Yesus memberi makan 5000 orang dengan 5 ketul roti dan 2 ekor ikan. Tetapi, jika betul, mengapa masih ada kelaparan begitu parah dalam kehidupan dunia di abad XXI ini? Ironisnya, yang sekarang terjadi adalah mukjizat 5000 roti dihabiskan tuntas hanya oleh 5 orang lelaki berperut buncit!
― ioanes rakhmat
Kalangan Kristen literalis menerima tuturan injil-injil Perjanjian Baru tentang Yesus memberi makan 5000 orang dengan hanya 5 ketul roti dan 2 ekor ikan, dengan sisa 12 bakul penuh (Markus 6:30-44 dan par.), sebagai tuturan sejarah faktual apa adanya.
Bagi mereka, dengan memakai iman sebagai senjata pamungkas pertahanan diri, kisah ini adalah kisah sejarah faktual, yang hanya perlu diterima kebenarannya tanpa ragu, dan tak perlu diadakan investigasi saintifik untuk memeriksa faktualitas kisah ini. Mereka sama sekali mengenyampingkan berbagai ciri dan sifat hiperbolik serta tujuan kisah-kisah hebat skriptural religius yang ditulis sebagai media propaganda ideologis, devosional dan apologetis. Iman keagamaan memang kerap memblokir pemikiran kritis, lalu mematikannya.
Kontras dengan itu, kalangan Kristen kritis non-literalis memahami kisah mukjizat pemberian makan 5000 orang ini sebagai sebuah mitos, sebuah metafora, sebuah perumpamaan, a parable. Sebagai sebuah metafora, sebuah mitos, kisah ini tidak bermaksud mengisahkan sejarah faktual apa adanya, tetapi mau menyampaikan pesan-pesan teologis dalam rangka pembinaan komunitas atau dalam rangka propaganda agama. Sebuah pesan teologis bukanlah sebuah berita tentang suatu peristiwa sejarah, tetapi sebuah berita yang disampaikan untuk membangkitkan antara lain sebuah penyembahan dan pengagungan, sebuah sikap devosional reverensial, terhadap figur-figur besar yang dikisahkan di dalam kisah-kisah skriptural.
Mari kita adakan investigasi kritis lebih jauh terhadap kisah ini.
Harus diingat betul-betul bahwa yang ditemukan dalam Alkitab bukan mukjizat-mukjizat, tetapi kisah-kisah tentang mukjizat. Pembaca masa kini bukanlah penyaksi mukjizat-mukjizat yang dikisahkan di dalamnya, tetapi hanya sebagai para pembaca kisah-kisah itu. Kisah-kisah tentang mukjizat harus diterima apa adanya, yakni sebagai kisah-kisah. Memperlakukan kisah-kisah tentang mukjizat sebagai sama dengan fakta-fakta mukjizat empiris objektif adalah suatu lompatan yang terlampau jauh, melampaui keterbatasan kisah-kisah yang ditulis sebagai karya-karya sastra.
Selain itu, harus senantiasa diingat bahwa kisah-kisah mukjizat dalam kitab suci apapun tak pernah dimaksudkan untuk ditujukan kepada para pembaca modern oleh para penulis kisah-kisah ini dulu. Kita sebagai pembaca modern atas kisah-kisah dalam kitab suci adalah para penyelundup, yang memaksa masuk ke dalam dunia kisah kuno dan ke dalam dunia kuno para penulis kisah-kisah ini. Selalu ada kesenjangan sejarah (= kesenjangan temporal) dan kesenjangan budaya (= kesenjangan pemikiran) antara kita para pembaca modern dan para penulis kitab-kitab suci kuno.
Lagi pula, dalam Perjanjian Baru, kisah-kisah tentang mukjizat Yesus ditulis bukan oleh para saksi mata. Selalu akan ada kesenjangan antara apa yang dikisahkan (misalnya oleh penulis Injil Markus di tahun 70) dan apa yang faktual telah terjadi (yang dilakukan Yesus pada awal tahun 30-an). Kalaupun para penulis kisah-kisah mukjizat memakai tradisi-tradisi lisan yang berawal pada masa kehidupan Yesus, semua tradisi lisan disebarkan tidak apa adanya, melainkan selalu mengalami penyuntingan, editing, sehingga mengalami banyak perluasan, penambahan, pembesar-besaran, dan perubahan, ataupun penyusutan, sehingga kisah-kisah ini makin jauh dari fakta-fakta di masa lampau.
Sebagai kisah-kisah, kisah-kisah tentang mukjizat dapat dianalisis secara rasional ilmiah, dengan mengajukan antara lain pertanyaan-pertanyaan berikut:
- dalam konteks sosial-kultural historis dan religius apa kisah-kisah itu ditulis;
- faktor-faktor apa yang berperan di dalam penulisan kisah-kisah itu;
- untuk kisah-kisah tentang mukjizat dalam Perjanjian Baru, adakah kisah-kisah paralel yang dapat ditemukan dalam dunia Greko-Romawi, dan dalam Perjanjian Lama;
- apa tujuan penulisan kisah-kisah tentang mukjizat dalam konteks luas dunia Greko-Romawi;
- di tempatkan dalam konteks zamannya dan dalam konteks temuan-temuan arkeologis mutakhir dan kajian-kajian antropologis lintas-budaya, dan jika ditinjau dari sains modern, apakah ada hal-hal yang dikisahkan yang tidak mungkin terjadi dalam sejarah;
- termasuk ke dalam jenis sastra (literary genre) apakah kisah-kisah tentang mukjizat itu;
- dalam konteks seluruh dokumen sastra yang memuat kisah-kisah mukjizat itu, apa fungsi sastrawi dari kisah-kisah tentang mukjizat itu;
- dan mengapa kisah-kisah ini muncul dalam suatu konteks sastra tertentu dan bukan dalam suatu konteks sastra lainnya.
Kisah tentang Yesus memberi makan lima ribu orang (laki-laki) dengan lima roti dan dua ekor ikan, pertama-tama adalah kisah, bukan fakta. Di sini kita berhadapan dengan kisah injil tentang mukjizat Yesus, bukan dengan mukjizat Yesus itu sendiri.
Warga gereja kebanyakan tidak menyadari bahwa hanya dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa Yesus sendiri langsung membagi-bagikan makanan itu kepada lima ribu orang itu (Yohanes 6:11); sedangkan dalam injil-injil lainnya para murid Yesuslah yang membagi-bagikan makanan yang sebelumnya mereka telah terima dari Yesus. Perbedaan pengisahan ini memperlihatkan adanya perbedaan sudut pandang tentang siapa Yesus bagi penyusun Injil Yohanes. Sejalan
dengan kristologi Injil Yohanes secara keseluruhan yang memandang
Yesus sebagai sosok ilahi, Yesus di dalam kisah pemberian makan dalam
Injil Yohanes ini ditampilkan sebagai seorang yang serba mandiri dan
sanggup sendirian mengatasi segala permasalahan yang mendatangi
dirinya. Kenyataan adanya perbedaan tekstual semacam ini sudah tak memungkinkan orang untuk memperlakukan semua kisah dalam injil-injil PB sebagai kisah-kisah sejarah. Mana yang benar, Yesus sendiri yang membagi-bagikan, atau murid-muridnya yang mengedarkan makanan itu? Tak mungkin ada dua sejarah yang berlainan, untuk hanya satu kejadian! Salah satunya saja yang benar, atau keduanya salah sekaligus.
Tiga golongan penafsir
Terhimpunnya dalam satu hari orang laki-laki sampai lima
ribu orang (belum termasuk perempuan dan anak-anak) bukanlah suatu kejadian
mudah; ini adalah sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan Yesus dengan
aman-aman saja, mengingat baik Herodes Antipas (penguasa Galilea dan Perea)
maupun Roma (penjajah seluruh tanah Palestina zaman Yesus) akan segera bereaksi
secara represif militeristik terhadap setiap usaha menghimpun massa dalam
jumlah besar, seperti telah terjadi pada Yohanes Pembaptis yang dibunuh Herodes
Antipas karena kekuatirannya atas massa pengikut Yohanes Pembaptis (baca
tuturan tentang ini dalam Flavius Yosefus, Antiquities
18.116 dyb) dan pada kegiatan-kegiatan sejenis lainnya seperti telah dilaporkan
juga oleh sejarawan Yahudi yang sama, Yosefus.
Jadi, dilihat dari konteks sosio-politis zaman Yesus, sangat
mustahil kalau Yesus bisa menghimpun lima ribu orang laki-laki dengan dirinya
tetap aman-aman saja. Selain itu, harus diingat, pada zaman kuno total penduduk
di kawasan-kawasan di sekitar tempat terjadinya pemberian makan lima ribu orang
itu mungkin sekali tidak mencapai angka lima ribu. Jauh lebih realistis jika
angka 5000 ini dipandang sebagai sebuah hiperbol numerik.
Tafsiran supernaturalis
Ada tiga golongan penafsir atas kisah tentang mukjizat
pemberian makan lima ribu orang ini. Yang pertama adalah kalangan supernaturalis, yang menyatakan bahwa
Yesus, dengan kekuatan supernaturalnya, betul-betul faktual pernah melakukan
mukjizat memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan, dengan
sisa dua belas bakul (orang dapat bertanya, Dari mana bakul-bakul ini
berasal?).
Masalah dari tafsiran kalangan supernaturalis ini adalah
kesulitan orang entah untuk membayangkan terhimpunnya bergunduk-gunduk roti dan
ikan mendadak sehabis makanan-makanan ini (lima ketul roti dan dua ekor ikan)
didoakan Yesus, atau pun untuk membayangkan bahwa di tangan para murid yang
membagi-bagikan makanan itu akan langsung muncul roti-roti dan ikan-ikan baru
tidak habis-habisnya sampai semua orang yang duduk berhimpun mendapat makanan.
Para mentalist dan illusionist dalam zaman modern yang piawai memakai trik
teknologis dan trik mental untuk memperdaya masyarakat juga pasti tidak bisa
mengadakan kejadian semacam ini: faktual mengadakan gundukan roti secara
mendadak bergunung-gunung di sekitar diri mereka, lewat mantra sim salabim albarabarakadabra gedubrak!
Tafsiran rasionalis/naturalis
Penafsir kedua adalah dari golongan rasionalis (atau golongan naturalis).
Mereka menyatakan bahwa prakarsa Yesus dan para murid untuk membagi makanan itu
kepada beberapa orang yang sedang duduk di barisan terdepan telah mendorong
orang-orang lain di dalam perhimpunan besar itu untuk juga membagi-bagi makanan
yang mereka telah bawa dari rumah masing-masing kepada orang-orang lainnya,
sehingga akhirnya semua orang mendapatkan roti dan ikan yang cukup, tanpa perlu
mukjizat terjadi. Semua kejadiannya sangat natural, alamiah biasa. Kesulitan
tafsiran rasionalis ini adalah teks injil-injil jelas-jelas tidak berbicara
tentang sharing of bread
dan sharing of fish
semacam itu. Sebaliknya, dalam injil-injil dikatakan bahwa orang-orang yang
berhimpun di situ sama sekali tidak membawa makanan apa pun, kecuali hanya lima
roti dan dua ekor ikan (yang ada pada seorang anak). Selain itu, angka 5000 orang lelaki yang berhimpun itu tentu saja harus dinyatakan sebagai angka yang sangat dibesar-besarkan, berdasarkan alasan di atas. Mungkin anda akan berpendapat, berbagi roti dan ikan semacam ini jauh lebih menyentuh perasaan kemanusiaan kita, jauh lebih ajaib dan mempesona, ketimbang Yesus dan murid-muridnya mengadakan gundukan-gundukan roti mendadak lewat mantera sim salabim albarabarakadabra gedubrak!
Tetapi harus diakui bisa saja hal yang dibayangkan kalangan
penafsir rasionalis ini secara faktual historis benar; tetapi karena kejadian
historis yang semacam ini tidak membuat Yesus tampil sakti mandraguna, maka, untuk mempersakti Yesus,
sejarah diubah oleh para penulis kitab-kitab injil dalam Perjanjian Baru (mulai
dari Markus) sehingga lahirlah kisah-kisah hebat tentang Yesus membuat mukjizat
pemberian makan lima ribu orang ini yang kita dapat baca sekarang dalam
injil-injil PB. Kalau tafsiran kalangan rasionalis ini benar, tentu kita harus mengubah angka 5000 menjadi mungkin maksimal 50 orang saja.
Sudah menjadi suatu kecenderungan umum di kalangan orang
Kristen perdana dulu untuk semakin lama semakin tinggi mempermuliakan, mempersakti dan mengagungkan
Yesus, bahkan akhirnya sampai menempatkan Yesus setara dengan Allah sendiri. Kenapa kekristenan awal perlu mengglorifikasi Yesus? Ya,
karena mereka dengan tidak mau kalah sedang terlibat dalam suatu persaingan
ideologis sengit dengan kalangan-kalangan lain di dunia Yunani-Romawi yang sudah
memiliki figur-figur mahaagung mereka sendiri, seperti Kaisar Augustus yang dalam
kultus pemujaan Kaisar dipandang orang Roma sebagai sang juruselamat dunia yang
kelahirannya membawa kabar baik dan keselamatan untuk seluruh kawasan
kekaisaran./1/
Tafsiran ketiga yang paling mungkin diterapkan terhadap
kisah Yesus memberi makan lima ribu orang adalah tafsiran tipologis yang menghubungkan Perjanjian Lama dengan
Perjanjian Baru dan memandang Perjanjian Baru sebagai penggenap dan penyempurna
tujuan-tujuan rohani Perjanjian Lama. Bagaimana kisah Yesus memberi makan lima
ribu orang ini harus dijelaskan dan ditafsirkan secara tipologis?
Tafsiran tipologis
Tipologi (yang berhubungan dengan kata Yunani tupos, dengan kata Latinnya figura) adalah salah satu metode tafsir
yang khas dan banyak dijalankan para penulis Perjanjian Baru ketika mereka
menggunakan teks-teks Perjanjian Lama dalam rangka menyusun pandangan-pandangan
mereka tentang siapa Yesus (kristologi), bagaimana gereja-gereja harus dibangun dan
diatur (ekklesiologi) dan bagaimana doktrin-doktrin Kristen harus dirumuskan
(dogmatika).
Dalam metode tafsir tipologis, segala sesuatu yang muncul
dalam pekerjaan Allah di zaman Perjanjian Lama dipandang para penulis
Perjanjian Baru sebagai, seperti ditulis Gerhard von Rad, “pra-gambaran
(pra-figurasi) atau tipologi dari berbagai hal yang terjadi pada masa kehidupan
Yesus Kristus di masa Perjanjian Baru.”/2/
Dalam pandangan Jean DaniĆ©lou, “esensi tipologi adalah menunjukkan bagaimana
kejadian-kejadian di masa lampau merupakan suatu gambaran, suatu figur atau
suatu tupos, dari kejadian-kejadian
di masa yang akan datang.”/3/
Menurut Walter Eichrodt, “apa yang disebut tupoi
[bentuk jamak tupos] … adalah
tokoh-tokoh, lembaga-lembaga, dan peristiwa-peristiwa dalam dunia Perjanjian
Lama yang dipandang sebagai model-model atau presentasi-presentasi yang
dibangun oleh Allah bagi realitas-realitas yang bersesuaian dalam sejarah
keselamatan Perjanjian Baru.”/4/
Meskipun ditemukan kesesuaian dalam detail-detail historis,
kultural, arkeologis dan biografis antara kejadian-kejadian tertentu di masa
Perjanjian Lama dan di masa Perjanjian Baru, dalam penafsiran tipologis
detail-detail ini, sebagaimana Von Rad tegaskan, bukanlah hal-hal utama yang
menjadi sorotan. Sorotan utama tipologi adalah pesan-pesan teologis atau kerugmata (yang terbungkus dalam
detail-detail kisah) atau “pesan-pesan rohani”, yang dilihat berhubungan antara
yang disampaikan teks-teks Perjanjian Lama dan yang disajikan teks-teks paralel
dalam Perjanjian Baru./5/
Tetapi hal paling penting yang mau disampaikan tafsiran
tipologis adalah bahwa figur Yesus Kristus sendiri sebagai anti-tupos (atau anti-type)
adalah lebih tinggi, lebih agung dan penyempurna yang tiada taranya dari
tokoh-tokoh agung Perjanjian Lama sebagai tupoi;
begitu juga halnya dengan segala sesuatu yang terjadi pada Yesus Kristus jika
dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa paralel yang sudah terjadi dalam masa
Perjanjian Lama.
Dalam tipologi, kejadian-kejadian yang dialami Yesus Kristus
bukan hanya pengulangan kejadian-kejadian dalam Perjanjian Lama atau dibangun
berdasarkan model-model kejadian-kejadian dalam masa Perjanjian Lama, tetapi
melampaui, menyempurnakan dan merupakan klimaks semua kejadian dalam Perjanjian
Lama. Yesus menjadi yang teragung, terbesar, paling sempurna, tiada pesaing.
Dalam tipologi, tokoh-tokoh agung dalam Perjanjian Lama
bukan hanya dijadikan model-model dasar dalam merancangbangun berbagai figur
Yesus oleh para penulis Perjanjian Baru, tetapi oleh mereka Yesus Kristus
dibuat melampaui, mentransendir,
menyempurnakan dan menjadi puncak dari semua model yang tersedia dalam
Perjanjian Lama.
Progres, puncak, kulminasi, penyempurnaan dan pelampauan atas
model-model Perjanjian Lama di dalam diri Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru adalah
hal-hal terpenting yang mau disampaikan tipologi. Supersesionisme kristosentris
adalah sebuah ciri terpenting setiap tafsiran tipologis, dan merupakan kerugma
terpenting yang mau disampaikannya./6/
Dengan demikian, sebagaimana akan segera ditunjukkan, dilihat
secara tipologis, Yesus yang dipersaksikan dalam kisah-kisah injil tentang
pemberian makan lima ribu orang (khususnya dalam Matius 14:13-21) adalah anti-type yang bukan saja sejajar atau
semodel dengan, tapi juga menjadi penyempurna,
nabi Musa, nabi Elia, dan nabi Elisa sebagai tupoi dan model-model rekonstruktif dalam para penulis injil Perjanjian
Baru merancangbangun kristologi-kristologi.
Yesus sebagai “Musa yang baru”
Kisah Yesus memberi makan lima ribu orang klop dengan
keseluruhan pesan teologis Injil Matius. Bagi penulis Injil Matius, Yesus adalah
“Musa yang baru”, bahkan lebih besar dari Musa, yang membawa hukum baru, dan
yang mengulangi kembali bahkan melampaui peristiwa-peristiwa besar yang
dikisahkan pernah dialami nabi Musa. Harus jangan dilupakan bahwa bagi bangsa
Yahudi kapanpun juga, nabi teragung mereka bukanlah Abraham, melainkan Musa.
Jadi, dalam rangka bersaing secara ideologis dengan Yudaisme, dengan jitu
penulis Injil Matius menciptakan satu figur suci Yesus yang bukan saja sejajar dan
semodel dengan, tapi juga melampaui, Musa./7/
Kalau dulu untuk memelihara umat Israel yang sedang berada
dalam perjalanan di padang gurun di bawah pimpinan Musa (dan Harun) Allah telah
memberi mereka “daging” dan “roti” (yang disebut manna) untuk dimakan (lihat Keluaran 16), kini, untuk umat Allah
yang baru, yaitu Israel baru (= gereja Matius), Yesus sebagai Musa yang baru
dan bahkan lebih besar dari Musa juga telah memberi himpunan besar para
pengikutnya roti dan daging ikan sampai mereka kenyang, langsung dari tangannya
sendiri, sesuatu yang tidak dilakukan oleh nabi Musa dalam zaman Perjanjian
Lama.
Jadi, di tangan penulis Injil Matius, Musa adalah tupos sedangkan Yesus adalah anti-tupos-nya. Bagi Matius, Musa adalah
nabi besar dunia Perjanjian Lama yang muncul kembali di dalam figur Yesus pada
masa kemudian dalam sejarah Israel, yang semodel dengan Musa tapi juga
melampaui Musa, yang melakukan perbuatan-perbuatan yang sejajar dengan, tapi
juga lebih hebat dari, yang dilakukan Musa.
Yesus sebagai anti-tupos Elia
Atau, dalam pandangan Matius, Yesus adalah “nabi Elia yang
baru”, bahkan lebih agung dari nabi Elia, yang sanggup tanpa habis-habis
memberi roti kepada bukan hanya satu orang, tetapi kepada banyak orang, kurang
lebih serupa dengan, tapi juga jauh melampaui, apa yang konon pernah dilakukan
Elia kepada seorang janda di Sarfat dalam konteks peristiwa yang berbeda (lihat
1 Raja-raja 17:7-16).
Bagi orang Yahudi, juga pada abad pertama Masehi, Elia
adalah figur nabi agung yang tak pernah mengalami kematian fisik sebab dipercaya
dia dulu telah diangkat ke surga dengan kereta berapi yang ditarik kuda berapi
(2 Raja-raja 2:11) dan dia dipercaya akan datang kembali pada “hari Tuhan”
(Maleakhi 4:5), dan mereka menunggu kedatangannya sebagai salah satu tahap dari
tindakan-tindakan besar Allah untuk memulihkan pamor dan kedaulatan bangsa
Yahudi, saat di mana “surya kebenaran” terbit, saat di mana “orang-orang fasik
diinjak-injak” oleh umat Israel “di bawah telapak kaki” mereka (Maleakhi 4:2-3).
Komunitas Matius percaya, bahwa Yohanes Pembaptis yang
menjadi pendahulu Yesus, adalah nabi Elia sendiri yang telah datang kembali
(Matius 11:13-14) seperti telah dinubuatkan nabi Maleakhi sebelumnya. Dengan
menggambarkan Yesus sebagai Elia yang baru dan bahkan melampaui Elia, maka bagi
Matius, dengan demikian, Yesus sebetulnya juga lebih tinggi dari Yohanes
Pembaptis./8/
Yesus sebagai anti-tupos Elisa
Menurut Reginald Fuller, “prototipe” sastra bagi
beranekaragam kisah injil tentang Yesus memberi makan banyak orang dari sangat
sedikit makanan adalah sebuah kisah dalam Perjanjian Lama tentang nabi Elisa
melipatgandakan sedikit ketul roti untuk dimakan oleh banyak orang, yang
terdapat dalam 2 Raja-raja 4:42-44, yang merupakan bagian dari “siklus Elisa”
dalam 2 Raja-raja 2:1-8:29. Selengkapnya
kisahnya demikian.
Datanglah
seseorang dari Baal-Salisa dengan membawa bagi abdi Allah roti hulu hasil,
yaitu dua puluh roti jelai serta gandum baru dalam sebuah kantong. Lalu
berkatalah Elisa: “Berilah itu kepada orang-orang ini, supaya mereka makan.”
Tetapi pelayannya itu berkata: “Bagaimanakah aku dapat menghidangkan ini di
depan seratus orang?” Jawabnya: “Berikanlah kepada orang-orang itu, supaya
mereka makan, sebab beginilah firman TUHAN: Orang akan makan, bahkan akan ada
sisanya.” Lalu dihidangkanlah di depan mereka, maka makanlah mereka dan ada
sisanya, sesuai dengan firman TUHAN. (2 Raja-raja 4:42-44)
Fuller mengikhtisarkan pola dasariah dari kisah tentang
Elisa melipatgandakan ketul-ketul roti:
- Makanan dibawa ke seorang abdi Allah;
- Jumlah makanan disebutkan dengan angka;
- Ada keberatan yang logis bahwa jumlah makanan tidak cukup untuk dihidangkan kepada sangat banyak orang;
- Si abdi Allah selaku sang master mengabaikan keberatan itu, dan memerintahkan makanan tersebut diedarkan;
- Ternyata orang banyak bukan saja dikenyangkan, tapi makanannya juga bersisa./9/
Tak diragukan bahwa pola dasariah dari kisah Perjanjian Lama
tentang Elisa ini memang mendasari keseluruhan kisah injil yang lebih panjang
tentang Yesus memberi makan lima ribu orang dengan hanya lima ketul roti dan
dua ekor ikan. Tetapi kita juga tahu bahwa dalam kisah-kisah injil tentang
Yesus memberi makan orang banyak dari sangat sedikit makanan, Yesus ditampilkan
jauh lebih agung dan lebih mempesona. Yesus memberi makan bukan seratus orang
(seperti dilakukan Elisa), tetapi lima ribu orang laki-laki (belum termasuk
perempuan dan anak-anak); Yesus memberi makan bukan dari dua puluh ketul roti
(seperti dilakukan Elisa) tetapi dari makanan yang jauh lebih sedikit: lima
ketul roti dan dua ekor ikan.
Jadi harus disimpulkan: dalam pandangan penulis Injil Matius,
Yesus adalah anti-tupos nabi Elisa
sebagai tupos. Yesus bukan saja
sejajar dan semodel dengan nabi Elisa, tetapi juga jauh melampaui Elisa, dalam
tindakannya memberi makan lima ribu orang dengan hanya lima ketul roti dan dua
ekor ikan, dengan sisa makanan dua belas bakul.
Jadi, pemberian makan lima ribu orang hanya dengan lima roti
dan dua ekor ikan oleh Yesus, hanya ada dalam teks, dalam sastra injil, dalam
dunia kisah, dalam dunia ide teologis, bukan dalam sejarah insani faktual.
Kisah injil-injil Perjanjian Baru tentang tindakan hebat
Yesus ini disusun dalam bingkai pemahaman dan penafsiran tipologis, bukan dalam
bingkai suatu kejadian faktual historis yang melawan nalar dan hukum-hukum
alam, kejadian yang disebut mukjizat. Dalam sejarah, tak pernah ada tindakan
hebat Yesus memberi makan lima ribu orang hanya dengan lima ketul roti dan dua
ekor ikan. Meski begitu, kisah ini sangat menawan, menggerakkan hati, dan dapat dengan radikal mengubah watak serakah setiap pembaca kisah hebat ini.
Dengan mempertimbangkan semua hal di atas, siapapun
seharusnya dapat memutuskan untuk memandang kisah-kisah injil tentang Yesus
memberi makan lima ribu orang (lelaki) dengan lima roti dan dua ekor ikan
sebagai kisah-kisah tipologis imajinatif yang
ditulis dengan memakai kisah-kisah Perjanjian Lama sebagai model untuk
mempertahankan sebuah teologi, sebuah kerugma,
atau sebuah kisah kreatif imajinatif tentang Yesus bahwa Yesus itu lebih besar dari Musa, bahwa
Yesus adalah nabi yang sejajar dengan bahkan melampaui nabi agung Elia, bahwa
Yesus adalah nabi akbar yang semodel dengan, tapi juga jauh melampaui nabi
Elisa, yang sanggup untuk mengenyangkan semua pengikutnya, sehingga mereka,
sebagai orang Yahudi, perlu berpaling kepadanya dan percaya penuh. Ada tujuan misiologisnya, jelas sekali.
Jadi, kisah-kisah imajinatif ini adalah propaganda politis
teologis misiologis Kristen yang disusun ketika umat Kristen perdana sedang berusaha
menjadi besar di tengah tekanan dari berbagai kelompok pesaing, misalnya dari
Yudaisme, sekaligus sebagai kisah-kisah devosional yang dapat membangun ikatan batin yang makin kuat dalam diri komunitas para penulis injil-injil
terhadap Yesus, sang Tuhan mereka./10/
Penutup
Uraian-uraian di atas telah berhasil memperlihatkan bahwa kisah-kisah injil tentang Yesus memberi
makan lima ribu orang dengan hanya lima roti dan dua ekor ikan, bukanlah kisah-kisah tentang sebuah peristiwa sejarah faktual,
melainkan kisah-kisah kreatif imajinatif intertekstual (antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang disusun untuk berbagai kepentingan. Juga telah diperlihatkan ada
banyak persoalan dan kesulitan besar timbul jika kisah-kisah tersebut diperlakukan sebagai kisah-kisah sejarah faktual. Tuhan Allah berfirman dengan cara yang bebas dan kreatif, dapat memakai fakta-fakta dan dapat juga memanfaatkan kisah-kisah figuratif imajinatif. Jangan batasi kreativitas Yesus dan juga kreativitas Allah, sang Bapa.
Selain itu, jika kisah-kisah ini dipahami dan diterima
secara literalistik, maka maksud dan tujuan sebenarnya penulisan kisah-kisah ini tak berhasil
didapatkan, padahal kisah-kisah
ini menjadi penting justru karena
maksud dan tujuan penulisannya sama sekali bukanlah untuk menceritakan atau
melaporkan kejadian-kejadian di masa lampau, melainkan untuk membimbing dan
menguatkan serta memperlengkapi komunitas-komunitas Kristen yang berdiri empat
puluh sampai lima puluh lima tahun setelah Yesus wafat dengan seperangkat ajaran
dan ideologi yang diperlukan.
Kisah-kisah ini menjadi penting khususnya ketika mereka sedang terlibat
dalam suatu persaingan ideologis dengan Yudaisme yang memicu mereka untuk
menggambarkan Yesus sebagai “Musa yang baru”, yang lebih agung dari Musa yang
sebenarnya, atau sebagai nabi besar yang berdiri berdampingan dengan, bahkan
melampaui, nabi Elia dan nabi Elisa. Jadi, lewat kisah-kisah tentang Yesus yang melebihi nabi Musa, nabi Elia, dan nabi Elisa, para pembaca injil-injil didesak untuk meninggalkan agama Yahudi, atau tidak memilih agama Yahudi, tetapi berpaling dan masuk ke dalam agama Kristen versi masing-masing penulis injil. Kisah-kisah ini niscaya adalah kisah-kisah politis misiologis.
Dalam usaha memahami kisah-kisah mukjizat Yesus, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah memperlakukan kisah-kisah tersebut sebagai
kisah-kisah, bukan sebagai fakta-fakta.
Tentu ada kisah-kisah faktual, tapi juga ada kisah-kisah
fiktif, dan kisah-kisah tentang mukjizat Yesus termasuk dalam kisah-kisah
fiktif imajinatif. Karena setiap kitab suci bukan buku sejarah, maka di dalamnya ada lebih
banyak kisah fiktif ketimbang kisah faktual. Sejarah dan kisah imajinatif telah saling merangkul.
Jika orang mencari dan mau mendapatkan firman Allah lewat
kisah-kisah skriptural, firman Allah juga bisa dengan jelas dan efektif
disampaikan lewat media kisah-kisah imajinatif, tidak selalu harus lewat media
kisah-kisah faktual. Yesus menyampaikan firman Allah banyak kali lewat kisah-kisah imajinatif yang disusunnya sendiri, yakni perumpamaan-perumpamaannya, metafora-metaforanya.
Siapa yang bisa memaksa Allah untuk berfirman hanya lewat
kisah-kisah sejarah faktual? Dan jika Allah mau berfirman lewat kisah-kisah
fiktif, lewat tamsil, lewat nyanyian, lewat imajinasi yang kaya, lewat puisi, lewat perumpamaan, maka siapa yang dapat melarang-Nya? Sekali lagi, Yesus menyampaikan firman Allah
banyak kali lewat kisah-kisah imajinatif yang disusunnya sendiri, yakni
perumpamaan-perumpamaannya. Siapa yang mau mempersalahkan Yesus?
Mereka yang menolak untuk melihat kisah mukjizat Yesus memberi makan 5000 orang dengan hanya 5 roti dan 2 ikan sebagai sebuah perumpamaan, sebuah metafora, umumnya tidak suka pada sains modern, apalagi jika sains ini dipakai untuk mengupas teks-teks Alkitab untuk memperlihatkan teks-teks itu sebagai metafora saja. Sains itu berurusan hanya dengan fakta-fakta. Dengan ingin memperlakukan kisah-kisah mukjizat Yesus sebagai kisah-kisah faktual, kisah-kisah tentang fakta-fakta, mereka anehnya ingin memperlakukan teks-teks kitab suci sebagai teks-teks lmiah, padahal mereka anti-ilmu pengetahuan.
Mereka yang menolak untuk melihat kisah mukjizat Yesus memberi makan 5000 orang dengan hanya 5 roti dan 2 ikan sebagai sebuah perumpamaan, sebuah metafora, umumnya tidak suka pada sains modern, apalagi jika sains ini dipakai untuk mengupas teks-teks Alkitab untuk memperlihatkan teks-teks itu sebagai metafora saja. Sains itu berurusan hanya dengan fakta-fakta. Dengan ingin memperlakukan kisah-kisah mukjizat Yesus sebagai kisah-kisah faktual, kisah-kisah tentang fakta-fakta, mereka anehnya ingin memperlakukan teks-teks kitab suci sebagai teks-teks lmiah, padahal mereka anti-ilmu pengetahuan.
Bagi saya, kisah Yesus memberi makan 5.000 orang dengan 5 roti dan 2 ikan, sangat menggerakkan hati saya, mengubah etika saya, membarui pemahaman saya tentang kehidupan dan kepemilikan. Pendek kata, kisah ini mendorong saya untuk berbagi meski memiliki sedikit, untuk memerangi kelaparan lantaran sedikit orang kini menguasai 99 persen sumber-sumber daya yang dibutuhkan oleh 8 milyar insan di dunia untuk dapat hidup dengan sehat dan baik.
Catatan-catatan
/1/ Ihwal Kaisar Augustus disembah
sebagai “sang juruselamat dunia” dan kelahirannya dipandang membawa “kabar baik”
dan “keselamatan” bagi seluruh kekaisaran, ditulis dalam sebuah prasasti yang
mencantumkan dekrit Majelis Provinsi Asia yang dikeluarkan tahun 9 SM. Lihat
teks dekrit ini selengkapnya dalam Richard A. Horsley, The Liberation of Christmas. The Infancy
Narratives in Social Context (New York: Crossroad, 1989) hlm. 27.
/2/ Gerhard von Rad dalam Claus
Westermann, ed., Essays on Old Testament
Hermeneutics (Richmond, Virginia: John Knox Press, 1964) hlm. 36.
/3/ Jean DaniƩlou, From Shadows to Reality (London: Burns
and Oates, 1960) hlm. 12.
/4/ Walter Eichrodt dalam Westermann, ed., Essays on Old Testament Hermeneutics, hlm. 225.
/5/ Gerhard von Rad dalam
Westemann, ed., Essays on Old Testament
Hermeneutics, hlm. 36-37; lihat juga S. Lewis Johnson, The Old Testament in the New (Grand Rapids, Michigan: Zondervan
Publishing House, 1980) hlm. 55.
/6/ Jean DaniƩlou, From Shadows to Reality, hlm. 12; Walter
Eichrodt dalam Westermann, ed., Essays on
Old Testament Hermeneutics, hlm. 235.
/7/ Tema tipologis tentang Yesus
sebagai “Musa yang baru” dalam Injil Matius telah dieksplorasi dengan bagus antara
lain oleh Dale C. Allison, Jr., The New
Moses: A Matthean Typology (Minneapolis: Fortress Press, 1993).
/8/ Kendatipun
dalam konteks narasi tentang pembaptisan Yesus di sungai Yordan, Yesus, kita
baca, mengungkapkan kesediaannya untuk dibaptis oleh Yohanes Pembaptis yang
malah sebaliknya sungkan untuk melakukannya (Matius 3:14-15).
/9/ Reginald Fuller, Preaching the New Lectionary
(Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1974) hlm. 406.
/10/ Kisah Yesus memberi makan
lima ribu orang, khususnya yang terdapat dalam Lukas 9:12-17, dapat juga
dijelaskan dengan memakai pendekatan tafsir sosial saintifik, dengan memakai
model “patron-klien”, sebagaimana sudah dilakukan oleh Ekaterini Tsalampouni,
“The Story of Feeding the Multitudes in Luke 9:12-17: A Social-Scientific
Approach” (February 2012), tersedia online di
http://www.bibleinterp.com/opeds/tsa368003.shtml.