Tuesday, December 15, 2020

Pastikah "herd immunity" akan dicapai jika 50% populasi Indonesia sudah divaksinasi, seperti perkiraan pemerintah?


PEMERINTAH INDONESIA memperkirakan kebutuhan vaksin covid-19 di Indonesia mencapai 246,51 juta dosis [Catatan: 1 orang menerima 2 dosis suntikan dengan jedah waktu; dus yang akan divaksinasi sekitar 123,25 juta orang].

Detailnya, sebanyak 73,96 juta dosis untuk skema program (disubsidi) dan 172 juta dosis untuk skema mandiri (bayar sendiri). Alokasi tersebut sudah sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Mari kita pikirkan dengan cermat.

Ditetapkan 123,25 juta orang akan menerima vaksinasi dari sekitar total 240 juta penduduk. Berarti sekitar 50%. Mungkin diandaikan, 50% penduduk yang imun, yang berfungsi sebagai "pagar" atau "bendungan", akan memberi reaksi berantai pemutusan penularan mutlak sehingga akan dihasilkan "herd immunity" (kekebalan populasi) bagi seluruh penduduk Indonesia.

Ya, "herd immunity" akan dicapai tanpa perlu 100% populasi di suatu kawasan divaksinasi; lazimnya cukup 60 hingga 70% saja. Jika dicukupkan minimal 50% (termasuk orang yang dianggap imun setelah sembuh dari Covid-19), ya kita lihat saja nanti hasilnya.

Catat, "herd immunity", dalam hal ini, bukan "natural herd immunity" (NHI) yang dicapai lewat infeksi virus secara natural yang dibiarkan, yang lalu bisa disusul dengan kesembuhan (dengan akibat antibodi IgG terbentuk), atau dengan kematian dalam jumlah luar biasa besar. Tidak ada protokol kesehatan yang harus dijalankan. Tidak ada usaha terencana untuk memitigasi bencana serangan virus. Hukum yang berjalan ya hukum rimba, siapa yang kinerja sistem imunnya kuat, berpeluang besar untuk selamat. Prinsip "survival of the fittest" bekerja. Di era iptek, ya NHI tampak menjadi ide yang primitif.




Selain itu, NHI, meski primitif, juga adalah suatu ide yang rumit, karena banyak faktor yang bermain di dalamnya. Faktor biologis manusia, faktor biologis si virus, faktor gaya hidup individual, komunal dan sosial, faktor demografis, faktor lingkungan alam dan kehidupan, faktor kultural, dan faktor besaran penularan virus. NHI tidak bisa difiksasi dalam hitungan angka-angka. Tidak ada ambang batas yang pasti berapa persen populasi harus sudah imun (25%? 50%?, 60%?, 70%?) untuk menghasilkan NHI di mana "transmission rate" atau "angka penularan" (atau R) harus sudah, atau lebih kecil dari, nol.

Jika strategi NHI dijalankan, ini akan berpeluang besar menjadi bencana nasional atau bencana global. Bermuara pada kejadian katastrofik. Orang bukan berdamai dengan si virus, tapi belum apa-apa sudah dibuat keok oleh si gerombolan virus.

Anyway, dalam usaha mencapai "herd immunity" lewat vaksinasi, harus diingat, kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan mengharuskan setiap pemerintah pulau--- entah pulau besar atau pulau kecil, entah pulau padat penduduk atau pulau tidak padat penduduk--- melakukan vaksinasi 50% penduduknya. Di Pulau Jawa yang paling padat penduduknya, hanya 50% penduduknya yang akan perlu menerima vaksinasi.

Jadi, jika anda berdiam di Pulau Jawa, anda bisa termasuk atau bisa tidak termasuk orang yang akan menerima vaksinasi. Jika tidak termasuk, jangan khawatir, sebab jika sekurang-kurangnya 50% penduduk Pulau Jawa sudah divaksinasi, "herd immunity" akan tercapai, dan anda (juga bayi, batita, balita, bocah, dan orang yang menanggung komorbiditas yang berat) yang tidak divaksinasi mungkin sekali tidak akan tertular Covid-19. Mengapa "mungkin sekali", tidak dijamin pasti? Ya karena mungkin, di suatu saat, anda yang tidak imun dapat berada di kepungan orang-orang yang tidak divaksinasi, yang masih terus membawa virus sebagai OTG. Saat itu tidak ada orang yang imun, yang berfungsi sebagai perisai atau pagar pelindung, yang bersama anda. Yaaah... nasib deh.

Termasuk dalam 50% yang tidak menerima vaksinasi tentu kalangan anti-vaxxers yang terus saja dengan gigih dan tanpa nalar kritis menyebarkan berbagai teori komplotan atau teori konspirasi yang tak berbasis fakta, dan juga kalangan yang selalu bersikap nyinyir dan negatif terhadap pemerintah. Kita wait and see, apakah para penyinyir ini akan konsisten sampai wafat tidak mau divaksinasi, mati dalam kenyinyiran.

Anda tentu harus berupaya serius untuk masuk ke dalam 50% yang menerima vaksinasi, entah karena vaksinasi itu diwajibkan dengan dasar UU atau karena kesadaran dan kecerdasan anda sendiri.

Satu hal penting perlu dicatat. "Herd immunity" atau "kekebalan populasi menyeluruh", bisa dicapai lewat vaksinasi 50% penduduk setiap pulau, hanya jika vaksin-vaksin yang dipilih dan dipakai (vaksin-vaksin Tiongkok produk Sinovac Biotech dengan vaksin "inactivated", CanSino Biologics dengan vaksin "non-replicating adenovirus type 5-vectored" dan BUMN China Sinopharm dengan vaksin "inactivated") memang aman dan efektif (dibuktikan lewat uji klinis besar tahap 3), dan dengan serokonversi yang tinggi (di atas 90%), artinya: vaksin-vaksin tersebut mampu membangkitkan antibodi-antibodi yang banyak dan komplit serta bertahan langgeng atau sangat lama (durabilitas antibodi humoral dan selular tinggi).

Durabilitas antibodi yang panjang, yang dibangkitkan suatu vaksin, sangat krusial sekalipun sistem imun akan mengerahkan sel-sel limfosit B dan sel-sel T yang akan memproduksi sel-sel memori dalam jumlah banyak dan dalam waktu singkat di saat virus yang sama menginfeksi kembali berulang-ulang, berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah imunitas diperoleh pertama kali entah lewat kesembuhan atau lewat stimulasi oleh vaksin.

Bagaimana pun juga, untuk tetap mempertahankan imunitas terhadap serangan kembali virus SARS-CoV-2, vaksinasi (dua suntikan per orang, dengan jedah waktu yang bervariasi antara suntikan pertama dan suntikan kedua) sangat mungkin akan dilakukan kembali setiap 1 tahun sebagai booster. Vaksinasi ulang per tahun ini sangat mungkin akan memakai vaksin-vaksin Covid-19 generasi-generasi terbaru sejalan dengan mutasi-mutasi virus corona baru yang tidak bisa dihentikan oleh manusia--- kecuali alam berkehendak lain yang tak terduga, misalnya, mari kita melamun, virus SARS-CoV-2  tiba-tiba hilang begitu saja, ditelan oleh suatu "black hole". 

Patut diingatkan terus, bahwa vaksin-vaksin, seperti vaksin Pfizer yang dikembangkan dalam tempo cepat kurang dari satu tahun lewat teknologi mRNA (yang sama sekali belum teruji!), yang dalam sekian uji klinis yang terkontrol ditemukan aman (tak timbul efek samping yang serius dan dialami banyak orang) dan efektif (persentase jumlah relawan yang terproteksi oleh suatu vaksin besar, di atas 90%), dalam dunia real yang liar dan tak terkontrol oleh metode keilmuan bisa menunjukkan hal sebaliknya. Yaitu muncul efek-efek samping ("adverse reactions" atau "side effects").

Efek samping ini ada yang ringan atau "tidak serius" (seperti sakit kepala, migrain, sakit otot, rasa lelah yang lama, demam, menggigil--- serupa dengan simtom terkena Covid-19 ringan) dan ada yang serius (seperti Bell's palsy atau wajah tertekuk miring sebelah). Orang yang memiliki riwayat alergi yang serius terhadap vaksin, obat-obatan dan makanan, juga tidak diperbolehkan menerima vaksinasi (larangan yang selama ini dipandang wajar).

Efek-efek samping tersebut ditimbulkan oleh vaksin mRNA Pfizer-BioNTech yang digunakan di Inggris dalam minggu-minggu ini (sejak Selasa, 8 Desember) dengan dasar resmi otorisasi penggunaan darurat saat pandemi.

Banyak pengamat menyatakan pemberian otorisasi penggunaan darurat ini, yang belum/tidak didukung Uni Eropa, adalah "suatu kudeta politik demi [memulihkan pamor] PM Inggris Boris Johnson". Tentu saja, vaksin Pfizer ini dan otoritas pemberi otorisasi penggunaan darurat jadinya dilindungi pemerintah Inggris, diberi kekebalan hukum oleh Departemen Kesehatan dan Perawatan Sosial Inggris dalam bisnis penjualan vaksin dan vaksinasi.

Nah, jika timbul efek-efek samping negatif setelah orang menerima vaksinasi, perusahaan Pfizer-BioNTech tidak bisa dituntut secara legal karena diberi impunitas oleh pemerintah Inggris. Warga Inggris penerima vaksin yang mengalami efek-efek samping berat juga diberi indemnitas (atau ganti rugi) oleh negara, bukan oleh Pfizer-BioNTech. Semua keganjilan ini sebetulnya menunjukkan Pfizer-BioNTech tidak yakin dengan keamanan vaksin mRNA yang mereka telah kembangkan.

Pengacara Gurdal Singh Nijar pada 14 Desember 2020 di The Sun Daily menulis antara lain bahwa "Harus dicatat bahwa Pfizer telah terlibat dalam banyak kasus gugatan baik oleh konsumen maupun oleh Departemen Keadilan dan Hukum Amerika terkait penipuan di bidang perawatan kesehatan, kegagalan untuk memperingatkan risiko-risiko berbahaya obat-obatan dan pemasaran yang ilegal."

Pada pihak lain, otoritas regulator medik Swiss menyatakan belum bisa memberi otorisasi karena laporan data lengkap vaksin-vaksin Pfizer-BioNTech, Oxford-AstraZeneca dan Moderna tentang keamanan, kemanjuran dan kualitas vaksin belum ada, sampai 1 Desember 2020.

Berbeda dari Inggris dan Amerika yang memberi otorisasi penggunaan darurat masa pandemi bagi vaksin Pfizer-BioNTech, European Medicines Agency (EMA, ekuivalen FDA Amerika atau BPOM Indonesia) membutuhkan waktu lebih lama, hingga Natal 2020, untuk mengeluarkan otorisasi pemasaran bersyarat bagi vaksin tersebut. Ya, tekanan-tekanan banyak berdatangan dari berbagai kalangan dalam masyarakat Uni Eropa untuk vaksin Pfizer diberi otorisasi untuk digunakan di UE setelah Inggris memberikan OPD untuk vaksin ini. 

Kita bisa jadi akan mendengar juga efek-efek samping yang serupa yang akan timbul di antara warga Amerika pada ronde pertama vaksinasi dengan vaksin Pfizer yang dimulai Senin, 14 Desember 2020.

Vaksin Pfizer sudah diotorisasi untuk penggunaan darurat di masa pandemi oleh FDA Amerika, Jumat, 11 Des, yang berada di bawah tekanan politik dan ancaman pemecatan oleh Presiden Trump yang masih ambisius dengan Operation Warp Speed. Yuuup, padahal bulan Januari 2021 dia akan resmi digantikan Joe Biden. Dalam rangka OWS itu, tiga juta dosis didistribusikan pada akhir pekan 12-13 Desember ke seluruh negara bagian Amerika.

Sejauh ini, vaksin mRNA Pfizer sudah dipesan oleh Inggris, Bahrain, Kanada, Saudi Arabia, Meksiko, Amerika dan Singapura. Pemesanan hanya diladeni jika uang panjar sudah diberikan.

Nah, efek-efek samping yang disebut di atas sedang terpantau sekarang. Kita masih belum tahu efek-efek samping yang dapat timbul berbulan-bulan ("long-term effects") setelah vaksinasi dosis dua suntikan per orang. Apakah akan terbukti bahwa vaksin mRNA dalam jangka panjang akan mengubah DNA orang seperti sinyalemen miring para teoretikus konspirasi? (Duuh! Syukurnya, sinyalemen ini sudah dibantah!). Jika orang kapok karena efek samping yang dialami setelah vaksinasi dosis pertama, mungkin sekali mereka tidak mau menerima "shot" yang kedua. Artinya, suntikan yang pertama menjadi mubazir karena daya imunogenisitasnya terlalu lemah.

Sejauh ini, belum ada vaksinasi massal penduduk dengan vaksin-vaksin terinaktivasi (bukan vaksin mRNA) buatan Tiongkok, juga di Indonesia, di luar konteks uji klinis besar tahap tiga. Yakni di dunia real yang liar, yang tidak dikontrol dan tidak dipantau oleh para ilmuwan pengembang dan peneliti vaksin-vaksin dan perusahaan-perusahaan farmasi besar dunia. Ingat, dunia real yang liar dan multidimensional berbeda dari dunia uji klinis yang terdesain dan terkontrol.

Semoga pilihan Indonesia terhadap vaksin-vaksin Tiongkok adalah pilihan yang benar. Semoga manfaat protektif dan kapasitas imunogenisitas vaksin-vaksin "inactivated" dan "adenovirus type-5 vectored" yang sudah lama teruji ini jauh lebih besar dan real dibandingkan efek-efek samping vaksin-vaksin ini yang nanti akan muncul ketika vaksinasi sudah resmi diwajibkan dan dijalankan oleh pemerintah ke sangat banyak penduduk Indonesia.

Ya, tak ada obat dan tak ada vaksin yang tidak menimbulkan efek samping. Masalahnya, apakah manfaat penyembuhan dan perlindungan jauh lebih besar dan lebih luas bagi sangat banyak orang dibandingkan "adverse effects" yang dapat terlihat pada sejumlah orang. Jika ya, terkait vaksinasi, pilihannya adalah vaksinasi massal terus dilanjutkan.

Jika efek samping negatif yang serius terlihat dialami sangat banyak orang dan meluas, di saat itulah vaksin-vaksin yang tidak aman ini dilarang, dengan... tentu saja sudah memakan banyak korban. Mungkin bencana medik semacam ini tidak akan terjadi. Hopefully not!

Jadi, tak perlu suatu merk vaksin Covid-19 dan perusahaan pengembangnya sampai diberi kekebalan hukum. Ada sisi bisnis dan profit pada setiap vaksin Covid-19 yang dipasarkan. Perusahaan farmasi yang memproduksi vaksin Covid-19 tidak ada yang berperan sebagai Robin Hood atau Santo Claus di musim Natal. Mereka bisa menjual relatif murah hanya di masa pandemi, masa darurat. Begitu pandemi berakhir, harga vaksin per dosis akan mereka naikkan tinggi, bertahun-tahun ke depan, di saat Covid-19 menjadi Covid musiman.

Jadi, ganjil jika ada bisnis besar vaksin farmasi swasta yang dilindungi hukum negara dan pemiliknya diberi impunitas, dan jika kerugian yang dialami orang yang menerima vaksinasi ditanggung negara. Apakah ini bukan suatu tindakan penyalahgunaan wewenang, kendati mungkin sekali ada landasan UU-nya? UU yang membuat uang rakyat dikuras untuk kepentingan perusahaan swasta.

Apapun juga masalah-masalah yang muncul dari vaksinasi yang sedang berlangsung di banyak bagian dunia, kita berharap "herd immunity" akan dapat dicapai Indonesia dalam tahun 2021 lewat vaksinasi besar-besaran, dengan memakai vaksin-vaksin yang betul-betul aman dan efektif, yang sudah teruji, yang memperlihatkan serokonversi tinggi yang dapat diukur.

Semua orang tahu, pandemi Covid-19 sangat menyusahkan semua orang. Banyak yang tak tahan lalu memberi berbagai reaksi, misalnya memilih hidup "in denial", menyangkal pandemi ini real dan telah menelan banyak korban di seluruh dunia dari semua golongan umur, atau menganggap virus SARS-CoV-2 itu virus yang lemah dan lumpuh; alhasil, semua protokol kesehatan mereka abaikan, dan negara yang berusaha keras menanggulangi pandemi mereka anggap tak ada. Jangan kita masuk ke dalam golongan orang jenis ini. Mereka itu dilabelkan "covidiots" atau "covanarkis".

☆ ioanes rakhmat
15 Desember 2020

Tautan sumber-sumber rujukan

https://www.cnbcindonesia.com/news/20201211080020-4-208321/fakta-fakta-soal-vaksinasi-covid-19-di-ri/4

https://www.vox.com/platform/amp/21451282/herd-immunity-explained-covid-19-pandemic

https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)31605-6/fulltext

https://www.globaltimes.cn/content/1206031.shtml

https://www.cnbc.com/2020/11/23/covid-vaccine-cdc-should-warn-people-the-side-effects-from-shots-wont-be-walk-in-the-park-.html

https://www.dailymail.co.uk/health/article-9030943/Four-volunteers-got-Pfizers-vaccine-developed-Bells-palsy.html

https://www.cnbc.com/2020/12/09/pfizer-jab-warning-for-people-with-history-of-significant-allergic-reactions.html

https://www.swissinfo.ch/eng/reuters/eu-criticises--hasty--uk-approval-of-covid-19-vaccine/46198320

https://www.independent.co.uk/news/health/coronavirus-pfizer-vaccine-legal-indemnity-safety-ministers-b1765124.html

http://www.thesundaily.my/opinion/whose-liability-for-pfizers-vaccine-HX5617779

https://www.swissinfo.ch/eng/society/incomplete-data-stalls-swiss-authorisation-of-covid-19-vaccines/46196598