tambahan pula, kegelapan selama tiga jam di saat Yesus disalibkan tidak disebut sebagai tulah.

Kalaupun kegelapan selama tiga jam ini dianggap sebagai tulah, mustinya tulah ini menimpa para pemimpin Yahudi yang berkolaborasi dengan penguasa Romawi di provinsi Yudea, yakni Gubernur Pontius Pilatus, untuk menghukum mati Yesus. Faktanya, tidak demikian: mereka aman-aman saja, bahkan memegang kendali atas situasi keamanan dan ketertiban di saat Yesus disalibkan.

Hal yang terpenting untuk diperhatikan adalah bahwa dalam kisah Markus tentang penyaliban Yesus, sama sekali tidak ada tafsiran bahwa kegelapan selama tiga jam adalah simbolik kemurkaan atau tulah Allah terhadap seisi dunia ini yang ditimpakan pada diri Yesus lewat penyaliban diri-Nya.

Jika tafsiran semacam itu dipaksakan pada teks Markus, maka Yesus yang tersalib, mau tak mau, harus dipandang sebagai sosok penanggung dan pemikul dosa dunia yang tidak ikhlas, yang telah kehilangan kepercayaan-Nya bahwa Allah, sang Bapa, masih bersama-Nya di kala Dia sedang tersiksa sangat berat.

Penting diketahui. Rujukan ke Yesaya 53:5-6 tidak ada dalam kisah penyaliban Yesus dalam Injil Markus. Rujukan ke Nyanyian Hamba Tuhan (yang keempat) dalam kitab Yesaya (Yesaya 52:13-53:12) ditemukan pada 1 Petrus 2:24 (“Dia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.”).

Jika demikian, kegelapan selama tiga jam di saat Yesus disalibkan musti punya makna lain. Kegelapan ini tak dapat dipisahkan dari teriakan nyaring Yesus bahwa diri-Nya telah ditinggalkan Allah, sang Bapa.

Pada pihak lain, menurut penulis Injil Markus, teriakan keterlantaran Yesus itu ditafsir beberapa orang yang berdiri dekat Yesus yang tersalib sebagai panggilan Yesus kepada nabi Elia untuk menurunkan-Nya (Markus 15:35-36). Tentu saja, ini suatu tafsiran yang salah, yang dapat ditimbulkan oleh kesalahan atau kerancuan mendengarkan seruan keras Yesus dalam bahasa Ibrani (diambil dari Mazmur 22:2) Elôi, Elôi, lama sabakhtani?, yang sebenarnya berarti “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”, bukan Elia, Elia, mengapa engkau meninggalkan Aku?

Jika teriakan keterlantaran Yesus di saat Dia disalibkan dipahami tak terpisah dari kegelapan yang berlangsung selama tiga jam (angka tiga mau menegaskan kegelapan yang segelap-gelapnya), maka kegelapan perlu dipahami figuratif, yakni sebagai langit atau sorga yang tertutup, tak terlihat, dus Allah menghilang. Segalanya jadi gelap.

Keadaan itu berbeda dari keadaan di saat Yesus baru dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Menurut penulis Injil Markus, di saat itu “langit terkoyak” (TB LAI), sorga terbuka, dan “Roh seperti burung merpati turun ke atas” Yesus. Allah dialami kehadiran-Nya oleh Yesus, yang lewat pembaptisan dilantik atau diadopsi oleh Allah sebagai sang Anak Allah sendiri. Terdengar suara dari sorga, langsung untuk Yesus, dari balik langit yang terbuka: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” (Markus 2:9-11).

Dengan demikian, kegelapan di saat Yesus disalibkan menunjuk pada kegelapan mata batin Yesus, yang membuat-Nya tidak dapat menemukan dan melihat kehadiran Allah, sang Bapa, ketika Dia sedang menderita luarbiasa berat, sedang sekarat.

Tubuh Yesus kesakitan luar biasa. Mata mental tertutup. Mata hati tak bisa melihat lagi. Semuanya menjadi gelap. Maka berteriaklah Yesus, dengan suara keras, memanggil-manggil Allah yang tidak dilihat kehadiran-Nya oleh Yesus.

Benarkah Allah telah menghilang, telah meninggalkan Yesus di saat Yesus, sang Putera Allah yang diperkenan Allah, sedang sekarat di kayu salib? Mari, kita cari jawabannya. Pasti ada.

Selain simbolik kegelapan yang tergelap dan luas, juga ada simbolik lain yang kaya makna dalam kisah penyaliban Yesus. Yakni simbolik tirai atau tabir Bait Allah terbelah dua (Markus 15:38).

Tak ada lagi tirai pemisah Ruang Maha Kudus dalam Bait Suci dari ruang-ruang lainnya, termasuk dunia di luar Bait Suci.

Allah tidak lagi berdiam dalam batas-batas Ruang Maha Kudus. Allah hadir di luar Bait Suci. Allah menjadi mahahadir dan mahaberada. Kemuliaan-Nya tak bisa lagi dikurung dalam Bait Allah, tetapi meluas, memenuhi segala sesuatu, meliputi langit dan Bumi.

Memakai kosakata Yudaisme rabbinik pasca-tahun 70 M, Shekinah (kata benda Ibrani feminin) atau cahaya kehadiran kemuliaan Allah memancar di mana-mana, di segala ruang dan waktu, mahahadir dan mahaberada. Tidak lagi terbatas di dalam Bait Allah yang pada tahun 70 M (saat Injil Markus ditulis) sudah dihancurkan oleh pasukan Romawi dalam Perang Yahudi Pertama (66-70/74 M).

Lalu, apakah ada hubungan antara simbolik tirai Bait Allah yang terkoyak, dari atas hingga ke bawah, dan Yesus yang tersalib, yang sedang sekarat dan tidak bisa lagi melihat Allah, sang Bapa-Nya?

Ada hubungan yang sangat penting antara keduanya. Ada makna teologis penting di situ yang disampaikan Markus.

Di saat Yesus sedang sekarat di kayu salib, Allah sang Bapa-Nya, atau Shekinah, sebetul-betulnya tetap hadir, tetap mahaberada. Allah hadir dalam suatu kehadiran yang total, dengan menyatu penuh dengan diri Yesus yang sedang sengsara berat. Allah tidak terpisah.

Allah sang Bapa ikut menderita dalam penderitaan berat yang sedang ditanggung Yesus. Allah ikut menanggung kesengsaraan Yesus. Allah, sang Bapa, berbelarasa, ikut menderita, di saat Yesus sangat menderita dan sekarat. Untuk Yesus yang sedang sekarat tersalib, Allah menjadikan diri-Nya the compassionate God, Allah yang ikut menderita.

Derita sang Anak adalah derita sang Bapa. Sebaliknya juga, derita sang Bapa adalah derita Yesus, sang Anak. Hal ini benar, bahkan ketika Yesus tidak menyadari kesatuan sang Bapa dalam penderitaan Yesus, meski Yesus menduga Allah telah meninggalkan diri-Nya. Sampai akhirnya, Yesus menghembuskan nafas-Nya yang penghabisan(Markus 15:37. Yunani: eksepneusen. TB LAI: “menyerahkan nyawa-Nya).

Kisah Yesus yang mengalami kegelapan batin dan konflik mental di saat Dia sedang sangat sengsara, sehingga Dia merasakan langit telah runtuh, Allah di sorga telah tidak ada lagi, pergi jauh, adalah kisah kita semua, anak-anak insani Allah, sang Bapa.

Ini adalah kisah representasional, kisah yang mewakili kisah-kisah kehidupan semua anak manusia, di segala zaman dan tempat, dari abad ke abad, ketika manusia memutuskan untuk hidup beriman dan percaya pada Allah sang Bapa dalam dunia yang dipenuhi berbagai penderitaan, ringan, berat dan sangat berat, dari manapun penderitaan ini datang dan timbul.

Allah ada di dalam penderitaan anak-anak-Nya. Penderitaan tidak bisa memisahkan Allah dari anak-anak-Nya. Allah, juga Yesus, tahu apa artinya kesengsaraan, dan tahu apa yang dapat ditimbulkannya terhadap keadaan mental dan batin manusia. Di dalam penderitaan Yesus, Allah, sang Bapa, tahu apa itu rasa putus asa dan rasa kecewa, dan tahu apa itu sekarat. Allah, sang Bapa, menjadi sungguh-sungguh insani.

Jika Allah sang Bapa telah menyatu dengan penderitaan kita, luarbiasa berat sekalipun penderitaan kita itu, kita akan tetap berpengharapan meski rasa putus asa masih dapat membayangi. 

Ya, sebab Allah, Bapa sorgawi kita, lebih besar dari penderitaan apapun. Akan muncul dan datang hari yang baru, hari kemenangan, apapun bentuk kemenangan ini. 

There is always a new day, the day of hope and victory, amid our agonies.

Ini adalah kisah teologis yang besar, agung dan abadi. Kisah teodise paradoksal.


Jakarta, 27 Januari 2021
ioanes rakhmat



Sunday, January 23, 2022

Pdt. Marto Marbun dan Hubungan dengan Yesus



Beriman itu mendaki..., makin tinggi,.., dan makin lebar dan luas melihat cakrawala


Tadi pagi, 23 Januari 2022, rekan saya dari GKI Perniagaan, Jakarta, Pdt. Marto Marbun, berkhotbah dalam ibadah tatap muka (dihadiri maksimal 150 orang, diatur begitu) di GKI Kepa Duri, Jakarta Barat, yang dimulai pk. 08:30 WIB.

Saya mengikuti ibadah tersebut lewat ibadah online live streaming, di rumah. Saya harus jauuuh datang ke GKI Kepa Duri kalau mau mengikuti ibadah tatap muka. Jadi, ya saya mencukupkan diri dengan ibadah online saja.

Dalam khotbahnya, Pdt. Marto Marbun menyelipkan cerita pendek tentang dirinya jatuh dari motor yang dikendarainya dengan kecepatan tinggi, lalu tiba-tiba dia harus rem motornya itu. Tentu ada sesuatu di depannya yang tidak dikisahkannya. Akibatnya, motornya terjatuh meliuk karena rem tangan yang ditariknya penuh.

Pdt. Marto terjungkal, tapi selamat, tak ada kendaraan lain yang menabraknya dari belakang. Tapi, sendi bahu kirinya jadi sakit sehingga dia kini bisa mengangkat tangan kirinya hanya sampai batas dada, tidak bisa lebih tinggi. Akibat lainnya, dia sekarang tidak bisa menggendong bayinya (usia 7 bulan) dengan kedua tangannya; hanya bisa dengan tangan kanannya.

Kasihan rekan kita ini. Kita doakan, supaya cedera di sendi bahu kirinya cepat sembuh, dan tidak memburuk.

Di ruang Live Chat kanal Youtube ibadah online tersebut, saya tadi pagi sudah menulis sebuah komentar pendek.

Saya tulis di situ kurang lebih kata-kata ini: Kita sudah tahu, ngebut berkendara itu berbahaya, jadi jangan kita lakukan.

Mustinya, Pdt. Marto sudah memahami hal itu. Eh, dia ngebut juga. Maka kecelakaan dialaminya, dan untungnya ada beberapa orang yang datang menolongnya.

Mungkin, ada warga gereja yang diam-diam bilang dalam hati di saat kebaktian online tadi pagi tersebut: Wah, Pak pendeta ini suka ngebut rupanya.

Ada sebuah pesan sponsor yang beberapa kali diulang dalam khotbah rekan kita, Pdt. Marto Marbun.

Saya sendiri tak mengerti mengapa pesan sponsor tersebut (entah dari siapa, tapi saya bisa menduga) dimunculkan dalam khotbah Pdt. Marto. Hemat saya, memasukkan pesan-pesan sponsor ke dalam suatu khotbah di mimbar gereja, adalah suatu tindakan yang tidak etis.

Pesan sponsor dari Pdt. Marto Marbun tersebut berkaitan dengan "kemelekatan" yang beberapa minggu lalu saya sempat tulis dan sudah saya pasang di Freidenk Blog saya dengan judul "Zazen: Jalan menuju pencerahan (3)".

Tulisan saya tersebut berperspektif Buddhis yang mengenal sebuah prinsip yang dinamakan Nekkhamma (kata Sanskrit) atau "ketidaklekatan" atau "detachment" atau "non-attachment".

Kalangan Buddhis dididik dan diajar untuk tidak melekatkan diri, total, habis-habisan, dengan hal apapun yang ada dalam dunia ini yang dikendalikan hukum impermanensi segala sesuatu.

Pdt. Marto herannya menerapkan pesan sponsor tersebut berkaitan dengan hubungan seorang Kristen atau gereja dengan Yesus. Menurutnya, setiap orang Kristen harus melekat atau terpaut pada Yesus. Saya setuju banget, tapi dalam arti apa? Baik, berikut ini saya akan uraikan.

Kita semua tentu setuju, bahwa Yesus tidak bisa disusutkan menjadi sebuah ide, sebuah doktrin, sebuah dogma, apalagi dijadikan sebuah tugu semen yang dihiasi dengan berbagai ornamen.

Hubungan kita dengan Yesus adalah hubungan dengan SUATU KEHIDUPAN, dengan kehidupan yang penuh makna ilahi. Kehidupan dari Tuhan yang hidup, the Living Lord

Hubungan kita dengan Yesus jadinya hubungan yang HIDUP dan DINAMIS, hubungan yang terus-menerus selalu baru, penuh dengan enerji kehidupan, tak pernah kehabisan makna, tak bisa diubah menjadi hubungan yang statis dengan sebuah ide atau sebuah doktrin atau sebuah dogma yang difosilkan.

Yesus selalu melampaui ide, doktrin atau dogma apapun, karena Yesus adalah Tuhan yang hidup, yang sudah mengalahkan kesengsaraan dan kematian, masuk ke dalam kemuliaan ilahi, yang tak mengenal kebinasaan. Alhasil, Yesus tidak bisa dikurung dalam sebuah ide, doktrin atau dogma yang fana apapun. 

Juga Yesus tidak dapat dikandangkan dalam suatu zaman dan suatu tempat. Dia selalu melampaui ruang dan waktu. 

Akan selalu ada faktor dan sisi plus, yang baru dan mengejutkan, memukau, dan selalu lebih besar dan lebih segar, dalam pengenalan dan perjumpaan kita, sebagai gereja, dengan Yesus Kristus, sang Tuhan yang hidup dan dinamis, dari zaman ke zaman, dari ruang ke ruang, dalam dunia ini.

Ya, Yesus selalu sudah bergerak ke masa depan, melewati dan melampaui masa lalu dan masa kini. Beriman kepada Yesus selalu beriman sebagai suatu proses dinamis dan progresif

Tentu, kita tetap memerlukan ide-ide, doktrin-doktrin, atau dogma-dogma, dan ruang dan waktu kita, dalam membangun hubungan dengan Yesus yang sudah dimuliakan oleh sang Bapa, menjadi Tuhan yang hidup. Tetapi, semua hal yang kita perlukan itu dinamis, tidak statis, dan hidup, tidak mati, bergerak ke depan dan tidak mandek. Sejarah pemikiran tentang Yesus atau kristologi sudah memperlihatkan hal ini. 

Yesus yang sudah ditinggikan dan dimuliakan adalah the Living Lord and the Living Word, sang Tuhan dan sang Firman yang selalu hidup, selalu dinamis, dan tak bisa dikerangkeng dalam sangkar emas apapun yang dikunci dan digembok mati.

Dengan Yesus, kita membangun hubungan yang hidup, dinamis, selalu terbuka, terarah ke masa depan, dalam ziarah atau perjalanan panjang yang tak pernah berakhir.

Jangan sekali-kali mengurung Yesus dalam ide, doktrin atau dogma apapun, atau dalam ruang, tempat dan zaman apapun, sebab Yesus itu Tuhan yang hidup dan dinamis, yang selalu lebih besar dari ide, doktrin atau dogma apapun, dan dari ruang dan waktu apapun. 

Sebagai Tuhan yang hidup, Yesus selalu melampaui imajinasi kita apapun tentang Tuhan dan ide ketuhanan.

Sebagaimana Roh Allah digambarkan secara simbolik sebagai sosok burung (merpati) yang terbang bebas dan riang di angkasa, bergerak bak udara terbuka yang tak terlihat, begitulah halnya dengan Yesus sebagai Tuhan yang hidup dan dinamis.

Tuhan kita Yesus Kristus adalah Tuhan yang hidup, sama sekali bukan Tuhan yang mati. Muliakan Dia sebagai Tuhan yang hidup.

Jangan cari Yesus di antara orang mati dan di antara fosil-fosil. Dia tidak ada di sana. Tetapi carilah Yesus di antara yang hidup dan dalam kehidupan.

Beriman kepada Yesus adalah beriman dengan hidup dan dinamis, kaya dengan kreativitas, dinamika, perubahan, enerji, pembaruan, spektrum, warna-warni, perspektif, semarak, kegembiraan, keriangan, puisi, tarian, dan nyanyian, kesenian dan juga matematika.

Beriman yang lincah dan kaya dengan kreativitas semacam itu terhadap Yesus, akan membersihkan jiwa, pikiran, hati, kalbu, dan kesadaran kita dari debu-debu kotor yang dihembuskan oleh kehidupan kita sehari-hari.

Selamat beriman kepada Yesus, rekan-rekanku. Beriman yang cerdas, hidup, dinamis, bergerak, mendaki, makin tinggi, tanggap, bertumbuh, berbunga, berbuah, dan riang-gembira. 

Yesus ada di dalam kita, tetapi Dia juga ada di luar diri kita dan berkarya dan bergerak bebas, melampaui diri individual kita dan gereja. 

Let Jesus be Jesus, the Living One. Let us follow the Living God, not the dead God.

ioanes rakhmat
Jakarta, 23 Januari 2022



Friday, January 14, 2022

Maka Menangislah Yesus!

 


MAKA MENANGISLAH YESUS!

Seperti tersihir kutengadah ke atas
Sungguh kulihat Engkau, ya Yesus
Berdiri di awan-awan putih bak kapas
Bercahya kemilau memancar lepas

Kegelapan langit tunggang-langgang
Ditendang jauh sang Maha Terang
Angkasa bercahaya gilang-gemilang
Para malaikat berdendang riang

Setan-setan durjana telah dihempas
Kembali di alam neraka dilepas
Dihukum abadi tanpa batas
Di sana mereka meratap habis memelas

Saat kutunduk melihat ke padang rumput nan hijau
Duuuh, di situ Yesus duduk dengan wajah berkilau
Dikerumuni kanak-kanak yang ramai bergurau
Mereka sungguh girang bercanda dengan Engkau

Engkau tertawa senang tak tertahan
Kanak-kanak Galilea riuh saling berebutan
Ramai-ramai meminta Kau gendong
Satu sama lain dorong-mendorong

Kesedihan kanak-kanak itu jauh terbuang
Mereka merasa tak ingin pulang
Karena di rumah menanti beban segudang
Terbiasa ditampar dan ditendang

Porak-poranda jiwa mereka
Rumah tinggal sudah jadi neraka
Sejak kecil hidup sudah celaka
Di saat sudah besar, mereka menebar petaka

Air mataku menitik haru tak tertahan
Yesus, sungguh, Engkaulah Tuhan
Bukan hanya di atas tak terjangkau tangan
Tapi Engkaulah Tuhan di bawah di tengah insan

Kanak-kanak di padang rumput hijau itu
Selalu merindukan dekapan Engkau
Yesus, ubahlah kehidupan mereka di depan
Agar dapat menjadi insan-insan teladan

Yesus, Engkaulah Tuhan yang insani
Engkau berada bukan lagi di angkasa tinggi
Kau telah turun dari kawasan tinggi
Berdiam di antara insan di Bumi sekarang ini

Kerajaan-Mu, ya Tuhan, ada di Bumi ini
Kehendak-Mu jadi di Bumi ini
Engkaulah Tuhan di Bumi ini
Engkau dijumpai real di Bumi ini

Tuhan telah menjadi manusia
Memiliki biologi anak manusia
Bertubuh, berdaging dan bertulang
Bukan hantu, juga bukan kepompong

Yesus bermain bersama kanak-kanak manusia
Terlihat bergembira bersama mereka
Mengapa kalian mencari-Nya di langit tinggi
Padahal Tuhan telah ada di Bumi ini?

Sungguh telah nyata kualami!
Yesus bagiku Tuhan yang insani
Sang Teman dan Penuntun sejati
Dalam jalan kehidupan yang harus kutapaki di Bumi

Yesus sang Immanuel sejati
Dalam kehidupanku hari demi hari
Imanku bukan cuma sebuah teori
Tapi suatu pengalaman hidup sejati

Lihat, lihat ke dalam dadaku
Di situ Yesus berdiam selalu
Tak pernah pergi berlalu
Membuatku selalu syahdu terharu

Imanmu sebuah teori belaka
Lewat mulutmu, Yesus kau puji-puji
Tapi mulutmu yang sama
Menyebar fitnah ke sana ke sini

Maka menangislah Yesus, Tuhanku!
Siapakah yang dapat menghibur Tuhanku?

Jakarta, 14 Januari 2022
ioanes rakhmat