Tuesday, October 31, 2023

Beda Bertuhan dan Beragama

 


Jari menunjuk ke Bulan, dan bukan sebaliknya.


Bertuhan dan beragama, dua hal yang tidak bisa begitu saja disamakan. Ada interseksi antara keduanya, tapi juga ada perbedaan, perselisihan dan benturan antara keduanya. Mari kita telusuri hal ini pada beberapa level yang dasariah saja.

Agama adalah suatu lembaga atau pranata sosial yang manusia bangun dan konsepkan untuk banyak keperluan. Antara lain sebagai panduan nilai-nilai dan prinsip-prinsip bagi kehidupan manusia, atau sebagai suatu sistem kepercayaan atau belief system yang umumnya dipegang teguh dan berpengaruh kuat dalam orang menjalani kehidupan sehari-hari yang dipandang bertujuan dan bermakna./1/

Lima fondasi

Lazimnya, setiap agama didirikan dengan berpilar dan berfondasi pada lima hal berikut. 

• kredo atau syahadat atau pengakuan kepercayaan, 

• sejumlah etika kehidupan atau rambu-rambu moral penuntun kehidupan,

• ritual-ritual ketika datang atau mendekat pada apa yang dipersepsi sebagai Tuhan atau sang Kudus (the Sacred) atau sang Serba Lain (the Wholly Other). Salah satu fungsi ritual keagamaan adalah mengikat sang Kudus untuk selalu memenuhi kemauan umat yang menyembah-Nya, 

• sejumlah tulisan yang diyakini sebagai pemberian sang Kudus sehingga diberi status tulisan-tulisan suci yang menjadi standard atau patokan atau ukuran atau kaidah atau kanon dalam menentukan bagaimana umat harus menjalani kehidupan mereka, mengatasi masalah, dan merumuskan ajaran-ajaran keagamaan,

• organisasi, manajemen kepemimpinan umat, dan strategi pertahanan dan pengembangan kehidupan umat ke depan.

Jelaslah, lima hal di atas umumnya adalah isi dari setiap agama sebagai suatu belief system atau sistem kepercayaan. 

Belief system

Disebut sebagai suatu belief system, ya karena agama dibangun dan dijalankan berdasarkan kepercayaan bahwa hal-hal adikodrati itu ada dan aktif dalam dunia manusia. Ini asumsi dasar paling utama dari teisme. 

Hal-hal adikodrati itu dipandang berinterkoneksi dan berinteraksi menurut suatu desain dan konstruksi yang dinamis yang sudah dirancang dan membentuk suatu sistem yang aktif dalam masyarakat. 

Apa itu sistem? Ada banyak definisi, bergantung pada bidang-bidang yang sedang dikaji. Saya berikan beberapa definisi saja.

Sistem adalah seperangkat jejaring ide-ide atau teori-teori atau kaidah-kaidah atau cara-cara yang khas, yang digunakan dalam menjalankan sesuatu dan dalam mengontrolnya supaya terbangun suatu kesatuan menyeluruh dari semua unsurnya. Ada yang memberi sebuah definisi pendek yang kena bahwa suatu sistem adalah koleksi bagian-bagian, dan tidak ada satupun bagian-bagian ini yang dapat diubah pada dirinya sendiri./2/ Satu unsur lumpuh, maka keseluruhan sistem ambruk. Dalam Oxford Concise Dictionary of Sociology, Gordon Marshall menulis bahwa sistem adalah relasi apapun yang terstruktur atau terpola di antara sejumlah unsur, di mana sistem ini membentuk suatu kesatuan atau suatu keseluruhan./3/ 

Sistem sendiri ada tiga macam: terbuka, tertutup, dan terisolasi, dalam relasinya dengan lingkungan sekitar./4/

Nah, kelima poin di atas berfungsi sebagai fondasi sekaligus sebagai pilar-pilar bangunan agama apapun. Fondasi dan pilar-pilar ini terbentuk tentu saja tidak dalam satu malam, dan juga tidak diletakkan dan didirikan dalam sekejap hanya oleh satu sosok manusia atau oleh satu oknum dari alam gaib.

Banyak pihak dan kalangan, situasi, kondisi, lokasi sosial geografis, kondisi psikologis, dunia, politik, kebudayaan, alam pemikiran, yang berinteraksi melahirkan pranata agama.

Dus, pada satu segi akan dapat muncul tulisan yang beranekaragam yang dipandang suci, yang merupakan hasil kerja banyak insan yang luar biasa, di dalam berbagai konteks zaman dan lokasi sosio-budaya, di dalam berbagai alam pemikiran dan dalam berbagai tingkat kemajuan prestasi-prestasi kebudayaan dan intelektual. 

Jenis atau genre tulisan-tulisan suci ini tidak tunggal tetapi majemuk; dan isi dan pesan tulisan-tulisan ditemukan juga tidak seragam, tetapi berbeda-beda, sejalan dengan konteks sejarah dan sikon kehidupan yang beranekaragam dan dinamis.

Masing-masing lima hal di atas umumnya berfungsi interdependen, saling bergantung satu sama lain ketika orang mengekspresikan dan menyatakan diri mereka sebagai orang-orang yang beragama. 

Bergantung pada situasi dan kondisi serta konteks kehidupan yang ada dan sedang dijalani, dari lima poin tersebut ada poin-poin yang lebih banyak atau lebih kuat dipakai dan dibutuhkan dalam mempertahankan dan memperkuat bangunan suatu agama. 

Dapat ada juga poin-poin yang tergeser ke kawasan pinggiran atau kawasan marjinal yang banyak kehilangan kekuatan fungsi dan peran mereka dalam mempertahankan kekuatan bangunan kokoh suatu agama. 

Umumnya, lima hal di atas saling mengisi dan memperkuat di saat suatu umat menjalankan agama mereka, atau bahkan ketika mereka sedang membarui dan mengubah segi-segi tertentu dari bangunan suatu agama yang sedang diperhadapkan pada tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan baru. Dalam hal ini, poin lima di atas --- manajemen kepemimpinan dan strategi pertahanan diri --- menjadi penting untuk lebih dalam dan lebih banyak digumuli, dikaji lintas-ilmu, dan dijalankan.

Tetapi akan juga ada saatnya, poin-poin tertentu dari lima poin yang ada menjadi tidak berfungsi atau kehilangan relevansi mereka karena perubahan zaman, konteks sosial-budaya dan politik, dan juga karena perubahan alam pemikiran, dari alam pemikiran primitif ke alam pemikiran modern.

Jika situasi dan kondisi yang digambarkan pada paragraf di atas tercipta, sebagai suatu sistem kepercayaan agama apapun perlu dengan dinamis beradaptasi dengan sikon-sikon natural dan sikon-sikon sosial kebudayaan yang berubah-ubah--- alhasil setiap agama perlu berubah jika ingin tetap relevan dengan lingkungan alam sekitar dan zaman yang terus berubah. Pendek kata, agama yang fungsional dan memberi dampak adalah agama yang sistemnya terbuka: agama, konteks sejarah dan konteks masa kini, berinteraksi, saling mempengaruhi, saling membentuk dan saling mengubah.

Jadi, dari interdependensi antar lima poin tersebut di atas, dan dari interaksi kelimanya, agama-agama--- dalam konteks sejarah dan konteks sosial masing-masing--- akan terbangun dan berdiri sebagai sistem-sistem kepercayaan yang terbuka dan berdampak pada kehidupan sehari-hari setiap orang dan komunitas.

Beragama

Jadi, beragama adalah memegang kuat-kuat suatu kredo atau suatu syahadat, menjalankan suatu etika atau rambu-rambu moral, mengaktifkan ritual-ritual pengikat dengan sang Kudus, memegang dan percaya pada sekumpulan tulisan yang disucikan, dan mengorganisir komunitas demi pertahanan, ketahanan dan perluasan dan perkembangannya. 

Lima poin tersebut di atas disusun dan diterapkan serta dijalankan sebagai suatu sistem yang dinamis untuk mengelola perjalanan kehidupan yang juga dinamis dari komunitas-komunitas dalam masyarakat.

Sekali lagi perlu dikatakan, sistem yang sudah didesain dan dikonstruksi dalam waktu panjang oleh banyak orang tahap demi tahap lalu diterapkan adalah suatu sistem kepercayaan atau suatu belief system. Sistem kepercayaan jelaslah bukan suatu sistem bilangan, sistem matematika, sistem filosofis, atau suatu sistem yang didesain untuk diterapkan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dibangun lewat metode-metode keilmuan, misalnya sistem komputer, sistem teknologi informasi, sistem pendidikan, sistem keamanan, sistem finansial, sistem molekuler, sistem perbintangan, sistem sosial, dan seterusnya.

Dengan melihat dan mengikuti sejarah setiap sistem kepercayaan atau agama, tahulah kita bahwa suatu agama, sejak awal pembentukannya, lalu mengalami perkembangan bertahap, bersifat dinamis dan aktif, dan menggerakkan sangat banyak orang yang semuanya sama-sama ingin mencapai sang Kudus atau Dia Yang Serba Lain.

Jelas, tentu saja, suatu komunitas keagamaan sama-sama ingin mencapai dan tiba pada sang Kudus lewat lima poin di atas yang berinteraksi dan saling bergantung, tidak tercerai-berai.

Sang Kudus sama-sama menjadi tujuan untuk dicapai, dan menjadi suatu tempat berlabuh yang selalu samar-samar terlihat. Selalu ada jarak.

Jadi, agama (yang monoteis, nonteis dan yang politeis) adalah jalan menuju suatu kondisi yang di dalamnya umat dapat bertemu dan menyatu dengan sang Kudus Adikodrati. Jalannya tidak tunggal, tetapi majemuk. Tidak statis, melainkan dinamis.

Telunjuk-bulan

Memakai suatu metafora Zen Buddhis yang saya adaptasi untuk kepentingan tulisan saya ini, agama adalah telunjuk yang menunjuk ke Bulan, dan membimbing orang untuk tiba di Bulan. Agama apapun bukan Bulan, tapi hanyalah jari yang menunjuk ke sang Bulan Adikodrati.

Ada gunanya jika saya menjelaskan seperlunya metafora Zen tersebut di sini. 

Metafora telunjuk-Bulan, sejauh ini diketahui pernah diucapkan oleh Bruce Lee dalam Enter the Dragon (1973). Aslinya, metafora Zen ini berasal dari Sutra Shurangama (II, 61-3; bdk Sutra Lankavatara bab 6, hlm. 193. Lihat juga Augustinus De doctrina Christiana atau On Christian Doctrine, tahun 397 M) yang menjadi suatu teks inti bagi orang yang sedang menerima pelatihan Zen./5/

Ketika pertama kali sang Buddha Gautama menyebut metafora ini kepada Ananda (sepupu pertama dan salah seorang murid utama Gautama Buddha), sang Buddha mengartikan Bulan sebagai Pikiran Sejati, the true Mind, yang ada dalam benak Ananda, yakni pikiran yang waspada, terjaga, terkonsentrasi, kalem, tenang, lembut, mengalir, dan tercerahkan. Dalam Buddhisme, kondisi-kondisi kognitif ini disebut sebagai mindfulness, yakni pikiran yang menyadari pikiran sendiri lewat pengamatan atau pemantauan pikiran yang terus mengalir dari momen ke momen dan semua aktivitas mental diri sendiri. 

Itulah metakognisi atau samatha dan vipassana sebagai salah satu jalan dari Jalan Delapan Rangkap untuk mencapai pembebasan atau nirvana (kondisi lepas dari siklus kelahiran kembali, padam) lewat aktivitas metakognitif atau aktivitas memikirkan dan memantau pikiran, emosi dan perasaan sendiri tentang segala sesuatu yang melintas dalam aktivitas berpikir yang terkonsentrasi dan tak pernah berhenti.

Dalam Buddhisme, chitta (Sanskrit) atau pikiran, mind, mengacu ke setiap jenis aktivitas mental, termasuk persepsi indrawi, pikiran abstrak dan verbal, emosi-emosi, perasaan-perasaan suka cita dan duka cita, atensi, konsenstrasi, kecerdasan, dan seterusnya./6/ Seorang guru Buddhisme, menyatakan bahwa pikiran, dalam Buddhisme, adalah semua aktivitas mental yang memunculkan pengalaman bahwa kita hidup./7/

Pada tingkat tertentu, seorang praktisi Zen dapat memandang, memantau dan memahami objek-objek yang real atau yang melintas dalam benaknya tanpa menggunakan bahasa. Inilah lanjutan metakognisi atau vipassana, yakni menerima dan memahami sesuatu apa adanya, sesuai dengan objek yang sedang diamati, tanpa interpretasi, tanpa bahasa. Dengan kata lain, bahasa tertinggi adalah tanpa-bahasa.

Anda tentu saja dapat berkomentar, bukankah keyakinan bisa menerima dan memahami sesuatu tanpa bahasa adalah bahasa juga, bahasa yang berbeda. Atau, jika dipahami tanpa bahasa, siapakah yang tahu bahwa apa pun yang dipikirkan tanpa bahasa sudahlah betul dan memang demikian apa adanya. Faktanya, selalu ada interaksi antara hal yang diamati dan si pengamat. Tidak ada pengamat yang netral. Ketika sesuatu diamati, hal yang diamati ini menjadi hidup.

Nah, di atas telah dibahas Bulan dalam metafora Zen telunjuk-Bulan. Pembaca yang cermat dan berpengetahuan mungkin sekali akan bertanya, mengapa Bulan tidak mengacu ke satu Tuhan Allah personal, tetapi ke Pikiran Sejati yang memiliki kodrat pikiran buddha. 

Penjelasannya pendek saja. Dalam Buddhisme tidak dikenal satu (atau lebih) sosok Tuhan Allah personal apapun; jadi, Buddhisme memang bukan suatu agama monoteistik./8/ Tetapi para penganut Buddhisme percaya ada sosok-sosok adikodrati yang dapat menolong atau menghalangi orang di jalan menuju pencerahan atau nirvana. Sosok-sosok adikodrati ini adalah dewata (dewa dewi); mereka fana, tapi sebagian memiliki kodrat buddha.

Nah, bagaimana halnya dengan “telunjuk” dalam metafora Zen telunjuk-Bulan? Telunjuk mengacu ke Dharma atau pengajaran-pengajaran sang Buddha Gautama. Orang yang sedang menerima pelatihan Zen dikehendaki memakai Dharma atau pengajaran-pengajaran sang Buddha sebagai, seperti sudah dikatakan sebelumnya, penuntun untuk mendapatkan Pikiran Sejati para peserta pelatihan, yaitu Bulan, the true Mind, Pikiran Sejati mereka.

Dalam agama-agama teisme, telunjuk jadinya mengacu ke ajaran-ajaran agama atau ke sistem kepercayaan yang jika ditekuni dan dijalani akan membawa orang ke Tuhan Allah adikodrati yang dapat disebut juga sebagai sang Kudus atau sang Serba Lain.

Nah, bencana dan pertikaian, kekusutan dan kebingungan, besar dan kecil, lokal dan global, dulu dan kini, akan pasti timbul jika si orang beragama atau suatu komunitas keagamaan mengubah Bulan menjadi telunjuk, dan mengubah telunjuk menjadi Bulan. 

Maksudnya: Sang Kudus atau sang Serba Lain menjadi sistem keagamaan atau sekumpulan pengajaran, dan pengajaran keagamaan menjadi sang Tuhan adikodrati. Inilah doksolatri, yakni menyembah dan mempertuhan ajaran; dan deteologisasi, maksudnya: Allah disingkirkan dari takhta-Nya yang mulia dan dibuat kehilangan kemuliaan dan keagungan-Nya. Allah telah dikeluarkan dan dibuang dari dunia transenden, dan berubah menjadi rangkaian huruf-huruf dan teks-teks. Pengajaran keagamaan menjadi agung dan mulia; Tuhan Allah, sebaliknya, menjadi kehilangan keserbalainan-Nya.

Bertuhan

Sekarang kita perlu menggali makna dan bagaimana bertuhan itu, jika bertuhan tidak bisa disamakan menyeluruh dengan beragama.


(belum selesai)


Catatan-catatan

/1/ Tentang agama sebagai suatu sistem kepercayaan, lihat juga antara lain Deborah Teasley, “Belief System: Definition and Types”, Study.comhttps://study.com/academy/lesson/belief-systems-definition-types-quiz.html.

/2/ “What is System? Meaning, Definition, Elements and Types of System”, Top4U,
https://www.toppers4u.com/2021/12/what-is-system-meaning-definition.html?m=1.

/3/ Gordon Marshall, Oxford Concise Dictionary of Sociology (Oxford/New York: Oxford University Press, 1994) hlm. 526. 

/4/ Ada tiga jenis sistem. Yakni sistem terbuka yang berinteraksi dinamis dengan lingkungan sekitar yang ada di luar sistem. Terjadi pertukaran materi dan energi antara keduanya. Terjadi arus pertukaran output dan input ketika sistem terbuka berinteraksi dengan lingkungan alam sekitar. Biologi manusia termasuk sistem yang terbuka. Antara sistem biologi dan lingkungan kehidupan eksternal berlangsung interaksi dan saling pengaruh.

Dalam suatu sistem tertutup, berlangsung pertukaran energi dengan lingkungan sekitar, tapi tidak ada pertukaran materi.

Yang ketiga adalah sistem yang terisolasi. Dalam sistem ini tak terjadi pertukaran energi atau materi dengan lingkungan alam sekitar. Lihat “System”, Wikipediahttps://en.m.wikipedia.org/wiki/System#:

/5/ “What the ‘Finger pointing to the moon’ analogy really means --- from Zen Buddhism, the Buddha in the Shurangama Sutra”, Essence of Buddhism, 19 April 2016, https://essenceofbuddhism.wordpress.com/2016/04/19/what-the-finger-pointing-to-the-moon-analogy-really-means-from-zen-buddhism-the-buddha-in-the-shurangama-sutra/. Lihat juga Patrick Buggy, “Never Mistake the Finger for the Moon”, Mindful Ambition, https://mindfulambition.net/finger-and-moon/. Juga lihat Bodhi Paksa, “I am a Finger pointing to the moon. Don’t look at me”, Fake Buddha Quotes, October 15, 2017, https://fakebuddhaquotes.com/i-am-a-finger-pointing-to-the-moon-dont-look-at-me-look-at-the-moon/.

/6/ Alexander Berzin, Matt Lindén, “What Is Mind”, Study Buddhismhttps://studybuddhism.com/en/essentials/what-is/what-is-mind.

/7/ Alexander Berzin, Matt Lindén, “What Is Mind”, Study Buddhismhttps://studybuddhism.com/en/essentials/what-is/what-is-mind.

/8/ The National Geographic Society, “Buddhism”, Encyclopedic Entryhttps://education.nationalgeographic.org/resource/buddhism/. Peter Harvey, Buddhism and Monotheism (Cambridge University Press, 2019) hlm. 1. Charles Taliaferro, ed., The Routledge Companion to Theism (New York: Routledge, 2013) hlm. 35.

Jika Buddhisme bukan mono-/poli-teisme, lantas apa? Sejauh ini, Buddhisme digolongkan sebagai non-teisme, atau transpoliteisme, atau anti-teisme, atau ateisme non-materialistik. 

/9/