Sunday, September 26, 2021

Memahami Kisah TAMAN EDEN (Kejadian 2-3) dalam Konteks


“Eve and the apple was the first great step in experimental science.” --- James Bridie 

“Pikiran kita itu bisa salah. Karena itu, berpikirlah terus, jangan menyerah. Pikirkan dengan kritis isi pikiranmu, temukan di mana pikiranmu keliru. Lalu perbaikilah. Jangan takut berpikir, karena pikiran itu suatu karunia agung dari Tuhan untuk manusia.” --- Ioanes Rakhmat


N.B. edited 10 Maret 2022


Pendahuluan

Meskipun sekarang ini zaman modern, zaman ilmiah, yang berbeda dari zaman kuno yang pramodern dan prailmiah, banyak orang, bahkan yang terpelajar juga, menolak sains evolusi Darwinian.

Penolakan mereka didasarkan bukan pada riset keilmuan panjang tandingan, tapi pada kisah skriptural tentang penciptaan Adam dan Hawa langsung gede dan jadi di Taman Eden oleh Tuhan. Kedua insan primordial ini tidak pernah mengalami kehidupan sebagai janin-janin dalam rahim sang bunda masing-masing.



Ilustrasi Adam, ular, dan Hawa. Sumber gambar History.com.


Bagi mereka, kisah Taman Eden skriptural adalah kisah nyata, kisah sejarah, bukan kisah teologis etiologis, ada dalam kitab-kitab suci sebagai wahyu ilahi yang tak mungkin salah, karena itu harus dipercaya dan dipertahankan apa adanya, at face value, apapun juga taruhannya.

Berdasarkan kisah itu, mereka membangun sebuah ideologi keagamaan yang dinamakan kreasionisme (Inggris: creationism) yang mereka perjuangkan untuk diakui dan ditempatkan sejajar dengan sains evolusi. Tentu saja di mana-mana usaha mereka ini selalu kandas.

Kreasionisme adalah suatu doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa semua spesies fauna dan flora yang ada dalam alam ini, termasuk spesies manusia bijak yang dalam bahasa Latin dinamakan Homo sapiens, diciptakan (“created” atau di-kreasi) langsung jadi dan lengkap oleh Tuhan tanpa lewat evolusi. 

Contohnya, kata mereka, sosok-sosok Adam dan Hawa yang diciptakan langsung jadi dan gede sebagai organisme dewasa. Padahal, Homo sapiens baru muncul belakangan setelah evolusi biologis hominin-hominin pra-Homo sapiens berlangsung bertahap, kumulatif dan dalam kurun yang sangat panjang.




Lukisan Penciptaan Adam (langsung gede dan jadi), karya artis Italia Michelangelo, dibuat sekitar 1508-1512, pada salah satu bagian langit-langit Kapel Sistine di Vatikan, Roma. Sumber gambar ItalianRenessaince.org.


Tentu saja, meminta kreasionisme dijadikan suatu mata pelajaran di sekolah atau suatu mata kuliah di universitas, yang setara dengan sains evolusi, adalah suatu permintaan yang tak masuk akal, sebab yang satu adalah doktrin keagamaan, dan yang satunya lagi ilmu pengetahuan.

Itu kondisi di Amerika setidaknya sejak tiga dekade lalu. 

Hasil survei mutakhir di Amerika

Nah, pada kesempatan ini bermanfaat sekali jika saya ketengahkan temuan-temuan serangkaian survei di Amerika masa kini tentang posisi sains evolusi dalam pandangan warga Amerika. Apakah kreasionisme makin kuat, atau justru sains evolusi?/1/

Dari data serangkaian survei nasional di Amerika Serikat yang dikumpulkan selama 35 tahun terakhir (sampai tahun 2020), suatu tim peneliti yang diketuai Jon D. Miller dari Institute for Social Research, University of Michigan, Amerika, menemukan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah penduduk Amerika yang menerima evolusi sebagai fakta ilmiah dalam dekade terakhir. 

Padahal, sedikitnya dua dekade sebelumnya penduduk terpecah dua dengan nyaris seimbang atas isu evolusi.

Survei-survei ini menghimpun jawaban-jawaban orang Amerika apakah mereka setuju atau tidak terhadap pernyataan bahwa “Manusia, sebagaimana sekarang kita kenal, telah berkembang dari spesies-spesies hewan sebelumnya.”

Dengan menggunakan model persamaan struktural, para peneliti menemukan bahwa jumlah penduduk Amerika yang menerima evolusi makin bertambah karena beberapa faktor, yakni:

• Makin banyak orang yang mendaftar dalam program-program pendidikan untuk meraih gelar sarjana muda yang tidak mungkin akan dapat diperoleh jika mereka tidak mengakui bahwa ilmu pengetahuan telah sukses dalam menjelaskan banyak fenomena alam dan fenomena sosial.

• Makin banyak warga Amerika yang mengikuti kegiatan perkuliahan ilmu pengetahuan tingkat universitas.

• Terjadi penurunan jumlah penganut fanatik fundamentalisme religius di Amerika.

• Terjadi peningkatan jumlah warganegara yang telah bebas dari buta ilmu pengetahuan (atau “civic science literacy” mengalami peningkatan).

Data yang terkoleksi dan studi-studi mutakhir menunjukkan hal-hal berikut:

• Antara 1985-2007, jumlah orang Amerika yang menerima dan yang menolak evolusi nyaris seimbang.

• Sejak 2016, mayoritas penduduk Amerika menerima evolusi.

• Antara 2009-2019, orang Amerika dewasa yang menerima evolusi meningkat, dari 40% ke 54%.

• Berbagai studi mutakhir dengan konsisten menunjukkan bahwa fundamentalisme keagamaan (yang dicirikan antara lain oleh pemahaman literalis terhadap teks-teks keagamaan) adalah faktor terkuat yang mendorong orang Amerika menolak evolusi.

• Selama 1 dekade terakhir (2010-2020), masih ada kurang lebih 30% orang Amerika yang tetap menganut fundamentalisme religius.

• Namun, kendati masih berada di peringkat teratas sebagai orang fundamentalis (yakni, fundamentalis keras), dari antara mereka ini yang menerima evolusi meningkat, dari 8% di tahun 1988, menjadi 31% di tahun 2019.

Menurut Jon Miller, fundamentalisme religius di Amerika bukan saja “kuat dan keras”, tapi juga “semakin dipolitisasi”, seperti terlihat pada makin lebarnya jurang antara penolak evolusi dari kalangan Partai Republik dan penerima evolusi dari kalangan Partai Demokrat.

Di tahun 2019, dari kalangan Partai Republik yang konservatif, hanya 34% yang menerima evolusi, dibandingkan 83% dari kalangan Partai Demokrat yang liberal.

Hasil survei nasional di Inggris

Di Inggris, belum lama ini telah dilakukan suatu survei nasional lewat kuesioner untuk menemukan ihwal seberapa jauh masyarakat telah menerima sains evolusi biologis lewat popularisasi sains (via media massa) dan peran yang dimainkan di dalamnya oleh empat selebritas, seperti David Attenborough yang dikenal sebagai produser dan presenter film-film dokumenter sejarah alam, dan tiga saintis selebritas Brian Cox, Richard Dawkins dan Stephen Hawking, dan juga diikutkan dua kreasionis Ken Ham dan Harun Yahya.

Survei nasional tersebut dilakukan oleh Amy Unsworth dan David Voas, dan laporan studi mereka telah dipublikasi di jurnal Public Understanding of Science, 25 Februari 2021./2/

Data survei nasional didapat dari lima sampel, yakni orang Anglikan, orang Katolik, Muslim, orang Pentakosta, dan orang Kristen Evangelikal Independen. Data yang terhimpun dianalisis lewat metode regresi logistik biner, dengan melibatkan teori identitas sosial. Berikut ini temuan-temuan mereka.

• Pada umumnya, responden yang lebih mengenal para saintis selebritas lebih mungkin untuk mengatakan bahwa sikap-sikap mereka terhadap evolusi telah berubah, menjadi lebih menerima evolusi.

• Tetapi pengenalan terhadap para saintis selebritas menimbulkan efek-efek yang berbeda, bergantung latarbelakang keagamaan seseorang. Hal ini benar khususnya ketika menyangkut biolog evolusioner Richard Dawkins yang dikenal sebagai seorang ateis yang anti-agama.

• Orang “nonreligius” (maksudnya: orang yang tidak mengikatkan diri ke agama apapun) dan orang Katolik yang mengenal Dawkins makin mungkin untuk lebih menerima evolusi. Bahkan bagi orang nonreligius, Dawkins adalah satu-satunya saintis selebritas yang membuat mereka makin kuat menerima evolusi.

• Tetapi, di antara orang Pentakostal dan Muslim, Dawkins membuat mereka kurang menerima evolusi, karena mereka memandang biolog ini sebagai seorang ateis yang menolak agama, dus dinilai sebagai sosok yang mengancam identitas keagamaan mereka, meskipun bukti-bukti evolusi sudah dibentangkan untuk mereka.

• Pengenalan terhadap presenter David Attenborough membuat orang Anglikan, orang Evangelikal Independen, dan orang Pentakostal, lebih menerima evolusi.

• Tetapi, di kalangan Muslim Inggris, Attenborough yang mereka kenal membuat di antara mereka ada yang makin menerima, tetapi ada juga makin kurang menerima evolusi. Diduga, sikap ini timbul karena topik evolusi bukanlah topik yang penting bagi para Muslim yang dididik di luar Inggris, dan mungkin juga karena mereka Muslim migran di Inggris.

• Secara keseluruhan, dua peneliti itu menyimpulkan bahwa memang telah terjadi perubahan dalam pandangan orang Inggris terhadap evolusi. Memperkenalkan sains evolusi ke publik yang beragama (tentu bergantung apa jenis agama mereka) akan dapat berdampak jika disampaikan oleh para saintis selebritas yang tidak anti-agama.

Perlu saya berikan beberapa poin tambahan terkait Richard Dawkins.

Richard Dawkins, biolog evolusioner yang dikenal anti-agama, dapat menjauhkan orang yang beragama dari sains evolusi, sekaligus juga dapat mendorong orang untuk makin kuat menerima sains ini. Inikah Dawkins Effect?

Saya berpikir berikut ini. Dawkins tidak perlu anti-agama meskipun dia seorang ateis kuat, yang saya hormati.

Sebaliknya, Dawkins perlu dapat dengan cerdas memahami berbagai metafora dalam setiap agama, dan mampu menguraikan metafora-metafora ini dengan gamblang untuk menemukan pesan-pesan yang disampaikan metafora-metafora keagamaan di zaman-zaman dulu di tempat-tempat lain, termasuk seberapa jauh metafora-metafora tersebut masih bisa relevan dan seberapa jauh sudah tidak relevan.

Sementara menjalankan langkah-langkah hermeneutik itu, Dawkins dapat menjalankan perannya sebagai saintis evolusi pada ruang-ruang dan momen-momen yang tepat.

Negeri kita, Indonesia

Nah bagaimana dengan kondisi di Indonesia?

Jelas, budaya yang menguasai Indonesia adalah budaya agama, di samping budaya korupsi, bukan budaya saintifik. 

Kalau budaya agamanya budaya agama yang berwawasan jauh ke depan, budaya agama yang cerdas, budaya agama yang progresif, budaya agama yang membuka diri pada ilmu pengetahuan yang bersumber dari, dan bermuara pada, Tuhan yang mahatahu, ya sebagai bangsa kita beruntung. Sebab budaya agama jenis ini, akan menjadi bahan bakar spiritual bagi kemajuan bangsa dan negara di segala bidang kehidupan. Agama kemajuan pasti akan juga menginspirasi bangsa dan negara untuk bergerak maju.

Tetapi, kalau budaya agamanya budaya agama yang mematikan rasa ingin tahu manusia dan menutup pemikiran kritis dan nalar, budaya agama yang mau mengganti zaman kemajuan dan zaman modern dengan zaman kemunduran dan zaman kuno pramodern, maka sebagai bangsa kita tidak beruntung. Sebab, budaya agama jenis ini akan berdampak pada cara hidup dan isi pemikiran banyak anak bangsa yang tidak mendorong kemajuan dan modernitas bangsa dan negara.

Jika budaya sains unggul di negeri ini, maka segenap anak bangsa akan memiliki pikiran-pikiran yang tercerahkan, besar, kritis dan berwawasan jauh ke masa depan. Alhasil, iptek di Indonesia akan melesat maju, serentak dengan itu ekonomi bangsa juga akan makin kuat karena ditata dan dikelola oleh para ilmuwan yang mumpuni. 

Selain itu, karena ekonomi bangsa dan negara dikelola dengan profesional, dan ditopang oleh pegiat-pegiat ekonomi yang beretika, budaya korupsi pun akan makin lemah dan akhirnya lenyap.

Dus, jika hal-hal yang positif itu terwujud dan terus-menerus dijaga dan dipertahankan, maka peluang kita untuk juga menjadi bangsa dan negara adidaya dunia makin besar. Bangsa kita besar, jadi berpeluang tidak kecil untuk berada di lima besar adidaya dunia dalam beberapa dekade di depan. Para pemimpin yang besar dan visioner kita butuhkan.

Jadi, budaya agama kemajuan dan budaya keilmuan, memang harus kita bangun dan perkuat terus-menerus, jika kita mau Indonesia menjadi adidaya dunia di masa depan. Sebaliknya, budaya korupsi harus dibuang jauh-jauh, dihancurkan, dan dicegah kuat-kuat untuk tidak tumbuh lagi.

Karena itu, untuk membangun suatu budaya saintifik, hemat saya, tak ada jalan lain, selain menunjukkan kepada anda bahwa kisah tentang Taman Eden adalah 100 persen kisah teologis, bukan kisah sejarah, sebuah metafora nilai-nilai. Tak percaya? Mari simak penyelidikan berikut.

Allah itu kreatif

Sebelum ke situ, saya perlu tekankan bahwa Allah itu kreatif, mahaberfirman, mahahadir dan mahapenuntun. Lewat cara yang tak terbatas. Allah berfirman juga lewat kisah-kisah imajinatif kreatif, tanpa pernah habis.

Jika kisah-kisah kreatif tersebut kita dengarkan dengan baik, dan kita berhasil menangkap maksud dan pesan-pesan kisah-kisah tersebut dalam konteks sejarahnya dan dalam konteks budayanya, maka kita menyeberang, memasuki kawasan nilai-nilai yang lebih tinggi dan agung, kawasan transenden, kawasan-kawasan adinilai. Yaitu kawasan yang 
melampaui kawasan-kawasan nilai yang lebih rendah atau yang biasa. 

Memakai terma kerennya, kisah pembawa adinilai ini dinamakan metafora yang dibentuk dari dua kata Yunani, yaitu kata depan meta (artinya melampaui, Inggris: beyond) dan kata kerja infinitif ferein (artinya menyeberang atau cross over).

Jadi, lewat metafora sebagai wahana sastra, kita menyeberang, cross over, meninggalkan dunia rutin sehari-hari yang sudah lumrah dan biasa, memasuki kawasan lain yang melampaui dunia sehari-hari yang biasa, yang berisi nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung, nilai-nilai transenden.

Karena setiap agama mewartakan nilai-nilai transenden, dan fokus pada dunia yang lebih tinggi, maka niscaya setiap agama memerlukan dan memakai metafora dalam menyampaikan pesan-pesan dan ajaran-ajaran.

Tentu ada metafora yang bagus dan membangun kehidupan dan harapan, tapi ada juga metafora yang buruk dan membinasakan kehidupan. Cerdas dan bijaklah dalam memilah-milah metafora.

Jelaslah bahwa jenis-jenis sastra kreatif imajinatif pun, misalnya kisah metaforis Taman Eden, atau perumpamaan-perumpamaan Yesus yang oleh sejumlah kritikus sastra dinamakan fiksi-fiksi puitis, dengan bebas dan riang dipakai Tuhan untuk menyampaikan firman-firman-Nya, kalam-kalam-Nya, untuk menuntun manusia dan memberitakan kehendak-Nya.

Tuhan pastilah berkenan hadir dan bersabda baik lewat kisah-kisah prosais faktual maupun lewat kisah-kisah kreatif fiksional imajinatif puitis dan lewat berbagai media komunikasi lainnya yang tentu saja terus bertambah banyak dari zaman ke zaman.

Jadi, tidaklah pada tempatnya jika kita memaksa dan membatasi Tuhan yang mahakreatif untuk menyampaikan firman-Nya hanya lewat fakta-fakta atau lewat kisah-kisah nyata atau kisah-kisah sejarah saja.

Jika anda memaksa Tuhan untuk berfirman dengan terbatas hanya lewat fakta-fakta atau lewat kisah-kisah sejarah, maka anda telah menjadi suatu tuhan bagi Tuhan yang mahakreatif, mahatahu dan mahatakterbatas. Anda mengatur Tuhan. Anda mendikte Tuhan. Anda mengurung Tuhan dalam sebuah ide sempit anda. 

Bukan teks sains

Oh ya, perlu diingatkan bahwa hanya sains atau ilmu pengetahuan yang harus dibangun berdasarkan fakta-fakta atau bukti-bukti empiris, dan selalu terbuka untuk diverifikasi kembali pada masa-masa selanjutnya.

Nah, jika ada orang yang mengharuskan teks-teks keagamaan apapun, baik yang skriptural maupun yang bukan-skriptural, sebagai teks-teks tentang fakta-fakta empiris, maka mereka telah memperlakukan teks-teks keagamaan tersebut sebagai teks-teks ilmu pengetahuan. Ini ibarat menyamakan sebuah puisi dengan persamaan matematis.

Apakah betul kitab-kitab keagamaan adalah kitab-kitab tentang ilmu pengetahuan modern? Orang yang berakal dan mengenal ilmu pengetahuan pasti akan menyatakan: Oh tentu bukan!

Selain itu, jika anda menyatakan bahwa teks-teks keagamaan anda adalah teks-teks ilmu pengetahuan, maka, sejalan dengan sifat ilmu pengetahuan, teks-teks keagamaan anda itu harus tunduk pada metode-metode rasional pengujian untuk menunjukkan kebenaran atau ketidakbenarannya. Apakah anda mau melakukannya? Saya yakin, anda tidak akan melakukannya sebab anda sudah tahu apa hasilnya nanti.

Ya tentu sudah ada orang lain yang mencoba membangun argumentasi dan mengajukan bukti-bukti bahwa teks-teks keagamaan mereka adalah teks-teks ilmu pengetahuan, teks-teks tentang fakta-fakta ilmiah. Mereka yang melakukan ini, sebetulnya hanya mencocok-cocokkan dengan paksa teks-teks keagamaan dengan potongan-potongan ilmu-ilmu pengetahuan. 

Saya menyebut praktek semacam itu sebagai cocokologi yang sebetulnya sangat merugikan agama apapun dan membuatnya cuma mengekor sains, selain melelahkan para agamawan./3/

Sejauh ini, setahu saya, usaha cocokologi dan usaha men-sains-kan agama selalu dipatahkan atau digagalkan oleh peninjauan ulang dengan cermat lewat metode-metode keilmuan yang dilakukan para saintis atau oleh orang yang tahu ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan tentang teks-teks keagamaan.

Alih-alih berargumen di jalur ilmu pengetahuan, para agamawan apologet itu sebetulnya membangun pseudosains alias ilmu pengetahuan gadungan. Banyak orang dengan tanpa mereka sadari telah masuk ke dalam perangkap gelap pengetahuan gadungan ini. Mereka belum melek ilmu pengetahuan.

Nah, mari sekarang kita fokus pada kisah Taman Eden (Kejadian 2:4b-3:24) yang segera saya telisik lewat akal sehat, akal ilmiah dan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan tentang teks-teks keagamaan. 

Dalam studi kritis sumber-sumber sastra Pentateukh, khususnya kitab Kejadian, bagian yang mengisahkan Taman Eden diasalkan pada para pujangga Yahwis dalam lingkungan istana kerajaan Daud di abad ke-10 SM. Sebutan Yahwis diberikan kepada mereka berhubung mereka menamakan Allah sebagai Yahweh atau YHWH, atau TUHAN (dalam TB LAI).

Memeriksa kisah Taman Eden

Hanya dalam kisah imajinatif saja, ada sepasang manusia purba, lelaki dan perempuan, yang tidak memiliki pusar sama sekali karena tidak pernah menjadi janin dalam rahim seorang ibu, berhubung keduanya diciptakan langsung besar. (Kalaupun keduanya diciptakan sebagai sepasang bayi yang juga tak mempunyai pusar, kedua bayi ini akan pasti mati karena tak ada induk yang dapat menyusui dan memelihara mereka.)

Rabalah perut anda, dan rasakan apakah anda memiliki sebuah pusar; kempot ke dalam atau bodong keluar, tak masalah. Kalau anda keturunan langsung Adam dan Hawa dalam kisah teologis etiologis kitab Kejadian, haruslah perut anda juga tidak memiliki pusar. Anda ternyata keheranan, dari mana asal-usul paling awal udel anda, bukan? 

Semoga anda langsung tersadarkan bahwa andalah manusia yang real, sedangkan Adam dan Hawa adalah dua makhluk naratif yang kini ditafsirkan sebagai representasi simbolik umat manusia universal, bukan sebagai dua sosok individual manusia primordial. 

Memandang sosok-sosok Adam dan Hawa dalam Kejadian 2:4b-3:24 sebagai dua individu manusia hanya akan memunculkan banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab ketika kita membaca teks-teks dalam banyak pasal selanjutnya dalam kitab Kejadian.

Hanya dalam metafora simbolik saja, manusia perempuan muncul dari satu tulang rusuk lelaki, sementara semua tulang rusuk pria hingga kini selalu komplit. Tulang rusuk adalah suatu ungkapan simbolik, bahwa kedua insan ini sepadan, setara, bermitra. Menurut The New Oxford Annotated Bible, RSV, dibuatnya Hawa dari tulang rusuk Adam menggambarkan ada keserupaan, hubungan, harmoni yang dalam (deep affinity) antara manusia pria dan manusia wanita. Jadi, Hawa bukan budak Adam, juga tidak berstatus lebih rendah dibandingkan Adam. Hawa dan Adam satu tulang.

Menurut sains, Homo sapiens moyang kita bukan muncul pertama kali di Taman Eden sebagaimana dikisahkan dalam kitab suci Ibrani, melainkan di suatu tempat di Afrika, 300.000 tahun yang lalu setelah memakan waktu sangat panjang evolusi hominin-hominin, sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti arkeologis dan genetik./4/

Keterangan pada satu paragraf di atas perlu saya perluas terkait kesimpulan suatu studi mutakhir tentang teori Keluar dari Afrika.

Para arkeolog dan genetikus sepakat bahwa manusia beranatomi modern Homo sapiens berasal dari suatu tempat di Afrika kurang lebih 300.000 tahun lalu. Gerakan populasi keluar dari Afrika (Out of Africa expansion”) untuk mengkoloni tempat-tempat lain di Bumi berlangsung kurang lebih 60.000 hingga 70.000 tahun lalu. Pengetahuan-pengetahuan ini didukung rekam jejak fosil-fosil yang menyimpan data DNA kuno (ancient DNAatau aDNA”) kromosom-Y (yang mengikuti garis silsilah patrilineal) dan genom mitokhondrial (yang mengikuti lini silsilah matrilineal).

Sebelum meninggalkan Afrika, populasi Homo sapiens berputar dari Afrika Timur ke Afrika Barat kurang lebih 60.000 tahun lalu, sehingga terjadi pemisahan moyang orang Afrika dan moyang orang non-Afrika. Perpindahan ini mungkin juga membuat orang Afrika Barat dan orang Afrika Timur terhomogenisasi, selain juga mendekatkan orang Afrika Barat dan orang Eurasia.



Perpindahan internal dan keluar dari Afrika. Sumber gambar: SciTechDaily.


Skenario migrasi internal dalam benua Afrika ini dibangun oleh suatu tim studi mutakhir berdasarkan data autosomal DNA (yaitu DNA yang berasal sekaligus dari ayah dan ibu). Studi ini dijalankan dengan menggunakan suatu metode inovatif yang menggabung teknik AI jejaring-jejaring neural atau artificial neural networks (yang kini telah diberi nama baru Deep-Learning AI) dan statistik./5/

Ada lagi hal baru yang perlu saya bagi tentang nenek moyang langsung Homo sapiens. 

Tim peneliti Mirjana Roksandic dkk baru saja membuat suatu rekonstruksi alternatif pohon evolusi biologis spesies-spesies hominin yang akhirnya memunculkan spesies Homo sapiens./6/

Dengan menganalisis kembali fosil-fosil berbagai spesies Homo yang berasal dari kurun 774.000 hingga 129.000 tahun yang lalu (yang dulu dikenal sebagai zaman Pleistosin Tengah, yang kini diganti dengan nama zaman Chibanian), mereka mengajukan suatu spesies baru Homo bodoensis yang menurut mereka menjadi nenek moyang langsung Homo sapiens.

Nama spesies Homo bodoensis diciptakan mengikuti nama lokasi penemuan suatu tengkorak yang berusia 600.000 tahun, di kawasan Bodo D'ar di Ethiopia pada tahun1976. Spesies baru H. bodoensis menyerap sekaligus dua spesies Homo yang sebelumnya diberi nama Homo heidelbergensis dan Homo rhodesiensis.



Gambar Homo bodoensis, karya Ettore Mazza. Sumber gambar: LiveScience.


Dua spesies Homo bodoensis dan Homo sapiens membentuk suatu cabang sendiri dari pohon keluarga Homo, yang berbeda dari cabang lainnya yang memunculkan Homo Neanderthal dan Denisovan yang penuh misteri. Bukti fosil-fosil dari Siberia dan Tibet menyarankan bahwa Denisovan hidup dalam kurun yang sama dengan sepupu-sepupu Neanderthal mereka.



Homo neanderthal, karya Mauro Cutrona. Sumber gambar LiveScience. Neanderthal punah 30.000 tahun lalu, dan penyebab-penyebabnya masih terus diperdebatkan. Salah satu dugaan, mereka punah karena kawin-silang mereka dengan Homo sapiens melahirkan sangat sedikit keturunan.


Mari kita kembali ke Taman Eden. Hanya dalam kisah teologis saja ada sebatang pohon moral yang menurut kisahnya tumbuh di tengah Taman Eden, yang jika buahnya dimakan, si pemakan akan langsung cerdas, minimal cerdas secara moral, yang pada saatnya juga akan melahirkan ilmu pengetahuan, tanpa perlu melewati proses panjang pembelajaran!

Sama seperti sekeping biji ketika dilempar ke tanah keesokan harinya telah tumbuh seketika menjadi sebatang pohon bayam yang puncaknya sampai ke langit, yang bisa membawa seseorang ke suatu negeri kaya raya di atas awan-awan dan yang bisa membuatnya kaya raya dalam sekejap! 

Kisah tentang sekeping biji ini tentu saja dongeng ciptaan Hans Christian Andersen yang sangat menawan kanak-kanak, yang sesudah dikisahkan kepada mereka menjelang tidur malam, mereka langsung tertidur.

Anda tentu teringat kisah dongeng yang serupa dalam bagian akhir kitab Yunus dalam Tanakh Yahudi, tentang sebatang pohon jarak yang tumbuh tinggi dan mengeluarkan daun-daun lebat dan lebar hanya dalam semalam! Yunus murka kepada Allah dan minta mati, ketika pohon jarak itu, yang daun-daun lebarnya dijadikannya tempat berteduh dari sengatan cahaya Matahari, dibuat mati oleh Allah!

Hanya dalam narasi imajinatif saja ada seekor ular berkaki, yang cerdas dan bisa berbicara bahkan berhasil meyakinkan manusia, dalam hal ini Hawa, tentang sebuah kebenaran yang konon hanya Allah saja yang tahu.

Hanya dalam metafora teologis saja, curiosity atau rasa ingin tahu yang besar pada diri Hawa yang mendorongnya memetik dan memakan buah pohon moral itu, harus dikutuk dan dijadikan alasan untuk menghukum manusia. Padahal, seperti ditulis dalam Kejadian 3:6, Hawa melihat buah itu memberi pengertian (teks TB LAI), atau membuat manusia bijaksana (teks NRSV, to make wise; Ibrani: lehaskîl, לְהַשְׂכִּיל).

Padahal, dari sudut lain, kita dapat melihat Hawa sebagai sosok feminin pemberani, sang hero primordial, yang mendobrak palang pintu masuk ke dunia kearifan dan pengetahuan, baik pengetahuan etis maupun, di kemudian hari, pengetahuan ilmiah yang harus ditemukan mana yang benar dan mana yang keliru lewat metode-metode keilmuan.

Dalam dunia real modern, curiosity selain kebutuhan survival manusia, membuat sains maju dan terus berkembang di tangan manusia-manusia yang berakal, cerdas dan pemberani, seperti dicontohkan oleh perempuan Hawa dalam metafora Taman Eden.

Baiklah kita tahu, sama seperti dalam kisah skriptural Taman Eden, seorang suci Santo Augustinus (354-430 M), yang dipuja dalam gereja dari abad ke abad, dengan terbuka mengutuki rasa ingin tahu atau kuriositas. Tulisnya, 

“Ada satu bentuk godaan lagi, bahkan lebih berbahaya, yakni penyakit ingin tahu. Rasa ingin tahu inilah yang selalu mendorong kita untuk mencoba menemukan misteri-misteri alam, misteri-misteri yang sebetulnya berada di luar kemampuan kita untuk memahaminya, yang hanya akan membuahkan kesia-siaan jika dicari, yang seharusnya manusia tidak ingin pelajari.”/7/

Bandingkan ucapan Augustinus itu dengan ucapan sosok terkenal di dunia modern, Neil Armstrong. Katanya, 

“Misteri menciptakan rasa takjub dan rasa takjub ini adalah dasar keinginan manusia untuk memahami.

Dua ucapan yang berbeda jauh, bukan?

Sebagai sosok penganut fideisme (“hanya iman yang benar”) tokoh besar reformasi gereja di Jerman abad ke-16, Martin Luther, pernah menyatakan hal yang serupa dengan ucapan Augustinus di atas. Luther menulis bahwa, “Semua pasal pengakuan iman Kristen kita yang Allah telah wahyukan di dalam Firman-Nya, jika diperhadapkan pada akal, akan sungguh-sungguh mustahil, absurd, dan salah”, dan lagi, “Akal sama sekali tak menyumbang apapun kepada iman.... Sebab akal adalah musuh terbesar iman; akal tak pernah membantu hal-hal spiritual.”

Oleh Luther, akal yang mendorong manusia untuk mencari dan menemukan, untuk memuaskan kuriositas, dinilai sangat negatif. Ya sudahlah. Itu urusan Luther.

Well, hanya dalam kisah teologis 
antropomorfis saja Allah punya tubuh, kaki, tangan, kepala, rambut, mata, alis, hidung, telinga dan mulut, sehingga membuat-Nya bisa berjalan-jalan di Taman itu mencari-cari Adam dan Hawa, melihat-lihat, pada hari yang sejuk.

Saya sedang membayang-bayangkan, jika Allah ini muncul dan berjalan-jalan dalam taman ini, bagaimana penampilannya? Soalnya, mustahil kita membayangkan Tuhan yang tak terbatas, yang mahahadir, tampil berjalan-jalan di sebuah taman sambil mencari-cari sebagai satu sosok seperti manusia.   

Bayang-bayangan ini muncul dalam benak saya, ya karena kisah Taman Eden mengisahkan Allah secara antropomorfis, yakni dengan memberi bentuk dan sifat insani pada Allah yang pada hakikatnya non-insani, transenden. Bahkan dalam kitab Daniel, Allah dimetaforakan secara antropomorfis sebagai sosok “Yang Lanjut Usia” (Daniel 7:13). Maksudnya, sosok yang sudah luarbiasa berpengalaman, jadi pasti bijaksana. Saya tidak tahu, berapa usia sosok ini dalam pikiran penulis kitab Daniel.

Baiklah dipahami bahwa antropomorfisme teologis memang tak terelakkan, sebab manusia bisa berpikir dan berimajinasi tentang Tuhan hanya dalam bahasa-bahasa verbal dan nonverbal insani. Tapi juga bisa dielakkan, dengan mengambil sikap hening, tak bersuara, dan tak berbahasa, dengan membangun teologi hening atau teologi meditatif, atau teologi apofatik yang menolak setiap penggambaran dan pendefinisian Tuhan./8/

Baik kita bertanya. Kenapa Allah mencari Adam dan Hawa? Karena keduanya, sehabis memakan buah ajaib itu, ketakutan lalu mencari tempat bersembunyi, menghilang dari pandangan Allah, lantaran mereka baru tahu dan sadar bahwa mereka bugil. 

Kesadaran dan pengenalan diri

Sebelum memakan buah pohon moral atau buah pohon kearifan itu, keduanya tidak mengenal diri mereka sendiri, tidak menyadari keadaan diri mereka sendiri. 

Memakai ungkapan teks Kejadian sendiri, setelah memakan buah pohon kearifan itu mata mereka terbuka (Kejadian 3:4-5,7), dalam arti mereka jadi memiliki self-awareness dan self-knowledge. Setelah memakan buah ajaib itu, buah pohon kearifan, barulah kesadaran diri dan pengenalan diri mereka punyai. Sebelum memakan buah itu, mata mereka tertutup, dalam arti mereka tak menyadari dan tak mengetahui diri mereka sendiri.

Tentu saja, tidak ada buah ajaib yang dapat berkhasiat seperti itu. Dari mana sebetulnya kesadaran diri dan pengenalan diri manusia timbul dan berkembang? 

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus berpaling ke neurosains, ilmu kognisi, dan psikologi. Para pujangga Yahwis belum tahu tiga ilmu pengetahuan modern ini. Mereka hanya berkisah, dengan imajinatif. Nanti akan kita temukan, mereka berkisah dengan tidak konsisten. Ya, tak apalah.

Nah, hanya dalam kisah imajinatif saja seorang manusia lelaki dan seorang manusia perempuan sebagai sang isterinya, yang keduanya bugil total, tidak terangsang secara seksual satu sama lain, sekian lama, bahkan masing-masing tidak menyadari kalau keduanya telanjang bulat.

Tentu, pranata perkawinan yang dibangun seorang lelaki (Ibrani: ishdan seorang perempuan (Ibrani: ishshah)
sama sekali tak terpikirkan oleh dua insan primordial dalam kisah metaforis Taman Eden, alias belum ada. Jadi catatan dalam Kejadian 2:24-25 mencerminkan pranata perkawinan dalam masyarakat para pujangga Yahwis di abad ke-10 SM.

Saya kutipkan teks Kejadian 2:24-25 (TB LAI) yang menyebut pranata perkawinan yang oleh para pujangga Yahwis, dengan anakronistik, diasalkan di Taman Eden. Berikut ini.

“Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi tidak merasa malu.

Bagi para pujangga ini, ihwal “telanjang tapi tidak merasa malu dialami dalam suatu pranata perkawinan yang tentu saja belum dikenal Adam dan Hawa dalam kisah Taman Eden. Sebaliknya, sebelum memakan buah ajaib pohon moral, keduanya tidak menyadari dan tidak mengetahui kalau mereka telanjang.

Hanya dalam kisah imajinatif saja, Adam dan Hawa, manusia lelaki dan manusia perempuan, setelah sekian lama hidup bersama baru sadar bahwa keduanya telanjang bulat setelah memakan buah ajaib tadi.

Berapa tahun manusia dapat hidup?

Hanya dalam kisah primordial saja ada manusia, atau Adam, yang berusia sampai nyaris seribu tahun, dengan tetap muda dalam jangka waktu yang sangat panjang. Dalam Kejadian 5:5, ditulis Adam wafat pada usia 930 tahun.

Mari kita perhatikan Mazmur 90 yang diasalkan pada Musa sebagai doanya. Pada ayat 10 ditulis bahwa masa hidup manusia umumnya 70 tahun, dan jika kuat dapat sampai 80 tahun. 

Siapa penulis sebenarnya Mazmur 90 ini? Ada penafsir yang menyatakan kita tidak dapat tahu siapa penulis aslinya. Ada juga penafsir lain yang berpendapat bukan Musa penulisnya, tetapi orang lain di zaman yang lebih kemudian. 

Baiklah, kita terima saja bahwa penulis Mazmur 90 adalah nabi Musa. Nah, menurut tradisi Yudaisme rabbinik, seperti termuat dalam talmud Seder Olam Rabbah yang ditulis sekitar tahun 160 M oleh Yose ben Halafta, Musa hidup di tahun 1391 sampai tahun 1271 SM (jadi Musa hidup selama 120 tahun. Lebih dari 80 tahun ya.).

Jelas, dibandingkan kisah Taman Eden yang ditulis pada abad kesepuluh SM, Mazmur 90 ditulis lebih dulu, di abad ketigabelas SM. Sekali lagi, Mazmur 90:10 menempatkan umur manusia dalam kisaran 70 hingga 80 tahun, tidak mungkin mencapai 1.000 tahun. 

Sekarang bacalah Mazmur 90:12. Di situ ditulis bahwa jika kita menyadari umur kita pendek (“berlalu buru-buru”), dan kita mengisinya dengan sebaik-baiknya (“menghitung hari-hari hidup sedemikian”), maka kita akan memperoleh hati yang bijaksana (Ibrani: ləḇaḇ ḥāḵmāh, לְבַ֣ב חָכְמָֽה).

Jadi, ya tidak ada sosok individual Adam yang masa kehidupannya nyaris mencapai 1.000 tahun. Selain itu, dalam umur yang pendek atau wajar, 70-80 tahun, manusia dapat tumbuh menjadi insan yang berhati arif.

Jangan lupa, dalam dunia nyata, karena hukum kedua termodinamika entropi yang bekerja dalam semua sistem, termasuk sistem biologis insani, semua orang lambat-laun akan memasuki masa tua lalu uzur karena waktu yang terus berjalan. Nanti, di bawah, tentang entropi, saya akan memberi penjelasan yang lebih banyak.

Sebuah studi mutakhir umur manusia

Ada sebuah studi mutakhir tentang orang-orang yang berusia sangat panjang di zaman modern ini, yaitu orang yang berusia mencapai 110 tahun atau lebih (mereka dinamakan “supersentenarian”) dan yang mencapai 105 tahun atau lebih (kalangan “semi-supersentenarian”).

Laporan tim studi ini, yang dipimpin pakar statistik dari Swiss Federal Institute of Technology in Lausanne (EPFL), Prof. Anthony Davison, telah diterbitkan dalam jurnal Royal Society Open Science, 29 September 2021./9/

Tim studi memakai data yang baru dirilis International Database on Longevity (IDL) yang mencakup 1.100 orang supersentenarian dari 13 negara; juga data dari Italia terkait setiap orang yang sudah mencapai usia minimal 105 tahun dalam bulan Januari 2009 sampai Desember 2015.

Setelah semua data statistik yang tersedia dianalisis, dan tren umur dan mortalitas yang ditemukan diasumsikan (atau di-ekstrapolasi) akan terus berlanjut dalam abad ke-21 ini, tim tersebut menyimpulkan bahwa manusia mungkin dapat hidup dalam abad ini sedikitnya sampai usia “supertua” 130 tahun, mungkin juga lebih.

Tetapi peluang untuk dapat hidup supertua ini “sangatlah kecil” (“vanishingly small”), kurang dari 1 dalam 1 juta.

Jadi, usia supertua bukan cuma tidak mungkin, tapi juga sangat tidak mungkin. Selain itu, berhubung tidak ada kemajuan-kemajuan besar dan signifikan dalam kesejahteraan sosial dan ilmu medik, usia supertua tidaklah mungkin pernah dapat diobservasi, dan sangat tidak mungkin dialami di masa depan yang dekat ini.

Sebagai info tambahan, sampai saat ini (2021) usia 122 tahun dicapai Jeanne Calment, seorang perempuan Prancis, yang wafat 1997. Di Jepang, Kane Tanaka masih hidup hingga kini dalam usia 118 tahun.

Pohon kehidupan kekal dijaga

Kita lanjutkan. Hanya dalam metafora teologis saja ada sebuah pohon lain di sebelah timur Taman Eden yang jika buahnya dimakan, Adam dan Hawa akan hidup abadi, sehingga konon Allah menempatkan beberapa malaikat berpedang bernyala untuk menjaga pohon ajaib kedua ini.

Kita tahu Drakula atau Vampire bisa hidup abadi karena meminum atau menghisap darah manusia, korban-korban mereka. Tapi kita juga sangat tahu bahwa dua makhluk abadi penghisap darah ini hanya hidup dalam dongeng-dongeng dari negeri-negeri Eropa dan Amerika, sama seperti Leak hanya ada dalam dongeng rakyat Bali.

Kita juga tahu ada satu makhluk menyeramkan, monster manusia, yang dibuat dengan menyatukan, lewat jahitan, serpihan-serpihan dan potongan-potongan mayat, lalu dihidupkan kembali dengan tenaga listrik dan petir. 

Tetapi monster manusia ini, yang diciptakan seorang profesor gila yang bernama Frankenstein, hanya ada dalam novel karya Mary Shelley yang edisi keduanya terbit 1831 di Inggris. Pesan novel ini jelas: dengan dijahit, serpihan-serpihan mayat bisa dihidupkan lagi, kematian bukan akhir! Tentu saja, pesan ini hanya berlaku dalam dunia novel imajinatif. Yang faktual adalah keinginan untuk hidup abadi memang ada dalam diri manusia, seperti dikisahkan dalam Epik Gilgamesh yang disusun 5.000 tahun lalu di kawasan Mesopotamia./10/

Cukuplah sudah saya memperlihatkan kepada anda bahwa kisah skriptural tentang Taman Eden dan semua kejadian yang dikisahkan di dalamnya adalah kisah-kisah metaforis teologis, sebuah kisah prosais imajinatif yang dilihat dari jenis sastranya termasuk kisah etiologis atau kisah tentang asal-usul sesuatu.

Ketahuilah, setiap suku bangsa di dunia umumnya memiliki kisah-kisah etiologis mereka sendiri-sendiri, yang berbeda-beda, termasuk kisah-kisah asal-usul moyang-moyang pertama mereka dulu. Kisah tentang Adam dan Hawa dalam kitab Kejadian hanyalah salah satunya saja.

Memahami teks dalam konteks

Poin pentingnya ini: setiap kisah skriptural, juga yang berupa kisah imajinatif atau kisah bayangan yang berjenis metafora, ditulis pasti dengan suatu maksud dan tujuan oleh si penulisnya dulu bagi manusia di dunianya

Nah, apa tujuan penulisan kisah teologis Taman Eden di zaman dan dunia si penyusunnya? Apa isi berita skriptural kisah ini dalam konteks dunia kuno abad kesepuluh SM? Inilah pertanyaan yang benar.

Penulis kisah Tamen Eden dalam Kejadian 2:4b-3:24 adalah para pujangga mazhab Yahwis yang bekerja pada abad kesepuluh SM di istana raja Daud yang memiliki anak lelaki yang bernama Salomo.

Para pujangga ini sudah lama melihat dan  memperhatikan banyak kejadian dan fenomena yang berkaitan dengan lingkungan hidup, manusia, binatang, kerja keras, moralitas, doktrin agama, pranata perkawinan, nafsu berahi, persalinan perempuan, kematian, dan lain-lain.

Baik kita daftarkan. Ada kisahnya. 

Mereka memperhatikan kaum perempuan diperlakukan tidak sederajat dengan kaum lelaki, suatu praktek umum dalam setiap masyarakat patriarkis di dunia kuno. Lelaki berkuasa atas perempuan, termasuk dalam kehidupan perkawinan. Pendidikan diutamakan untuk manusia pria. 

Tanah gersang, tidak subur, dan, kalau ada sesuatu yang tumbuh, umumnya ditumbuhi rerumputan, rumput duri dan semak duri. Akibatnya, dalam masyarakat agraris dengan tanah yang gersang, hidup menjadi berat, susah, dan rejeki sedikit. 

Akibatnya, harmoni dalam masyarakat terancam. Hubungan antarmanusia ditandai ketegangan dan sengketa. Tuding-menuding, saling mempersalahkan.

Ular menjalar. Mengapa tidak memiliki kaki, seperti hewan-hewan lainnya? Ular ditakuti dan dimusuhi manusia, sehingga acapkali berpapasan dengan, atau menemukan, ular, secara naluriah manusia langsung membunuh hewan ini dengan meremukkan kepalanya. 

Ketika mengandung, para ibu mengalami banyak gangguan kesehatan, tubuh dan mental. Ketika melahirkan anak, mereka sangat kesakitan. Tetapi, para pujangga Yahwis tidak seimbang dan tidak objektif ketika mereka menyatakan bahwa perempuan akan berahi kepada lelaki suami mereka. Dalam fakta, umumnya sebaliknya, atau sama-sama berahi satu terhadap yang lain.

Nah, yang paling menimbulkan kepedihan dan penderitaan adalah fakta bahwa manusia yang sudah susah hidup akhirnya mati, lalu dikuburkan, dan kembali ke, atau menyatu dengan, tanah. Mengapa harus menjadi tanah? Mengapa manusia tidak hidup abadi? 

The big question

Semua yang mereka lihat itu, mereka renungi dalam-dalam, dengan banyak tujuan, salah satu di antaranya adalah untuk menemukan jawaban atas pertanyaan besar insani: Mengapa ada penderitaan dalam dunia ini, apa penyebab atau sumber kesengsaraan dan kematian manusia? Ini adalah salah satu big questions ketika manusia hidup kapanpun dan di manapun./11/ 

Itu juga sebuah pertanyaan besar yang sangat mengganggu pikiran pangeran Śākyamuni Siddhārtha Gautama di tempat dan zaman yang lain (563-483 SM) yang membuatnya meninggalkan istana kerajaan ayahnya, lalu masuk ke dalam kehidupan tapa brata untuk mencari jawaban-jawaban yang dapat membebaskan manusia dari kesengsaraan atau dukkha.

Kata sanskrit dukkha secara harfiah berarti rasa pedih yang ditimbulkan oleh cucukan ujung-ujung tulang dan serpihan-serpihan tulang yang tajam pada daging yang mengitarinya ketika tulang paha seseorang patah di dalam.

Siddhartha Gautama bermeditasi cukup lama, sampai akhirnya dia tercerahkan, menemukan sendiri hal-hal apa saja yang menjadi sumber dan akar dukkha dan jalan-jalan untuk membebaskan diri sendiri dan orang lain dari dukkha.

Penemuan-penemuan Gautama Buddha ini ditawarkannya kepada banyak orang, dan oleh para pengikutnya kepada dunia luas. 

Menurut Gautama Buddha yang sudah mengalami pencerahan budi, ada Empat Kebenaran Mulia, yakni:

• Penderitaan itu ada
• Penyebab penderitaan itu ada
• Penderitaan dapat diakhiri
• Ada jalan untuk mengakhiri penderitaan

Jika empat kebenaran tersebut diterima dan dipahami seseorang, maka orang ini menjadi orang yang mulia, luhur dan agung.

Gautama Buddha menunjukkan Delapan Jalan Mulia untuk mengakhiri penderitaan, yakni:

• Berpandangan benar
• Berkeinginan benar
• Berbicara benar
• Bertindak benar
• Hidup benar
• Berupaya benar
• Berkesadaran benar
• Berkonsentrasi benar

Jalan pertama dan kedua termasuk hikmat (sanskrit: prajnā); jalan ketiga, keempat dan kelima termasuk moralitas (Sanskrit: sīla); jalan keenam, ketujuh dan kedelapan termasuk meditasi (Sanskrit: samādhi).

Jika orang dapat dengan sungguh-sungguh menjalankan delapan jalan tersebut, mereka ini menjadi mulia, agung dan luhur, dan penderitaan tak berkuasa lagi atas diri mereka. 

Ya, mereka telah mencapai Nirwana (Sanskrit: Nirvāna; Pali: Nibbāna, artinya “tanpa jalan kelahiran kembali”). Yakni, keadaan terbebas dari penderitaan, keadaan telah padamnya api keserakahan, kebencian dan perasaan diri sebagai orang besar, keadaan telah lepas dari siklus impermanensi, nafsu dan keinginan, dukkha, kelahiran kembali dan ketiadaan bentuk (secara keseluruhan disebut siklus samsara atau siklus ketidaktahuan atau avidya). Mereka masuk ke dalam kebahagiaan tertinggi, dan kesengsaraan kematian tak berkuasa lagi atas mereka.

Nah, bagaimana dengan para pujangga Yahwis di istana raja Daud pada abad kesepuluh SM? Apa jawaban mereka? Apa jalan keluar yang mereka ajukan? 

Mereka, para sastrawan Yahwis ini, memberi jawab dengan menulis kisah tentang asal-usul atau etiologi teologis yang sepenuhnya imajinatif meski tetap memanfaatkan hal-hal nyata yang ada di sekitar mereka dan yang mereka lihat dan renungkan. 

Dus, kisah Taman Eden historisnya tidak dimulai di permulaan kehidupan di zaman yang sangat lampau, tetapi dimulai di abad kesepuluh SM di negeri Israel.

Para sastrawan Yahwis ini menemukan satu jawaban teologis sangat sederhana dan satu dimensi bahwa semua penderitaan manusia adalah akibat dari ketidaktaatan Hawa dan Adam terhadap ketetapan primordial Allah! 

Padahal, kalau kita cari penyebab mengapa manusia menderita dan harus mati pada akhir waktu kehidupan masing-masing, kita akan menemukan ada sangat banyak faktor penyebab duka, derita, dan kematian. Bukan disebabkan oleh  “kejatuhan” Hawa dan Adam.

Menurut hukum kedua termodinamik, dengan bergeraknya waktu ke depan (the arrow of time), entropi (dari kata Yunani trepein, artinya mengubah, to change, to transform) dalam semua sistem, termasuk sistem biologis tubuh kita, makin meningkat sampai akhirnya sistem ini tidak tertata lagi (mengalami disorder), makin acak (random), makin kacau (chaotic), lalu ambruk, runtuh, atau mati (collapse)





Entropi sebagai potensi ketaktertataan, keacakan, kekacauan dan keruntuhan, yang makin meningkat sejalan dengan gerak waktu ke depan, adalah penyebab orang lambat-laun menjadi tua, tubuh menjadi ringkih, sistem biologis terganggu sehingga tidak bisa bekerja sinkron dan terkoordinasi lagi, lalu kehidupan berakhir dengan keruntuhan dan kematian. 

Ya, sudah jelas, entropi adalah penyebab fisika penderitaan dan kematian manusia. Pemendekan telomer-telomer dan aktivitas sel-sel uzur (senescent cells) dalam biologi manusia, terjadi juga karena entropi. Hukum-hukum fisika bekerja dalam aktivitas aksi-reaksi neuron-neuron dalam organ otak kita yang mengatur kerja dan fungsi organ-organ tubuh kita, jejaring sel-sel hingga ke unit-unit paling dasar tubuh kita.

Entropi sudah bekerja ketika jagat raya baru tercipta lewat big bang 13,8 milyar tahun lalu, yang disusul dengan terciptanya galaksi-galaksi, bintang-bintang dan planet-planet dan berbagai fenomena dan material-material kosmik lainnya. Dalam jagat raya yang terus-menerus mengembang dengan makin cepat karena daya kerja dark energy, entropi juga terus bekerja---ini memang menimbulkan sebuah teka-teki keilmuan.  

Well, s
elain etiologi, para pujangga Yahwis juga mengajukan teleologi: tujuan akhir kehidupan manusia adalah kematian, sebagai suatu akibat yang niscaya dari ketidaktaatan Adam dan Hawa! Ya, betapa sendu dan pesimistik konten kisah yang mereka tuturkan.

Kalau Gautama Buddha, setelah dia tercerahkan dan menemukan akar-akar timbulnya penderitaan, memberikan jalan-jalan keluar dari penderitaan yang musti dijalankan sendiri dengan berdisiplin oleh orang-orang yang mau mendengarkannya, para sastrawan Yahwis ini sama sekali tak memberi jalan keluar apapun, selain rasa putus asa yang dalam dan rasa tak berdaya terhadap kemalangan manusia, Bumi dan organisme-organisme lainnya.

Para sastrawan ini hanya memberikan etiologi dan teleologi yang suram, sendu, fatalistik, tapi tak menawarkan soteriologi, yaitu doktrin (Yunani: logos) tentang ihwal bagaimana manusia bisa mencapai keselamatan (Yunani: sōtēria), terlepas dari penderitaan, bahkan dapat hidup abadi.

Seperti telah ditulis di atas, malah, pohon kehidupan yang ada di sebelah timur Taman Eden, yang buahnya, menurut kisahnya, dapat membuat manusia hidup abadi jika memakannya, atas kemauan Allah telah dijaga oleh beberapa kerub yang memegang pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, supaya Adam dan Hawa tidak dapat mendekati untuk memetik dan memakan buahnya (Kejadian 3:22-24).

Nah, perlu diulangi, salah satu hal yang para sastrawan ini selalu temukan dan amati pada abad kesepuluh SM adalah kenyataan bahwa ketika setiap manusia mati, lalu mayatnya dikuburkan, mayat ini segera mulai membusuk lalu perlahan menjadi satu dengan tanah.

Dari pengamatan ini, mereka lantas menyimpulkan: kalau mayat akhirnya menyatu dengan tanah atau menjadi bagian dari tanah/Bumi, sudah mustinya manusia berasal pada awal sekali dari tanah, dari debu tanah, dari Bumi! Nah, itulah yang mereka telah tulis dalam Kejadian 2:7; 3:19.

Itulah cara berpikir siklikal yang umum ditemukan dalam masyarakat agraris zaman kuno, yang hidup di bawah kendali musim-musim yang datang dan pergi silih berganti, sebagai suatu siklus yang abadi. 

Tentu saja, sains modern yang telah menemukan bahwa DNA adalah unit-unit dasariah struktur kimiawi atau makromolekul esensial pembentuk kehidupan, the building blocks of life, belum muncul ketika metafora skriptural Taman Eden ditulis. 

DNA (Deoxyribonucleic acid) adalah asam nukleat yang memuat informasi-informasi genetik yang digunakan untuk mengembangkan dan mengfungsikan semua organisme hidup yang dikenal. Segmen-segmen DNA yang membawa informasi genetik ini disebut gen. Bersama RNA dan protein, DNA adalah salah satu dari tiga makromolekul yang esensial bagi semua bentuk kehidupan yang dikenal. 

Nah, kalau anda ingin memasukkan unsur DNA ke dalam kisah-kisah suci tentang asal-usul manusia, anda perlu menyusun kisah yang sama sekali berbeda dari kisah Taman Eden skriptural.

Tapi, para pujangga Yahwis itu tidak hanya menulis kisah teleologis yang suram tentang akhir kehidupan manusia. Syukurlah, ada sekian pesan besar dan penting yang mereka telah tulis dalam kisah Taman Eden.

Pesan-pesan penting

Suatu kisah yang bisa berbicara kepada lebih dari satu kalangan, kisah yang multidireksional, lebih bagus ketimbang suatu kisah unidireksional, ditujukan hanya ke satu arah atau satu kalangan.

Nah, karena metafora Taman Eden ditulis oleh para pujangga istana kerajaan Daud, mustinya ada juga pesan-pesan dalam kisah ini yang dikhususkan bagi raja Daud dan puteranya Salomo. 

Ya, ada. Sebagai raja dalam kerajaan teokratis Yahudi kuno, Daud dan Salomo lewat kisah Taman Eden diperingatkan bahwa di atas mereka ada TUHAN atau Yahweh yang harus ditaati. Jika mereka melupakan hal ini, dan berambisi untuk menyetarakan diri mereka dengan TUHAN, pada akhirnya mereka akan menemukan diri mereka telanjang, tak memiliki apa-apa, dan hidup mereka menjadi aib, tak bernilai, bercacat, najis dan menimbulkan rasa malu yang harus ditutupi. 

Selain itu, tampaknya para pujangga istana ini memiliki empati yang besar pada kaum perempuan yang di dunia kuno agraris umum diperlakukan tidak setara dengan kaum pria dalam segala bidang kehidupan.

Mereka menampilkan dua sisi dari satu koin kedudukan perempuan. 

Ya, kaum perempuan memang mereka lihat dan ketahui berstatus lebih rendah dari kaum pria. Dalam hal ini, para pujangga tersebut bersikap konservatif. Ini suatu fakta sosiologis kultural yang mereka cuma bisa terima, tapi sekaligus mereka mau arahkan dan bentuk ulang. 

Maka, pada sisi lainnya, bagi para pujangga Yahwis, kaum perempuan yang diwakili Hawa adalah juga insan-insan pemberani, sehingga merekalah yang lebih dulu mengalami pencerahan moral dengan memakan lebih dulu buah pohon moral yang, dalam pandangan Hawa, memberi pengertian atau kearifan. Ya, dalam hal ini para pujangga istana Daud bersikap progresif.

Selain itu, para pujangga Yahwis itu dengan jelas menyatakan bahwa Hawa adalah penolong yang sepadan bagi Adam, bukan budak Adam, bahkan Hawa adalah tulang Adam dan daging Adam sendiri. (Kejadian 2:18, 23). Mereka begitu progresif dalam zaman mereka sendiri.

Hawa dan ular

Nah, kita perlu soroti sosok Hawa lebih dalam, jadinya. Baiklah. 

Mengapa Hawa memilih mendengarkan ucapan seekor ular, yang berakibat ular juga dihukum TUHAN dengan hanya bisa menjalar di tanah? Tersirat di sini, sebelum kena penghukuman TUHAN sang ular mustinya memiliki kaki, bisa melangkah, tidak menggelosorkan tubuhnya. Tentu saja, ini bukan sebuah jawaban yang datang dari sains evolusi spesies ular.

Well, kita perlu tahu dulu sedikit lebih banyak tentang ular dalam dunia kuno dan dalam banyak mitologi zaman dulu. 

Dalam sejarah dan dalam mitologi-mitologi kuno yang disusun dan dikembangkan dalam kebudayaan-kebudayaan Yunani dan Mesir kuno, juga Kekaisaran Romawi kuno, dan dalam kebudayaan penduduk bumiputera Amerika Utara, dan kebudayaan India dan Tiongkok, dan lain-lain, hewan ular diberi banyak makna simbolik. Antara lain sebagai simbol:

Energi yang besar, seperti terlihat pada perubahan tiba-tiba ular dari posisi kalem melingkar tiduran ke posisi membentang panjang dan tegang, atau ke posisi tegak menjulang penuh kewaspadaan.

Kesuburan, karena tubuh ular yang sebagian membentang tegang dan panjang ke atas, menyerupai organ seksual kaum pria. Banyak kisah mitologis kuno tentang orang-orang besar adiinsani yang dilahirkan dari perempuan-perempuan kalangan bangsawan yang mengandung setelah tubuh mereka dijalari seekor ular sebagai simbolik dewa yang datang dan berhubungan seksual dengan mereka.

Transformasi menuju kehidupan baru dengan melepaskan kulit yang lama, diganti kulit yang baru. Transformasi dialami jika hal-hal yang lama dan sudah usang dilepaskan, dibuang, diganti hal-hal yang baru dan segar.

Kelahiran baru, ketika hewan ular melepaskan kulitnya yang lama setelah melingkar diam tertidur sekian lama, lalu lahir kembali dengan kulit yang baru. Kelahiran kembali berarti juga ular memiliki energi kreatif pemberi kehidupan baru.

Relaksasi dan konsentrasi, ketika ular tiduran melingkar diam, rileks dan sunyi, lalu dapat tiba-tiba berubah sigap, waspada dan berkonsentrasi dengan menjulurkan tubuhnya, tegang dan keras, ke depan, atau menjulang ke atas.

Kebaikan sekaligus keburukan, ketika ular dapat menjadi kawan manusia yang jinak, tetapi juga dapat tiba-tiba mematuk dan membunuh lewat bisa ular yang masuk ke dalam tubuh mangsanya atau korbannya.

Kematian dan kesembuhan, yang keduanya diakibatkan oleh bisa ular. Para ilmuwan telah menemukan bahwa protein-protein pilihan tertentu dalam bisa ular dapat digunakan untuk mengobati banyak penyakit dan berbagai gangguan kesehatan./12/

Kesucian dan kemuliaan para dewa. Dalam banyak mitologi, dewa-dewa tertentu memiliki teman setia berupa seekor ular. Tongkat Dewa Obat dan Penyembuh Asklepius, dari era Yunani kuno, dililiti seekor ular, tongkat simbol otoritas penyembuhan. Pada mahkota firaun-firaun Mesir terdapat emblem ular kobra sungai Nil, simbol kemuliaan dan keagungan. Di India, ular dipandang sebagai hewan suci yang dipuja. Pada leher Dewa Siwa, seekor ular melilitinya.




Ilustrasi Gautama Buddha dipayungi dan dilindungi oleh Raja Kobra di saat dia sedang terbenam dalam keheningan di saat bersamadi di tengah badai dan hujan. Sumber gambar GlobalYogaHub.


Perlindungan, seperti digambarkan dalam kisah Buddhis tentang seekor Raja Kobra (Sanskrit: Naga) yang menudungi Gautama Buddha dengan kubah kepalanya yang sangat besar dan lebar, ketika Gautama Buddha sedang bermeditasi sangat dalam di bawah Pohon Mucalinda, dan badai serta hujan datang menerjangnya. Menurut kisahnya, serangan badai dan hujan ini terjadi di minggu keenam meditasi Gautama setelah dia mengalami pencerahan budi.



Ular, berposisi simbolik infinitas, ketidakberhinggaan.


Keabadian, infinitas, dan siklus kehidupan, kematian dan kelahiran kembali yang tak pernah berakhir seperti disimbolkan oleh Ouroboros (kata kuno Yunani, yang berarti “memakan ekor”, maksudnya ular yang memakan ekornya sendiri)./13/



Ouroboros, ular atau naga simbol keabadian dan siklus kehidupan, kematian dan kelahiran kembali


Wah, ada banyak makna simbolik ular. Jika begitu, apa makna simbolik ular dalam kisah teologis etiologis Taman Eden? 

Sudah pasti, ular dalam kisah Taman Eden tidak bisa ditafsirkan sebagai manifestasi atau penjelmaan Setan, sebab pada abad kesepuluh SM ide tentang Setan belum muncul dalam perbendaharaan pemikiran keagamaan Yahudi. 

Ide tentang Setan baru muncul dalam agama Iran kuno (Persia) Zoroastrianisme yang didirikan nabi Zoroaster yang hidup antara abad ketujuh dan abad keenam SM. Sosok Setan muncul dalam konsep dualisme kosmologis agama ini. Sekian ide dalam eskatologi apokaliptik Yahudi dipinjam dari dualisme kosmologis agama Zoroastrianisme./14/

Pemimpin gereja dari abad 2, Tertullianus, adalah salah seorang pertama yang menafsirkan ular dalam kisah Taman Eden sebagai Setan, ketika dia menegur kaum perempuan Kristen pada masanya dengan sangat tajam. Sebagai gerejawan yang misoginik, Tertullianus menghardik,

Kalian adalah pintu gerbang masuknya Setan ke dalam dunia... kalian adalah Hawa yang membujuk Adam, yang Setan tidak berani serang.... Tahukah kalian bahwa setiap orang dari antara kalian adalah seorang Hawa? Hukuman Allah terhadap gender kalian tetap berlaku dalam zaman ini; begitu juga, kesalahan yang dibuat Hawa bagaimanapun juga tetap ada” (Tertullianus, De Cultu Feminarum I, 12).

Kaum perempuan gereja di zaman sekarang tentu saja menolak hardikan keras Tertullianus tersebut. Jika betul demikian, mereka juga akan tidak dapat menerima apa yang ditulis dalam surat 1 Timotius 2:11-14, demikian:

“Seharusnya perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah dia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa”.

Mendahului Tertullianus, penulis kitab terakhir dalam Perjanjian Baru, yakni kitab Wahyu (yang disusun di akhir abad pertama M), menafsirkan ular primordial atau naga sebagai Setan atau Iblis (Wahyu 20:2), tapi si penulis kitab Wahyu tidak menghardik kaum perempuan di masanya sebagai Setan.

Di dalam sebuah dokumen yang dibeli British Museum pada tahun 1785, yang berjudul Pistis Sofia (ditulis tahun 250 M), misogini bahkan dikatakan juga terdapat dalam diri Rasul Petrus.

Teks Pistis Sofia 72 memuat ucapan Maria Magdalena tentang Rasul Petrus kepada Yesus, demikian,

“Guruku, aku memahami dalam pikiranku bahwa aku dapat maju ke muka kapan saja untuk menafsirkan apa yang Pistis Sofia telah katakan, tetapi aku takut kepada Petrus, karena dia telah mengancam aku dan membenci gender kami.”

Teks Pistis Sofia yang semacam ini tentu dilatarbelakangi suatu persaingan tajam antara rasul-rasul perempuan dan rasul-rasul pria dalam gereja awal dulu. 

Nah, mari kita kembali ke makna simbolik ular dalam kisah Taman Eden yang dapat kita temukan dari teks-teks kisah ini. Mari kita fokus pada persepsi Hawa tentang buah pohon pengetahuan, dan pertimbangan-pertimbangannya, sebelum dia memetik dan memakannya bersama Adam, mengikuti perkataan seekor ular dalam Taman Eden.

Mata Hawa dan Adam terbuka

Menurut para pujangga Yahwis, ular dalam Taman Eden adalah hewan yang “paling cerdik” dibandingkan segala hewan darat lainnya (Kejadian 3:1a, TB LAI).

Kata sifat Ibrani yang oleh LAI diterjemahkan “paling cerdik adalah ārūm (עָר֔וּם). Teks RSV menerjemahkannya dengan “more subtle”; teks NRSV “more crafty”, yang bisa berkonotasi negatif sebagai “lebih lihai” atau “lebih licik  .

Tetapi kata yang sama ārūm dalam, misalnya, Amsal 12:16, 23; 13:16, dll, dengan positif diterjemahkan “prudent” dan “clever” (NRSV, RSV), atau “bijak” atau “cerdik” (TB LAI), yang dilawankan dengan “bodoh” atau “bebal” (kata sifat Inggris “foolish”).

Jadi, kata Ibrani ārūm dalam Kejadian 3:1a juga dapat diterjemahkan “lebih bijak” atau “lebih cermat” atau “lebih banyak pertimbangan”.

Orang jadi teringat ucapan Yesus dalam Matius 10:16, “Hendaklah kamu cerdik seperti ular” jika para pengikut-Nya menghadapi ancaman dari lingkungan mereka. Kata kerja Yunani yang diterjemahkan “kamu cerdik”, dalam bentuk infinitif adalah phronein, yang berarti “to give careful consideration to something” atau “to develop an attitude based on careful thought” (lihat GELNTECL, aka BDAG, by Walter Bauer, F. W. Danker). Jadi, “cerdik” dalam arti seksama dan cermat dalam menimbang-nimbang, berpikir teliti, telaten, dan banyak pertimbangan.

Nah, ketika di Taman Eden Hawa sedang bercakap-cakap dengan ular yang cerdik, Hawa menyatakan bahwa kepadanya telah difirmankan bahwa dia dan Adam tidak boleh memakan buah pohon yang ada di tengah taman, sedangkan buah-buah dari pohon-pohon lain boleh mereka makan. Jika buah pohon yang dilarang dimakan itu, mereka tetap makan juga, maka, kata TUHAN Allah, mereka “akan mati” (Kejadian 3:3).

Tentu saja ihwal mati, hanya para pujangga Yahwis yang tahu, di abad ke-10 SM. Sedangkan, Hawa dan Adam dalam kisah teologis Taman Eden, belum tahu apa itu kematian, belum mempunyai pengalaman melihat orang lain mati, atau pengalaman diri sekarat.

Apapun juga, sang ular selanjutnya mengungkapkan sebuah pengetahuan baru kepada Hawa ketika hewan cerdik ini berkata kepadanya (Kejadian 3:4-5; bandingkan 2 Samuel 14:17), 

“Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui bahwa pada waktu kamu memakannya, matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah (“like God” atau like gods”, Ibrani: kêlōhîmכֵּֽאלֹהִ֔ים), tahu tentang yang baik dan yang jahat (Ibrani: yōḏə‘ê ṭōwḇ wārā, יֹדְעֵ֖י ט֥וֹב וָרָֽע).

Kita telah baca dengan jelas, sang ular memberikan pertimbangan dan sudut pandang yang lain, menyingkapkan sebuah pengetahuan baru yang menantang untuk dimasuki dan dialami, yang akan membawa Hawa ke dalam kawasan lain yang belum pernah dilihatnya, yang akan membuka cakrawala pengalaman dan pengetahuan alternatif, yang lebih luas dan jauh.

Apapun nanti yang akan menjadi reaksi TUHAN yang diarahkan ke Hawa dan Adam, sang ular telah memainkan fungsi sebagai sosok pemberi pengetahuan baru, yang selanjutnya mentransformasi kehidupan Adam dan Hawa, menjadi insan-insan yang bermata terbuka, dalam arti memiliki pengetahuan moral, kesadaran dan pengenalan diri. 

Sosok ular menjadi sosok yang membuat Adam dan Hawa dilahirkan kembali, ke dalam dunia pengetahuan yang sebelumnya hanya dimiliki TUHAN. Sosok ular menjadi sosok pemberi kemuliaan kepada Adam dan Hawa, menjadikan mereka seperti Allah, tahu tentang hal yang baik dan hal yang jahat, setelah mereka memakan buah yang dilarang dimakan. Dalam 2 Samuel 14:17 dikatakan bahwa jika orang dapat memilah mana yang baik dan mana yang jahat, mereka seperti para malaikat Allah.

Tentu saja, sekali lagi, dalam dunia real kapanpun dan dimanapun juga, tidak ada buah ajaib apapun yang berkhasiat memberi pengetahuan moral begitu buah itu dimakan. 

Namun, ada hal yang impresif dalam kisah imajinatif ini, yakni kesadaran moral itu diberi oleh alam, lewat sang ular dan buah pohon moral. Bahwa kesadaran moral insani adalah produk evolusi biologis natural, lewat seleksi alam dan proses pembelajaran alamiah yang pada awalnya simpel, yang dijalani primata dan hominin-hominin hingga munculnya Homo sapiens, telah saya tulis cukup cermat di tahun 2012 yang kini sudah perlu dimutakhirkan./15/

Setelah sang ular menyingkapkan sebuah pengetahuan kepada Hawa, apa reaksi Hawa? Kita baca dalam Kejadian 3:6, didorong rasa ingin tahu, Hawa melihat bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati dan, seperti petunjuk sang ular yang bijak, memberi pengertian atau kebijaksanaan.

Memakai terma masa kini, Hawa melakukan observasi indrawi lebih dulu, lalu menyetujui petunjuk sang ular. Setelah itu, Hawa memetik buah itu, lalu memakannya, mencobanya, dan membaginya ke Adam yang juga memakannya. Observasi dan eksperimen, itulah yang dilakukan Hawa yang hebat. Adam tidak ikut berperan.

Akibatnya, mata mereka berdua terbuka, dan mereka mengetahui bahwa mereka telanjang, dan menyadari, menurut kisahnya, bahwa telanjang itu tak baik, menimbulkan rasa malu, sehingga mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. Ketika TUHAN Allah mencari dan memanggil Adam di hari yang sejuk di taman itu, Adam dan Hawa bersembunyi karena mereka merasa takut dan malu lantaran keduanya tahu bahwa mereka bugil (Kejadian 3:7-10).

Pengenalan dan kesadaran diri, dan pengetahuan moral, kini mereka berdua punyai. Menjelang akhir kisah, TUHAN Allah mengkonfirmasi bahwa kini Adam dan Hawa sudah seperti Allah. Sabda TUHAN, “Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat,...” (Kejadian 3:22a). Jadi, tidak ada kejatuhan Adam dan Hawa.

Langsung matikah Adam dan Hawa sehabis memakan buah yang dilarang itu, seperti diperingatkan TUHAN Allah kepada Adam yang beberapa waktu sebelumnya diciptakan-Nya dari debu tanah, bahwa pada hari Adam memakan buah pohon pengetahuan moral itu, pastilah dia mati (Kejadian 2:17; 3:3)? Ternyata tidak! 

Sudah ditulis di atas, dikisahkan Adam hidup terus sampai usia 930 tahun (Kejadian 5:5) setelah dia diusir dari Taman Eden, dan pohon kehidupan kekal di sebelah timur taman itu, atas kemauan TUHAN, dijaga oleh beberapa kerubim yang memegang pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar untuk menutup jalan ke pohon itu. 

Adam dan Hawa telah menjadi seperti Allah, berpengetahuan, tetapi tidak boleh hidup kekal. Sudah tidak ada jalan bagi mereka untuk mendatangi pohon kehidupan kekal untuk memetik dan memakan buahnya.

Akhir kisah yang galau

Setelah para pujangga Yahwis itu memunculkan sosok ular yang cerdik dan bijak dalam kisah imajinatif mereka, dan menunjukkan bahwa Hawa melakukan observasi terhadap buah pohon moral lalu memetik dan memakannya bersama Adam sehingga mereka berdua menjadi seperti Allah, berpengetahuan, para pujangga itu tidak bergerak maju lebih jauh lagi dengan membela Hawa dan Adam. 

Setelah sebelumnya membela kesatuan dan harmoni yang dalam antara Adam dan Hawa yang dibuat dari tulang (dan daging) Adam sendiri (dalam terma modern, ada kesatuan dan ikatan biologis yang kuat antarkeduanya), para pujangga itu mundur lagi ketika kisahnya sudah mencapai momen paling berharga bagi Adam dan Hawa, yakni saat mereka mengalami pencerahan moral, kesadaran diri, dan pengenalan diri, lewat makan buah pohon moral. 

Ya, para pujangga tersebut membuat kisah selanjutnya tidak konsisten, dus tidak menarik. Galau. Ya tak apalah. Nikmati saja kisahnya.

Di saat TUHAN Allah menyidik Adam dan Hawa yang sebelumnya bersembunyi dari hadapan TUHAN, keduanya menghancurkan kesatuan dan harmoni yang ada di antara mereka berdua. Keduanya salah-menyalahkan, dan mencari kambing hitam. Harmoni dalam Taman Eden lenyap. Ular yang cerdik pun tidak dibela para pujangga itu. Tanah pun tidak memihak mereka lagi, padahal Adam (Ibrani: ādām) diciptakan atau dilahirkan dari ibu tanah (Ibrani: ādamāh).

Meskipun TUHAN Allah sudah pada awalnya wanti-wanti memperingatkan Adam untuk tidak memakan buah pohon moral karena akan langsung membuat Adam mati (Kejadian 2:17), tokh TUHAN pada akhir kisah mengakui dan menerima fakta bahwa Adam sudah seperti Allah, tahu membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk, dan membiarkan Adam hidup terus--- dus, TUHAN melupakan atau membatalkan peringatan yang disampaikan-Nya sendiri langsung ke Adam. TUHAN membatalkan kematian yang telah diancamkan-Nya kepada Adam, bukan merohanikan arti kematian bagi Adam setelah Adam dan Hawa memakan buah pohon moral.

Adam dan Hawa tidak mengalami kematian biologis langsung setelah mereka memakan buah pohon moral, dus TUHAN membatalkan ancaman-Nya kepada Adam. Para pujangga Yahwis juga tidak merohanikan kematian yang diancamkan TUHAN sebagai putusnya hubungan rohaniah antara TUHAN dan manusia. Hal ini perlu dibeberkan lebih lanjut.

Setelah TUHAN menjatuhkan sederet hukuman (Kejadian 3:14-19), dengan hukuman atas Adam yang akan kembali menjadi debu tanah disebut terakhir, kisahnya belum berakhir. Ternyata TUHAN tidak langsung pergi meninggalkan dan menelantarkan Adam dan Hawa dengan penuh kebencian. TUHAN tidak memutuskan hubungan-Nya, jasmaniah ataupun rohaniah, dengan manusia.

Sebaliknya, TUHAN tetap peduli dan sayang kepada Adam dan Hawa dengan TUHAN membuatkan pakaian dari kulit binatang untuk Adam dan Hawa, lalu mengenakannya kepada mereka (Kejadian 3:21). Tampak di sini, TUHAN tetap sang Pencipta yang memperhatikan manusia.

Lebih dari itu, TUHAN juga menginginkan Adam untuk selanjutnya, di luar Taman Eden, “mengusahakan tanah dari mana dia diambil”, sesuai dengan tujuan TUHAN ketika Dia menempatkan Adam yang baru diciptakan-Nya di Taman Eden, yakni untuk “mengusahakan dan memelihara taman itu (Kejadian 3:23). 




Mula-mula pengetahuan moral, lalu menyusul pengetahuan alam....


Nah, dengan pengetahuan moral, yang akan berkembang pada waktunya menjadi pengetahuan alam, yang sudah dimiliki Adam dan Hawa, bukankah mandat untuk bekerja dan berbudidaya yang telah diberi TUHAN itu akan lebih mungkin dapat dijalankan dengan efektif? Ya, tentu.

Sebaliknya, pada sisi lain, para pujangga Yahwis itu tegas tidak menyetujui jika Adam dan Hawa dapat menjadi seperti Allah, kêlōhîm, dengan para pujangga ini, lewat kisah mereka, menghancurkan harmoni antara Adam dan Hawa dan lingkungan kehidupan bagi Adam dan Hawa, di luar Taman Eden. Ya, karena bagi mereka, Adam berasal dari debu tanah, sebagai ciptaan atau makhluk, jadi tidak mungkin menjadi seperti Allah, sang Pencipta atau sang Khalik. 

Tetapi, jangan dilupakan, oleh TUHAN Allah sendiri debu tanah yang sudah dibentuk ini diberi nafas hidup, the breath of life (Ibrani: nišmaṯ khayyîm, חַיִּ֑ים
נִשְׁמַ֣ת), yang bersumber dari Tuhan sendiri. Kehidupan TUHAN ada di dalam diri Adam.

Dalam teks Kejadian 1:26-27 (bagian dari Kejadian 1:1-2:4a, buah tangan mazhab Priester, di abad ke-6 SM, ketika bangsa Israel sedang mengalami pembuangan di Babilonia) dikatakan bahwa manusia lelaki dan manusia perempuan dijadikan atau diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, in the image and likeness of God. Teks Ibrani:כִּדְמוּתֵ֑נו  ,בְּצַלְמֵ֖נו bətsalmênū kiḏemūṯênū.

Ya, segambar dan serupa Allah supaya manusia mampu mendominasi alam dan isinya. Tidak ada sebutan debu tanah sebagai asal-usul Adam dalam bagian kitab Kejadian ini.

Ungkapan manusia sebagai gambar dan rupa Allah mencerminkan teologi kerajaan yang memandang sosok raja yang memerintah, seperti halnya di Mesir kuno, sebagai gambar dan rupa Allah yang melaluinya Allah menunjukkan kekuasaan-Nya atas Bumi dan segala isinya.

Raja-raja (atau firaun-firaun) Mesir kuno membangun piramid-piramid sebagai tempat penyimpanan jasad-jasad mereka yang mereka percaya akan dibangkitkan pada waktunya lalu mereka akan menjadi dewa-dewa yang hidup abadi.

Bahkan, lebih dari itu, di masa masih hidup dan berkuasa, mereka memandang diri sebagai dewa, segambar dan serupa dewa Mesir yang paling berkuasa, Dewa Ra, Dewa Matahari. Untuk kebutuhan deifikasi inilah, dibangun bagi mereka kuil-kuil pemujaan, ritual dan penyembahan, yang dikenal sebagai kuil-kuil Dewa Matahari, khususnya pada era raja-raja Dinasti Kelima selama kurun Kerajaan Lama (awal abad ke-25 SM-pertengahan abad ke-24 SM)./16/

Nah, jika manusia, Adam, adalah gambar dan rupa Allah, selain statusnya ini memberinya kekuasaan untuk mendominasi alam (ini teologi yang jelek!), statusnya ini juga membuka pintu lebar untuk Adam menjadi seperti Allah, berpengetahuan, dan dapat hidup abadi seperti diinginkan raja-raja di Mesir kuno.

Tetapi, para pujangga Yahwis menutup pintu ke situ bagi Adam dan Hawa, meskipun, ironisnya, dalam kisah imajinatif mereka, pada akhirnya TUHAN mengakui dan menerima juga bahwa manusia sudah menjadi seperti Allah.

Kata kosmolog teoretis di zaman modern, Michio Kaku, lewat iptek yang terus berkembang pesat, Homo sapiens sudah menjadi seperti Allah.

Jangan dilupakan, sebagai dua sosok naratif dalam kisah Taman Eden, Adam dan Hawa sesungguhnya hidup abadi dalam ingatan dan hati para pembaca kisah ini dalam Tenakh Yahudi, hingga di zaman modern ini.


Penutup

Jelas, pembacaan yang historis kontekstual atas kisah metaforis Taman Eden, tidak akan membuat para pembacanya bermental anti-ilmu pengetahuan, anti-sains evolusi. 

Jangan kaitkan kisah ini dengan sains evolusi biologis spesies, karena keduanya memang dua hal yang berbeda. Yang satu kisah keagamaan, dan yang lainnya ilmu pengetahuan yang solid. 

Sebagai kisah keagamaan atau kisah etiologis teologis, kisah Taman Eden menyampaikan pesan-pesan dalam dunia nilai-nilai, tidak mengajukan teori-teori ilmiah apapun, juga tidak mau melawan sains evolusi yang baru muncul di zaman modern, jauh setelah abad kesepuluh SM.

Jika anda ingin tetap bertahan memegang doktrin kreasionisme meski doktrin keagamaan ini tidak memberi sumbangan apapun bagi ilmu pengetahuan, ya silakan. Saya tak pernah mendikte orang lain.

Tetapi jika anda mau tergolong insan yang maju, dan menghayati spiritualitas kemajuan, spiritualitas saintifik yang mengalir dari Tuhan yang mahatahu, ya sains evolusi akan anda terima sebagai penjelasan tentang asal-usul semua spesies, yang berkembang bertahap dalam kurun yang panjang, memasuki bentuk-bentuk kehidupan yang makin kompleks, lewat seleksi alam dan proses adaptif.

Satu poin penting terakhir perlu dikemukakan dalam penutup tulisan ini. 

Selain tidak memuat tema dogmatik kejatuhan Adam dan Hawa, kisah Taman Eden dalam kitab Kejadian juga tidak menyebut-nyebut dosa warisan yang menjadi salah satu dogma dalam kekristenan proto-ortodoks Perjanjian Baru. Ide tentang dosa warisan adalah ide teologis rasul Paulus yang dibeberkannya dalam Roma 5:12-21. Di situ, Paulus menyebutnya sebagai dosa dan maut yang menjalar (TB LAI. Yunani: dierkhomai, to pass through). Kalau sempat, tema dosa yang menjalar ini kapan-kapan akan saya kupas. Tempatnya bukan di sini.


Edited 1 Februari 2024


Catatan-catatan

/1/ Jon D. Miller, Eugenie C. Scott, Mark S. Ackerman,..., Jordan S. Huffaker, Public Acceptance of Evolution in the United States”, 1985-2020, Public Understanding of ScienceSage Journals, August 16, 2021, https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/09636625211035919Lihat juga University of Michigan, Evolution Now Accepted by Majority of Americans”, ScienceDaily, 20 August 2021, https://www.sciencedaily.com/releases/2021/08/210820111042.htm.

/2/ Amy Unsworth, David Voas, "The Dawkins effect? Celebrity scientists, (non)religious publics and changed attitudes to evolution", Public Understanding of Science, first published 25 February 2021, https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0963662521989513.

Beth Ellwood, “Celebrity scientists tend to sway the public toward greater acceptance of evolution, but not when religious identity is threatened”, PsyPost, 7 October 2021, https://www.psypost.org/2021/10/celebrity-scientists-tend-to-sway-the-public-toward-greater-acceptance-of-evolution-but-not-when-religious-identity-is-threatened-61935.

/3/ Tentang cocokologi, lihat lebih lanjut Ioanes Rakhmat, “Bagaimana Seharusnya Memperlakukan Agama-agama di Era Sains Modern”, Freidenk Blog, 27 Februari 2015, updated 1 Juni 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2015/02/bagaimana-seharusnya-memperlakukan.html?m=0.

/4/ Lihat L. Vigilant et al., “African Populations and the Evolution of Human Mitochondrial DNA”, Science 253, no. 5027 [1991], hlm. 1503-1507.

/5/ Estonian Research Council, Artificial Intelligence suggests a new narrative for the Out of Afrika processPhys.org, 8 Oktober 2021, https://phys.org/news/2021-10-artificial-intelligence-narrative-africa.html.

Estonian Research Council, Revisiting the Out of Africa Theory: New Narrative From Genetic Analysis and AI”, SciTechDaily, 16 October 2021, https://scitechdaily.com/revisiting-the-out-of-africa-theory-new-narrative-from-genetic-analysis-and-ai/.

Artikel riset Francesco Montinaro, Vasili Pankratov, Burak Yelmen, Luca Pagani, and Mayukh Mondal, Revisiting the Out of Africa event with a deep-learning approach”, American Journal of Human Genetics, 8 October 2021, https://www.cell.com/ajhg/fulltext/S0002-9297(21)00342-6.

/6/ Lihat Mirjana Roksandic, Predrag Radović, Xiu-Jie Wu, Christopher J. Bae, "Resolving the muddle in the middle': The Case for Homo Bodoensis sp.nov", Wiley Online Library, 28 October 2021, https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/evan.21929.

Lihat juga Charles Q. Choi, “Newly named human species may be the direct ancestor of modern humans”, LiveScience, 29 Oct 2021, https://www.livescience.com/new-human-species-named-bodoensis.

/7/ Pernyataan Augustinus ini dikutip dalam Charles Freeman, The Closing of the Western Mind: The Rise of Faith and the Fall of Reason (London: Heinemann, 2002), hlm. vii.

/8/ Gaya berkisah dalam kitab-kitab suci, yang melukiskan Allah dalam sifat dan rupa manusia disebut gaya berkisah antropomorfis. Kitab suci Perjanjian Lama sangat kaya dengan antropomorfisme, yang tentu saja tak boleh diterima atau diperlakukan secara harfiah. Ada gaya berkisah teologis lainnya: apofatik, amorfik, impersonal, deeply silent.

/9/ Léo R. Belzile, Anthony C. Davison, Holger Rootzén, Dmitrii Zholud, Human mortality at extreme age”, Royal Society Open Science, 29 September 2021, https://royalsocietypublishing.org/doi/10.1098/rsos.202097.

Lihat juga berita dari Sara Hussein, AFP, Want to Live Forever? There's No Theoretical Limit to Human Lifespan, New Study Says”, Sciencealert, 29 September 2021, https://www.sciencealert.com/study-suggests-that-theoretically-we-should-be-able-to-live-forever.

/10/ N.K. Sandars (penerjemah dan penulis pengantar), The Epic of Gilgamesh (edisi revisi, plus bahan baru) (London, etc.: Penguin Books, 1960, 1964, 1972), hlm. 97-107.

/11/ Usaha teologis menelusuri sebab-musabab adanya penderitaan, dan pertanyaan-pertanyaan di mana Allah yang mahapengasih dan mahaadil berada di tengah realitas penderitaan manusia, dan kepada siapa Allah berpihak apakah kepada penyebab penderitaan atau kepada manusia yang menderita, masuk ke dalam bidang perenungan teologis teodise (dari kata Yunani theos = Allah, dan dikē = keadilan). 

Dalam bukunya yang berjudul God’s Problem: How the Bible Fails to Answer Our Most Important Question, Why We Suffer (New York: HarperCollins Publishers, 2008), Bart D. Ehrman memperlihatkan Alkitab gagal menjawab pertanyaan terpenting manusia apa sebabnya atau mengapa manusia menderita. 

Menurut saya, Ehrman salah. Lihat tulisan Ioanes Rakhmat, Problem Teodise: Tuhan Di Manakah Engkau? Mengapa Engkau Membungkam?”, Freidenk Blog, 11 Maret 2021, diperluas 3 April 2021,
https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2021/03/problem-teodise-tuhan-di-manakah-engkau.html?m=0. Bandingkan Ioanes Rakhmat, “Penderitaan adalah bukti tidak adanya Tuhan. Betulkah?”, Freidenk Blog, 17 Agustus 2014, edited 6 Mei 2018, 
https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2014/08/penderitaan-adalah-bukti-tidak-adanya.html?m=0.

/12/ Dalam volume besar, bisa ular akan mematikan korbannya. Jika manusia digigit ular berbisa, maka bahaya akan terjadi pada sistem peredaran darah (sel-sel darah merah pecah, lalu menimbulkan penggumpalan darah, atau tekanan darah drop drastis), sistem saraf yang akan menimbulkan kelumpuhan otak, atau sistem muskular/perototan yang akan menimbulkan kematian jejaring sel-sel otot sehingga otot tidak bisa berkontraksi. 

Tetapi jika unsur-unsur terpilih dari bisa ular dimasukkan ke dalam tubuh dalam dosis yang pas, protein-protein dalam bisa ular (seperti juga dalam bisa laba-laba dan kalajengking) dapat meredakan rasa nyeri, mengatasi bahaya gigitan ular berbisa, mengobati kanker, tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke, penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson.

Lihat James Paterson and Let's Talk Science, How Snake Venom Kills... and Saves LivesLet's Talk Science, 23 July 2019, https://letstalkscience.ca/educational-resources/stem-in-context/how-snake-venom-kills-and-saves-lives.

/13/ Tentang makna simbolik ular dalam sejarah dan mitologi, lihat Sarah Pruitt, 9 Powerful Snakes from History and Mythology”, History.com, 18 February 2020, https://www.history.com/news/snake-symbol-history-mythology.

Lihat juga Majametlicar, Guest Post: The Symbol of The Serpent by Irina Cher”, Global Yoga Hub, 19 June 2013, https://www.google.com/amp/s/globalyogahub.wordpress.com/2013/06/19/guest-post-the-symbol-of-the-serpent-by-irina-cher/amp/.

/14/ Tentang konsep dualisme dalam agama Zoroastrianisme, dan tentang eskatologi apokaliptik Yahudi-Kristen, lihat Ioanes Rakhmat, “Kiamat dan Nasib Planet Bumi di Masa Depan”, Freidenk Blog, 2 Juni 2012, editing mutakhir 4 September 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/06/kiamat-dan-nasib-planet-bumi-di-masa.html?m=0.

/15/ Ioanes Rakhmat, “Asal-usul Moralitas”, Freidenk Blog, 27 May 2012,

Baca juga Ioanes Rakhmat, “Hewan-hewan non-manusia juga punya kesadaran”, Freidenk Blog, 23 Juni 2015, update mutakhir 7 April 2017, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2015/06/hewan-hewan-non-manusia-juga-punya.html?m=0.

/16/ Lihat laporan dan interpretasi temuan arkeologis mutakhir berupa kuil dewa Matahari usia 4.500 tahun di Abu Gorab, selatan Kairo, yang ditulis Callum Hoare, Egypt’s ‘biggest discovery in decades’ solves 4,500-year-old pharaoh mystery: ‘Impressive”, Express, 17 November 2021, https://www.express.co.uk/news/science/1522717/egypt-discovery-abu-gorab-mystery-solved-pharaoh-sun-temple-archaeology-news.

Lihat juga Alice Peacock, Egyptian Sun Temple’ built for pharaohs and buried in desert for 4,500 years unearthed”, Mirror, updated 17 November 2021, https://www.mirror.co.uk/news/world-news/egyptian-sun-temple-built-pharaohs-25468552.