Friday, December 24, 2021

Zazen: Jalan menuju pencerahan (3)

 


Filsuf Heraklitus. Sumber gambar: npr.org.



Memoles batu bata


Ketika ditanya mengapa dia berlatih zazen, sang murid menjawab, “Karena aku ingin menjadi seorang Buddha.”

Maka, gurunya mengambil sebuah batu bata, dan mulai memolesnya. Sang murid pun bertanya, “Apa yang sedang engkau kerjakan?” Sang guru menjawab, “Saya sedang mencoba membuat sebuah cermin.”

“Bagaimana engkau dapat membuat sebuah cermin dengan memoles sebuah batu bata?”

“Bagaimana engkau dapat menjadi Buddha dengan berlatih zazen?

Jika engkau mengerti Zen duduk, maka engkau akan mengetahui bahwa Zen bukanlah tentang duduk atau berbaring.

Jika engkau ingin belajar Buddha yang duduk, ketahuilah bahwa Buddha yang duduk tidaklah memiliki bentuk yang sudah pasti apapun. 

Janganlah membeda-bedakan dharma yang tidak abadi. 

Jika engkau berlatih duduk sebagai Buddha, engkau harus membunuh Buddha. 

Jika engkau melekat pada bentuk duduk, engkau masih belum menguasai prinsip yang mendasar.”

Di saat sang murid mendengar nasihat itu, dia merasa seolah dia telah mengecap madu bunga yang manis.

-- Dōgen Zenji


Sudahkah anda membaca koan/1/ di atas dengan cermat, lalu merenunginya dalam-dalam?

Jika anda sedang merenunginya, perhatikanlah ke mana pikiran anda bergerak. Ikutilah, amatilah, perhatikan seberapa jauh horison-horison pikiran anda makin terbuka dan makin jernih.

Sang murid berlatih duduk bersila, berlatih zazen, supaya dia akhirnya dapat menjadi Buddha. Dia punya target, punya tujuan yang dibuatnya sudah pasti, sudah tetap, sudah difiksasi, sehingga tidak akan berubah lagi.

Segala latihan zazen duduk yang dijalankan sang murid dilekatkannya pada satu tujuan akhir, yakni menjadi Buddha.

Siapa atau apa itu Buddha? Buddha adalah orang yang mengalami pencerahan akal dan batin, orang yang sudah diterangi, dan memberi terang lewat ajaran, karya, kebajikan, keheningan, dan budi pekerti.

Begitu sang guru tahu bahwa muridnya itu melekatkan diri pada target menjadi Buddha, segera sang guru memperagakan suatu tindakan simbolik memoles sebuah batu bata.

Tentu saja, tindakan simbolik sang guru ini membuat sang murid bertanya keheranan, tidak paham.

Ya, sangatlah tidak mungkin untuk sebuah batu bata berubah menjadi sebuah cermin sekalipun telah dipoles sampai licin selicin-licinnya. Batu bata yang licin ya tetap sebuah batu bata, yang tidak bisa digunakan sebagai sebuah cermin.

Selain itu, mustahil membuat sebuah batu bata licin dan mengkilap, karena sifatnya yang rapuh, terbuat dari tanah liat yang dikeraskan lewat pemanasan, dan tidak terbuat dari bahan logam atau kaca.

Bagaimanapun juga, pertanyaan sang murid menjadi suatu pintu masuk bagi sang guru untuk membimbing sang murid ke hal-hal yang mendasar, yang esensial.

Ide utama yang diungkap sang guru dalam nasihatnya itu, dalam kata Sanskrit dikenal sebagai nekkhamma, ketidaklekatan, detachment.

Setiap insan Buddhis diajar, dididik dan dilatih untuk tidak melekatkan diri kepada hal apapun yang ada dalam dunia dan kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan religius dan pelatihan spiritual.

Jika kita melekatkan diri pada sesuatu, dan sesuatu itu jadi terlekat, attached, pada kita, sesungguhnya kita menambah besar peluang untuk didera lebih banyak kedukaan dan kesengsaraan.

Tetapi, jika kita sanggup tidak melekat pada sesuatu, kita mengambil posisi berjarak, atau posisi detached, maka apapun yang terjadi pada sesuatu itu--- misalnya hilang atau mati atau rusak atau busuk atau turun harganya dengan drastis---- kita tidak akan dibuat sengsara atau berduka atau tertekan berat.

Ketidaklekatan atau detachment hanya bisa menjadi sikap mental kita atau lambat-laun menjadi kebiasaan kita yang baik, jika kita juga menerima hukum impermanensi untuk segala hal dalam jagat semesta ini.

Tidak ada yang permanen, atau menetap abadi, tanpa perubahan, atau tanpa kepunahan, dalam alam semesta ini. Termasuk juga hal-hal yang menjadi bagian dari diri kita sebagai insan-insan biologis, dan semua hal yang mengiringi perjalanan kehidupan kita, sejak dilahirkan hingga wafat, sejalan dengan gerak panah waktu ke depan.

Tapi, apakah betul tidak ada yang permanen dalam jagat raya ini? Apakah benar tidak ada yang tidak berubah dalam kehidupan ini?

Menurut filsuf Yunani kuno, pra-Sokrates, Heraklitus (hidup sekitar 535-475 SM), ya ada hal yang tidak berubah. Katanya, Tidak ada sesuatupun yang permanen, kecuali perubahan itu sendiri.

Ya, yang permanen adalah impermanensi. Yang tidak berubah adalah perubahan. Yang abadi bukanlah keabadian itu sendiri, tetapi perubahan yang tidak pernah berakhir.

Kalau diibaratkan air, kehidupan ini adalah air yang terus-menerus mengalir, dari hulu sungai di puncak-puncak gunung atau dataran tinggi, hingga masuk ke muara di lelautan, lalu menguap, membubung ke atas, membentuk awan-awan di angkasa.

Pada waktunya, awan-awan pun turun atau jatuh lagi ke darat sebagai hujan. Air hujan pun mengalir lagi ke tempat-tempat yang lebih rendah, atau mengalir lebih lanjut lewat sungai-sungai.

Aliran air di sungai-sungai tak pernah berhenti, dan tidak pernah sama. Satu arus lewat, diteruskan oleh arus yang lain, terus demikian. 

Kata Heraklitus lagi, “Anda tidak dapat melangkah dua kali ke dalam sungai-sungai yang sama, sebab arus-arus air yang lainnya terus-menerus mengalir ke anda.”

Jika tidak ada satu hal pun yang permanen dalam jagat raya, termasuk kehidupan anda sendiri, dan hal-hal yang anda yakini sekarang, maka mengapa anda harus melekatkan diri anda habis-habisan pada sesuatu yang akan berubah, rusak, atau punah? 

Nah, prinsip nekkhamma dan impermanensi itulah yang menjadi dasar sang guru untuk sang murid membunuh Buddha jika dia sudah terfiksasi atau melekat kuat pada target pelatihan zazennya, yaitu menjadi Buddha yang duduk bersila.

Apapun ideal-ideal anda tentang Buddha, tentang sosok-sosok yang sudah mengalami penerangan budi, ideal-ideal anda itu tidak boleh difiksasi, diabsolutkan, dipaku mati, dibuat statis dan membeku.

Tak ada bentuk Buddha yang mutlak, yang tak berubah lagi. 

Buddha adalah sebuah kata kerja yang kontinual, bukan sebuah kata benda yang statis.

Buddha adalah suatu perjalanan, a voyage, bukan suatu tempat tujuan akhir atau a final destination.

Dengan demikian, menjadi Buddha adalah usaha-usaha yang terus-menerus, tanpa akhir, lewat latihan-latihan, untuk mengalami kemajuan-kemajuan dalam pencerahan budi.

Menjadi Buddha adalah panggilan untuk terus-menerus mengalami pencerahan-pencerahan baru, yang selalu dibarui, tanpa pernah selesai.

Ketika sang murid memahami ucapan-ucapan sang guru, dia merasakan betapa manisnya ucapan-ucapan sang guru, bak madu bunga.

Ya, sang murid kini telah paham bahwa sesuatu yang hidup itu, termasuk pelatihan spiritual, selalu berubah dan mengalir, tak dapat dikekang, tak dapat dibendung. Selalu mengalir, sebagai arus, dari momen ke momen, dari saat ke saat, yang terus-menerus memerlukan pengamatan, peninjauan, sekaligus kemajuan. Jika tidak begitu, maka sesuatu itu telah mati, mati kaku.


Jakarta, 24 Desember 2021
ioanes rakhmat


N.B. Ditulis di saat ibadah malam Natal gereja. 

Natal adalah datangnya sang Terang, datangnya Pencerahan ke dalam akal budi, hati, dan kehidupan setiap hari yang selalu datang.


Nikmati juga:

Zazen: Jalan menuju pencerahan (1)

Zazen: Jalan menuju pencerahan (2)

-------------


/1/ Koan adalah sebuah kisah atau sebuah dialog atau sebuah debat yang digunakan sebagai sebuah wahana sastra oleh para guru Zen untuk membimbing murid-murid mereka dalam pelatihan olah pikiran dan olah intuisi untuk tiba pada pencerahan budi.

Biasanya pelatihan semacam ini dilangsungkan para murid Zen dalam posisi duduk bersila, posisi teratai/lotus, dengan pikiran dibiarkan bergerak sendiri, dan mereka tinggal hanya mengikuti gerak pikiran ini. Titik awal untuk membuat pikiran selanjutnya bergerak sendiri adalah konsentrasi meditatif terhadap sebuah koan. Pelatihan semacam ini disebut zazen, yang bisa berlangsung berjam-jam lamanya, bergantung pada banyak koan yang mereka sedang renungi.

Zen adalah sebuah aliran dalam Buddhisme Mahayana, yang fokus ritual terpentingnya adalah olah pikiran dan konsentrasi pikiran dalam suatu zazen, dan bagi Zen Buddhisme pengalaman religius tertinggi adalah olah pikiran. Kata Zen sendiri berarti meditasi (Sanskrit: samādhidhyāna).

Dalam Zen Buddhisme, tak dikenal konsep teologis antropomorfik tentang Allah Yang Maha Esa/Kuasa, suatu konsep terpenting dalam agama-agama monoteistik. Keselamatan, bagi Zen Buddhisme, adalah penguasaan pikiran dan pencerahan akal budi, dan siapa diri kita ini ditentukan oleh apa yang ada dalam pikiran kita.

Menurut Zen Buddhisme, pikiran manusia adalah segalanya, dan mengendalikan pikiran adalah tugas paling mulia dalam kehidupan seorang manusia. Beragama, dalam Zen Buddhisme, bukanlah menyembah suatu Allah, melainkan mengontrol pikiran, dan lewat pikiran yang benar dan berani, orang disanggupkan melakukan kebajikan.