Saturday, April 30, 2022

Mengalami Yesus

 



EXPERIENCING JESUS

Pertama-tama, perhatikan gambar di atas. Zoom-in jika diperlukan. Itu gambar Paulus sedang mengalami Yesus. Ketika sudah dekat kota Damsyik, dalam penglihatan mental mistikalnya, Paulus tiba-tiba melihat cahaya yang memancar dari langit dan menyelubunginya, lalu dia mendengar Yesus berfirman kepadanya (KPR 9:3-8). Inilah pengalaman mistikal fotisme yang banyak terjadi dan dikisahkan lintasbudaya dan lintaszaman. Fotisme dibentuk dari kata Yunani phōtos (kasus genetif) atau phōs (kasus nominatif), yang artinya cahaya. Sumber gambar askabibleprof.com, 15 November 2018. 

Selanjutnya, saya buka tulisan reflektif ini dengan sebuah kutipan dari Injil Yohanes 4:42,

“Dan mereka [orang Samaria] berkata kepada perempuan [Samaria] itu: ‘Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia [Yesus] dan kami tahu (Yunani: oidamen) bahwa Dialah benar-benar (Yunani: alēthōs) Juruselamat (Yunani: sōtēr) dunia.’

Untuk seluruh kisah injil tentang perjumpaan Yesus dengan seorang perempuan Samaria di pinggir sumur Yakub, di kota Sikhar, Samaria, bacalah Yohanes 4:1-42.

Orang-orang Samaria itu percaya kepada Yesus bukan lagi karena apa kata orang lain, melainkan karena mereka telah mengalami Yesus.

Pernyataan bahwa “kami tahu” atau oidamen mengungkapkan suatu pengenalan yang intim, atau berada dalam suatu hubungan yang erat, dengan seseorang.” (lihat F. William Danker, W. Bauer, GELNT-ECL, 2000, hlm. 693). Jadi, mereka telah mengalami siapa dan bagaimana Yesus itu.

Keterangan benar-benar Juruselamat dunia” menegaskan sekali lagi bahwa mereka, orang-orang Samaria itu, telah dengan mendalam mengalami Yesus, tidak cuma di kulit luar. 

Berjumpa dengan Yesus, harus dilanjutkan dengan mengalami Yesus dengan makin dalam dan makin luas, jika iman dan pengenalan terhadap Yesus mau sungguh-sungguh otentik.

Selanjutnya, bacalah kisah Injil Matius 16:13-20.

Di kawasan Kaisarea Filipi, Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya, “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” (ay. 13). Sebutan Anak Manusia (Yunani: ho huios tou anthrōpou) menunjuk kepada diri Yesus sendiri. Jadi, Yesus bertanya, “Kata orang, siapakah Aku?

Murid-murid Yesus menjawab: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” (ay. 14).

Pengetahuan tentang Yesus yang berdasarkan apa kata orang (atau berdasarkan doktrin-doktrin gereja), tidak memuaskan Yesus. Ada sesuatu yang jauh lebih dari itu, yang diinginkan Yesus. Maka, Yesus pun bertanya lagi langsung kepada murid-murid-Nya: “Tetapi apa kata kalian, siapakah Aku ini?” (ay. 15).

Jadi, pengenalan dan pengakuan siapa dan bagaimana Yesus itu, haruslah timbul dari pengalaman pribadi (dan komunal) tentang Yesus. Pengenalan dan pengakuan yang benar, haruslah berdasar pada pengalaman hidup yang otentik bersama Yesus. Ingat, Yesus itu Tuhan yang hidup, dus kita selalu dapat mengalami-Nya. Atau lebih tepat, Yesus mengalami kita, dan kita mengalami-Nya. Dua hati telah menyatu. Dua bintang bercahaya manunggal.



Dua hati telah menyatu....

Karena telah mengalami Yesus sekian lama, Rasul Simon Petrus langsung menjawab, “Engkau adalah Kristus, Anak Allah yang hidup (Yunani: su ei ho Khristos ho huios tou Theou tou zōntos).” (ay. 16).

Di saat Simon Petrus menyebut Yesus sebagai sang Kristus, Anak Allah yang hidup, Petrus sesungguhnya menyatakan bahwa dia telah mengalami kehidupan Allah dan Yesus dalam kehidupannya sendiri, sebagai suatu karunia dari sang Bapa, Allah yang ada di sorga. Atas keadaan ini, Yesus menyatakan “Berbahagialah engkau (Yunani: makarios ei), Simon putera Yunus....” (ay. 17).

Bahkan Yesus menegaskan bahwa gereja-Nya dibangun di atas hē petra (kata benda Yunani, artinya batu karang). Maksudnya, di atas Rasul Petrus yang telah mengungkapkan suatu pengakuan bahwa Yesus adalah sang Messias, sang Kristus. Yakni, sosok agung Putera Allah yang telah dilantik sang Bapa, telah diurapi, untuk memikul tugas ilahi membangun suatu komunitas kerajaan sorga. Komunitas ini semula adalah komunitas gereja (Yunani: hē ekklēsiapenulis Injil Matius, yang jauh kemudian menjelma menjadi gereja sedunia, atau gereja-gereja global, yang tidak dapat dikalahkan gerbang maut (Yunani: pulē hadēs. TB LAI: alam maut).

Pengalaman Petrus tentang Yesus sang Kristus, pastilah pengalaman yang mendalam, otentik, dan bernilai. Alhasil, oleh Yesus, Petrus diberi tempat, kedudukan dan status yang istimewa, yang tidak diberikan kepada murid-murid lainnya (ay. 17-19). Tetapi teks selanjutnya (ay. 21-23) memuat apa yang dinamakan paradoks Petrus.

Sekarang kita tengok sejenak Rasul Paulus.

Sudah jelas, haluan kehidupan Paulus berubah drastis, menjadi rasul Yesus Kristus, karena rasul besar kekristenan proto-ortodoks ini telah mengalami siapa dan bagaimana Yesus itu.

Padahal, sebelum menjadi rasul lewat pengalaman visionernya, Paulus adalah seorang penganiaya yang gigih para pengikut Yesus (antara lain lihat KPR 8:3; 9:1-2; juga Filipi 3:6a).

Tentang pengalaman Paulus sendiri yang dengan mata batin mistikalnya “melihat” Yesus dalam wujud cahaya, bacalah KPR 9:3-9. Inilah pengalaman fotisme, suatu fenomena lintasbudaya, lintasgeografis dan lintaszaman. 

Memang mengherankan, pengalaman fotisme Paulus yang dikisahkan oleh penulis Injil Lukas dalam karya jilid keduanya KPR (9:3-9), sama sekali tidak diceritakan Paulus sendiri dalam surat-surat aslinya. Silakan anda menduga-duga apa penyebabnya.

Dalam suatu bagian dari sebuah surat aslinya, 2 Kor. 12:1-4, Paulus, dengan tidak langsung, menyebut dirinya sendiri telah masuk ke suatu pengalaman mistikal yang berbeda, yakni menerima penglihatan-penglihatan dan wahyu-wahyu di saat dia “diangkat ke tingkat tiga sorga, “diangkat ke Firdaus”.

Ihwal mengalami Yesus dengan makin dalam dan penuh, diungkap dengan kuat dan menyeluruh oleh Paulus dalam Filipi 3:10-11. Saya kutipkan.

“Hal yang kukehendaki adalah mengenal (Yunani: ginōskō) Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan (Yunani: koinōnia) dalam penderitaan-Nya (Yunani: pathēma autou), di mana aku menjadi serupa (summorfisō) dengan Dia dalam kematian-Nya (Yunani: thanatos autou), supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan (Yunani: eksanastasis) dari antara orang mati.”

Ketika Paulus mengatakan bahwa dia hendak mengenal (Yunani: ginōskō) Yesus, kata kerja Yunani ginōskō kerap menyiratkan suatu hubungan personal yang dalam antara orang yang mengenal dan orang yang dikenal, dan orang yang dikenal berpengaruh kuat pada orang yang mengenalnya. (Lihat Fritz Rieneker dan Cleon L. Rogers, A Linguistic Key to the Greek New Testament, 1980, hlm. 557).

Well, ketika orang bertanya pada saya mengapa saya tetap berpaut dan setia pada Yesus selamanya, dengan mantap saya selalu menjawab berikut ini.

Ya, karena saya sudah banyak kali mengalami Yesus sebagai Tuhan yang hidup, yang bertindak dan berkarya. Dia mahaberada. Mahahadir. Tak terbatas, baik temporal maupun spasial. Dia abadi dan menyelubungi segala sesuatu. Transenden atau selalu melampaui kapasitas mental insani untuk memahami dan menjangkau diri-Nya. Imanen atau selalu mahaberada, menyelubungi dan menyelimuti segala sesuatu. Dia penuh kasih karunia dan kebenaran.

Tidak ada kejahatan dan kekerasan dalam diri Yesus. Sebaliknya, Yesus menjadi korban kekerasan yang bengis yang dilakukan para penguasa Yahudi dan Romawi di zaman-Nya. Korban kekerasan dan kebengisan cukup satu saja, Yesus Kristus, dan selanjutnya jangan ada korban-korban lainnya. 

The peaceful Jesus Christ always gives birth to eirenic human beings and the world.

Yesus Kristus yang teduh dan damai selalu melahirkan insan-insan dan dunia yang juga teduh dan damai. 

Kita langsung ingat sabda Yesus yang relevan. 

Kata Yesus, Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya. Jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal (Yunani: ek gar tou karpou to dendron ginōsketai). (Matius 12:33; paralel Matius 7:17-20). 

Jadi, jika orang berada di dalam Yesus, dan tumbuh dari akar pohon Yesus Kristus, mustahil mereka membuahkan kejahatan dan kedurjanaan. Ya, karena pohonnya dan akarnya, yaitu Tuhan Yesus yang mahasuci, bukan sumber kebiadaban dan kejahatan, tapi sumber cinta kasih, kebaikan, dan kebenaran.

Selain itu, bagi saya, Yesus bukan hanya subjek kajian-kajian kristologis (yang sangat menarik dan saya kuasai) atau kajian-kajian dogmatis gereja, tetapi --- ini yang utama --- Yesus adalah sosok mulia ilahi-insani yang telah dan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari semua pengalaman kehidupan saya, sejak saya remaja, hingga kini.

Bahkan, saya dapat dengan yakin menyatakan (dalam bahasa iman) bahwa sejak dikandung sang bunda saya (64 tahun lalu), Yesus, sang Tuhan yang hidup, telah mengenal, menyentuh dan memanggil saya.

Kata pemazmur, Engkaulah, ya Yahweh, yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan bundaku.” (Mazmur 139:13)

Nabi (Deutero-) Yesaya menegaskan, “Yahweh sekarang berfirman, Yahweh yang membentuk aku sejak dari kandungan untuk menjadi hamba-Nya.” (Yesaya 49:5; juga 44:2)

Rasul Paulus juga menegaskan hal yang sama. Dalam Galatia 1:15 dia menulis dengan jelas bahwa Allah, sang Bapa, “telah memilih aku sejak aku dikandung ibuku (Yunani: ek kolias mētros mou) dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya.

Ya, Yesus sudah dengan lembut menyentuh dan memanggil saya juga ketika saya masih dalam rahim ibu saya untuk menjadi hamba-Nya, pengikut-Nya, murid-Nya, kekasih-Nya, sahabat-Nya, dan sang domba kesayangan-Nya. 

Hingga kini, suara Yesus yang lembut dan meneduhkan, dan sentuhan tangan-Nya yang hangat dan memberdayakan, tetap saya kenal, tetap dapat saya dengar dan rasakan, khususnya ketika saya berada pada momen-momen yang memerlukan kehadiran-Nya.

Saya sudah berikrar/diikrar dan bersumpah/disumpah di depan jemaat-Nya untuk menjadi hamba Yesus Kristus sekali untuk selamanya. 

Menghamba kepada Tuhan Yesus Kristus bukan urusan kelembagaan organisasi apapun, tapi suatu keputusan dan komitmen eksistensial personal yang dibuat antara saya dan Yesus Kristus.

Siapapun juga yang melaksanakan dengan setia dan benar amanat kultural Yahweh Elohim yang ditulis dalam Kejadian 2:15, yakni mengusahakan dan memelihara (Ibrani: lə‘āḇəḏāh ūləšāmərāh) (teks NRSV, to till/cultivate and keep/guard) dunia tempat kita hidup, Bumi yang kita diami, mereka adalah hamba-hamba Tuhan. Ebed Yahweh.

Amanat kultural untuk membudidayakan sekaligus menjaga dan melestarikan daya dukung lingkungan alam bagi kehidupan, adalah amanat ilahi untuk Adam (di lingkungan alam taman Eden), yang harus ditafsir sebagai representasi simbolik umat manusia universal yang memiliki nafas hidup dari Yahweh. Semua insan di Bumi, dengan demikian, adalah hamba Tuhan, ya hamba Tuhan sang Pencipta dan Pemelihara alam dan kehidupan, yang mahapengasih dan mahapenyayang.

Jika seseorang itu menghancurkan, merusak dan membinasakan kehidupan dan lingkungan alam, dan nafsu kebiadaban dan kedurjanaan bernyala-nyala dalam dirinya, orang itu bukan hamba Tuhan. Dia bukan menyembah Tuhan, tapi menyembah sesuatu yang sama sekali lain, yang memusuhi Tuhan.

Saya, sebagai hamba dan kekasih Yesus, betul-betul telah dan selalu mengalami Yesus. I am experiencing Jesus, my living Lord. How about you, my friends?

Jakarta, 30 April 2022
ioanes rakhmat


N.B. Hari Eid ul-Fitr 1443 H segera kita masuki, 2 dan 3 Mei 2022. Saya ucapkan selamat lebaran kepada teman-teman yang merayakannya. Kembalilah ke hakikat semula kita sebagai insan-insan mulia ciptaan Tuhan. Jauhkan dosa, kejahatan, kekerasan, intimidasi, kejumawaan, aib dan cela dari kehidupan harian kita.



Sunday, April 17, 2022

Puisiku: Jumat Agung-Paskah 2022

 


Kosong...!



Orang besar atau orang kecil

Gajah besar atau kancil kecil

Konglomerat atau kere kerdil

Orang kota atau orang terpencil


Semua tak bisa luput

Dari penderitaan dan maut

Sejak lahir hingga usia larut

Dari kulit kencang hingga lunglai mengerut


Kala hidup dirasakan berat

Jiwa pun merana hebat

Hati hancur luluh lumat

Hidup pun dirasa tamat


Daya hidup hilang sirna 

Daya juang lenyap entah ke mana

Daya tempur nihil tiada

Langit kosong tanpa suara


Saat maut menunggu

Ketakutan hebat menyerbu

Rasa ngeri datang menggebu

Ketenangan jauh pergi berlalu


Apakah hidup memang harus demikian? 

Penderitaan menjadi penentu

Kematian musuh nomor satu

Jika begitu, siapakah yang mau dilahirkan?


Jika hidup hanya kekalahan

Jika penderitaan tak dapat dilawan

Jika kematian tak dapat ditaklukkan

Memang celaka jika kita dilahirkan


Dilahirkan hanya untuk menderita

Dilahirkan hanya untuk menangis lara

Dilahirkan hanya untuk mati merana

Dilahirkan tanpa tujuan yang bermakna


Duuh, jika betul begitu 

Semua yang ada di bawah langit

Hanyalah kesia-siaan yang sangat pahit!

Sesuatu yang membuat hati luarbiasa pilu!


Tapi, syukurlah, kehidupan tidak begitu

Sama sekali tak begitu

Tentu jika kita tahu jalan ke situ

Katamu, tunjukkanku jalan ke situ


Hai kawan, ke situ aku berjalan

Ke bukit Kalvari yang berbatu

Bukit yang membangkitkan rasa haru

Di situ, Yesus Tuhanku disalibkan


Di saat Yesus pedih disalibkan 

Merasakan sakit tak terkatakan 

Sekarat tak tertahankan

Dia memanggil Allah untuk mengulurkan tangan


Sang Putera Allah yang agung lestari

Telah masuk ke puncak derita insani

Direndahkan oleh penguasa dunia ini

Diaibkan lewat penyaliban sampai mati


Tetapi kekasih-kekasih Yesus Tuhanku

Memandang berbeda penyaliban Tuhanku

Di kayu salib Dia tidak diaibkan

Tetapi dari muka Bumi Dia ditinggikan 


Pada kayu salib di Golgota

Yesus mengalami derita manusia

Derita Yesus derita kita

Derita kita derita-Nya


Di saat kita sengsara

Kita tidak sendirian semata

Yesus ikut menderita

Bahkan Dia memikul derita kita

Kematian kita pun ditanggung-Nya


Orang-orang yang dikasihi Tuhan

Dan yang mengasihi-Nya

Tak pernah sendirian

Dalam menjalani kehidupan di dunia


Yesuslah sang Immanuel mahakudus

Allah yang selalu bersama orang-orang kudus

Allah dalam wujud insani kudus

Tirai Bait Allah sudah koyak ditembus


Lihatlah, Allah kini berada di tengah manusia!

Penuh kebenaran dan kasih karunia

Memandang Yesus yang mulia

Adalah memandang Allah dalam rupa manusia


Kasih karunia demi kasih karunia

Dicurahkan-Nya kepada kita

Tak pernah terhenti selamanya

Kita hidup dalam kasih karunia-Nya


Hidup kita menjadi bermakna

Bukan sesuatu yang sia-sia

Menjadi suatu kesempatan tiada tara

Untuk meneruskan kasih karunia dari sorga


Di hari Jumat Agung

Pada kayu salib yang menjulang

Wafatlah Tuhanku yang agung

Demi dosa-dosa kekasih-kekasih-Nya Dia tanggung


Kematian-Nya membebaskan kita

Kematian yang agung

Kematian yang selalu kita kenang

Kematian yang memberi hidup bagi kita


Kematian yang menghidupkan

Sekali untuk selamanya!


Tetapi kematian bukanlah akhir!


Di hari Paskah yang cemerlang menyentak

Allah sang Bapa bertindak

Yesus dibangkitkan

Kematian dikalahkan


Dalam tubuh kemuliaan

Tubuh yang tak dapat binasa lagi

Yesus sangat ditinggikan

Diangkat ke sorga mahatinggi


Kita memanggil-Nya,

"Oh, Yesus, Tuhan yang hidup, datanglah, berdiamlah bersama kami, sekarang, sampai selamanya."


Wahai orang-orang yang mengasihi

Dan dikasihi Yesus

Di dalam-Nya kehidupan ini bermakna dan suci

Jalanilah bersama Yesus!


Tak selamanya kita menderita

Sebab oleh Yesus, Tuhan kita

Penderitaan, kematian dan sengatnya, 

Sudah dibuat tak berdaya


Derita dan kematian bukanlah kata akhir

Akan selalu ada kebangkitan

Dalam kehidupan kita yang terus mengalir

"Jangan takut! Ini Aku, bersamamu berjalan!"


Hari Paskah, 17 April 2022


Happy Easter.

Selamat Paskah.



Monday, April 11, 2022

Hikmat jalan kaki pagi hari



Duduk bersila, melamun dalam, sampai tersenyum. Patung ini ditaruh di depan sebuah rumah, dan saya mengambil gambarnya di saat olah raga jalan kaki di suatu pagi hari. Sayang, topinya somplak di bagian depan.



Sejak dua atau tiga minggu lalu, saya kini berolah raga jalan kaki santai di pagi hari, mulai pukul 9 pagi. Selesai sampai di rumah kembali kurang lebih pukul 11 pagi. Jadi, total bisa sampai dua jam, mencakup 4 putaran terjauh di dalam komplek perumahan tempat kami tinggal. 

Mengapa saya mengambil waktu olah raga jalan kaki santai di pagi hari jam 9 hingga jam 11 pagi? Karena pada jam-jam ini Matahari memancarkan sinar UV yang terbaik untuk kesehatan tubuh kita, termasuk kesehatan tulang-tulang dan sendi-sendi kita.

Saya berjuang untuk sehat. Ya, literally saya berjuang untuk healthful. Sehat pikiran, dan sehat tubuh, sekaligus, tak dapat dipisah. 

Tapi, yang terpenting adalah sehat pikiran, sebab lewat pikiranlah kita pertama-tama membentuk diri dan kehidupan kita. Lewat pikiran kita jugalah, kita membentuk dunia ini.

Jika pikiran seseorang tidak sehat, atau rusak, maka, meski tubuh orang itu lahiriah sehat dan kuat, tetaplah orangnya rusak. Pikiran yang rusak melahirkan orang yang rusak. Dunia menjadi rusak karena pikiran orang-orang yang menghuninya rusak.

Karena itu, olah raga jalan kaki di pagi hari adalah kesempatan yang saya pakai untuk menyehatkan dan membangun pikiran saya. Caranya?

Ya, olah raga jalan kaki di pagi hari saya lakukan santai, rileks, tidak ngebut atau terburu-buru atau berlari-lari kencang. Ini bisa saya lakukan karena saya tidak bekerja formal lagi. Saya sudah tergolong lansia, dan sudah lama pensiun. 

Selain santai, jalan kaki pagi yang berdurasi total 2 jam itu saya jadikan suatu kegiatan rekreasi. Ya, betul-betul rekreasi.

Di sepanjang perjalanan 4 putaran, saya menikmati berbagai pemandangan, seperti melihat-lihat pepohonan dan buah-buahan yang menggantung. Saya mensyukuri adanya pepohonan di mana-mana yang mengeluarkan buah-buah beranekaragam. Saya juga mengagumi pepohonan kecil dan pepohonan besar, tinggi dan rimbun, yang berbuah dan yang tidak berbuah. 

Akar-akar yang rimbun berderet-deret panjang menggantung ke bawah, dari sebuah pohon beringin besar di sisi suatu jalan, kerap saya datangi dan pandang dengan menengadah. Bagian-bagian terbawah akar-akar gantung ini saya sentuh, usap-usap, dan jepit longgar di antara telunjuk dan jempol tangan-tangan saya yang selanjutnya saya gerakan ke bawah. Lalu saya merenungi apa yang sedang saya lihat dan lakukan. 

Setiap pagi hari, selalu muncul suatu perspektif baru tentang makna dan pesan alam yang disampaikan oleh pohon beringin itu, khususnya oleh akar-akar gantungnya yang terjulur ke bawah. Terjulur bak untaian rambut panjang yang diikat di belakang kepala seorang dewi yang sedang duduk di sebuah dahan besar pohon beringin itu. Tak sungkan, akar-akar gantung itu selalu saya ajak bicara dalam hati.

Acapkali memandang buah-buah pohon mangga atau pohon jambu bol, ingin saya memetiknya langsung dengan tangan. Tapi, sayangnya, lengan saya tak sampai. Nanti, beberapa tahun lagi, ketika saya sudah lebih gede, saya bayangkan lengan-lengan saya akan dapat memetik buah-buahan yang saya sekarang cuma bisa lihat.

Banyak lahan kosong di komplek perumahan tempat saya berdiam. Luas-luas. Ditumbuhi tanaman sayur-mayur yang pada waktunya dicabut-cabuti untuk dijual. Diurus oleh para tani yang selalu saya sapa jika saya sedang memandang lahan-lahan itu. Ngobrol sebentar dengan mereka.

Saya sempatkan diri juga untuk ngobrol pendek dengan satu atau dua pria penghuni rumah yang sedang mengurus burung-burung bersuara indah dalam sangkar masing-masing. Burung-burung itu sedang dijemur di bawah Mentari pagi.

Ketika saya bertanya kepada seorang pria, mengapa tidak olah raga jalan kaki di pagi hari, sambil membawa burung yang dipelihara, tanpa sangkar, tapi ditaruh di atas bahu, dibiarkan bertengger bebas di situ.

Pemeliharanya menjawab otomatis, Ya burungnya akan terbang lepas lalu hilang.

Saya berkata lagi. Jika hati si burung sudah menyatu dengan hati si pemeliharanya, sehingga ada bukan dua hati, tapi satu hati, maka burung itu akan mau diajak jalan kaki pagi dengan bertengger di bahunya, tidak akan terbang dan kabur menghilang. 

Tetapi jika masih ada dua hati yang terpisah, si burung pasti terbang menghilang jauh. Jika ini terjadi, biarkanlah si burung terbang bebas di luar sangkar, karena si burung tidak mencintai si pemeliharanya. Lepaskanlah si burung itu, meski harganya mahal. 

Nah, ketika saya sedang berjalan kaki di sisi kiri suatu jalan, di seberang kanan, sejauh 3 atau 4 meter dari saya, saya melihat seekor kucing sedang tiduran di bawah sebuah mobil yang sedang diparkir. Dekat pintu kanan mobil itu, sang supir duduk di sebuah bangku. 

Saya menyapa sang supir. Selamat pagi, Pak. Bekerja sebagai supir mobil itu ya? Dia menjawab. Ya, di depan saya rumah pemilik mobil ini. 

Lalu saya jongkok di sisi kiri jalan, tempat saya tadi berdiri. Lalu saya panggil kucing itu beberapa kali. Tangan saya melambai-lambai meminta si kucing mendatangi saya. Puss. Puss. Puss. Meong. Meong. Mari ke sini. Datangi aku. 

Sesaat kemudian, si kucing bangun, menatap ke saya. Lalu melangkah pelan sejauh 4 meter, menyeberang jalan, mendatangi saya. Lalu saya elus-elus dan belai kepala dan leher si kucing yang tampak kesenangan. Sang supir tertegun, tampak tak yakin, atas apa yang dilihatnya. Saya berkata lagi ke sang supir. Ajaib ya.

Lalu saya melanjutkan jalan kaki. Saya amati langkah kaki yang saya ayunkan, sambil menyadari keadaan di depan. Pikiran saya konsentrasikan pada hal-hal yang Tuhan telah karuniakan, dan segala kebaikan dan kasih sayang-Nya. Jalan kaki adalah doa juga.

Lazimnya, di akhir putaran keempat, saya mampir ke tempat mangkal para penjual buah-buahan dan sayur-mayur, tak jauh dari rumah kami. Saya ngobrol dengan mereka sejenak, lalu berbelanja, seperlunya saja.


11 April 2022