Berjalan dalam lorong gelap yang bermuara pada cahaya putih benderang. Pernahkah anda alami saat tak sadar?
** Update mutakhir 17 Mei 2019
“Menurutku, sorga itu seperti sebuah ciuman pertama.” ─ Sarah Addison Allen
“Jika tidak ada coklat di sorga, aku tidak akan mau ke sana.” ─ Jane Seabrook
Neurosains (atau neurobiologi) adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari otak dan sistem saraf di dalamnya, yang mengatur cara dan wilayah kerja sel-sel saraf yang dinamakan neuron, dalam hubungannya dengan seluruh tubuh manusia, keadaan mental dan kelakuan manusia.
Jika neurosains menganalisis dan menjelaskan berbagai pengalaman keagamaan sebagai pengalaman-pengalaman yang dimunculkan oleh sistem neurologis dalam otak manusia karena dipicu oleh berbagai keadaan dan kondisi internal dan eksternal, lepas dari ihwal apakah dunia supernatural itu ada atau tidak ada, bidang ilmunya dinamakan neuroteologi.
Jadi, semua hal yang dikemukakan dalam tulisan ini berada dalam wilayah kajian neuroteologi.
Neurosains, atau neuroteologi, tentu saja memperhadapkan dunia agama-agama dengan penjelasan-penjelasan saintifik tentang otak manusia dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang sangat tidak mudah diterima oleh para agamawan, sama keadaannya dengan sains evolusi dan sains biologi sintetis.
Bagaimana pun juga kepada para agamawan di Indonesia, sebagian hasil kajian neurosains dan neuroteologi perlu dikemukakan, supaya mereka mendapatkan masukan-masukan yang selanjutnya mereka dapat gumuli sendiri.
Beragama dalam era sains modern memang tidak mudah lagi, jika para agamawan, sebagaimana seharusnya, sungguh-sungguh mau juga memandang dan memahami kenyataan-kenyataan dari sudut pandang ilmu pengetahuan modern, bukan hanya dari sudut pandang keagamaan yang sudah sangat biasa mereka lakukan. Mereka tak boleh lupa bahwa Tuhan itu mahatahu tanpa batas, sumber semua pengetahuan. Makin dalam cinta anda pada Tuhan YMTahu, makin lebih dalam lagi cinta anda pada ilmu pengetahuan.
Dalam tulisan ini saya mau menyoroti dengan terperinci pengalaman-pengalaman spiritual yang paling umum diklaim dialami orang. Isi dan bentuk pengalaman-pengalaman ini akan dikemukakan lebih dulu, sesudah itu pandangan neurosains atas pengalaman-pengalaman ini akan dikemukakan.
Dampak-dampak pengalaman ini, baik yang positif maupun yang negatif, pada kesehatan mental subjek-subjek yang mengklaim pernah atau sering mengalami, juga akan dikemukakan.
Gambar 1: bagian-bagian besar otak manusia
Pertama-tama, marilah kita kenali dulu bagian-bagian besar otak manusia (lihat gambar 1).
Empat korteks besar yang berada di bagian atas otak (disebut “higher brain”, otak atas), terdiri atas lobus frontalis, lobus parietalis, lobus occipitalis, dan lobus temporalis.
Sedangkan bagian-bagian yang terletak di bawah (disebut “lower brain”, otak bawah) terdiri atas medulla oblongata, pons, dan otak tengah (“midbrain”).
Jika terjadi sesuatu yang menyebabkan otak atas tidak berfungsi atau mati, otak bawah masih bisa berfungsi.
Jika seluruh lipatan dan lekukan otak atas dibuka dan dibentang, luasnya sampai dua halaman kertas koran besar.
Gambar 2: morfologi sebuah sel saraf
Gambar di atas ini memperlihatkan morfologi satu sel saraf atau neuron (ukuran diperbesar) dalam otak manusia dan desain bagaimana neuron-neuron bekerja. Ada seratus milyar neuron yang membentuk otak manusia.
Apa itu neuron atau sel saraf dalam otak? Neuron pada dasarnya adalah sel yang digunakan hewan-hewan untuk mendeteksi sinyal-sinyal yang berasal dari lingkungan eksternal dan lingkungan internal tubuh mereka sendiri, untuk merumuskan respons perilaku terhadap sinyal-sinyal itu, dan untuk mengendalikan tubuh mereka berdasarkan respons-respons yang telah dipilih./1/
Setiap neuron memiliki sebuah tubuh yang dinamakan Soma, yang berisi nukleus dan semua organ selular khusus (organel) yang diperlukan untuk membuat sel tetap hidup dan berfungsi. Setiap neuron juga memiliki sejumlah perangkat selular lain yang berfungsi untuk memberi arah pada gerakannya.
Pada salah satu ujung sebuah neuron terdapat dendrit-dendrit yang berbentuk seperti sebatang pohon yang bercabang-cabang, yang berfungsi untuk menerima masukan atau “input” yang berasal dari neuron-neuron lain.
Dengan strukturnya yang bercabang-cabang, dendrit menghubungkan sebuah neuron dengan “output” yang berasal dari neuron-neuron lain.
Dendrit-dendrit tersebar di suatu area yang luas di sekitar neuron; posisinya ini memungkinkan suatu neuron untuk menerima input dari sejumlah sinapses yang berlainan. Ujung yang lainnya dari sebuah neuron berfungsi untuk mengeluarkan “output” yang akan diterima neuron lain sebagai input.
Bagian output ini memiliki sebuah axon dan berujung sebagai sejumlah sinapses yang biasanya terhubung dengan dendrit-dendrit dari neuron-neuron lain atau terhubung langsung ke otot-otot.
Axon biasanya lumayan panjang jika dibandingkan dengan bagian-bagian lain sebuah neuron. Malah sebetulnya, beberapa neuron memiliki axon-axon yang menjulur di sepanjang tubuh manusia.
Output sinyal dari sebuah neuron dapat menimbulkan rangsangan ataupun hambatan pada neuron lain yang terhubung dengannya.
Pada saat sebuah neuron mengirim sinyal rangsangan ke sebuah neuron lain, maka sinyal ini akan ditambahkan pada semua input lain yang diterima neuron lain itu.
Jika sinyal rangsangan ini melebihi ambang batas yang dimungkinkan, maka sinyal ini akan membuat neuron sasaran menembakkan suatu “aksi potensial”; dan jika sinyal rangsangan ini berada di bawah ambang batas itu, maka aksi potensial tidak akan terjadi.
Suatu “aksi potensial” adalah suatu pulsa listrik yang bergerak menjelajah sampai ke axon yang ada di bawah, sampai mencapai sinapses, dan ketika sudah tiba di sinapses pulsa listrik ini akan menyebabkan neurotransmitter (zat kimiawi penerus gelombang listrik dalam sistem saraf otak) terlepas dan mengalir.
Karena sinapses letaknya sangat dekat dengan dendrit-dendrit dari neuron sasaran, keadaan ini memungkinkan neurotransmitter tersebar dalam ruang yang ada di antara keduanya dan persis memasuki reseptor-reseptor yang berada pada neuron sasaran. Keadaan ini menyebabkan sejumlah aksi terjadi dalam neuron sasaran itu, yang akan mengurangi atau meningkatkan “membran potensial” neuron itu.
Jika membran potensial meningkat (menjadi lebih negatif, atau ter-hiperpolarisasi), maka neuron sasaran akan terangsang, dan jika berkurang neuron sasaran akan terhambat. Jika membran potensial melampaui ambang batas penembakan, maka suatu aksi potensial akan diaktivasi pada neuron sasaran dan mengirimnya ke axon yang ada di bawahnya.
Pengalaman Dekat Kematian (PDK) (Near-Death Experience/NDE)/2/
Selanjutnya mari tahap demi tahap kita masuk ke berbagai pengalaman spiritual dan melakukan analisis atas pengalaman-pengalaman ini.
Orang-orang dari berbagai latarbelakang kebudayaan dan keagamaan dilaporkan sering mengalami apa yang disebut sebagai pengalaman-pengalaman perithanatik (dari kata Yunani perithanatos) atau pengalaman-pengalaman “dekat kematian” (atau “menjelang kematian”).
Meskipun ada beranekaragam latar belakang, namun dari berbagai kisah yang disampaikan semua pengalaman ini tampak memiliki ciri-ciri umum.
Ciri-ciri umum
Muncul cahaya terang yang sangat kuat. Kadangkala cahaya yang sangat kuat ini (namun tak menyakitkan) dirasakan memenuhi ruang dalam kamar.
Dalam kasus-kasus lainnya, si subjek melihat suatu cahaya yang dirasakannya menampilkan entah surga atau Allah.
Keluar dari tubuh (“Out-of-Body Experience”/OBE). Si subjek merasa bahwa dia telah keluar meninggalkan tubuhnya. Dia dapat memandang ke bawah dan melihat tubuhnya sendiri, dan seringkali dia juga dapat mendeskripsikan tim dokter yang sedang menangani tubuhnya.
Dalam beberapa kasus OBE, si subjek sebagai “roh” atau “tubuh astral” (dari kata Latin “astrum”, Yunani “astron”, yang berarti “bintang”) keluar dari tubuh, lalu melayang bebas di antariksa, di ruang antarplanet dan antarbintang.
Dalam teosofi, “tubuh astral” dipandang sebagai “tubuh” penengah atau “tubuh” perantara” antara dunia materi dan dunia spiritual;
Memasuki suatu kawasan lain atau dimensi lain. Bergantung pada kepercayaan keagamaan si subjek dan jenis/sifat pengalaman PDK, dia dapat mempersepsi kawasan ini sebagai surga atau, tak terlalu sering, sebagai neraka.
Melihat makhluk-makhluk rohani. Selama PDK, si subjek berjumpa dengan “makhluk-makhluk cahaya” atau wujud-wujud rohani lain. Dia dapat mempersepsi makhluk-makhluk ini sebagai kekasih-kekasihnya yang sudah mati, malaikat-malaikat, para santa/santo, atau bahkan Allah.
Masuk ke suatu lorong lurus atau berpilin yang panjang. Banyak orang yang mengalami PDK mendapati diri mereka sedang berada di suatu lorong yang lurus atau berpilin, yang pada ujungnya terdapat cahaya kemilau.
Mereka dapat bertemu dengan makhluk-makhluk rohani ketika sedang melintasi lorong cahaya ini. Berlangsunglah komunikasi dengan roh-roh.
Sebelum PDK berakhir, banyak subjek melaporkan bahwa mereka berkomunikasi dengan suatu makhluk rohani. Seringkali ini diungkapkan mereka sebagai “suara keras seorang lelaki” yang menyatakan kepada mereka bahwa waktu mereka belum tiba dan karena itu mereka harus kembali ke dalam tubuh mereka.
Beberapa melaporkan bahwa mereka diminta untuk memilih apakah terus masuk ke dalam cahaya atau kembali ke tubuh jasmaniah mereka. Orang-orang yang lain merasa bahwa mereka dipaksa untuk kembali ke tubuh mereka oleh suatu perintah yang tak terdengar, yang menurut mereka mungkin dari Allah.
Kehidupan selama di Bumi ditinjau. Ciri ini juga dinamakan “peninjauan panoramik atas kehidupan”. Si subjek melihat seluruh kehidupannya ditinjau ulang secara kilas balik, bisa sangat rinci dan bisa juga singkat saja. Si subjek juga dapat merasa bahwa atas dirinya suatu vonis telah dijatuhkan oleh makhluk-makhluk rohani yang ada di dekatnya.
Bermanfaatkah PDK itu?
PDK dapat menyenangkan atau memberi rasa damai, tetapi tidak semuanya demikian.
Ada banyak subjek yang ketika mengalami PDK, mereka malah tercekam rasa takut yang hebat, tidak mengunjungi surga atau bertemu roh-roh yang bersahabat, tetapi sebaliknya berjumpa dengan roh-roh jahat, dan masuk ke dalam neraka lalu di sana melihat lautan api dan belerang (seperti digambarkan misalnya dalam kitab-kitab suci), jiwa-jiwa yang dianiaya, dan suatu rasa tersiksa oleh panas yang hebat.
Ada juga yang ketika mengalami PDK, mereka mengalami berbagai penglihatan (visi) profetis yang menyingkapkan kepada mereka nasib Bumi dan umat manusia di akhir zaman, atau juga menyingkapkan manusia berevolusi menjadi makhluk-makhluk adi-insani yang memiliki tubuh spiritual atau tubuh cahaya.
Penjelasan neurosains atas PDK/3/
PDK adalah suatu keadaan yang ditimbulkan oleh suatu gangguan tidur yang dinamakan “rapid eye movement (REM) intrusion” yang berlangsung dalam brain stem atau pangkal otak (terdiri atas medulla, pons, dan midbrain atau otak tengah) yang mengendalikan fungsi-fungsi tubuh yang paling mendasar (seperti gerak refleks, fungsi-fungsi otomatis seperti detak jantung dan tekanan darah, gerakan anggota-anggota tubuh, dan fungsi pencernaan dan urinasi).
PDK terjadi karena dipicu oleh peristiwa-peristiwa traumatis, misalnya serangan jantung.
Ketika gangguan REM ini terjadi, pikiran seseorang dapat sadar lebih dulu ketimbang tubuhnya, dan kejadian ini umumnya disertai dengan munculnya berbagai halusinasi dan perasaan sedang terpisah dari tubuh.
PDK muncul sebagai suatu keadaan kebingungan karena seseorang secara mendadak dan tanpa diharapkan masuk ke dalam suatu keadaan seperti mimpi, sehingga dia tak dapat membedakan mana realitas dan mana fantasi atau mimpi.
Pangkal otak, sebagai bagian dari “otak bawah” (lower brain, yang terdiri atas medulla, pons, otak tengah, thalamus, hypothalamus), memungkinkan timbulnya PDK karena bagian otak ini sebetulnya dapat bekerja dan berfungsi lepas sama sekali dari bagian-bagian otak yang terletak di sebelah atas (disebut “higher brain”, yang secara keseluruhan dinamakan serebrum atau korteks serebral atau korteks saja, dan terdiri atas bagian-bagian besar yang dinamakan lobus frontalis, lobus parietalis, lobus occipitalis, dan lobus temporalis).
Jadi, kalaupun bagian-bagian yang membentuk “otak atas” ini mati, pangkal otak dapat terus berfungsi, dan gangguan REM masih dapat terjadi.
Pengalaman Keluar dari Tubuh (PKT) (“Out-of-Body Experience”/OBE)/4/
PDK/NDE dan PKT/OBE dapat dijelaskan baik lewat teori-teori tentang dunia supernatural (termasuk penjelasan spiritual atau penjelasan keagamaan) yang didasarkan pada kepercayaan, latarbelakang spiritual dan kultural, maupun lewat penjelasan saintifik (mencakup penjelasan-penjelasan medis, fisiologis, neurologis dan psikologis).
Kalau teori-teori supernatural yang dipakai, kedua pengalaman ini pasti dijadikan landasan-landasan untuk membenarkan adanya roh manusia yang bisa meninggalkan tubuh, atau bahwa kesadaran manusia itu bisa lepas dari tubuh namun tetap sadar penuh, atau bahwa manusia itu memiliki selain tubuh jasmaniah juga “tubuh astral” (dari kata Latin “astrum” = bintang) yang dapat keluar meninggalkan tubuh lalu berkelana ke mana saja tubuh ini, yang tetap memiliki kesadaran, kehendaki.
Gambar 3: “tubuh astral” keluar dari tubuh protoplasmik
Masih dalam wilayah psikik/paranormal, PDK dan PKT juga dipandang sebagai bukti bahwa manusia masih akan mengalami transformasi secara total, menjadi makhluk-makhluk adi-insani dalam dimensi-dimensi lain, dalam wujud makhluk-makhluk spiritual atau makhluk-makhluk cahaya, sebagaimana dilaporkan dijumpai subjek-subjek ketika kedua pengalaman ini mereka alami.
Bagaimana penjelasan saintifik atas fenomena PDK dan PKT?
Ilmu pengetahuan medis memberi banyak bukti kuat bahwa banyak segi dari kedua fenomena ini bersifat fisiologis, biokimiawi dan psikologis.
Para saintis sudah menemukan bahwa obat-obatan yang memberi efek halusinogenis, anestetis dissosiatif dan neurotoksis, seperti ketamine dan PCP (Phencyclidine), atropine dan alkaloid belladonna, DMT (dimethyltryptamine), MDA (methylenedioxy-amphetamine), dan LSD (lysergic acid diethylamide), dapat menimbulkan perasaan-perasaan dalam diri para penggunanya yang nyaris sama dengan perasaan-perasaan yang ditimbulkan PDK dan PKT. Malah beberapa pengguna berpikir bahwa mereka sebenarnya sedang menuju kematian ketika menggunakan obat-obat itu.
Para neurosaintis telah menemukan bahwa kedua pengalaman yang aneh ini sebetulnya berlangsung tak lepas dari kerja neuron-neuron otak ketika otak kita memproses input data dan informasi yang berasal dari indra-indra.
Apa yang kita lihat sebagai “realitas” di sekitar kita sebetulnya hanyalah suatu totalitas semua informasi indrawi yang diterima otak kita pada suatu momen tertentu.
Pada waktu anda memandang layar komputer, cahaya (berupa partikel foton) dari layar sampai ke retina mata anda, dan informasi dikirim ke tempat-tempat yang cocok di otak anda untuk menafsirkan pola-pola cahaya dan mengubahnya menjadi sesuatu yang bermakna―dalam hal ini kata-kata yang anda sedang baca atau objek-objek yang sedang anda lihat dan amati.
Suatu sistem saraf dan fiber otot yang lebih rumit pun memungkinkan otak anda mengetahui di mana tubuh anda berada dalam hubungannya dengan ruang di sekitar anda.
Tutuplah mata anda, lalu angkatlah tangan kanan anda sampai setinggi ujung kepala anda. Kendatipun anda tak melihat tangan kanan anda yang terangkat itu, anda tahu persis di mana lokasinya.
Kenapa? Karena sistem pengindraan dalam otak anda memungkinkan anda mengetahui di mana tangan kanan anda berada, meskipun anda memejamkan mata anda.
Bayangkanlah semua indra anda keliru berfungsi. Ketimbang otak anda menerima input data indrawi dari dunia objektif di sekitar anda, otak anda menerima informasi yang salah, mungkin dikarenakan obat-obatan, atau disebabkan oleh suatu bentuk trauma yang menyebabkan otak anda tak bekerja.
Apa yang anda persepsi sebagai suatu pengalaman real sebenarnya adalah suatu tafsiran yang otak anda sedang coba lakukan atas informasi ini.
Gambar 4: bagian-bagian otak yang memproses input-input suara, bahasa, penglihatan, indrawi, gerak, dan sebagainya
Beberapa ahli telah berteori bahwa “kebisingan neural”, yakni suatu keadaan penerimaan informasi yang sangat berlebihan yang dikirim ke korteks visual utama otak (terletak di belakang otak, lihat gambar 4 di atas), menciptakan suatu gambar seberkas cahaya yang terang berkilauan yang terus bertambah besar secara bertahap.
Otak dapat menafsirkan keadaan ini sebagai gerakan memasuki suatu lorong gelap yang di ujungnya cahaya memancar.
Michael Shermer, yang telah menulis sejumlah buku yang berkaitan dengan kajian neurosains, menjelaskan bahwa obat-obatan halusinogenik dan keadaan kekurangan atau ketiadaan oksigen pada otak (keadaan yang dinamakan hypoxia/cerebral anoxia) dapat mengganggu kecepatan normal aktivitas penembakan pulsa-pulsa listrik neuron-neuron saraf pada korteks visual dalam otak.
Ketika hal itu terjadi, “alur-alur” aktivitas neural bergerak menjauhi korteks visual, menuju retina mata. Alur-alur neural ini ditafsirkan oleh otak kita sebagai cincin-cincin atau spiral-spiral konsentris. Spiral-spiral ini dapat “dilihat” sebagai sebuah lorong lurus atau lorong berpilin, yang bergerak menuju retina mata yang di luarnya cahaya terang benderang memenuhi ruang kamar si pasien./5/
Kemampuan tubuh untuk mengindrai ruang (ini adalah suatu kemampuan korteks lobus parietalis) condong keliru berfungsi juga selama seseorang mengalami PDK. Kembali otak anda menafsirkan informasi yang salah tentang di mana tubuh anda berada dalam hubungan dengan ruang di sekitarnya.
Akibatnya, anda merasa sedang meninggalkan tubuh anda dan melayang-layang di sekitar ruang kamar. Jika keadaan itu ditambah lagi dengan akibat-akibat trauma dan keadaan kekurangan oksigen (suatu simtom dalam banyak situasi PDK), hal ini akan menciptakan suatu pengalaman menyeluruh bahwa anda sedang mengapung menuju antariksa sementara anda menatap ke bawah ke tubuh anda, lalu anda melayang masuk ke dalam sebuah lorong.
Perasaan damai dan tenang selama PDK dapat timbul dari mekanisme penanggulangan (coping mechanism) yang bekerja dalam otak anda, yang dipicu oleh peningkatan hormon endorfins (zat kimiawi dalam otak yang berfungsi sebagai neurotransmitter, penerus gelombang listrik dalam sistem saraf) yang diproduksi dalam otak selama trauma.
Banyak orang merasakan suatu perasaan aneh bahwa dirinya dijauhkan dari tubuh mereka dan respons emosional mereka menghilang selama kejadian-kejadian yang traumatis (entah berhubungan atau tidak dengan PDK). Ini adalah akibat yang sama dari kerja endorfins dan mekanisme penanggulangan.
PDK atau PKT yang mencakup perkunjungan ke surga atau pertemuan dengan Allah dapat melibatkan banyak faktor yang terkombinasi. Input data yang salah, kekurangan pasokan oksigen, dan euforia yang ditimbulkan oleh endorfins, kerap memunculkan suatu pengalaman surrealis meskipun dirasakan nyata.
Ketika si subjek yang mengalami PDK dan PKT mengingat pengalaman perjumpaan ini, pengalaman ini melewati filter pikiran sadarnya. Pengalaman-pengalaman yang aneh yang tampak tak bisa dijelaskan ditafsir sebagai pengalaman-pengalaman bertemu makhluk-makhluk cahaya atau makhluk-makhluk rohani, atau berada dalam dimensi-dimensi lain, atau terlibat percakapan dengan Allah.
Kemampuan untuk melihat dan mendengar kejadian-kejadian selama PDK dan PKT, yang tak mungkin dapat dicerap oleh tubuh mereka yang sudah tak sadar, lebih sulit untuk dijelaskan.
Tetapi sangat masuk akal jika kita berpendapat bahwa seseorang yang sudah tak sadarkan diri (atau mengalami koma) masih dapat mencatat dan mendaftarkan petunjuk-petunjuk indrawi (yang didengarnya dari orang-orang di sekitarnya), lalu, bersama pengetahuan yang dimilikinya sebelumnya (segala pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang kebudayaannya dan pengetahuan keagamaannya), memasukkan semuanya ke dalam PDK. Hal ini dimungkinkan oleh masih bekerjanya otak bawahnya, seperti sudah dikatakan di atas.
Sebagaimana ditemukan oleh seorang neurolog kebangsaan Swiss, Dr. Olaf Blanke,/6/ ketika sedang melakukan pemetaan otak seorang pasien (umur 43 tahun) yang sering terserang epilepsi, jika kawasan persinggungan antara korteks lobus temporalis dan korteks lobus parietalis (dikenal sebagai “Temporal parietal junction”, TPJ), khususnya pada bagiannya yang dinamakan angular gyrus, diberi rangsangan gelombang listrik lewat elektroda, si pasien tiba-tiba saja mengalami PKT/OBE. Kata si pasien ini kepadanya, “Dok, dok, aku melihat diriku sendiri dari atas!”
TPJ selain berfungsi untuk menyatukan dan menyelaraskan berbagai informasi terpisah yang masuk ke dalam otak untuk ditafsirkan, juga berfungsi untuk mengontrol pemahaman atas tubuh dan situasinya di dalam ruang. Jika TPJ tidak bekerja dengan benar, PKT langsung terjadi.
Jika informasi apapun yang sedang dipilah bersilangan, seperti informasi tentang di mana posisi kita di dalam suatu ruang, tampaknya kita dapat dibebaskan dari batas-batas tubuh kita, mengalami PKT, sekalipun hanya sebentar.
Kalau PDK dapat muncul dari gangguan REM, yang dipicu di dalam pangkal otak yang terletak di otak bawah, PKT dikendalikan oleh kawasan TPJ yang terletak pada otak atas, yang secara klinis sudah mati ketika PDK terjadi.
Maka tampaknya logis untuk percaya bahwa bagian-bagian otak yang terletak di sebelah atas (“higher brain”) harus masih berfungsi untuk dapat menafsirkan perasaan-perasaan yang ditimbulkan oleh gangguan REM yang dipicu di dalam pangkal otak.
Gambar 5: “tubuh astral” lepas dari tubuh protoplasmik
Satu catatan akhir yang sangat penting pada bagian ini harus di kemukakan.
Mata kita melihat sesuatu yang real dan kongkret karena ada berkas-berkas cahaya yang dipantulkan sesuatu ini yang masuk ke retina mata kita, lalu input data indrawi ini (dalam wujud partikel foton) diteruskan ke otak dan diubah menjadi informasi neural untuk ditafsirkan otak, sehingga kita bisa melihat dan memahami objek real yang kita lihat ini.
Nah, suatu “tubuh astral” atau suatu “roh” yang tak berdaging, tubuh non-protoplasmik, yang tak memiliki sepasang mata jasmaniah yang real dan kongkret, tentu saja tak bisa menerima input cahaya yang dipantulkan dari tubuh jasmaniah atau dari benda-benda yang termasuk ke dalam dunia empiris.
Dengan kata lain, semua pengalaman PDK atau PKT sebetulnya hanyalah halusinasi dan fantasi, tak real ada, yang berlangsung hanya dalam tempurung otak manusia karena dipicu oleh berbagai macam faktor internal maupun faktor eksternal.
Dampak PDK dan PKT pada kepribadian
Sebagaimana banyak survei sudah menunjukkan, dampak yang ditimbulkan oleh PDK dan PKT pada setiap orang yang mengalami, tidak sama.
Ada banyak subjek yang setelah mengalami kedua fenomena “di luar tubuh jasmaniah” ini berubah menjadi orang-orang yang melihat hidup mereka sarat dengan makna dan tujuan yang mereka dengan senang mau capai.
Mereka jadi sangat menghargai kehidupan, mengalami peningkatan cinta kasih dan bela rasa terhadap sesama manusia, makin sabar dan makin penuh pengertian.
Mereka merasa makin memiliki kekuatan pribadi yang besar, makin mengalami penguatan rasa keagamaan dan kepercayaan pada dunia spiritual.
Mereka tidak lagi takut terhadap kematian karena mereka sudah tahu dan meyakini apa yang akan mereka alami ketika sudah mati.
Tetapi tidak sedikit dari antara mereka malah terperosok ke dalam depresi, rasa takut yang berlebihan, berbagai gangguan mental, dan terus terpaku pada ihwal yang menakutkan bahwa mereka nanti akan mati.
Karena perkembangan atau kemunduran kepribadian juga diproses dalam otak, maka kita juga harus mewaspadai bahwa kemunduran kepribadian dan gangguan mental yang terjadi karena pengalaman-pengalaman spiritual, bisa dikarenakan pengalaman-pengalaman ini juga merusak atau mematikan fungsi-fungsi korteks-korteks atau sirkuit-sirkuit neural tertentu dalam otak kita.
Pengalaman-pengalaman spiritual ternyata dapat berdampak negatif pada otak
Dalam sebuah artikel yang berjudul “Religious Factors and Hippocampal Atrophy in Late Life”, yang diterbitkan 30 Maret 2011 di situs web PLoS One, Amy D. Owen et al.,/7/ dari Duke University, melaporkan hasil-hasil suatu penelitian klinis (memakai manusia sebagai objek-objek yang diteliti, tidak hanya berdasarkan teori-teori) yang mencoba untuk menemukan hubungan antara struktur dan volume neuroanatomi dalam otak manusia dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang mengubah kehidupan seseorang, pelatihan-pelatihan spiritual, dan keanggotaan dalam suatu komunitas keagamaan.
Owen dkk memakai data sampel dari 268 orang usia lanjut (umur 58 tahun ke atas) yang berasal dari orang Protestan yang mengklaim sudah lahir baru (born-again Protestants), orang Katolik, dan orang-orang lain yang tak terikat pada suatu organisasi keagamaan, yang dibandingkan dengan orang Protestan yang tidak menyebut diri orang Kristen yang sudah dilahirkan kembali.
Dengan melakukan pemetaan otak dan pengukuran volume sirkuit-sirkuit neural dalam otak seluruh sampel melalui teknologi pemindai MRI (Magnetic Resonance Imaging) resolusi tinggi, penelitian yang dilakukan Owen dkk berhasil menemukan data yang sangat signifikan bahwa pada orang-orang yang mengklaim diri telah pernah mengalami pengalaman-pengalaman spiritual yang mengubah kehidupan mereka, volume struktur hippokampus pada otak kanan dan otak kiri menyusut―bagian otak ini mengerut, menjadi lebih kecil, dan berhenti bekerja.
Hippokampus adalah struktur pusat dari sistim limbik yang terlibat dalam pembentukan emosi dan formasi memori. Sudah diketahui bahwa volume struktur hippokampus berkaitan langsung dengan keadaan mental manusia dan kekuatan daya ingat.
Gangguan mental seperti stres dan depresi, telah diketahui menjadi penyebab terproduksinya hormon stres (kortisol, GH dan norepinephrine) dalam jumlah besar, yang mengakibatkan hippokampus lambat laun mengecil.
Mengerutnya hippokampus adalah penyebab neural langsung orang terkena dementia (= penyakit serius kehilangan kemampuan kognitif untuk mengingat, jauh lebih buruk dari yang diharapkan terjadi pada orang yang mulai menua) dan penyakit Alzheimer.
Oh ya, sistem limbik dalam otak manusia, yang terdiri dari amygdala, hippokampus, hypothalamus, dan thalamus (dan bagian-bagian lain), jika aktif, membawa orang ke dalam pengalaman religius yang menakutkan, di mana Allah dialami sebagai Allah yang pemarah, menakutkan, kejam, penuntut, agresif, penghukum dan pembalas.
Jadi, pengalaman-pengalaman spiritual yang intens, seperti pengalaman perjumpaan dengan Yesus yang mengubah kehidupan seseorang (yang umum diklaim oleh orang Kristen “lahir baru”), khususnya yang dialami orang yang sudah berusia lanjut, ternyata memperkecil volume sirkuit hippokampus dalam otaknya, dan keadaan ini tentu akan makin mempercepat kehilangan daya ingat (= pikun) dan makin mempermudah dirinya jatuh ke dalam stres dan depresi.
Harus dicatat bahwa pengerutan volume otak secara global jelas dialami oleh manusia usia lanjut secara umum, tetapi tingkat atrofi (= pengerutan) ini berbeda-beda di antara wilayah-wilayah neural dalam otak.
Jika atrofi pada hippokampus terjadi pada orang beragama di usia lanjut, keadaan ini juga bisa diharapkan muncul pada orang-orang yang berusia lebih muda jika mereka juga terbenam sangat dalam di dalam pengalaman-pengalaman keagamaan yang intens.
Owen dkk menegaskan bahwa penelitian dan pengkajian yang mereka telah lakukan, terbatas hanya pada faktor-faktor neurologis, dan tak memperhitungkan faktor-faktor sosiologis, psikososial dan demografis, yang tentu saja juga berperan besar dalam menimbulkan stres dan rasa cemas pada orang beragama.
Status sosiodemografis sebagai kelompok beragama minoritas jelas menimbulkan stres besar pada kelompok ini ketika mereka mencoba untuk ikut mengatur masyarakat mereka.
Seseorang yang sedang terbenam dalam pergulatan kepercayaan keagamaan, misalnya ketika dia menolak kepercayaan-kepercayaan yang dipegang kelompok arus utama dalam komunitas keagamaannya atau yang dipegang keluarganya, dan mempertahankan pandangannya sendiri, potensial mengalami stres dan konflik batin serta rasa cemas.
Mempercayai dan tunduk pada suatu Allah yang dikonsep sebagai Allah pemarah dan penghukum, juga kerap menjadi penyebab timbulnya stres, rasa tak bahagia, dan ketakutan, pada diri banyak orang beragama. Orang yang merasa telah melanggar perintah-perintah Allah juga tak akan luput dari serangan stres dan rasa cemas.
Tetapi, apa yang ditemukan Owen dkk bahwa pengalaman spiritual berfungsi negatif terhadap kesehatan otak manusia bertolakbelakang dengan pandangan yang selama ini dipegang bahwa agama, doa, pelatihan spiritual, meditasi, samadi, dan berbagai macam faktor keagamaan, berdampak positif pada otak manusia, karena mengurangi kecemasan, rasa takut, stres, depresi, dan meningkatkan pengharapan.
Dalam ulasan pendeknya atas penelitian Owen dkk, seorang neurosaintis terpandang, Andrew Newberg, mengingatkan bahwa hal yang sebaliknya bisa juga terjadi: orang yang sebelumnya memang memiliki hippokampus yang volumenya lebih kecil dibandingkan volume rata-rata, dapat memperlihatkan sifat-sifat keagamaan yang spesifik, misalnya antusiasme religius yang sangat tinggi, keadaan mudah terseret ke dalam praktek-praktek keagamaan yang emosional, dan keadaan kerap mengalami perjumpaan dengan Allah atau malah bercakap-cakap dengan Allah sendiri.
Tetapi, pada pihak lain, Newberg juga membenarkan bahwa agama mempengaruhi otak manusia, entah secara positif ataupun secara negatif./8/
Spiritualitas, stres dan depresi
Prof. Lisa J. Miller adalah editor buku penting yang berjudul Oxford University Press Handbook of Psychology and Spirituality (Oxford Library of Psychology. Oxford University Press, 2013). Ini sebuah buku bunga rampai yang membeberkan dengan komprehensif hubungan psikologi dan spiritualitas, dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan pendekatan.
Prof. Miller telah melakukan serangkaian riset tentang apa yang berlangsung terhadap atau di dalam otak ketika orang terlibat dengan teratur dan jangka panjang dalam berbagai aktivitas dan pengalaman spiritual lintasbudaya dan lintastradisi spiritual.
Salah satu hal tersignifikan yang ditemukan Prof. Miller adalah bahwa pengalaman spiritual yang positif yang dialami teratur lewat berbagai cara dan kegiatan dan lintastradisi mempertebal bagian otak yang dinamakan korteks prafrontalis. Tetapi korteks yang sama menipis ketika orang mengalami stres dan depresi kronis. Jadi, spiritualitas dan depresi itu ibarat “dua sisi dari satu koin yang sama”./9/
Dengan kata lain, aktivitas spiritual positif yang dilakukan dengan teratur dalam kurun yang panjang akan dapat memperkuat otak, dus mental, dalam orang menghadapi stres dan depresi, tentu sejauh si penderita masih bisa ikut ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan spiritual.
Orang yang sudah depresif berat, ya tak tertarik sama sekali pada kegiatan-kegiatan spiritual. Berdoa saja sudah enggan. Maunya surut ke sudut-sudut, menyendiri dan murung.
Atau kegiatan spiritual dapat menjadi perisai bagi serangan gangguan stres dan depresi yang sewaktu-waktu dapat datang karena sikon kehidupan yang berat dan buruk, atau yang timbul di saat orang mulai memasuki usia lanjut.
Selain itu, riset skala kecil mutakhir dengan menggunakan fMRI untuk memindai aktivitas otak 27 orang muda, usia 18-27 tahun, yang semuanya sehat fisik dan mental, baru saja selesai dilakukan Prof. Miller bersama satu tim peneliti./10/
Lewat riset tersebut, mereka menemukan bahwa bagian otak yang dinamakan lobus parietal inferior (yang memproses persepsi dan gambaran tentang diri sendiri dan orang lain) kurang aktif di saat orang terbenam dalam pengalaman-pengalaman spiritual, tetapi meningkat aktivitasnya ketika orang tenggelam dalam hal-hal yang merangsang emosi, mulai dari yang wajar atau netral hingga yang menimbulkan stres dan depresi.
Di samping itu, aktivitas spiritual yang teratur dalam waktu panjang juga mengurangi aktivitas thalamus medial dan kaudate (bagian pemroses pengindraan dan emosi). Alhasil, emosi bisa lebih stabil dan tak rentan gangguan. Dengan demikian, aktivitas spiritual yang positif dan teduh dapat berfungsi untuk meredam dampak-dampak stres dan depresi kronis pada kesehatan mental, “to buffer the effects of stress on mental health”.
Tapi saya mau memberi suatu catatan penting juga. Yakni, bahwa kegiatan-kegiatan keagamaan yang egosentris, penuh kegalakan, literalis, agresif, dan suka memaksa Tuhan, dan penuh pembodohan, tentu saja juga menjadi suatu sumber besar rasa stres bagi siapapun yang terlibat, lalu akan memburuk menjadi depresi, dan terlihat nyata terus-menerus menimbulkan kekacauan dan kerusakan dalam masyarakat.
Apakah corak kehidupan keagamaan yang garang semacam itu dapat dikategori sebagai spiritualitas? Hemat saya, tentu tidak. Itu bukan spriritualitas yang teduh dan meneduhkan hati dan pikiran, tapi suatu pola pikir dan sikap mental serta perilaku keagamaan fundamentalis radikal. Prof. Miller tentu tahu hal ini. Dia tidak menyoroti agama, tapi spiritualitas. Dua hal yang berbeda meski ada bagian-bagian keduanya yang tumpang tindih.
Meditasi yang dalam
Beberapa kajian ilmiah, sebaliknya, menunjukkan bahwa meditasi yang sangat intens dan dilakukan terus-menerus dan konstan dalam jangka panjang telah memberi dampak positif pada struktur hippokampus dan lobus frontalis: (a) selama meditasi yang intens, hippokampus diaktivasi,/11/ dan (b) meditasi yang dilakukan dalam jangka panjang dan terus-menerus memperbesar volume hippokampus dan lobus frontalis./12/
Jika aktivitas lobus frontalis meningkat, lewat meditasi intens misalnya, sementara aktivitas sistim limbik menurun, maka orang akan merasakan kedamaian dan ketenteraman, karena zat kimiawi endorfins terbentuk dan mengalir deras dalam otak.
Selain itu, semakin orang giat dalam kegiatan intelektual, semakin kuat lobus frontalis-nya. Sebagaimana diuraikan Andrew Newberg dan Mark Robert Waldman dalam buku How God Changes Your Brain,/13/ lobus frontalis menjadikan kita manusia organisme yang unik.
Di bagian korteks neural inilah berakar imajinasi, kreativitas, orisinalitas dan kemampuan bernalar dan berkomunikasi dengan orang lain, dan kemampuan untuk menjadi lebih damai, lebih berbelarasa, dan lebih termotivasi. Bagian otak ini memungkinkan kita untuk menyusun sebuah konsep logis mengenai suatu Allah yang rasional, bijaksana dan pengasih.
Jika meditasi intens mengaktifkan dan memperbesar volume lobus frontalis, jelaslah meditasi akan menjadi suatu cara yang bermanfaat untuk meningkatkan semua kemampuan yang diproses dalam lobus ini.
Meditasi juga berhubungan erat dengan struktur thalamus dalam otak.
Menurut Newberg dan Waldman (Ibid.), thalamus adalah suatu stasiun pemroses besar dalam organ otak manusia: segala pengindraan, suasana atau modus dan isi pikiran melewati organ otak ini ketika informasi diteruskan ke bagian-bagian lain otak. Semakin anda terbenam ke dalam perenungan tentang suatu objek khusus, semakin aktif thalamus anda.
Jika thalamus tidak berfungsi lagi, maka orang akan mengalami keadaan koma. Bahkan kerusakan kecil saja pada thalamus, akan menghambat kinerja bagian-bagian lain otak manusia.
Pada thalamus inilah otak kita memberi kita kemampuan untuk merasakan sesuatu yang kita sedang pikirkan sebagai sebuah kenyataan, seolah gagasan-gagasan kita adalah suatu objek yang nyata di dalam dunia ini.
Semakin anda memikirkan suatu gagasan berulang kali dan dengan sangat serius, maka thalamus memberi respons berupa sebuah impresi dalam diri anda bahwa gagasan ini adalah suatu objek nyata. Di dalam thalamus inilah makna emosional diberikan kepada pikiran-pikiran kita yang muncul di dalam lobus frontalis, sehingga kita tidak ingin dipisahkan dari pikiran-pikiran kita.
Sehubungan dengan agama, thalamus memberi suatu makna emosional pada konsep-konsep anda tentang Allah: organ inilah yang membuat anda mencinta Allah anda (atau sebuah gagasan anda tentang Allah) dan tidak ingin dipisahkan darinya.
Thalamus memberi anda suatu makna menyeluruh mengenai dunia ini dan tampaknya merupakan suatu organ kunci yang membuat Allah terasa objektif dan nyata. Hormon oksitosin dalam otak membantu kerja thalamus untuk mencapai keadaan-keadaan yang diinginkan ini.
Jika thalamus terus diaktifkan melalui meditasi, yang di dalamnya orang sungguh-sungguh memikirkan gagasan-gagasannya sebagai kenyataan real dalam dunia objektif, maka mereka akan memandang kenyataan secara berbeda dari pandangan yang normal dan biasa.
Jika seorang praktisi meditasi tingkat tinggi sungguh-sungguh memikirkan dan memandang Allah, ketenteraman dan kesatuan dengan segala yang ada dalam jagat raya sebagai kenyataan-kenyataan real dalam kehidupan, maka (salah satu) organ thalamus-nya terus aktif (sekalipun dia tidak sedang bermeditasi) dan keadaan ini memberi kepadanya suatu kesadaran yang melampaui keadaan sadar yang biasa: pikiran-pikiran dan keyakinan-keyakinannya bukan lagi ada hanya dalam dunia gagasan, tetapi betul-betul dialaminya dengan jelas dalam dunia nyata.
Dalam hal itu, pikiran atau mind menjadi sama dengan atau menghasilkan realitas, tentu dalam arti thalamus memungkinkannya untuk berpikiran, bersikap dan berperilaku sedemikian rupa sehingga segala sesuatu di dalam dan lewat dirinya berjalan selaras dengan atau mewujudkan apa yang dipikirkannya.
Dalam meneliti pengalaman-pengalaman spiritual, Andrew Newberg memakai metode pencitraan otak yang disebut single photon emission computed tomography (SPECT) selama aktivitas keagamaan berlangsung. SPECT menghasilkan gambar-gambar aliran darah dalam otak pada suatu waktu tertentu; makin banyak aliran darah yang masuk, ini menandakan aktivitas otak yang meningkat.
Newberg meneliti aktivitas otak para rahib Buddhis Tibet ketika mereka sedang bermeditasi. Para rahib ini memberitahu Newberg bahwa mereka akan segera masuk ke dalam suasana meditatif intens dengan menarik seutas dawai. Pada momen ini, Newberg menginjeksikan zat pewarna radioaktif ke dalam pembuluh darah mereka lalu mengambil gambar otak.
Seperti dilaporkan dalam artikel Shankar Vedantam,/14/ Andrew Newberg menemukan bahwa aktivitas di lobus frontalis meningkat ketika meditasi mulai berlangsung dan makin intens, menandakan bahwa aktivitas berkonsentrasi sedang berlangsung dalam korteks ini.
Sebagaimana dilaporkan Steve Paulson dalam artikel yang berjudul “Divining the Brain”,/15/ Newberg juga menemukan bahwa selama meditasi berlangsung, aktivitas di lobus parietalis menurun drastis. Lobus parietalis berfungsi antara lain untuk memampukan seseorang menentukan posisinya dalam suatu ruang tiga dimensi.
Newberg berpendapat bahwa berkurangnya aktivitas di korteks ini secara drastis ketika para rahib itu sedang bermeditasi menandakan bahwa mereka kehilangan kemampuan mereka untuk membedakan di mana mereka berakhir dan di mana sesuatu yang lain dimulai dalam suatu ruang tiga dimensi.
Dengan kata lain, mereka menjadi satu dengan jagat raya, suatu keadaan yang sering digambarkan sebagai suatu momen menyatu dengan “yang transenden”.
Gambar 6: Bermeditasi di tepi pantai
Jika anda dalam meditasi menyatukan diri dengan alam, langit dan jagat raya, lewat pikiran yang terkonsentrasi penuh, maka inilah yang terjadi dalam otak anda: struktur thalamus menjadi sangat aktif, aktivitas lobus frontalis meningkat, dan aktivitas lobus parietalis berkurang drastis sehingga kesadaran spasial anda lenyap dengan akibat anda merasa menyatu dengan jagat raya.
Jika pengalaman neurologis menyatu dengan alam ini terus anda ulang-ulang, kepribadian anda akan terpengaruh, berubah: anda akan menjadi seorang yang universalis, melihat diri anda sebagai bagian dari jagat raya, dan otomatis anda akan menjalani kehidupan anda tak terlepas dari sesama anda dan semua organisme dan planet Bumi sendiri. Cobalah!
Para biarawati yang sedang berdoa
Dalam suatu studi lainnya, dengan subjek kajian para biarawati, Newberg (sebagaimana dilaporkan juga oleh Steve Paulson, Ibid.) juga menemukan aktivitas yang sama dalam otak ketika para biarawati ini sedang berdoa kepada Allah, tidak bermeditasi seperti para rahib.
Aktivitas di lobus frontalis para biarawati ini meningkat ketika mereka mulai memusatkan pikiran mereka pada doa mereka, dan aktivitas di lobus parietalis menurun tajam, tampaknya menandakan bahwa mereka telah kehilangan kesadaran diri mereka dalam hubungannya dengan dunia nyata dan dengan begitu mereka dapat masuk ke dalam persekutuan dengan Allah.
Fenomena “bahasa lidah”
Tetapi terdapat perbedaan dalam aktivitas otak ketika kajian dilakukan terhadap orang Kristen Pentakostal yang sedang terbenam dalam aktivitas “berbahasa lidah” (glossolalia).
Oleh mereka, bahasa ini dianggap sebagai bahasa para malaikat. Kita dapat menyatakannya demikian: lewat lidah mereka, makhluk-makhluk gaib dipercaya sedang berbicara, bukan dalam bahasa manusia, tetapi dalam bahasa alam gaib.
Ketika aktivitas keagamaan ini sedang berlangsung, aktivitas lobus frontalis mereka malah menurun, dan hal ini menandakan bahwa pikiran mereka tidak terpusat dan mereka tak mampu berkonsentrasi./16/
Bersamaan dengan menurunnya aktivitas di lobus frontalis kemampuan berpikir rasional pun perlahan menghilang, dan suatu impresi tentang suatu Allah yang tidak rasional mulai muncul dan menguat, lalu mengambil kendali atas diri mereka.
Gambar 7: ibadah pentakostal yang bermuara pada fenomena “bahasa lidah”
Bahwa mereka mulai membangun suatu gambaran tentang Allah yang tidak rasional, yang mengambil kendali atas kesadaran diri dan rasionalitas mereka, diperlihatkan juga oleh tidak aktifnya pusat bahasa dalam otak (Steve Paulson, Ibid.) meskipun mereka sedang aktif berbahasa lidah.
Keadaan aktivitas otak yang semacam ini memang sejalan dengan kepercayaan kalangan Pentakostal bahwa dalam berbahasa lidah, mereka kehilangan kendali atas diri sendiri dan tak mampu berpikir rasional, sebab yang sekarang berkuasa atas diri mereka dan sedang berbicara lewat lidah mereka adalah sesuatu yang lain, yang mereka yakini sebagai “Allah” atau “Yesus” atau "Roh Kudus" yang sedang berfirman melalui mereka.
Apapun yang diucapkan lewat lidah mereka ketika mereka sedang berada dalam situasi mental semacam ini, semuanya tak terkontrol oleh akal budi mereka.
Lobus frontalis, yang mengontrol pikiran yang rasional, bisa kurang atau malah tidak aktif dalam aktivitas “berbahasa lidah” karena ritual ini memang menjadi suatu kesempatan untuk orang mencurahkan semua tekanan batin mereka, suatu kegiatan katarsis yang sangat intensif, yang hanya akan sukses jika pikiran rasional ditutup rapat-rapat. Itulah penjelasan neurologis atas gejala keagamaan yang dinamakan “bahasa lidah”.
Pengalaman keagamaan di megachurches
Kajian yang berjudul “‘God is like a drug’: Explaining Interaction Ritual Chains in American Megachurches”, yang disajikan pada 19 Agustus 2012 dalam pertemuan tahunan American Sociological Association di Denver,/17/ berfokus pada kegiatan-kegiatan ibadah Minggu di gereja-gereja superbesar (megachurches) Amerika.
Menurut kajian ini, kegiatan-kegiatan ibadah semacam ini sanggup menimbulkan euforia dan rasa sukacita yang besar dalam diri umat yang bersumber dari apa yang mereka klaim sebagai pengalaman memasuki lalu menyatu dengan dunia adikodrati.
Dalam pengalaman ini, cinta serta kegairahan mereka terhadap Allah (atau Roh Kudus) dirasakan begitu real dan berbalas sehingga mereka ketagihan untuk terus-menerus ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan ibadah ini dari waktu ke waktu.
Kita tahu bahwa pengalaman keagamaan “melambungnya” umat ke dalam dunia transenden yang diikuti dorongan kuat untuk terus-menerus menyatu dengan Allah, terjadi karena lewat semua aktivitas ibadah itu, yang telah dirancang dengan sangat unik, hormon oksitosin (yang dijuluki sebagai “hormon cinta”) dalam jumlah yang makin meningkat terpicu lepas dari sel-sel otak, lalu masuk ke aliran darah dan berpengaruh pada seluruh tubuh.
Musik modern yang diangkat dan dilantunkan bertubi-tubi, nyanyian-nyanyian yang melambung, kamera-kamera yang memindai audiens dan memproyeksikan pada layar-layar lebar para peserta ibadah yang sedang tersenyum, tertawa, berdansa, bernyanyi, menangis bahkan terjatuh lunglai ke lantai dalam keadaan ekstasis, yang diselang-seling dengan khotbah-khotbah para pengkhotbah kharismatis yang disengaja menyentuh dengan sangat kuat hanya aspek-aspek emosional umat―semuanya ini berfungsi untuk menaikkan suhu emosi setiap orang yang hadir, membawa mereka ke dalam bayangan-bayangan memasuki dunia transenden, bertemu dengan Allah atau dipenuhi kehadiran Roh Kudus, dan untuk membangun suatu identitas bersama sebagai satu perhimpunan besar umat Allah yang dikasihi dan mengasihi Allah.
Lewat itu semua, hormon oksitosin dalam otak meningkat volumenya.
Semakin banyak hormon oksitosin dilepaskan lewat aksi-reaksi elektrokimiawi otak, semakin orang merasa dipersatukan secara sosial dan secara afektif dengan sesamanya dalam satu himpunan besar orang, bahkan dengan objek-objek lain yang tak kasat mata (“gaib”) yang dibayang-bayangkan ada bersama mereka.
Besarnya ukuran bangunan fisik gereja dan jumlah umat ternyata tidak menjadi penghalang untuk semua yang hadir mengalami pengalaman dipersatukan secara sosial dengan sesama umat dan dengan Allah atau dengan Yesus Kristus, dan untuk mengalami euforia. Bisa jadi, fenomena sosiopsikologis dan spiritual semacam ini menjadi penyebab utama megachurches di Amerika terus berkembang dengan pesat. Allah itu seperti candu!
Selain khotbah-khotbah yang disengaja menyentuh dalam-dalam emosi umat, musik dan nyanyian yang diangkat dalam ibadah-ibadah di megachurches sangat kuat berperan dalam melambungkan umat ke dalam pengalaman-pengalaman rohani.
Pertanyaannya, Apakah musik dan madah-madah yang meriah dan melambung ini memang positif bagi kesehatan jiwa orang-orang yang ambil bagian aktif di dalamnya atau yang mendengarkannya?
Kajian-kajian klinis neurosaintifik yang dilakukan Lin ST dkk pada tahun 2011, yang diterbitkan di jurnal Harvard Review Psychiatry, dengan judul “Mental health implications of music: insight from neuroscientific and clinical studies”, menunjukkan bahwa musik dapat menjadi media yang mampu mempengaruhi proses-proses neurobiologis yang rumit di dalam otak dan dapat memainkan suatu peran yang penting dalam pengobatan.
Kajian-kajian klinis memberi bukti bahwa terapi musik dapat dilakukan sebagai sebuah terapi alternatif untuk mengobati depresi, autisme, skizofrenia, dementia, dan juga masalah-masalah yang muncul dari gejolak kejiwaan, kecemasan, insomnia, dan penyalahgunaan narkoba./18/
Tetapi, sebagaimana dirujuk oleh Daniel C. Dennett dalam bukunya Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon, sebuah penelitian lain mengenai musik yang dilakukan di Cambridge University and Caltech yang diterbitkan di New York Times, memperlihatkan hal yang berbeda. Bahwa musik sebenarnya buruk untuk kesehatan, menjadi faktor besar penyebab penyakit Alzheimer dan serangan jantung, berperan besar dalam melahirkan perilaku agresif, xenofobia dan lemahnya kemauan, dan memperbesar kemungkinan orang melakukan tindak kekerasan./19/
Dua kesimpulan yang berbeda tentang manfaat musik bagi kesehatan manusia ini sudah seharusnya membuat setiap pecinta musik bijaksana dan cerdas dalam memilih jenis-jenis musik dan suara.
Terapis musik Jennifer Buchanan menyatakan, “musik dengan cepat merangsang dan mengaktifkan pusat-pusat ‘hadiah’ dalam otak kita. Apa yang terjadi pada kebanyakan kita hanya dalam beberapa detik adalah, kita akan mengalirkan hormon-hormon ke dalam sistem saraf kita, seperti dopamin yang akan membantu kita merasa damai, oksitosin yang akan menolong kita mempercayai orang lain, dan serotonin yang dapat membantu kita tertidur lelap. Semuanya bergantung pada lagu dan nadanya.”/20/
Anak-anak “indigo”
Bagian ini membeberkan ihwal anak-anak “indigo”―yaitu anak-anak yang mengaku bisa melihat dan bergaul dengan makhluk-makhluk rohani―berdasarkan sebuah hasil kajian mutakhir tentang pokok ini yang dimuat dalam sebuah jurnal ilmiah dengan judul “Nighttime Fears and Fantasy-Reality Differentiation in Preschool Children” (Februari 2013)./21/
Dalam laporan hasil kajian ini tidak dipakai kata “indigo” (artinya “biru keunguan” atau “anak bintang” atau “anak kristal”) untuk anak-anak yang kerap bercerita tentang makhluk-makhluk rohani yang mereka lihat.
Saya memakai kata “indigo” karena kata ini sudah dikenal umum untuk mengategorikan anak-anak yang diklaim mempunyai pengalaman-pengalaman paranormal. Kita tahu, oleh kalangan tertentu (paranormalis), anak indigo kerap diacu sebagai bukti adanya makhluk-makhluk gaib yang tak kasat mata.
Dan tak sedikit orang memanfaatkan fenomena anak-anak indigo untuk menjalankan bisnis yang menguntungkan, dengan mengeksploitasi orangtua-orangtua yang memiliki anak-anak indigo tetapi tidak memahami fenomena ini dan tidak tahu bagaimana mengatasinya.
Makhluk gaib yang menurut banyak anak mengadakan kontak dengan mereka bisa peri, malaikat, nenek/kakek yang sudah mati, monster yang menakutkan, bahkan bisa juga alien dari galaksi-galaksi lain.
Tak sedikit anak-anak yang mengaku bahwa mereka habis bermain sungguhan dengan figur-figur yang ada dalam buku-buku dongeng yang mereka telah baca atau dengar kisahnya.
Seorang famili saya dengan sangat yakin bercerita bahwa di masa kecil dia pernah memanjat pohon bersama tokoh-tokoh heroik Cina zaman dulu.
Saya sering ditanya orang, apa itu anak indigo, dan apa benar mereka bisa kontak dan bermain dengan makhluk-makhluk gaib, atau melihat lalu lari ketakutan. Orang sering menyebut anak-anak jenis ini sebagai anak-anak yang memiliki “indra keenam”.
Kalau saya ditanya perihal anak indigo, saya biasa menjawab sambil lalu: Wah, anak-anak yang suka berfantasi seenaknya itu kok penting buatmu?
Tapi kajian ilmiah mutakhir yang sudah saya sebut itu, penting anda semua ketahui, karena memberi anda pengetahuan yang berbasiskan sebuah penelitian ilmiah. Kata “indigo” tidak dipakai para pakar psikologi yang mengkaji kehidupan anak-anak karena istilah ini muncul bukan dari lingkungan akademik.
Kata “indigo” muncul dalam gerakan keagamaan yang dinamakan New Age Movement untuk anak-anak yang diklaim memiliki kelebihan-kelebihan spiritual. Kajian-kajian kalangan New Age terhadap anak-anak yang mereka klaim “indigo” dinilai sebagai kajian-kajian pseudosaintifik yang tak berbasis fakta.
Orangtua yang mengklaim anak mereka indigo yang memiliki kelebihan spiritual, dinilai sebagai orangtua yang sedang menutupi masalah sebenarnya si anak.
Orangtua semacam itu dipandang tak mau mengakui masalah mental si anak, tapi mengalihkan masalahnya ke ranah paranormalitas. Orangtua semacam itu dinilai mencari kompensasi kelainan mental anak mereka dalam klaim mereka bahwa anak mereka indigo, superior secara spiritual, punya indra keenam.
Nah, hal-hal apa saja yang berhasil ditemukan oleh tim peneliti (4 orang) yang laporannya dimuat dalam jurnal ilmiah yang telah saya sebut di atas?
Mereka menemukan, anak-anak prasekolah (usia 4-6 tahun, sebagai sampel diambil 80 orang) yang sering merasa takut di malam hari atau sering bermimpi buruk dalam tidur mereka kerap mengalami hal-hal yang disebut paranormal, dan mengalami kebingungan dalam membedakan mana realitas dan mana fantasi.
Sedangkan anak-anak seusia mereka yang tetap relaks dan tenang di malam hari dan dalam tidur mereka (sebagai kelompok kontrol, diambil sejumlah 32 anak), tidak mengalami paranormalitas dan menunjukkan kemampuan yang memadai untuk membedakan mana fantasi dan mana realitas.
Anak-anak bisa cemas dan takut di malam hari karena banyak faktor: antara lain, terpisah dari orangtua yang tidur di kamar lain, ngeri terhadap gelap gulita, dan berbagai pembawaan dan perilaku lain yang umum ada dalam diri anak-anak. Mereka juga punya bayangan sendiri tentang makhluk-makhluk yang hanya muncul di malam hari dan tampak menakutkan.
Mereka bisa sangat cemas di malam hari karena persoalan mereka di siang hari belum diselesaikan dan terus membebani pikiran mereka. Mereka juga menjadi cemas di malam hari karena mereka merasa harus kembali mengalami mimpi buruk dalam tidur mereka.
Nah, ditemukan, anak-anak yang kerap mengalami rasa takut di malam hari, sering bercerita kepada orangtua mereka bahwa mereka mengalami paranormalitas. Ketika orangtua mempercayai begitu saja kisah-kisah fantastis anak mereka karena mereka tak ingin melukai hati mereka, anak-anak itu makin menjadi-jadi dalam berkisah.
Ketika orangtuanya percaya penuh pada kisah si anak lalu memperlihatkan proteksi mereka terhadapnya, paranormalitas makin meningkat dalam diri si anak.
Kelihatan di sini, bahwa lewat kisah-kisah mereka tentang paranormalitas, anak-anak merasa makin mendapatkan perhatian dan kasih sayang orangtua mereka. Tapi efeknya ternyata tidak baik: ketika ini terjadi, kemampuan si anak untuk membedakan mana realitas dan mana fantasi, makin menurun.
Juga ditemukan bahwa anak-anak yang suka ketakutan di malam hari ternyata juga menderita lebih banyak ketakutan yang sifatnya umum dan mengalami lebih banyak problem perilaku; kenyataan ini menunjukkan bahwa ketakutan di malam hari dapat mencerminkan kerentanan yang lebih besar terhadap ketakutan dan kecemasan yang umum dan penyakit-penyakit mental lainnya.
Tetapi semakin usia anak bertambah, pengalaman paranormal umumnya makin berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali, sejalan dengan tumbuhnya kemampuan mereka untuk berpikir rasional dan untuk membedakan mana realitas dan mana fantasi.
Kesimpulannya: semakin seorang anak hidup dalam banyak ketakutan di malam hari, semakin terbuka peluang si anak mengalami paranormalitas. Jadi, paranormalitas adalah respon neurologis si anak terhadap ketakutan-ketakutannya sendiri yang tak dapat diatasinya sendiri.
Hantu-hantu dan makhluk-makhluk rohani yang menakutkan datang kepada anak-anak yang sering ketakutan. Ketakutan mereka memicu ketakutan yang lebih besar dalam pengalaman paranormalitas. Dan kurangnya kemampuan untuk membedakan mana realitas dan mana fantasi berperan dalam muncul dan bertahannya ketakutan-ketakutan dalam diri anak-anak.
Ketidakpastian yang ada dalam diri anak-anak mengenai hantu-hantu, roh-roh yang bergentayangan, monster-monster atau pun para penyihir dapat menimbulkan dan memelihara ketakutan-ketakutan dalam diri mereka terhadap mahkluk-makhluk semacam ini.
Memahami duduk perkara semacam yang baru dikemukakan di atas sangat penting khususnya kalau anda masih memiliki anak-anak yang sering bercerita bahwa mereka kerap bertemu dengan makhluk-makhluk tak kasat mata, yang membuat mereka ketakutan.
Siapapun boleh bertanya, apakah seorang dewasa yang juga mengklaim kerap mengalami paranormalitas, sebetulnya juga sedang hidup dalam banyak ketakutan, yang tak dapat diatasinya, lalu neuron-neuron dalam otaknya menanggapi keadaan mentalnya ini dengan menimbulkan fantasi melihat makhluk-makhluk paranormal? Tentu saja hal ini masih harus diteliti.
Menciptakan sendiri pengalaman-pengalaman spiritual
Jika semua pengalaman religius yang digambarkan di atas, dalam kaitan dengan PDK dan PKT, meditasi para rahib, kegiatan doa para biarawati, aktivitas berbahasa lidah orang Kristen kharismatik/Pentakostal, dan euforia dalam ibadah di megachurches, muncul karena aktif atau tidak aktifnya berbagai bagian neural dalam otak, maka muncul sebuah pertanyaan: Apakah Allah atau suatu kekuatan adikodrati hanya ada di dalam tempurung kepala kita?
Jika memang demikian halnya, apakah tanpa lewat meditasi, tanpa lewat doa, tanpa lewat kegiatan berbahasa lidah, tanpa madah-madah yang melambung, tanpa keharusan berpuasa, kita semua dapat langsung mengalami atau menciptakan sendiri berbagai pengalaman mistikal itu?
Neurosaintis Michael A. Persinger berpendapat, ya kita dapat menciptakan sendiri semua pengalaman keagamaan yang kita kehendaki. Persinger telah menulis sebuah buku bagus, yang diberi judul Neuropsychological Bases of God Beliefs. /22/
Gambar 8: “God Helmet” ciptaan Michael Persinger
Menurutnya, setelah melakukan banyak eksperimen klinis, semua kepercayaan kepada Allah dan semua pengalaman spiritual/paranormal (seperti PKT/OBE, atau perasaan kuat bahwa sesuatu yang supernatural, Allah atau malaikat atau suatu demon/setan, hadir dekat kita, yang disebutnya “a sensed presence”) memiliki basis fakta bukan di dunia adikodrati, melainkan pada kerja neuron-neuron otak kita.
Itu dibuktikannya lewat berbagai eksperimen dengan menggunakan sebuah alat yang dinamakan “God Helmet”, sebuah helm yang sudah dimodifikasi yang memiliki elektroda-elektroda.
Ternyata ketika lobus temporalis dari otak kiri (wilayah neural dalam organ otak, yang terletak persis di atas telingga) diberi rangsangan gelombang elektromagnetik secara teratur lewat elektroda “God Helmet” yang dipasang pada kepala si subjek yang sedang diteliti, muncullah perasaan-perasaan tertentu yang terkait dengan pengalaman keagamaan.
Rangsangan gelombang elektromagnetis ini menimbulkan apa yang disebut temporal lobe transients, atau “ketidakstabilan lobus temporalis”, yakni peningkatan dan ketidakstabilan pola-pola penembakan pulsa-pulsa elektrik neuron-neuron otak dalam aktivitas elektrokimiawi pada wilayah lobus temporalis ini.
Ketika keadaan ini tercipta di lobus temporalis otak kiri, sehingga tak terjadi sinkronisasi antara otak kiri dan otak kanan, lobus temporalis pada otak kanan mengalami gangguan, dan gangguan pada otak kanan ini ditafsirkan oleh otak kiri sedemikian rupa sehingga memunculkan suatu perasaan adanya suatu “kehadiran diri lain” atau suatu “kehadiran yang dirasakan” di samping diri si subjek yang sedang diuji-coba.
Pada kondisi kerja otak yang normal, lobus temporalis otak kiri dan lobus temporalis otak kanan secara sinkron dan harmonis memberi kesadaran pada diri kita bahwa kita ini memiliki “satu identitas” diri; ketika sinkronisasi dan harmoni antara keduanya tak terjadi, lobus temporalis otak kiri menafsirkan “jati diri” yang muncul dalam lobus temporalis otak kanan sebagai “suatu diri yang lain” (Allah, santa/santo, malaikat, bahkan demon).
“God Helmet” yang digunakan Persinger dalam studi-studinya mendapat perhatian kalangan luas. Kurang lebih 80 % pengguna helm khusus ini merasa ada suatu kehadiran spiritual di sisi mereka ketika pengujian sedang dijalankan./23/
Ketika helm istimewa ini selama 40 menit dikenakan pada Prof. Richard Dawkins, seorang ateis dan kritikus agama, biolog yang termasyhur ini tak berhasil mengalami perasaan dihadiri Allah di sisinya, tetapi pernafasan dan anggota-anggota tubuhnya diakuinya terpengaruh oleh helm ini.
Mungkinkah keadaan yang dialami Dawkins ini menunjukkan bukan kegagalan kerja God Helmet, tetapi karena Dawkins, seperti dikatakan Uskup Stephen Sykes dalam konteks lain, tidak memiliki “bakat untuk agama”? Atau, barangkali Dawkins, selama uji coba helm istimewa itu, melakukan perlawanan mental terhadap situasi yang di atas disebut “ketidakstabilan lobus temporalis”?
Michael Shermer, misalnya, seorang skeptik dan penulis buku-buku kajian neurosains, pernah juga menjadikan dirinya subjek uji coba God Helmet. Pada uji coba ronde pertama, karena dia tidak percaya dan melakukan perlawanan mental terhadap suasana neurologis yang ditimbulkan helm ini, dan ingin mengontrolnya, dia gagal mengalami fenomena paranormal.
Tetapi pada uji coba ronde kedua, ketika dia menuruti kekuatan magnetisme yang melanda lobus temporalis-nya, dia sedikit banyak terhanyut ke dalam suatu pengalaman yang dirasakannya aneh dan tak biasa, seperti diakuinya dalam bukunya,/24/ bahwa dia merasa sedang terlibat dalam suatu pertempuran sengit antara bagian rasional dan bagian emosional otaknya “untuk memutuskan apakah perasaan bahwa aku ingin meninggalkan tubuhku sendiri adalah suatu perasaan yang real.”
Meskipun God Helmet-nya gagal bekerja pada diri Richard Dawkins, si pembuat helm ini, Persinger, tidak patah semangat. Menurutnya, kepekaan lobus temporalis terhadap magnetisme berbeda-beda dalam diri setiap orang, dan orang-orang yang mengidap temporal lobe epilepsy (TLE; “epilepsi lobus temporalis”) khususnya sangat sensitif terhadap medan magnet.
Bahkan Persinger berpendapat bahwa ada orang yang secara genetik memiliki kecondongan untuk bisa merasakan dan terpengaruh oleh sesuatu yang “adikodrati”, dan mereka yang semacam ini tidak memerlukan God Helmet untuk mengalami pengalaman-pengalaman keagamaan.
Menurutnya, medan elektromagnetik yang tercipta secara alamiah (lewat kejadian alam) dapat juga memunculkan pengalaman-pengalaman keagamaan.
Sebagai contoh, ketika Bumi dihujani meteor-meteor dari angkasa luar yang memancarkan gelombang elektromagnetik yang sangat kuat, Joseph Smith, sang pendiri Gereja Orang Suci Zaman Akhir, mengklaim dikunjungi malaikat Moroni, dan Charles Taze Russell mendirikan Saksi Yehovah.
Jika magnetisme yang dengan kuat merangsang korteks-korteks neural dalam otak manusia memunculkan berbagai macam pengalaman spiritual, maka sesungguhnya pengalaman-pengalaman ini, dalam bentuk yang masih sangat natural dan primitif, belum dirasionalisasi dan disistematisasi ke dalam suatu sistem kepercayaan, juga mustinya sudah dialami oleh Homo sapiens (makhluk cerdas yang kita namakan “manusia”) ketika “animisme” menjadi bagian sehari-hari kehidupan spesies ini.
Yakni sekitar 14.000 tahun yang lalu, di era pra-ilmiah,/25/ atau malah sekitar 70.000 tahun lalu ketika muncul agama tertua di antara orang Basarwa di Ngamiland, Afrika Selatan./26/ Spesies cerdas ini sendiri sudah muncul di muka Bumi 300.000 hingga 400.000 tahun yang lalu di Afrika setelah melewati proses evolusi biologis yang memakan waktu sangat panjang./27/
Pada sisi lain, kita tahu, sejak awal planet Bumi terbentuk (4,5 milyar tahun yang lalu), dari inti dalam planet ini memancar medan magnit Bumi, yang membuat kedua kutub Bumi bersifat magnetis. Selain itu, di ruang antarbintang dan antarplanet, dan antargalaksi, juga memancar radiasi gelombang elektromagnetis.
Jadi, alam sendiri memang memungkinkan pengalaman-pengalaman spiritual akhirnya muncul sebagai bagian dari berbagai kejadian alamiah: evolusi spesies (khususnya evolusi otak Homo sapiens) dan magnetisme Bumi.
Selain lewat rangsangan medan elektromagnetis pada korteks-korteks otak, PKT atau OBE juga dapat dialami, sebagaimana disarankan Prof. Richard Wiseman dalam bukunya Paranormality, lewat latihan-latihan yang mencakup relaksasi (yang disebutnya “relaksasi otot progresif”, dengan mula-mula menegangkan berbagai otot di seluruh tubuh anda, lalu melepas semua ketegangan otot itu), visualisasi (membayangkan di depan anda berdiri duplikat diri anda, yang selanjutnya melakukan berbagai kegiatan di dalam ruang di mana anda berada atau di luar ruang), dan konsentrasi (pusatkan pikiran anda pada satu tujuan anda: menyatu dengan duplikat diri anda, dan melaksanakan semua yang anda telah bayangkan dilakukan oleh duplikat diri anda).
Pada bagian akhir uraiannya tentang OBE, Wiseman menulis, “OBE bukan paranormal dan tidak memberi bukti adanya jiwa manusia, melainkan menyingkapkan sesuatu yang jauh lebih luar biasa mengenai kerja otak dan tubuh anda sehari-hari.”/28/
TLE dan gelombang otak hiperaktif
Selanjutnya perlu diketahui bahwa para neurosaintis bukan saja menyelidiki hubungan pengalaman keagamaan dan otak dengan memakai orang pada masa kini sebagai subjek-subjek uji coba klinis, tetapi mereka juga menerapkan perspektif neurosains pada orang-orang suci zaman yang sudah sangat lampau, yang dikisahkan dalam kitab-kitab suci pernah mengalami pengalaman paranormal.
Beberapa neurosaintis mengaitkan peristiwa yang dialami Musa dan Rasul Paulus, sebagaimana dikisahkan dalam Alkitab, dengan TLE (temporal lobe epilepsy).
TLE sebetulnya adalah suatu gangguan kronik pada sistem saraf yang ditandai oleh “focal seizures” (aktivitas pulsa listrik yang tak terkendali dalam otak, yang menimbulkan serangan fisik kejang/sawan tiba-tiba) yang berulang dan tanpa pemicu, yang bersumber dari lobus temporalis dalam otak dan berlangsung selama satu hingga dua menit.
TLE adalah bentuk paling umum epilepsi dengan serangan kejang mendadak. Orang yang mengalami gangguan TLE dapat mengalami “seizure” yang parsial dan simpel, yang hanya mempengaruhi lobus temporalis, atau “seizure” yang kompleks yang menyebar ke bagian-bagian lain otak.
Norman Geschwind adalah ahli pertama yang merekam dan mengkatalogkan simtom-simtom dan tanda-tanda TLE yang mencakup hypergrafia (keinginan kuat dan berlebihan untuk menulis), hyperreligiositas (keranjingan dan getol sangat ekstrim terhadap hal-hal keagamaan), tubuh yang ambruk, dan pedantisme (terfokus pada detail-detail yang tak penting atau pada aturan-aturan kuno). Semua ini dinamakan Sindrom Geschwind.
Jadi, seorang yang menderita epilepsi karena mengalami gangguan pada kedua lobus temporalis-nya cenderung dapat mengalami berbagai pengalaman keagamaan, yang jika ditinjau dari neurosains adalah tanda-tanda terserang penyakit ini. Antara lain: mendapat penglihatan dari dunia adikodrati, mendengar suara Allah atau suara malaikat, mengalami halusinasi, mengalami fenomena fotisme (yakni, melihat terang berkilauan), jatuh ke tanah tanpa daya, lalu menyusul suatu serangan kebutaan pada mata.
Nabi Musa (sebagaimana dikisahkan dalam Keluaran 3 dan Keluaran 19) tampaknya terserang TLE, begitu juga Rasul Paulus (sebagaimana dikisahkan dalam Kisah Para Rasul 9:1-19a; 22:3-16; 26:9-18).
Kalau kita menafsirkan 2 Korintus 12:1-6 sebagai suatu bagian dari otobiografi Rasul Paulus sendiri (yang dikisahkannya dengan memakai subjek orang ketiga tunggal), maka sang rasul untuk bangsa-bangsa bukan-Yahudi ini juga pernah mengalami PKT/OBE.
Adalah mungkin bahwa “duri” yang dimaksudkan Paulus tertanam dalam dagingnya, yang sering membuatnya menderita dan melihat “iblis” (2 Korintus 12:7), adalah penyakit epilepsinya, yang timbul karena adanya gangguan serius pada kedua lobus temporalis dalam otaknya.
Jauh lebih belakangan, mistikus Spanyol Santa Teresa dari Avilla (1515-1582), dan juga salah seorang pendiri Gerakan Adventis Hari Ketujuh Ellen White (lahir 1827), dianggap menderita gangguan mental TLE.
Ellen White diketahui mengalami luka pada otaknya ketika dia berumur 9 tahun, dan trauma ini mengubah seluruh kepribadiannya sehingga dia mengklaim menerima banyak penglihatan keagamaan yang kuat.
Kasus yang terjadi pada Ellen White ini dapat juga dijelaskan dengan baik oleh kajian-kajian tentang gelombang otak.
Gambar 9: Peringkat frekuensi gelombang otak
Dalam keadaan sadar normal, frekuensi gelombang otak manusia berfluktuasi antara 8 dan 100 Hz.
Gelombang otak yang aktif dan sangat waspada turun-naik pada rentang kurang lebih 40 Hz, setidaknya pada bagian-bagian tertentu otak. Gelombang otak kisaran 40 Hz ini dikenal juga sebagai gelombang gamma.
Gelombang otak frekuensi beta naik-turun dalam kisaran 14 sampai 30 Hz, ketika seseorang sadar penuh dan waspada.
Gelombang alfa berfluktuasi dalam rentang 9 sampai 13 Hz ketika anda relaks, tenang, mengalir dan tak berpikir, misalnya ketika anda senang menonton TV.
Ketika anda masuk ke dalam relaksasi yang sangat intens, misalnya ketika anda sedang bermeditasi atau memusatkan konsentrasi anda pada gambar-gambar mental yang anda bangun sendiri, frekuensi gelombang otak anda berada dalam kondisi theta, dalam rentang 4-8 Hz.
Gelombang delta, antara 1-3 Hz, anda capai ketika anda berada dalam keadaan sangat tenang yang dalam dan tidur tanpa mimpi.
Gelombang otak orang yang otaknya mati dan pasien yang koma beroskilasi mendekati 0 Hz.
Ketika seseorang mengalami apa yang disebut “traumatic brain injury” (TBI), yakni terluka pada bagian-bagian tertentu otaknya, misalnya karena terpukul benda keras pada suatu bagian kepala atau terkena gelombang kejut yang sangat kuat dari suatu ledakan, efek luka ini bisa berlangsung jangka panjang.
Pada saat TBI dialami, pelepasan zat-zat kimiawi neurotransmitter yang tak terkendali dari sel-sel saraf yang mati dengan massif meningkatkan aktivitas otak pada bagian-bagian otak sekitarnya, dan keadaan ini memicu fluktuasi gelombang otak yang sinkron sampai mencapai rentang frekuensi gamma (40 Hz), dan aktivitas otak pada bagian-bagian ini akan permanen tinggi melebihi batas-batas normal.
Kalau dalam kondisi gelombang otak normal (beta dan alfa) otak memproduksi gambar-gambar mental sebagai representasi dunia yang kita lihat dalam volume yang normal, tidak demikian halnya ketika frekuensi gelombang otak tinggi (gamma).
Hiperaktivitas otak yang menghasilkan frekuensi gamma akan juga memunculkan sangat banyak gambar mental dalam pikiran seorang yang pernah mengalami TBI, dalam jumlah yang abnormal./29/
Berbagai penglihatan keagamaan yang kuat, yang diklaim dialami Ellen White, adalah akibat neurologis dari TBI yang pernah dialaminya pada usia 9 tahun, yang terus memberi efek permanen berupa timbulnya visi-visi keagamaannya.
Penutup
Siapapun, kapan pun dan di mana saja, dapat mengalami berbagai pengalaman spiritual yang sudah dikemukakan di atas, jika berada dalam situasi dan kondisi berikut ini:
* kekurangan oksigen (misalnya ketika sedang berada di puncak gunung sangat tinggi);
* menghirup carbon dioksida dalam jumlah berlebih (suatu kondisi klinis yang dinamakan hypercardia);
* mengalami trauma, kehilangan banyak darah, terserang penyakit-penyakit berat (seperti serangan jantung, epilepsi, dan trauma pada otak);
* sedang terserang stres, depresi dan rasa takut yang hebat;
* meminum obat-obat yang berefek halusinogenis, anastetis dan neurotoksis;
* menerima rangsangan gelombang elektromagnetis pada korteks-korteks otak;
* pikiran yang terkonsentrasi;
* mengalami kelelahan berat dan kurang tidur yang berlarut-larut;
* terlarut di dalam gegap-gempita musik-musik dan nyanyian-nyanyian spiritual, dan
* kecondongan-kecondongan genetik.
Tak pelak lagi, harus disimpulkan bahwa berbagai pengalaman spiritual yang di antaranya sudah diuraikan di atas bisa berlangsung bahkan dengan sangat intens karena organ otak manusia memang memiliki berbagai kemampuan neural untuk menimbulkan pengalaman-pengalaman itu.
Semua pengalaman spiritual dengan demikian terhubung fungsional sangat kuat, hard-wired, dengan neuron-neuron dalam organ otak; atau sebaliknya, otak manusia hard-wired dengan pengalaman spiritual.
Dengan kata lain, “roh” (spirit) atau “pikiran” (mind) manusia ada karena otak bekerja. Otak dan “roh” tak terpisah; otaklah yang memunculkan “roh”.
Tanpa organ otak, tak ada roh. Tanpa tubuh, tak ada pikiran. Keduanya menyatu, tak terpisahkan. Kalau tubuh mati, maka “roh” dan pikiran pun lenyap, tidak pergi ke “suatu tempat” lain dalam dunia immaterial.
Kalau para agamawan memandang manusia sebagai insan dualistik, di mana “roh” dan tubuhnya terpisah sendiri-sendiri, para saintis memandang manusia insan yang monistik, otak dan roh tak terpisah, jiwa dan tubuh menyatu; satu tiada, yang lainnya juga tiada.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika dalam suatu pengalaman spiritual seseorang merasa “roh”-nya keluar dari tubuhnya, atau terbang melayang ke angkasa, perasaan ini timbul karena aktivitas otaknya, tak lebih dan tak kurang. Sesuatu sedang terjadi bukan di luar otaknya, bukan di dalam dunia immaterial adikodrati, tetapi di dalam tempurung kepalanya, di dalam organ lunak keabu-abuan yang beratnya 1,5 kg, yang kita namakan otak.
Michael Shermer dalam bukunya, The Believing Brain,/30/ dengan bagus menyatakan,
“Pikiran adalah apa yang dikerjakan otak. Tidak ada apa yang disebut ‘pikiran’ pada dirinya sendiri, di luar aktivitas otak. Pikiran hanyalah sebuah kata yang kita gunakan untuk mendeskripsikan aktivitas neurologis dalam otak. Jika otak tak ada, pikiran juga tak ada. Kita mengetahui ini karena jika suatu bagian dari otak hancur karena stroke atau kanker atau luka atau pembedahan, apapun yang bagian otak yang rusak itu sebelumnya lakukan, kini lenyap sama sekali.... [T]anpa koneksi-koneksi neural dalam otak, pikiran tidak ada.”
Jadi, tak ada “zat” yang dinamakan roh atau pikiran yang faktual bisa lepas dari tubuh manusia.
Tak sedikit orang yang memandang "kesadaran" (consciousness) sebagai bukti adanya zat yang dinamakan "roh" yang berdiam dalam raga. Diyakini atau diasumsikan oleh mereka bahwa roh atau kesadaran ini dapat keluar dari raga protoplasmik untuk beberapa waktu, atau untuk selamanya di saat orang telah mati dan raga mereka bertahan hanya sebagai senyawa-senyawa carbon yang terus-menerus mengalami daur ulang.
Tetapi perhatikan dengan seksama uraian dalam sedikit paragraf di bawah ini.
Sebuah temuan baru neurosains telah dicapai oleh para ilmuwan dari Harvard Medical School yang masih harus dikaji dengan sampel yang lebih luas. Tapi temuan ini telah menghasilkan pengetahuan baru untuk membuat pasien koma sadar kembali.
Alih-alih datang dari dunia supernatural, kesadaran atau "consciousness" dibuktikan muncul dari jejaring aktif interkoneksi antar tiga bagian otak manusia:
* Rostral Dorsolateral Pontine Tegmentum (RDPT) pada batang otak (brainstem)
* Ventral Anterior Insula (VAI) kiri pada korteks
* Pregenual Anterior Cingulate Cortex (PACC) pada korteks.
Jika interkoneksi aktif jejaring neural tiga bagian ini terganggu atau rusak, kesadaran langsung hilang, lalu si penderita masuk ke keadaan koma atau berada dalam kondisi vegetatif./31/
Dalam era sains modern sekarang ini, kini kita mengetahui bahwa berbagai pengalaman keagamaan ternyata berhubungan erat dengan kondisi-kondisi otak manusia, bahkan dipicu oleh interaktivitas neuron-neuron dalam otak kita.
Sudah seharusnya kenyataan neurologis ini membuat kita juga mau membangun suatu sikap kritis terhadap pengalaman-pengalaman keagamaan kita sendiri.
Paling tidak, karena hubungan pengalaman keagamaan dan otak adalah sesuatu yang umum dijumpai di mana-mana dan dalam berbagai zaman, kita tidak perlu lagi memandang pengalaman keagamaan kita sebagai suatu pengalaman yang unik dan tidak ada tandingannya, suatu sikap mental keagamaan yang dapat mendorong kita tidak bisa ramah dan tidak bisa rendah hati lagi terhadap sesama manusia yang menganut kepercayaan-kepercayaan keagamaan yang berbeda.
Sikap kritis kita terhadap semua pengalaman keagamaan kita sendiri setidaknya akan membuat kita sadar bahwa tidak semua pengalaman keagamaan kita akan menghasilkan kebaikan dan manfaat baik bagi kita sendiri maupun bagi orang lain.
Jika pengalaman keagamaan kita menghasilkan lebih banyak keburukan, azab dan nestapa dalam dunia, lebih baik kita tidak lagi menggantungkan diri kita pada pengalaman ini.
Sebaliknya, jika ada banyak hal positif dan kebajikan yang bisa dihasilkan oleh pengalaman keagamaan kita, pengalaman ini dapat kita pakai untuk membangun kepribadian kita dan kepribadian komunitas kita.
by Ioanes Rakhmat
Update mutakhir 17 Mei 2019
Catatan-catatan
/1/ Gambaran dasariah tentang cara kerja neuron-neuron dalam otak manusia ini, bersumber dari “Neuron Basics: Neuron Morphology”, http://www.animatlab/NeuralNetworkEditor/FiringRateNeuralNet/NeuronBasics.htm. Lihat juga “MRC Centre for Synaptic Plasticity”, http://www.bristol.ac.uk/synaptic/.
/2/ Tentang ciri-ciri “near-death experience”, lihat Ed Grabianowski, “How Near-Death Experiences Work”, http://science.howstuffworks.com/science-vs-myth/extrasensory-perceptions/near-death-experience.htm.
/3/ Tentang penjelasan neurosains tentang “near-death experience”, lihat Josh Clark, “Has Science Explained Life after Death?", http://science.howstuffworks.com/science-vs-myth/afterlife/science-life-after-death.htm.
/4/ Tentang “out-of-body experience”, lihat Ed Grabianowski, “How Near-Death Experiences Work”, Science, http://science.howstuffworks.com/science-vs-myth/extrasensory-perceptions/near-death-experience3.htm; dan http://science.howstuffworks.com/science-vs-myth/extrasensory-perceptions/near-death-experience4.htm.
/5/ Michael Shermer, Why People Believe Weird Things: Pseudoscience, Superstition, and Other Confusions of Our Time (New York: St. Martin's Griffin, 1997, 2002), hlm. 81.
/6/ Tentang temuan Olaf Blanke, lihat Josh Clark, “Has Science Explained Life after Death?”, Science, http://science.howstuffworks.com/science-vs-myth/afterlife/science-life-after-death1.htm.
/7/ Amy D. Owen et al., “Religious Factors and Hippocampal Atrophy in Late Life”, PLoS One, 30 Maret 2011, http://www.plosone.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pone.0017006.
/8/ Andrew Newberg, “Religious Experiences Shrink Part of the Brain”, Scientific American, 31 May 2011, http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=religious-experiences-shrink-part-of-brain.
/9/ Lihat reportase Maria Cohut, “What happens in the brain during a spiritual experience”, MedicalNewsToday, 9 June 2018, https://www.medicalnewstoday.com/articles/322092.php.
/10/ Untuk artikel riset mereka, lihat Lisa J. Miller, Iris M. Balodis,..., Rajita Sinha, Marc N. Potenza, “Neural Correlates of Personalized Spiritual Experiences”, Cerebral Cortex, 29 May 2018, https://academic.oup.com/cercor/advance-article-abstract/doi/10.1093/cercor/bhy102/5017785.
/11/ Simak kajian yang dilakukan Lazar SW, Bush G, Gollub RL, Fricchione GL, Khalsa G, et al., “Functional brain mapping of the relaxation response and meditation”, NeuroReport 11:1581-1585, tahun 2000.
/12/ Simak kajian Holzel BK, Ott U, Gard T, Hempel H, Weygandt M, et al., “Investigation of mindful meditation practitoners with voxel-based morphometry”, Soc Cogn Affect Neurosci 3:55-61, tahun 2008; dan kajian Luders E, Toga AW, Lepore N, Gaser C, “The underlying anatomical correlates of long-term meditation: larger hippocampal and frontal volumes of gray matter”, NeuroImage 45:672-678, 2009.
/13/ Andrew Newberg & Mark Robert Waldman, How God Changes Your Brain: Breakthrough Findings From A Leading Neuroscientist (New York: Ballantine Books, 2009).
/14/ Shankar Vedantam, “Tracing the Synapses of Our Spirituality”, Washington Post, 17 Juni 2001; lihat juga http://www.maps.org/media/vedantam.html.
/15/ Steve Paulson, “Divining the Brain”, Salon, 20 September 2006; lihat juga http://www.salon.com/books/int/2006/09/20/newberg/print.html.
/16/ Lihat Benedict Carey, “A Neuroscientific Look at Speaking in Tongues”, New York Times, 7 November 2006, http://www.nytimes.com/2006/11/07/health/07brain.html?scp=9&sq=brain,%20religion&st=cse.
/17/ Chris Lisee, “Megachurch ‘High’ May Explain Their Success”, Huffington Post 20 August 2012, http://www.huffingtonpost.com/2012/08/20/megachurch-high-may-explain-success_n_1813334.html?; juga American Sociological Association, “God as a drug: The rise of American Megachurches”, Science Daily August 19, 2012, http://www.sciencedaily.com/releases/2012/08/120819153536.htm.
/18/ Lihat Lin ST, Yang P, et al., “Mental health implications of music: insight from neuroscientific and clinical studies”, Harvard Review Psychiatry, Jan-Feb 2011; 19 (1): 34-46, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21250895.
/19/ Daniel C. Dennett, Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (London: Penguin Books, 2006) hlm. 41.
/20/ Rebecca Zamon, “Music And Health: What Can Music Do For Your Mental Health?”, Huffington Post Living, 19 November 2012, http://www.huffingtonpost.ca/2012/11/19/music-and-health_n_2160571.html?just_reloaded=1#slide=1778649.
/21/ Tamar Zisenwein, Michal Kaplan, et al., “Nighttime Fears and Fantasy-Reality Differentiation in Preschool Children”, Child Psychiatry and Human Development Vol. 44, Issue 1, February 01, 2013, hlm. 186-199; http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs10578-012-0318-x.
/22/ Michael Persinger, Neuropsychological Bases of God Beliefs (New York: Praeger, 1987).
/23/ Lihat “BBC Two: God on the Brain―Programme Summary”, 17 April 2005, http://www.bbc.co.uk/science/horizon/2003/godonbrain.shtml.
/24/ Michael Shermer, The Believing Brain: From Ghosts and Gods to Politics and Conspiracies―How We Construct Beliefs and Reinforce Them as Truths (New York: Henry Holt and Co., 2011), hlm. 90-93.
/25/ “Agama” dalam bentuk yang paling natural dan primitif, yang oleh antropolog Edward Tylor dinamakan “animisme” (dalam bukunya yang terbit 1871, Primitive Culture), baru muncul 12.000 tahun SM, atau 14.000 tahun yang lalu, usia yang masih sangat muda dibandingkan saat kemunculan Homo sapiens sendiri. Lihat Robert Wright, The Evolution of God (New York, etc.: Little, Brown and Company, 2009), hlm. 17.
/26/ Penemuan arkeologis yang lebih mutakhir oleh arkeolog Universitas Oslo Sheila Coulson dan timnya, mengharuskan kita menyimpulkan bahwa ritual-ritual keagamaan yang sudah berkembang sudah dipraktekkan 70.000 tahun yang lalu oleh nenek moyang Homo sapiens yang berdiam di kawasan Ngamiland, barat laut Botswana, Afrika Selatan.
Di Ngamiland ini, di dataran tinggi perbukitan yang dinamakan Bukit-bukit Tsodillo, yang terletak di Gurun Kalahari, orang Basarwa melakukan ritual penyembahan kepada ular sanca (python) besar, yang dalam mitos penciptaan mereka dipandang sebagai leluhur manusia. Reportase tentang temuan arkeologis ini tersedia online di http://www.afrol.com/articles/23093.
/27/ Sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti arkeologis dan data genetik―lihat L. Vigilant et al., “African Populations and the Evolution of Human Mitochondrial DNA”, dalam Science 253, no. 5027 (1991), hlm. 1503-1507.
/28/ Richard Wiseman, Paranormality: Why We See What Isn't There (2010), hlm. 51.
/29/ Berit Brogaard dan Kristian Marlow, “Brain Waves as Neural Correlates of Consciousness”, Psychology Today, 23 November 2012, http://www.psychologytoday.com/blog/the-superhuman-mind/201211/brain-waves-neural-correlates-consciousness.
/30/ Michael Shermer, The Believing Brain, hlm. 111.
/31/ David B. Fischer, Aaron D. Boes, Joel C. Geerling et al., "A human brain network derived from coma-causing brainstem lesions", Neurology, 4 November 2016, http://m.neurology.org/content/early/2016/11/04/WNL.0000000000003404.short.
Lihat juga Fiona Macdonald, "Harvard Scientists Think They've Pinpointed The Physical Source of consciousness", Science Alert, 8 November 2016, http://www.sciencealert.com/harvard-scientists-think-they-ve-pinpointed-the-neural-source-of-consciousness.