Wednesday, September 23, 2015

“The Dawkins Delusion”: Agama sebagai virus pikiran


Kebencian terhadap agama, atau religiofobia, sangat kentara menjajah dan mengendalikan pikiran dan hati semua ateis dalam gerakan New Atheism. Saya melihat akar-akar keadaan mental yang patologis neurotis ini dapat ditemukan mula-mula dalam pendapat pakar biologi evolusioner ateis keras Prof. Richard Dawkins bahwa agama-agama adalah suatu penyakit yang timbul karena “virus-virus mental” telah menyerang pikiran manusia. 

Virus ini hanya perlu menyebar, menjadi epidemi, dan memperbodoh orang karena membuat mereka tidak memerlukan bukti apapun bagi semua kepercayaan keagamaan mereka. Pendapat Dawkins ini (yang mengambil analogi dari virus-virus komputer di era akhir 1980-an dan di awal 1990-an) yang tidak ditopang oleh kajian ilmiah apapun yang dapat menemukan “virus-virus agama” dalam otak manusia, dituangkan Dawkins dalam artikelnya yang berjudul “Viruses of the Mind”, yang ditulisnya tahun 1991. Katanya, anda sudah tertular virus pikiran ini sejak anda dilahirkan. Tulisnya,
“Jika anda memiliki suatu iman/kepercayaan, secara statistikal sangatlah mungkin bahwa iman anda ini adalah juga iman orangtua anda atau iman kakek dan nenek anda. Tentu katedral-katedral yang menjulang tinggi, musik-musik gereja yang menggugah perasaan, kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan yang menggerakkan hati, sedikit membantu. Tetapi jelaslah bahwa variabel terpenting yang menentukan agama anda adalah peristiwa kelahiran anda. Keyakinan-keyakinan yang dengan bergelora anda percayai akan berbeda dan bertentangan sama sekali seandainya anda dilahirkan di suatu tempat yang berbeda. Jadi, yang ada adalah epidemiologi, bukan bukti-bukti.”/1/
Christopher Hitchens melanjutkan “meme” yang sudah disebar Dawkins, yaitu idenya bahwa agama adalah suatu virus pikiran yang menimbulkan penyakit mental pada manusia. Bagi Hitchens, agama bukan hanya suatu virus, tetapi juga racun. Dalam tayangan pendek di liveleak.com, Hitchens menegaskan bahwa “agama meracuni segala sesuatu” dan “menginfeksi kita sampai ke integritas kita yang paling dasar.” “Bagiku, agama itu jahat” dan “aku bertempur melawan kedunguan yang paling buruk ini!”/2/

Dalam bukunya yang berjudul mengerikan God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (terbit 2007), Hitchens dengan gaya jurnalistik yang serba semberono berusaha menunjukkan bahwa semua kebiadaban manusia punya hanya satu sumber, yakni agama. Baginya, agama sedang meracuni segala sesuatu dalam dunia ini. Dalam bab dua bukunya ini yang diberi judul “Religion Kills” (hlm. 15-36), ketika membeberkan sejumlah peristiwa biadab di sejumlah tempat, kota dan negara, dia menyatakan bahwa semua “kebiadaban itu diinspirasi oleh agama.” Lalu katanya dengan yakin bahwa “agama meracuni segala sesuatu. Dan sebagai suatu bahaya juga, agama telah menjadi sebuah ancaman bagi ketahanan kehidupan manusia.”/3/

Dalam seluruh buku God Is Not Great, jelas sekali Hitchens mengumbar habis ketidaksenangan dan kebenciannya terhadap agama. Dia sama sekali tidak bisa toleran terhadap orang-orang beragama. Dia banyak menggambarkan dan menilai agama-agama sesuai dengan ketidaksenangan dan permusuhannya itu. Dia sebetulnya hanya membangun dan mempertahankan Straw Man Fallacy: berperang dengan ide-idenya sendiri tentang agama-agama. Satu contoh saja. Dia menilai kepercayaan keagamaan terhadap sang Pencipta yang telah menciptakan manusia lalu memelihara dan mempedulikan mereka, serta memberi mereka petunjuk-petunjuk tentang bagaimana hidup dengan benar, adalah suatu kepercayaan yang “tidak membuat para penganutnya berbahagia” (hlm. 15-16).

Dari mana Hitchens tahu hal itu? Tidak ada sebuah survei global tentang ini yang sudah dilakukannya. Sebaliknya, saya puluhan tahun telah melihat dengan mata sendiri bahwa sangat banyak orang yang berbahagia karena beragama, dan menjadi stres ketika menjauh dari agama.

Tentang etika, Hitchens membuat sebuah pernyataan yang kelihatannya saja hebat, tapi sebetulnya sangat kerdil. Tulisnya,

“Kami [para ateis] percaya dengan pasti bahwa suatu kehidupan yang etis dapat dijalani tanpa agama…. Hal yang lebih penting dari semua hal lainnya, mungkin, adalah bahwa kami para kafir tidak memerlukan mekanisme hadiah atau ganjaran apapun…. Kami para ateis tidak memerlukan para imam, atau hierarki apapun di atas mereka, untuk menjadi para polisi yang akan mengawasi doktrin-doktrin kami. Kami jijik terhadap kurban-kurban dan upacara-upacara keagamaan, begitu juga terhadap relik-relik dan penyembahan terhadap gambar-gambar atau objek-objek apapun (bahkan termasuk … kitab-kitab yang dijilid). Bagi kami tidak ada tempat di muka Bumi yang lebih, atau dapat lebih, ‘suci’ dibandingkan tempat-tempat lainnya.” (hlm. 6) 
Ya, semua orang tahu, etika atau akhlak atau moralitas bersumber tidak hanya pada kitab-kitab suci atau hanya pada ajaran-ajaran agama. Banyak hal dalam alam ini yang bisa memberi manusia petunjuk-petunjuk tentang kearifan moral, termasuk juga ilmu pengetahuan. Tetapi yang saya lihat sebagai suatu persoalan besar pada “etika sekular” yang dianut Hitchens adalah etikanya ini tidak membuatnya menjadi seorang manusia ateis yang toleran. Etika sosial sekular Hitchens sangat anti-toleransi, sama sepenuhnya dengan tuduhannya yang jauh dari kenyataan yang lebih umum bahwa agama-agama tidak akan mungkin membangun “koeksistensi di antara kepercayaan-kepercayaan yang berbeda” (hlm. 17).

Bukunya God Is Not Great dengan jelas juga memperlihatkan bahwa religiofobia yang menjajah dan mengendalikan Hitchens bisa ditemukan akar-akarnya dalam kehidupannya di saat dia remaja, berumur sembilan tahun, ketika sedang bersekolah di Dartmoor, Inggris. Dia waktu itu mempunyai seorang guru perempuan setengah baya, yang mengajar ilmu alam dan juga kitab suci Kristen. Nama sang guru Jean Watts. Tentang Nyonya Watts, meskipun Hitchens mengakuinya penyabar, dengan sangat keras Hichens, pada sisi lain, menulis begini:

“Jika Setan telah memilihnya untuk mencobai aku supaya aku berbuat salah, dia jauh lebih cerdik dibandingkan sang ular yang berakal licik di Taman Eden. Dia tidak pernah membentak keras atau mengancam dengan kekerasan…. Namun, sejujurnya aku merasa jijik dengan apa yang dia telah ajarkan. Sendal kecilku yang bertali, yang mengikat pergelangan kakiku, menjadi tertekuk saat aku dibuat jengkel olehnya.” (hlm.2).
Itukah etika sekular seorang ateis Hitchens, yang sama sekali tidak bisa berterimakasih kepada gurunya yang mendidiknya semasa remaja? Remaja Hitchens melihat dirinya korban indoktrinasi sang guru. Tidak ada hal yang baik apapun pada sang guru, yang olehnya dengan sangat kejam dipandangnya sebagai kaki tangan Setan. Mentalitas sebagai korban inilah yang membuat Hitchens terus membenci dan menyerang agama-agama hingga dia dewasa bahkan hingga dia wafat (15 Desember 2011; lahir 13 April 1949). Buku God Is Not Great sesungguhnya adalah sebuah litani panjang kemarahannya terhadap segala hal yang berkaitan dengan agama-agama. Hitchens memang patut dikasihani, bukan dikagumi. Saya membaca judul bukunya kok jadi berbunyi Hitchens Is Not Great.      

Ross Douthat telah menulis sebuah resensi yang bagus atas buku Hitchens ini./4/ Douthat menyatakan bahwa “mungkin orang harus bersyukur ketika Hitchens mengutip pakar-pakar yang otoritatif, berhubung prosanya yang licik terus-menerus terburu-buru bermuara pada ejekan dan menghindari argumen-argumen, dan kadangkala fakta-fakta juga dilewati begitu saja.” Douthat dengan jeli melihat bahwa Hitchens sangat tidak seimbang dalam menafsirkan fakta-fakta. Oleh Hitchens, semua kebiadaban manusia dipandang bersumber hanya pada agama. Douthat menulis,

“Setiap buku memiliki kesalahan-kesalahan, tentu saja, tetapi sedikit buku sangat tendensius dalam penafsiran atas fakta-fakta yang seyogianya disajikan dengan benar oleh para penulisnya. Seperti seorang Kristen yang sangat fanatik yang mencari hal apapun dalam teks-teks pagan yang dapat ditafsirkan sebagai pertanda kedatangan sang Kristus, Hitchens menjelajahi catatan-catatan tentang tindakan-tindakan biadab manusia hanya untuk menemukan petunjuk apapun bahwa tindakan-tindakan ini telah dimotivasi oleh kesalehan, ramalan kenabian, atau dogma. Jika ada korban-korban, dan jika ada tirani yang mapan, maka semua ini―jika anda percaya pada sejarah kekerasan yang berpusat pada Allah, yang diyakini Hitchens―bagaimanapun juga, menurutnya, berakar pada agama. Jelas, pendapat Hitchens ini sulit diterima, berhubung jika kita membaca sejarah sepintas saja, kita akan menemukan bahwa kesetiaan kepada kaum kerabat seseorang, suku bangsa seseorang, dan negara seseorang―belum lagi kalau berbagai ideologi politis disebut―telah setidaknya menyulut sangat banyak kekerasan, sama banyak dengan yang ditimbulkan oleh perdebatan teologis apapun.”
Pendapat-pendapat Dawkins dan Hitchens (dan juga Daniel Dennett) diambilalih dan dijabarkan dengan lebih terperinci dan programatis oleh Darrel W. Ray, yang telah menulis buku yang berjudul The God Virus: How Religion Infects Our Lives and Culture./5/ Buku ini memperlihatkan bagaimana berbagai jenis agama, sebagai “virus-virus Allah” (“the God viruses”), dengan pas menempati dunia alamiah; bagaimana agama-agama berfungsi di dalam pikiran-pikiran dan kebudayaan-kebudayaan kita; dan betapa serupanya agama-agama dengan kuman-kuman, parasit-parasit, dan virus-virus yang mendiami tubuh manusia (hlm. 13).

Kata Ray, agama-agama sebagai virus-virus Allah, telah “menginfeksi otak manusia dan mengubah kemampuan berpikir kritis. Virus ini masih memberi kemungkinan untuk orang bersikap kritis terhadap agama-agama orang lain, tetapi pemikiran kritis menjadi lumpuh ketika berhadapan dengan agama sendiri.” (hlm. 19). Agama-agama sebagai virus-virus Allah tidak hanya masuk ke dalam kebudayaan-kebudayaan, tetapi juga ke dalam ekonomi dan politik. Ray menyatakan bahwa

“Virus Allah menginfeksi suatu kebudayaan sama seperti virus ini menginfeksi individu-individu. Sementara bukan suatu entitas ekonomi atau suatu entitas politis, virus Allah akan dan dapat menggunakan jaluir-jalur ekonomi dan politik untuk menyebar ke mana-mana…. Politik dan ekonomi hanyalah sarana-sarana untuk virus ini menyebar.” (hlm. 82)
Uuups, jika demikian halnya, maka, hemat saya, bukan hanya para agamawan yang harus dibebaskan dari virus Allah, tetapi semua pelaku kebudayaan, para pegiat ekonomi dan juga para politikus. Para aktivis sekular, dengan demikian, sama sekali tidak berbeda dari para aktivis keagamaan: dalam otak mereka sudah bercokol virus-virus Allah.

Untuk bisa bertahan dan terus tersebar, virus-virus Allah terus bermutasi dan membangun strategi-strategi. Ray menulis,

“Virus Allah membangun strategi-strategi untuk bisa bertahan hidup dan tersebar. Virus-virus yang lebih berkembang memiliki benteng-benteng pertahanan diri yang lebih efektif dibandingkan virus-virus lainnya. Alhasil, virus-virus yang lebih berkembang ini akhirnya menguasai virus-virus lain yang kurang berkembang. Virus-virus Allah selalu bermutasi, dan virus-virus jenis baru keluar, meninggalkan bak penampungan, setiap saat.” (hlm. 56).
Karena semua jenis kuman, parasit dan virus menimbulkan penyakit, begitu juga halnya dengan agama-agama sebagai virus-virus Allah. Untuk hidup sehat, manusia harus hidup bebas dari virus. Virus-virus harus tidak dibiarkan menyerang manusia. Manusia harus hidup terbebas dari virus-virus. Kepada para ateis atau non-teis, Ray menyatakan bahwa “bisnis kita bukanlah mengonversi orang ke dalam suatu agama, tetapi kita sungguh-sungguh ingin hidup bebas dari virus” (hlm. 173).

Oleh Ray, virus-virus Allah juga digambarkan sebagai rantai-rantai yang membelenggu manusia. Tulisnya, “Buku saya ini membahas langkah-langkah yang perlu diambil untuk menghancurkan rantai-rantai itu, lewat penemuan bagaimana agama-agama dengan licik bekerja di dalam kebudayaan-kebudayaan dan pikiran-pikiran kita dan dengan mempelajari cara-cara untuk hidup tanpa rantai-rantai itu.” (hlm. 15).


Sementara para ateis dapat hidup bebas dari virus-virus Allah dan mematahkan belenggu-belenggu virus-virus ini, orang yang beragama, para teis, kata Ray, sama sekali tidak dapat. Tulisnya,
“Orang-orang yang memeluk agama-agama tidak dapat membayangkan hidup bebas dari virus. Teror yang mereka rasakan, telah melumpuhkan mereka sehingga mereka tidak dapat mempertimbangkan  cara-cara lain untuk hidup dan menyatakan keberadaan mereka…. Dunia mereka adalah suatu dunia yang nenakutkan dan berbahaya, yang dihuni setan-setan, roh-roh jahat, dewa-dewi, iblis, Yehova atau Allah yang sedang murka yang menuntut pembalasan, dan yang mengancamkan penghukuman abadi bagi setiap orang yang tidak mengikuti virus yang benar.” (hlm. 206).
Dalam bab sepuluh yang diberi judul “The Journey: Living A Virus-Free Life” (hlm. 197 ff), Ray membeberkan langkah-langkah yang harus dijalankan dalam membebaskan dunia dari virus-virus Allah, dari agama-agama, dari Allah, para dewa dan setan-setan. Etika atau moralitas yang disodorkannya juga moralitas yang bebas virus Allah. Setelah segala bidang kehidupan dapat dibebaskan dari virus-virus agama, dan usaha ini kini masih belum tiba di tujuannya, akhirnya “masa depan manusia adalah masa depan yang tidak subur bagi virus-virus Allah.” (hlm. 222).

Kitab suci para New Atheists....

Kesimpulannya sudah jelas: karena bagi para pendiri gerakan New Atheism agama-agama adalah virus-virus Allah yang mematikan pikiran manusia, dan terus sedang meracuni dan menginfeksi segala sesuatu dalam kehidupan manusia dan dunia ini, maka, tidak ada pilihan lain, selain agama-agama harus dibenci habis-habisan, dan, jika bisa, perlu dibasmi untuk menghentikan epideminya. Pola pikir kalangan New Atheists ini saya namakan The Dawkins Delusion. Religiofobia lahir dari Delusi Dawkins ini. Dengan demikian, religiofobia memang harus menjadi kodrat mental para New Atheists. Mengerikan! Ya, mengerikan, karena virus-virus Dawkins dkk dalam gerakan New Atheism juga sedang menginfeksi dan meracuni banyak orang muda dan segala sesuatu dalam dunia ini.

Karena sudah dikondisikan secara kognitif untuk menjadi religiofobik, para Ateis Baru yang mengidap Delusi Dawkins tidak akan bisa lagi melihat agama-agama dari sudut pandang yang lain, bahwa masih ada banyak kebaikan, kesembuhan, dan pembebasan, yang telah, sedang dan akan terus diwujudkan oleh para agamawan dari berbagai agama yang sudah mengalami pencerahan akal, kearifan dan budi pekerti. Agama itu tidak statis, tetapi dinamis, tidak hanya mendiami museum-museum fosil, tetapi juga sedang aktif di dalam banyak laboratorium dalam dunia ini.

Karena terkena Delusi Dawkins ini, para ateis dalam New Atheism hanya bisa mengenakan sebuah kacamata kuda tebal hitam dalam memandang realitas kehidupan keagamaan dalam dunia ini. Mereka hanya bisa melihat lurus ke satu arah, hanya ke warna hitam dunia agama-agama, padahal dalam realitas yang sebenarnya dunia keagamaan itu kaya dengan warna-warni yang sangat mengesankan.

Jakarta, 23 September 2015
Ioanes Rakhmat

Notes:

/1/ Richard Dawkins, “Viruses of the Mind”, 1991, file pdf, tersedia di http://www.inf.fu-berlin.de/lehre/pmo/eng/Dawkins-MindViruses.pdf.

/2/ Lihat http://www.liveleak.com/view?i=232_1264478334.    

/3/ Christopher Hitchens, God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (New York, Boston: Twelve, Hachette Book Group, 2009; terbit pertama kali 2007), hlm. 18, 25.

/4/ Ross Douthat, “Lord Have Mercy: A Review of God Is Not Great: How Religion Poisons Everything”, Claremont Review of Books (Summer, 2007), pada http://www.catholiceducation.org/en/controversy/persecution/lord-have-mercy-a-review-of-god-is-not-great-how-religion-poisons-everything.html.

/5/ Darrel W. Ray, The God Virus: How Religion Infects Our Lives and Culture (Bonner Spring, Kansas: IPC Press, 2009).