Tuesday, August 31, 2021

TUHAN itu "tidak terdefinisikan". Heninglah!

 



Kita baru bisa melihat cuma ujung ekornya!



N.B. diedit 17 November 2021

Dalam tulisan ini, lewat ilmu pengetahuan, saya berusaha tiba pada penemuan apa, siapa atau bagaimana TUHAN itu. Ini bukan tulisan yang pertama, tetapi lebih dalam, dengan sudut pandang yang lain.

Akhirnya,... saya hanya bisa mengambil sikap hening, silent, quiet, still, di hadapan Tuhan. Dan menemukan diri saya begitu kecil, tak berarti, hina-dina, dan rendah.

Kata Lao Tzu, “Keheningan adalah suatu sumber kekuatan besar”.

Dalam keheningan saya jatuh tersungkur, bersujud, di hadapan TUHAN yang saya temukan tidak terdefinisikan. Saya menangis tanpa air mata. Saya bermadah tanpa suara, di hadapan The Holy Silent.

Saya menemukan diri saya kosong, tapi ada api sejuk bernyala tak pernah padam, memenuhi kalbu dan pikiran saya.

Api sejuk itu api kehadiran Yesus, the Living Lord, Tuhan yang hidup, pembatasan diri dari TUHAN yang tak terdefinisikan, TUHAN transenden.

Baik, kita mulai dengan Albert Einstein. Tentu, saya di sini tidak akan meninjau jalan kehidupan Einstein dan pikiran-pikirannya yang besar, sebagai seorang genius besar./1/ 

Albert Einstein

Fisikawan teoretis yang termashyur terutama lewat persamaan matematisnya yang sederhana (cuma terdiri atas 5 karakter) namun sangat powerful, E=mc²dan penerima Nobel Prize di bidang fisika tahun 1921, Albert Einstein (14 Maret 1879-18 April 1955), ketika diwawancarai antara lain ihwal keberadaan Tuhan, memberi jawaban dengan sebuah metafora. Berikut ini.

Sebuah perpustakaan besar

“Pertanyaan anda [tentang Tuhan] adalah pertanyaan yang paling sulit dalam dunia ini. Ini bukanlah sebuah pertanyaan yang saya dapat jawab dengan ya atau tidak. Saya bukan seorang ateis. Saya juga tidak tahu apakah saya dapat mendefinisikan diri saya sebagai seorang panteis. Masalah yang terkandung dalam pertanyaan ini terlalu luas untuk pikiran-pikiran kita yang terbatas. 

Bolehkah saya menjawabnya dengan sebuah perumpamaan? Pikiran manusia itu, betapapun tingginya telah dilatih, tidak dapat memahami jagat raya. 

Kita berada dalam posisi sebagai seorang anak kecil yang memasuki sebuah perpustakaan besar yang dinding-dindingnya tertutup sampai ke langit-langit oleh buku-buku yang ditulis dalam banyak bahasa yang berbeda. Sang anak ini tahu bahwa seseorang pastilah telah menulis semua buku itu. Tetapi dia tidak tahu siapa para penulis semua buku itu dan bagaimana cara menulis isi buku-buku itu. 

Si anak tidak memahami bahasa-bahasa yang dipakai dalam buku-buku itu. Tetapi si anak menemukan buku-buku itu disusun lewat sebuah perencanaan tertentu, ditata dengan cara yang misterius, yang tidak dapat dipahaminya, tetapi hanya dapat diduga-duganya dengan samar-samar.

Itulah, menurut saya, suatu sikap pikiran manusia, bahkan pikiran manusia yang terbesar dan paling beradab, terhadap Allah. Kita melihat suatu jagat raya yang tersusun dengan menakjubkan, yang patuh pada hukum-hukum tertentu, tapi kita memahami hukum-hukum itu hanya samar-samar. Pikiran kita yang terbatas tidak dapat memahami forsa misterius yang menggerakkan rasi-rasi bintang-bintang.

Saya terpesona pada panteisme Spinoza. Saya bahkan lebih kagum lagi pada sumbangan-sumbangannya bagi pemikiran modern. Spinoza adalah filsuf modern terbesar, sebab dialah filsuf pertama yang memikirkan tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan, bukan sebagai dua hal yang terpisah.”/2/

Perhatikan bagian-bagian kutipan di atas yang saya buat tertulis miring. Einstein menegaskan dirinya bukan seorang ateis, dan juga tidak menyatakan dirinya seorang panteis. 

Jelas terbaca, lewat perumpamaannya Einstein memparalelkan Allah dengan jagat raya yang tersusun dengan menakjubkan, yang direncanakan dan ditata dengan misterius, dan tunduk pada hukum-hukum alam. 

Einstein menegaskan bahwa baik jagat raya maupun hukum-hukum alam yang menatanya tidak dapat sepenuhnya dipahami manusia lewat pikiran mereka yang sudah tinggi terlatih sekalipun, sebab pikiran manusia selalu terbatas. Jagat raya dan hukum-hukum alam yang menatanya cuma dapat diduga-duga dan dipahami oleh pikiran manusia dengan samar-samar, sebab semuanya misterius. Pendek kata, Allah itu terlalu luas untuk dapat dipahami pikiran manusia yang terbatas. Di hadapan misteri jagat raya atau misteri Tuhan, manusia hanyalah seorang anak kecil. 

Jadi, bagi Einstein, usaha memahami Tuhan adalah juga usaha memahami alam semesta dan hukum-hukum alam yang menata dan mengaturnya. Kita tidak bisa tiba pada pemahaman-pemahaman yang tuntas dan sepenuh-penuhnya, cuma bisa tiba pada duga-dugaan dan pemahaman yang samar-samar. 

Karena Einstein menggunakan perumpamaan atau metafora ketika dia berupaya menjelaskan ihwal Tuhan, jelaslah dia bukan seorang panteis. Tuhan, bagi Einstein, adalah misteri yang tak terpahami sepenuhnya, seperti halnya dengan jagat raya dan hukum-hukum alam yang menatanya. Dia tidak mengidentikkan Tuhan dengan jagat raya dan hukum-hukum alam, tapi juga tidak memisahkan Tuhan dari jagat raya dan hukum-hukum alam. Inilah yang orang umumnya sebut “the Einsteinian God”. 

TUHAN personal

Meskipun dia seorang Yahudi, Einstein tidak mempertahankan gambaran-gambaran anthropomorfis tentang Tuhan yang sarat mengisi halaman-halaman kitab suci Ibrani. Dia juga, otomatis, menolak konsep tentang Tuhan yang personal. Untuk memahami Tuhan dengan samar-samar, dia masuk ke kosmologi dan hukum-hukum alam. 

Nah, suatu ketika, pada 22 Maret 1954, Einstein menerima sebuah surat dari Joseph Dispentiere, seorang imigran asal Italia yang telah bekerja sebagai seorang masinis eksperimental di New Jersey. 

Sang masinis ini telah menyatakan dirinya ateis dan luarbiasa kecewa ketika membaca sebuah berita yang menggambarkan Einstein sebagai seorang yang beragama konvensional. Dua hari kemudian, pada 24 Maret 1954, Einstein menjawab, tulisnya:

“Tentu saja suatu dusta jika anda membaca tentang keyakinan-keyakinan keagamaan saya, suatu kebohongan yang dengan sistematis diulang-ulang. Saya tidak percaya pada suatu Allah personal dan saya tidak pernah menyangkali hal ini tetapi telah mengungkapkannya dengan jelas. Jika ada sesuatu dalam diri saya yang dapat disebut religius, maka ini adalah suatu kekaguman tanpa batas terhadap struktur dunia yang sejauh ini sains dapat menyibaknya.”/3/

Einstein juga dengan jelas menyatakan bahwa dia menolak personifikasi Tuhan yang melahirkan anthropomorfisme.

“Saya tidak pernah mengenakan pada Alam suatu maksud dan tujuan, atau apapun yang dapat dipahami sebagai anthropomorfisme. Apa yang saya lihat dalam Alam adalah suatu struktur yang menakjubkan, yang dapat kita pahami hanya dengan sangat tidak sempurna, dan hal itu harus mengisi seorang pemikir dengan suatu perasaan kerendahan hati. Ini adalah suatu perasaan religius murni yang tidak ada hubungannya dengan mistisisme.”/4/

The Numinous

Nah, meminjam sebutan yang digunakan Rudolf Otto dalam bukunya Das Heilige (1917), Einstein takjub dan kagum karena dalam jagat raya dan hukum-hukum alam yang sejauh ini sudah diobservasi dan dipahami lewat sains, dia menjumpai das Numinöse atau the numinous” (Inggris) atau Numen (Latin). 

Rudolf Otto memahami Numinöse atau Numen sebagai Misteri yang tak dapat diungkapkan dan berada di atas semua kehidupan yang diciptakan. Di hadapan kehadiran the numinous”, orang menjadi gentar, gemetar, rendah hati, tak bisa bicara, terdiam, hening, takjub, terpukau./5/ 

Menurut Collins Dictionarythe numinous adalah sesuatu yang arousing spiritual or religious emotions, sesuatu yang membangkitkan perasaan-perasaan keagamaan dan spiritual, sesuatu yang mysterious or awe-inspiring, sesuatu yang misterius dan menimbulkan rasa terpesona, sesuatu yang surpassing comprehension or understanding, sesuatu yang melampaui pemahaman dan pengertian.

Buntut seekor singa

Bahwa jagat raya memiliki dimensi yang begitu besar, alhasil tidak bisa tuntas dipahami oleh pikiran manusia yang terbatas, melainkan cuma bisa samar-samar dipahami, dijelaskan oleh Einstein juga dengan sebuah metafora singa yang besar dan ekornya. 

Katanya,

“Alam menunjukkan hanya ekor sang singa. Aku tidak ragu sedikitpun dalam pikiranku bahwa sang singa ada bersama ekornya ini kendatipun sang singa ini tidak dapat menyatakan dirinya sendiri serentak kepada semua mata karena dimensinya yang terlalu besar.”/6/ 

Bagi Einstein, alam dan hukum-hukum yang menatanya, yang sudah dapat diobservasi dan dipahami manusia dengan samar-samar, belumlah menampilkan seluruh realitas yang dimensinya terlalu besar. Realitas ini, yang dimetaforakannya sebagai seekor singa, baru terlihat begitu kecil, yaitu baru terlihat ekornya saja. Malah, saya tambahkan, yang terlihat baru ujung ekor sang singa besar itu saja.

Dimensi yang sangat besar ini, yang ada jauh di atas, atau melampaui, batas-batas yang sudah diketahui manusia dengan tidak lengkap lewat pikiran insani yang terbatas, tepat jika disebut sebagai dimensi transenden. 

Dimensi transenden

Dimensi adalah sebuah terma dalam dunia sains, bukan terma keagamaan. Yang lazim kita sudah ketahui ada empat dimensi realitas, yakni tiga dimensi ruang, dan satu dimensi waktu, meskipun sebetulnya masih ada banyak ekstradimensi yang melampaui atau berada di luar empat dimensi ruangwaktu, spacetime. Jadi, realitas yang menyeluruh jauh lebih besar dan lebih luas dibandingkan yang sudah kita ketahui sejauh ini lewat observasi-observasi terhadap alam dan hukum-hukumnya, atau lewat pikiran-pikiran terbesar manusia.

Lalu, apa arti kata sifat “transenden”?

Kata sifat “transenden” berasal dari kata kerja infinitif Latin “transcendere”, yang dibentuk dari kata “trans” (Inggris: “across” atau “over”) dan “scandere” (Inggris: “climb”). Jadi, “transcendere” berarti “to climb over” atau “to climb across”, maksudnya “mendaki sangat tinggi sampai melewati atau menyeberangi atau melampaui batas-batas”.

Lewat cari-cari dengan mesin superkomputer Google, saya temukan arti-arti kata sifat Inggris “transcendent”, yang semuanya serupa atau dekat atau sama satu sama lain, sesuai dengan arti kata kerja Latin “transcendere”.

Menurut Google's English Dictionary yang disediakan oleh Oxford Languages, transenden berarti surpassing the ordinary, beyond or above the range of normal or merely physical human experience”. 

Artinya, melampaui yang biasa, atau melampaui atau berada di atas jangkauan pengalaman ragawi insani belaka atau pengalaman yang biasa.

Menurut Merriam-Webster Dictionary, “transcendent” berarti exceeding or surpassing usual limits, atau extending or lying beyond the limits of ordinary experience, atau (menurut filsafat Kant) being beyond the limits of all possible experience and knowledge, atau being beyond comprehension.

Artinya, melampaui batas-batas yang biasa, melewati atau terletak di luar batas-batas pengalaman biasa atau semua pengalaman dan pengetahuan yang mungkin, atau melampaui pemahaman.

Cambridge Dictionary memberi definisi yang sama, going past or above all others, artinya melampaui atau berada di atas segala hal lain.

Menurut Oxford Advanced Learner's Dictionary atau Oxford Advanced American Dictionary“transcendent” berarti going beyond the usual limits; extremely great”, yakni melampaui batas-batas yang biasa, luarbiasa besar. 

Jadi, bagi Einstein, Tuhan yang diparalelkannya dengan jagat raya dan hukum-hukum alam yang menatanya, yang dimensinya luarbiasa besar, selalu lebih besar dari yang dapat dipahami manusia, selalu melampaui batas-batas biasa apapun yang manusia dapat ketahui dan capai, selalu berada di atas atau melampaui pikiran-pikiran insani, pikiran-pikiran insani yang tertinggi dan terbesar sekalipun, misalnya pikiran Einstein sendiri, seorang fisikawan teoretis besar “segala zaman”. 

Dapat dipahami jika Einstein menolak baik personalisasi Tuhan maupun anthropomorfisme, kendatipun dia mengakui memiliki perasaan religius jika dia memandang dan merenungkan kebesaran jagat raya yang terstruktur dengan mempesona yang ditata oleh hukum-hukum alam. Ada “sesuatu” yang jauh lebih besar dari jagat raya yang dapat diobservasi manusia, tetapi tidak lepas dari jagat raya atau dari alam.

Memakai frasa keilmuan Einstein sendiri, Tuhan itu dimensi yang terlalu besar untuk sepenuh-penuhnya atau seluruhnya dapat dilihat manusia atau dipahami manusia. Memakai metafora sang singa, dimensi Tuhan ini baru kita ketahui hanya ekornya atau ujung ekornya. 

Sebagai Dimensi Transenden, Tuhan itu luarbiasa besarmelampaui atau berada di atas atau lebih tinggi dari semua dimensi lain yang ada dalam keseluruhan jagat raya (the universe) atau keseluruhan jagat-jagat raya (the multiverse), jauh melampaui empat dimensi ruangwaktu dunia sehari-hari yang biasa dan sudah kita kenali dalam batas-batas yang manusia dapat observasi, pikirkan dan pahami. 

Dimensi yang terlalu besar ini mustahil manusia personalisasi. Juga tidak mungkin membangun anthropomorfisme untuk memberi Dimensi ini wujud yang mengikuti rupa manusia. Dimensi ini menimbulkan rasa kagum dan rasa keagamaan Einstein.

Melampaui atau beyond atau trans berarti mencakup atau memiliki juga hal-hal lain yang biasa, yang dilampaui, seperti ekor singa yang kecil adalah bagian dari keseluruhan wujud sang singa yang luarbiasa besar. Ekor adalah bagian tubuh yang dimiliki sang singa yang dimensinya terlalu besar untuk bisa dilihat seluruh tubuhnya. 

Atau, untuk mencapai kawasan-kawasan di atas yang lebih tinggi dan terus-menerus makin tinggi, setiap orang harus mendaki dengan meniti mulai dari anak-anak tangga terbawah. Anak-anak tangga terbawah, seperti halnya dengan buntut seekor singa yang luarbiasa besar, adalah bagian-bagian dari keseluruhan tangga yang ujung teratasnya tidak bisa dilihat atau diketahui.

Tuhan tidak identik dengan jagat semesta dan hukum-hukum alam yang sejauh ini dapat diobservasi dan dipahami manusia, tetapi Tuhan juga tidak berada di luar jagat raya dan hukum-hukum alam. 

Dimensi TUHAN yang terlalu besar  menyelubungi segala sesuatu.

Dalam Kitab suci Ibrani, TUHAN dan kemuliaan-Nya digambarkan “memenuhi” (Ibrani: mālêמָלֵ֖א) langit dan Bumi (Yeremia 23:24; Mazmur 72:19; Bilangan 14:21)./7/

Memakai ungkapan masa kini, Tuhan memenuhi dan melampaui jagat raya apapun, yang sudah dapat diobservasi sains maupun yang belum terobservasi, atau memenuhi dan melampaui jagat-jagat raya yang dapat ada. 

Tuhan yang sedemikian luas ya tentu tak dapat disusutkan menjadi satu sosok Tuhan personal. Einstein benar.

Lebih lanjut, tentang ide Tuhan personal, Einstein dengan tajam menyatakan,

“Berulangkali aku telah katakan bahwa dalam pendapatku ide tentang suatu Allah personal adalah ide yang kekanak-kanakan. Anda dapat menyebut saya agnostik, tapi saya tidak ikut menghayati semangat tempur dan fanatisme dari orang-orang yang mengaku ateis. Semangat dan fanatisme mereka itu timbul dari keinginan membara dan kepedihan hati untuk melepaskan diri dari belenggu-belenggu indoktrinasi keagamaan yang mereka telah terima sewaktu masih remaja. Saya memilih untuk bersikap rendah hati sejalan dengan kelemahan pemahaman intelektual kita terhadap alam dan hakikat kehidupan kita sendiri.”/8/

Ya, seorang yang tidak menjawab ya atau tidak terhadap pertanyaan yang, kata Einstein, paling sulit dalam dunia apakah Tuhan itu ada, by definition adalah seorang agnostik. Tapi Einstein melanjutkan jawabannya dengan setidaknya dua metafora, seperti telah kita baca di atas. Einstein menjawab tetapi lewat metafora-metafora.

Bagi Einstein, segala sesuatu bukan Tuhan, tidak identik dengan Tuhan, tetapi ada di dalam Tuhan, bukan Tuhan yang anthropomorfis atau personal, tetapi Tuhan dalam citarasa religius Einstein.

Einstein yang panenteis

Jadi, dengan memberanikan diri saya dapat menyatakan bahwa Einstein sebetulnya dapat saya tempatkan sebagai seorang pan-en-teis, seorang yang melihat segala sesuatu (Yunani: pan) ada di dalam (Yunani: en) Tuhan (Yunani: Theos).

Einstein samasekali bukan seorang panteis (seorang yang mempercayai bahwa “segala sesuatu adalah Tuhan”), dan juga bukan seorang mistikus (seorang yang mengklaim bahwa dirinya sendiri adalah Tuhan atau telah menyatu dan melebur dengan Tuhan).

Perasaan religius Einstein, yang bukan mistisisme, adalah perasaan religius seorang panenteis yang terpesona dan kagum tanpa batas pada struktur kosmos yang ditata dengan menakjubkan oleh hukum-hukum alam yang misterius. Pikiran besarnya tidak dapat memahami struktur kosmos sepenuhnya dan forsa-forsa yang membuat hukum-hukum ini bekerja. 

Perasaan religius Einstein adalah perasaan seorang anak kecil yang ada di dalam ruang sebuah perpustakaan besar yang berisi sangat banyak buku yang tidak dipahaminya dan yang para penulis buku-buku itu tidak diketahuinya.

Ya, mustahil menjelaskan dan memahami keseluruhan sang singa yang dimensinya terlalu besar hanya dengan melihat ujung ekornya saja. Juga tidaklah mungkin menjelaskan sebuah tangga yang luarbiasa tinggi, yang ujung-ujungnya tak terlihat karena menembus segala batas langit, hanya dengan melihat anak-anak tangga terbawah. 

Infinitas atau ketidakberhinggaan

Adakah dalam dunia sains sesuatu yang luarbiasa besar dan luas, yang tak pernah bisa dicapai manusia sepenuhnya? Yang selalu melampaui batas-batas yang biasa yang sudah dikenal? Yang selalu melampaui segala kategori buatan manusia? Yang selalu melebihi apa yang dapat dijangkau, yang mustahil dipahami dan digenggam oleh manusia, bahkan oleh manusia yang memiliki pikiran-pikiran besar dan tinggi? Yang selalu berada di atas atau melebihi dimensi-dimensi yang sudah dikenal dan akan dikenal?

Ada. Sesuatu yang transenden itu dinamakan infinitas atau ketidakberhinggaan.

Infinitas (simbol ∞) adalah suatu topik yang menarik dan membangkitkan rasa ingin tahu, yang terkait dengan agama, filsafat, metafisika, kosmologi, fisika, dan juga dengan matematika, kalkulus, analisis Fourier dan fraktal.

Konsep infinitas sudah digunakan di zaman-zaman kuno, dan banyak sosok pemikir zaman dulu yang telah memberikan kontribusi-kontribusi penting terhadap konsep ini, misalnya Euklides, Aristoteles, Eudoksus, dan Archimedes.

Matematikus yang terkenal, Prof. Ian Stewart dari Universitas Warwick, Inggris, dalam buku kecilnya Infinity: A Very Short Introduction, menyatakan bahwa infinitas bukanlah suatu konsep yang abstrak saja dalam matematika, melainkan suatu konsep yang juga melahirkan terapan-terapan praktis yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Ada teknik-teknik yang digunakan sehari-hari yang melibatkan konsep infinitas, tetapi yang kelihatannya tidak melibatkan konsep ini./9/

Dikenal dua konsep tentang infinitas.

Yang pertama infinitas potensial, yakni infinitas yang betul-betul infinitas, infinitas pada dirinya sendiri, jika kita dapat mencapainya, tetapi jelas mustahil orang manapun dapat mencapainya.

Jika dibayangkan sebagai sebuah garis lurus, maka garis lurus infinitas akan masih terus-menerus bergerak ke depan, tanpa akhir. Jika diimajinasikan sebagai sebuah balon besar yang sedang ditiup mengembang, maka balon besar infinitas akan masih terus mengembung tanpa akhir.

Nah, jika infinitas dibayangkan sebagai sebuah balon super-super besar tanpa batas yang sedang mengempes, maka balon ini akan terus-menerus mengempes tanpa batas, melewati tanpa batas ukurannya yang sudah kecil atau sudah mencapai titik partikel. 

Titik partikel infinitas ini akan tak terbatas, infinite, terus mengecil, mengecil, ad infinitum. Inilah yang dinamakan infinitesimal, atau infinitely small, luarbiasa kecil tanpa batas, sisi seberang lain dari infinitely large, luarbiasa besar tanpa batas. 

Nah, jika titik partikel yang terus-menerus mengecil dan mengecil tanpa batas itu akhirnya “lenyap” menjadi nothing, atau empty, maka nothing atau empty itu ya infinity. Menakjubkan, bukan? Jangan main-main dengan konsep nothing atau empty.

Yang kedua, infinitas aktual, yang digunakan sebagai suatu konsep dalam matematika, yang memunculkan berbagai jenis infinitas yang satu sama lain tidak sama, dengan infinitas yang satu lebih besar dari infinitas yang lainnya. Tetapi, tak ada matematikus manapun yang bisa memutuskan jenis infinitas yang sejati, yang betul-betul real infinitas.

Jadi, meski infinitas dapat digolongkan dalam dua jenis, kita tak akan pernah tahu mana infinitas yang sejati, yang pada dirinya sendiri tak berhingga, meskipun, sebagai suatu konsep yang digunakan dalam pengoperasian matematika, telah menghasilkan terapan-terapan praktisnya.

Prof. Ian Stewart memakai metafora Hotel Hilbert yang diajukan oleh matematikus terkemuka abad ke-19, David Hilbert, untuk menggambarkan infinitas.

Hotel Hilbert selalu punya kamar untuk setiap tamu yang datang karena hotel ini memiliki kamar yang jumlahnya infinite, tak terbatas, selalu ada kamar kosong untuk setiap tamu baru yang datang.

Suatu hari, ketika hotel sudah penuh sama sekali, seorang tamu datang. Maka manajemen hotel ini memindahkan tamu kamar 1 ke kamar 2, tamu kamar 2 ke kamar 3, tamu kamar 3 ke kamar 4, dan seterusnya, melibatkan kamar-kamar lain yang lebih lanjut, dengan nomor kamar yang makin tinggi. Ini menciptakan ruang kosong dalam kamar 1 untuk si tamu baru itu.

Lagi, suatu saat pemandu Infinity Tours tiba dengan membawa rombongan orang yang berjumlah tak terbatas. Maka manajemen Hotel Hilbert memindahkan penghuni kamar 1 ke kamar 2, penghuni kamar 2 ke kamar 4, penghuni kamar 3 ke kamar 6, penghuni kamar 4 ke kamar 8, dan seterusnya. Alhasil, tersedialah semua kamar bernomor ganjil yang kosong untuk semua pendatang baru itu./10/

Dus, dalam buku kecilnya itu, Infinity: A Very short Introduction, dengan gamblang, Prof Ian Stewart menerangkan bahwa “ketika sesuatu itu tidak berhingga, sebagai infinitas, maka akan selalu ada ruang lebih di sekitarnya untuk menaruh barang-barang di dalamnya.”

Pengoperasian 1:0 dalam matematika menghasilkan infinitas atau ketidakberhinggaan. 

Karena infinitas itu tidak akan pernah bisa dituangkan ke dalam besaran bilangan berapapun, maka 1:0 disebut DNE, “does not exist, “tidak ada, ya karena tak ada bilangan apapun sebagai hasilnya (untuk the infinitely large), atau menjadi nothing atau empty (untuk the infinitely small). Karena hasil the infinitely large tak ada batas-batasnya, maka 1:0 juga dikatakan menghasilkan “undefined”, tak terdefinisikan, tak ada batasan-batasan atau definisi-definisinya.

Setelah memberikan grafik-grafik matematika 1:0 dalam kuadran-kuadran sumbu x dan sumbu y yang berpotongan tegak lurus, Jeff Cruzan menyatakan,  “Hindarilah menulis bahwa sesuatu itu ‘sama’ dengan infinitas. Infinitas tidak bisa disamakan dengan apapun.”/11/ 

Yes, infinity has no equal. Tidak ada ekuivalen literalnya. Hanya bisa didekati lewat metafora-metafora, misalnya metafora Hotel Hilbert di atas.

Mari kita balik ke Albert Einstein.

Kini jelas, Tuhan yang dimensi-Nya begitu besar, Tuhan Transenden, yang selalu lebih besar dan lebih besar lagi jika dipikirkan dan mau dipahami lewat pikiran-pikiran terbesar manusia, yakni Tuhan dalam citarasa religius Einstein, the Einsteinian God, adalah infinitas itu sendiri, Tuhan yang undefined, Tuhan yang tak terdefinisikan, Tuhan yang tak ada batasan-batasannya. 

Terhadap Tuhan yang infinite, Einstein hanya bisa takjub, terpesona, dan diliputi perasaan rendah hati.

Ketika Einstein mau menggambarkan Tuhan Transenden yang tak berhingga, yang infinite, dia hanya mampu memakai metafora (dibentuk dari dua kata Yunani meta, artinya beyond, atau melampaui, melewati; dan ferein, artinya crossing atau menyeberang atau membawa pindah ke lokasi lain). 

Jadi, lewat metafora, Einstein menemukan suatu wahana linguistik (juga ada yang non-linguistik) yang membawa dirinya menyeberang dari kawasan biasa dunia sehari-hari, masuk ke kawasan lain yang dimensinya terlalu besar, kawasan yang melampaui dunia kita, yaitu kawasan transenden. Dus, kawasan transenden inilah yang Einstein metaforakan sebagai Tuhan, yang penuh misteri yang tak dapat dilihat dan dipahaminya tuntas sepenuh-penuhnya. 

Penulis, dosen dan pakar mitologi kebangsaan Amerika, Joseph Campbell (1904-1987), dengan tepat menulis bahwa “Tuhan adalah sebuah metafora untuk suatu misteri yang sepenuhnya mentransendir atau melampaui semua kategori pemikiran manusia, bahkan kategori ada dan non-ada. Sesimpel itu saja.”/12/ 

Metafora sebagai suatu wahana (linguistik dan non-linguistik) membawa atau menyeberangkan kita dari satu kawasan ke kawasan lain, dan memungkinkan kita menyeberangi atau melampaui batas-batas yang biasa dalam dunia kita, sehingga kawasan-kawasan lain yang luarbiasa besar, yang transenden, terbuka, tidak tertutup, untuk kita. Tanpa metafora, kawasan-kawasan lain itu, sebaliknya, akan tertutup bagi kita./13/ 

Rudolf Otto dalam bukunya yang sudah dirujuk di atas, Das Heilige, selain menyebut Tuhan Transenden sebagai das Numinöse atau Numen, dia juga menyebutnya sebagai Ganz Andere atau Wholly Other atau Sang Lain yang sepenuhnya asing atau Sang Serba Lain, atau sebagai Mysterium tremendum et fascinans (Latin) atau, dalam bahasa Jerman, sebagai schauervolles und faszinierendes Geheimnis atau, dalam terjemahan Inggris, sebagai fearful and fascinating Mystery. Yakni, Misteri yang menimbulkan rasa takut dan gentar, sekaligus membangkitkan rasa sukacita, rasa takjub, dan keterpesonaan, Misteri yang dahsyat sekaligus penuh kasih karunia.

Alih-alih gentar, takut lalu lari terbirit-birit, Misteri yang dimensinya terlalu besar itu, Tuhan transenden, malah membuat Einstein terpesona, takjub, dan dipenuhi perasaan rendah hati. 

Dalam keterpesonaan inilah, Einstein sebagai seorang ilmuwan besar ingin makin mengenal dan memahami Misteri besar ini lewat pintu masuk kosmologi dan fisika. Meskipun dia tidak ragu sedikitpun atas keberadaan sang singa besar Tuhan Transenden, dalam kehidupannya dia baru bisa melihat ekornya saja, atau, hemat saya, ujung ekornya saja.

Bukan ini, bukan itu

Ya, semua orang tidak akan pernah bisa sepenuh-penuhnya, tuntas, menemukan dan memahami Tuhan yang transenden, Tuhan yang tidak terdefinisikan, Tuhan yang melampaui semua kategori pikiran manusia, bahkan melampaui kategori ada dan tidak ada. 

Tuhan yang tidak terdefinisikan ini, tidak bisa disebut atau dibatasi sebagai “ini atau itu (“either/or”) atau “ini dan itu (“both-and”), sebab Dia melampaui semua kategori yang pikiran manusia dapat buat. 

Tuhan yang transenden, yang tidak terdefinisikan, mengelak dari semua definisi dan kategori yang manusia bangun untuk dikenakan kepada-Nya. 

Dus, Tuhan yang transenden ini “bukan ini, bukan itu (neither/nor”), meski Tuhan yang tak terdefinisikan ini ada, sebagai Realitas Esensial yang tak berhingga, infinite, yang tak dapat diungkap dalam definisi dan kategori apapun yang membatasi./14/

Membatasi diri

Bisakah TUHAN yang tak terdefinisikan itu dikenal manusia? Bisa, tetapi menurut ilmuwan Einstein cuma ekornya saja dari keseluruhan diri sang singa besar transenden. 

Apakah ada cara lain untuk menjumpai dan mengenal-Nya? Ada. 

Ya, saya perlu masuk ke teologi yang juga adalah metafora yang menyeberangkan kita masuk ke kawasan transenden./15/

Dalam kitab suci Perjanjian Baru gereja, Yohanes 1:1, dinyatakan bahwa Tuhan atau ho Theos berada di kawasan transenden “pada mulanya” (Yunani: ēn arkhē). 

Ungkapan ēn arkhē tidak bisa dipahami literalistik, karena sebelum langit dan Bumi diciptakan, tak akan bisa ditentukan koordinat ruangwaktu untuk ēn arkhē atau bereshit (Ibrani; Kejadian 1:1; Inggris: in the beginning).

Jadi, maksud si penulis teks Yohanes 1:1, ēn arkhē adalah kawasan transenden, kawasan yang melampaui atau berada di luar dunia yang kita kenal, tapi juga menyelubungi kawasan dunia kita.

Nah ho Theos yang transenden ini, yang tak terbatas, yang infinite, diberitakan juga telah membatasi diri, sebagai sang Firman (Yunani: ho Logos) yang telah menjadi daging (Yunani: sarks egeneto), yakni menjadi satu sosok manusia yang real, yakni Yesus (Yohanes 1:14)./16/

Tuhan Transenden yang tidak bisa dipersonalisasi karena luarbiasa terlalu besar, membatasi diri menjadi sosok personal Yesus. Ini membuka pintu bagi komunikasi person-to-person antara manusia dan Yesus, sang Tuhan gereja, pembatasan diri dari TUHAN yang transenden.

Di dalam diri Yesus Kristus, Tuhan yang transenden, yang tak memiliki batas-batas, dapat dijumpai, dikenali dan dialami secara personal dan kolektif oleh manusia dalam batas-batas horison kehidupan, pengalaman dan pengetahuan serta pengenalan manusia, yang terus mengembang. 

Berjumpa Yesus, berarti berjumpa dengan pembatasan diri Tuhan Transenden, sebagai satu sosok manusia real yang berdiam di antara manusia, dan yang kehidupan-Nya memancarkan “kemuliaan dan penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yohanes 1:14). 

Bertemu Yesus, saya alami sebagai suatu pertemuan yang membuat saya takjub dan terpesona, tergetar, hening, dan mengalami kasih karunia yang datang dari kawasan transenden. Thank you, Jesus, for ever and ever.


ioanes rakhmat
9 September 202
1


Notes

/1/ Tentang kehidupan dan warisan pemikiran besar Albert Einstein, lihat John Loeffler, Albert Einstein: The Life and Legacy of the Great Genius, Interesting Engineering, 13 August 2021, https://interestingengineering.com/albert-einstein-the-life-and-legacy-of-the-great-genius.

Tentang kehidupan pribadi Albert Einstein dan prestasi-prestasinya yang luarbiasa, lihat Robert M. Hazen, George Mason University, “Albert Einstein: Personal Life and Remarkable Achievements”, The Great Courses Daily, 19 July 2021, https://www.thegreatcoursesdaily.com/albert-einstein-personal-life-and-remarkable-achievements/.

Paparan singkat tentang inspirasi pikiran-pikiran tiga ilmuwan besar Isaac Newton, Michael Faraday dan James Clerk Maxwell terhadap Albert Einstein, lihat Areeba Merriam, The Wall of Albert Einstein's Home Bears The Portraits of Three Eminent Scientists”, Cantorsparadise, 7 November 2020, https://www.cantorsparadise.com/the-wall-of-albert-einsteins-home-bears-the-portrait-of-three-eminent-scientists-f84d0c458dce.

/2/ Lihat wawancara dengan Albert Einstein dalam George Sylvester Viereck, Glimpses of the Great (Duckworth, 1930), hlm. 372-373.

/3/ Helen Dukas dan Banesh Hoffman, eds., Albert Einstein: The Human Side (Princeton: Princeton University Press, 1954, 1981), hlm. 43 (“Letter to an atheist”, 24 March 1954).

/4/ Helen Dukas dan Banesh Hoffman, eds., Albert Einstein: The Human Side, hlm. 39.

/5/ Rudolf Otto, Das Heilige: Über das Irrationale in der Idee des Göttlichen und Sein Verhältnis zum Rationalen (München: C.H. Beck'sche Verlagsbuchhandlung, 1917, cetakan kedua 1936), hlm. 5ff. Terjemahan Inggris oleh John W. Harvey, The Idea of the Holy: An Inquiry into the Non-rational Factor in the Idea of the Divine and Its Relation to the Rational (London: Oxford University Press, 1923, 1950; New York, N.Y.: Oxford University Press, 1958, 1959).

/6/ Metafora tentang singa dan ekornya ini disampaikan Albert Einstein kepada sahabatnya yang bernama Heinrich Zangger lewat sebuah surat (10 Maret 1914); dikutip oleh Jean Eisenstaedt dalam bukunya, The Curious History of Relativity: How Einstein’s Theory of Gravity Was Lost and Found Again (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 2006; Terjemahan Inggris copyright 2006), hlm. 126. Lihat juga Abraham Pais, Subtle Is the Lord: The Science and the Life of Albert Einstein (Oxford: Oxford University Press, 1982; pengantar baru oleh Sir Roger Penrose, 2005), hlm. 235.

/7/ Kata Ibrani kavod, artinya kemuliaan TUHAN, the glory of the LORD, dipakai dalam Mazmur 72:19. 

Dalam Yudaisme rabinik pasca-70 M, ketika Bait Tuhan di Yerusalem sudah dihancurkan oleh pasukan Romawi dalam Perang Yahudi I (66-74 M), kata benda feminin Ibrani Shekinah (dari kata kerja shakan, artinya mendiami, menghuni) diciptakan para rabi Yahudi untuk mengungkapkan kemahahadiran TUHAN lantaran Bait Tuhan sudah tidak ada. Yakni, kehadiran yang bergemilang cahaya kemuliaan TUHAN, “the glorious presence of the heavenly Light”.

/8/ Walter Isaacson, Einstein: His Life and Universe (New York: Simon and Schuster, 2008), hlm. 390.

/9/ Lihat buku Ian Stewart, Infinity: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, illustrated edition, July 23, 2017). Meskipun sebuah pengantar yang sangat pendek, buku ini cukup sulit juga dipahami orang yang tak bergelut dalam matematika.

/10/ Lihat tinjauan buku Rudy Rucker, Infinite and the Mind (Harvester, 342 hlm) oleh Prof Ian Stewart dalam majalah New Scientist vol. 96, no. 1326, hlm. 37, https://books.google.co.id/books?id=Gcvp_4_BsOQC&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false.

/11/ Jeff Cruzan, “The notion of a limit: You've seen it before”, xactly.com, 2016, http://xaktly.com/MathLimits.html.

/12/ Phil Cousineau, ed., The Hero’s Journey: Joseph Campbell on His Life and Work (Novato, California: New World Library, 1990, 2003), hlm. 161. Lihat juga film dokumenter Joseph Campbell: A Hero’s Journey (2000).

/13/ Joseph Campbell, Thou Art That: Transforming Religious Metaphor (Navato, California: New World Library, 2001), hlm. xvi.

/14/ Dalam tradisi pemikiran religiofilosofis Hindu, dikenal ungkapan Neti neti, yang artinya “bukan ini, bukan itu”. Dalam buku Pavel G. Somov, The Lotus Effect (New Harbinger Publications, 2010), Neti neti dipandang sebagai suatu ungkapan tentang sesuatu yang inexpressible, sesuatu yang tak dapat diungkapkan, yang mengacu ke Hakikat yang kepadanya definisi apapun tidak dapat diterapkan (hlm. 34).

/15/ Tentang teologi adalah metafora, lihat Ioanes Rakhmat, “Teologi Adalah Metafora. Apa Itu Metafora?”, Freidenk Blog, 11 Agustus 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2021/08/teologi-adalah-metafora-apa-itu-metafora.html?m=0.

/16/ Teologi tentang pembatasan diri ho Theos yang transenden, menjadi ho Iēsous, tentu ditemukan dan dirumuskan tidak lepas dari suatu konteks sejarah yang real. Yakni dalam konteks perdebatan dan percakapan antara komunitas Yohanes yang sarkofilia (tidak menolak daging, tidak memandang hal keberdagingan sebagai sesuatu yang rendah dan tak bernilai, tetapi menerimanya sebagai hal yang positif) dan komunitas Thomas yang sarkofobik (menolak daging, memandang hal keberdagingan sebagai sesuatu yang rendah, aib, najis, dan tidak mendapat tempat dalam teologi mereka). 

Di dalam komunitas Thomas inilah doketisme kristologis---pandangan bahwa Yesus itu bukan sosok manusia yang real berdaging, tetapi hanya tampaknya (Yunani: dokein, Inggris: to seem) saja manusia--- dipegang kuat, sementara komunitas Yohanes menolak doketisme dengan sangat tegas (lihat 1 Yohanes 4:2-3; 2 Yohanes 1:7). 

Lihat juga pertentangan kristologis ini dalam kisah tentang Rasul Thomas yang menuntut bukti keberdagingan Yesus, yang harus bisa dilihat oleh matanya sendiri dan dirasakan oleh jarinya sendiri, dalam Injil Yohanes 20:24-29. 

Faktanya, pertentangan ini tidak pernah berakhir antara dua komunitas ini, masing-masing menempuh jalan sendiri-sendiri. Komunitas Thomas bertahan sebagai komunitas Kristen gnostik; dan komunitas Yohanes sebagai komunitas Kristen anti-gnostik.



Wednesday, August 11, 2021

Teologi Adalah Metafora. Apa itu METAFORA?

 


Klik gambarnya untuk memperbesar.

Dalam suatu visi mimpi, Yakub melihat sebuah tangga menjulang dari Bumi (Bethel) ke langit, ke sorga, ke kawasan lain. Teks Kejadian 28:10-19. Sumber gambar: Crossref-it.info.


Pendahuluan

Setiap orang suka kisah, sejak kanak-kanak hingga lansia. Ya, tak lain karena kehidupan semua orang adalah kisah, bisa kisahnya pendek, bisa juga panjang. Bisa kisah duka terus-menerus, bisa juga kisah suka.

Tapi umumnya, kehidupan kita adalah gabungan kisah suka dan kisah duka, kisah yang abu-abu, campuran kisah hitam tragedi dan kisah putih komedi, perpaduan kisah kelelahan dan kesesakan dan kisah rehat dan kelegaan.

Nah, ada banyak kisah dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ada kisah-kisah pengkhianatan, peperangan dan pembinasaan yang menimbulkan rasa seram dan membuat dada sesak; tapi ada juga kisah-kisah indah tentang pertemanan sejati, perdamaian dan kebaikan yang bikin hati tenteram dan dada plong.

Tetapi tidak setiap kisah di dalam Alkitab adalah kisah nyata atau "true story" atau kisah sejarah. Di dalamnya, ada juga banyak kisah kreatif imajinatif. Pembaca yang cerdas, berpengetahuan dan jujur akan dapat membedakan keduanya.

Ya, sejarah adalah kisah, kisah faktual tentang suatu kejadian nyata dalam dunia manusia, yang dituturkan bisa lebih dari satu sudut pandang. Tetapi tidak setiap kisah adalah sejarah atau kisah sejarah.

Kisah-kisah teologis

Selain kisah sejarah tentang peristiwa-peristiwa nyata dalam dunia yang terbuka untuk diinvestigasi oleh ilmu pengetahuan, dalam Alkitab juga ada banyak kisah yang disebut kisah-kisah teologis, yang ditulis bukan untuk melaporkan kejadian-kejadian nyata dalam dunia manusia, tetapi untuk tujuan-tujuan lain.

Dalam kisah-kisah skriptural Alkitab, sejarah dan teologi sudah bercampur. Namun, ada metode keilmuan yang dapat digunakan untuk memisahkan keduanya, untuk menemukan mana sejarah dan mana teologi di dalam kisah skriptural apapun.

Sejarah berlangsung dalam dunia kita, "this world", sedangkan teologi mengacu ke, dan masuk ke dalam, kawasan lain yang bukan bagian dunia kita, "the otherworld". Kawasan lain ini disebut kawasan transenden, kawasan yang "sangat besar", karena melampaui kawasan sehari-hari dunia indrawi yang real kita diami, kawasan yang "melampaui batas-batas biasa" yang dapat diketahui.

Kawasan nilai-nilai

Nah, suatu kisah teologis disusun dan disebarkan bukan untuk melaporkan suatu kejadian historis dalam dunia alamiah indrawi manusia. Melainkan bermaksud untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran lain yang berada dalam kawasan nilai-nilai, yakni nilai-nilai moral, spiritual, kognitif, afektif, estetik, artistik, dan eksistensial sapiensial (menyangkut kearifan orang dalam menjalani kehidupan mereka).

Juga ada nilai-nilai saintifik, yakni nilai-nilai luhur yang diberikan oleh ilmu pengetahuan langsung bagi kehidupan manusia, kebudayaan, peradaban, teknologi, dan dunia alam yang luas. 

Bagi ilmu kedokteran, misalnya, yang melibatkan pemakaian berbagai instrumen medik, penyakit apapun adalah hal yang buruk. Iptek medik dibangun dan dikembangkan untuk melahirkan nilai kebaikan, kebahagiaan dan rasa syukur pada pasien-pasien yang disembuhkan. Tentu kesembuhan bertahap dialami lewat ilmuwan-ilmuwan medik, para dokter misalnya, lepas dari agama atau ideologi yang mereka anut.




Jika anda tidak dapat menentukan mana yang benar dan mana yang salah, maka yang tidak ada pada anda bukanlah agama, tetapi empati.


Empati ("empathy") dan belarasa ("compassion") adalah nilai-nilai yang menjadi bagian dari "soft skills". Lewat ilmu pendidikan, psikologi dan pengembangan sumber daya manusia, manusia, sejak usia kanak-kanak, dilatih untuk memiliki dan mampu menerapkan dan mengembangkan nilai-nilai ini, tanpa ada kaitan dengan agama atau ideologi apapun. 

Jadi, bukan hanya agama, tetapi sains juga kaya dengan nilai-nilai. Memisahkan sains dari nilai-nilai, adalah suatu ide dan praktek yang keliru, yang sudah lama terjadi. Tentang ini, baca tulisan saya "Sciences and Values"./1/

Menyangkut nilai-nilai, kisah-kisah teologis disusun untuk menyampaikan ajaran-ajaran tentang hal yang baik dan hal yang jahat, hal yang benar dan hal yang salah, hal-hal yang memberdayakan mental dan hal-hal yang mematahkan semangat hidup, hal-hal yang menghidupkan dan hal-hal yang membinasakan, hal-hal yang membuat kita berduka dan hal-hal yang menjadikan kita bersukacita, hal-hal yang elok dipandang dan hal-hal yang menimbulkan rasa muak dan jijik jika dilihat, hal-hal yang mencerdaskan dan hal-hal yang memperbodoh, dan seterusnya.

Terkait nilai-nilai spiritual, kisah-kisah teologis mendorong orang yang beragama untuk membuat kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka berdampak entah positif atau negatif pada suasana mental dan suasana batin dan emosi, dan pada perilaku, perbuatan dan gaya serta cara hidup yang diharapkan ditunjukkan dan dilakukan orang-orang yang beragama.

Kisah-kisah teologis juga ditulis untuk menimbulkan efek dan respons pada perasaan, emosi, jiwa dan pikiran manusia terhadap "sesuatu" yang diyakini ada "di luar dunia" ini di "kawasan lain" atau di "kawasan atas", atau terhadap suatu figur insani tertentu yang dijadikan objek-objek devosional atau penyembahan dan pemujaan keagamaan. 

Efek atau respons devosional dalam mental ini akan membuahkan hal-hal lahiriah, berupa kelakuan, tindakan-tindakan dan cara-cara hidup manusia. Hal-hal lahiriah ini dapat membangun kehidupan dan peradaban serta menimbulkan kebajikan dan cinta kasih, tapi dapat juga merusak dan membinasakan kehidupan dan peradaban serta melahirkan kebiadaban dan kebencian.

Dasar-dasar dan sumber-sumber asali nilai-nilai ini, lewat investigasi sastrawi yang cermat, dapat ditemukan, baik di dalam kisah-kisahnya sendiri, maupun di luar kisah-kisah yang sedang dibaca. Setiap penulis kisah yang baik, apalagi kisah yang besar, pasti mengenal dan memanfaatkan dengan cerdas dan kreatif kisah-kisah lain yang berasal dari berbagai latar kebudayaan, latar sosial, dan latar waktu yang berbeda-beda.

Metafora, apakah ini?

Nah, kisah-kisah teologis semacam itu termasuk dalam suatu jenis sastra yang dinamakan metafora (dari dua kata Yunani "meta" dan "ferein"). Yaitu suatu bentuk wahana sastra yang berfungsi untuk "menyeberangkan" (Yunani: ferein) si pembacanya, masuk ke kawasan lain yang "melampaui" atau "beyond" (Yunani: meta) kawasan dunia rutin sehari-hari. Kawasan lain ini adalah kawasan adinilai, kawasan yang "sangat besar" atau transenden, yang melampaui "batas-batas yang biasa diketahui". Kawasan ini memukau, mengejutkan, menggerakkan hati dan pikiran, dan dapat mengubah serta menguatkan kehidupan.

Lewat metafora-metafora, kawasan yang samasekali lain itu, yang berada di luar batas-batas yang biasa, dibuka, sehingga dapat kita masuki, sejengkal atau sampai tak terhingga. Tanpa metafora, kawasan transenden akan tetap selamanya tertutup bagi manusia./2/

Selain itu, tanpa metafora-metafora, maka pengenalan, pengalaman, penghayatan, gambaran dan internalisasi kita atas kawasan transenden, kawasan yang "sangat besar" yang melampaui dunia sehari-hari kita yang rutin, kawasan yang selalu berdimensi lebih tinggi, kawasan "the Wholly Other", akan sangat terbatas, bahkan tak dapat ada, tak dapat kita alami dan masuki, tak dapat mempesona dan tak dapat membuat kita tergetar dan tersungkur dalam keheningan, in deep silence

Misterium tremendum

"Sesuatu" yang dipercaya ada di kawasan transenden ini, kawasan yang "sangat besar", kawasan yang selalu berdimensi lebih tinggi, kawasan yang melampaui atau berada di luar dunia sehari-sehari manusia, oleh Rudolf Otto (1869-1937) dalam bukunya Das Heilige (1917) dinamakan Mysterium tremendum et fascinans (Latin) atau "Misteri yang menakutkan sekaligus rahmani" ("fearful and merciful Mystery"). Dalam bahasa Jerman, Rudolf Otto menyebutnya "schauervolles und faszinierendes Geheimnis", atau sebagai "Ganz Andere", "Wholly Other", Sang Lain yang sepenuhnya asing./3/

Nah, hanya lewat metafora kawasan transenden itu, atau Misteri Besar itu, Sang Lain, jika kita mau, dapat kita masuki, karena metafora adalah wahana sastra yang dapat menyeberangkan kita, keluar dari dunia sehari-hari kita yang biasa, lalu masuk ke kawasan Misteri Besar itu, kawasan yang "melampaui" dunia kita, atau berada "di luar" dunia kita, lalu kita berjumpa Sang Lain.

Perjumpaan atau "encounter" itu akan membuat kita terdiam, hening, "silent". Ya, kita terdiam hening karena berjumpa "the Holy Silent", Sang Sunyi Kudus, Sang Lain, yang tak terpahami, tak terungkapkan, yang membuat mulut kita terkatup rapat, hati dan pikiran kita senyap.

Untuk masuk ke Misteri Besar ini, Sang Lain, kita perlu menyeberang, masuk ke dalamnya, lewat wahana metafora, karena misteri ini sepenuhnya melampaui atau berbeda dari dunia kita yang sehari-hari dan rutin. Sang Lain ini dahsyat dan mengerikan, membuat kita gemetar, tak dapat berkata, bisu, in deep stillness, tapi juga penuh kasih karunia dan menimbulkan kegembiraan, dendang, tarian, nyanyian, pujian, puisi, kesukaan dan semangat.




Bayangkan, apa yang akan mendadak menyerbu dan mengisi hati, perasaan, emosi dan pikiran anda ketika sebuah UFO mendadak turun dari angkasa lalu mendarat di hadapan anda, dan selanjutnya satu sosok alien yang samasekali lain dan berbeda dari postur tubuh anda keluar dari UFO itu dan berjalan mendekati anda?

Rasa gentar dan terteror pasti memenuhi anda pada awalnya, yang kemudian lenyap bertahap ketika anda dapat menangkap dan mengerti pesan-pesan pertemanan, perdamaian, keakraban, kepedulian, cinta kasih, keselamatan, perlindungan, pertolongan, empati, yang disampaikan si alien ini kepada anda lewat komunikasi telepati. Rasa takut dan terteror berubah menjadi rasa terpesona, terpukau, berbahagia, senang, riang, optimis, dan tersembuhkan.

Terra incognita

Nah, metafora adalah perahu yang membawa kita ke "seberang sana" sungai kehidupan kita, ke "tepi sana" yang samasekali lain, yang melampaui tepi daratan dunia kita, yang melewati dan membelah sungai kehidupan kita yang biasa. "Perahu" di sini tentu adalah metafora yang saya pakai untuk menjelaskan lagi apa itu metafora--- jadi, metafora tentang metafora.

Lewat metafora, tepi seberang yang lain samasekali itu ---ketika kita sudah menginjakkan kaki di sana lalu mulai melangkah maju dan masuk makin jauh dan dalam--- membawa kita ke "dunia yang samasekali lain".

Dunia lain ini penuh dengan kejutan, pesona, keriangan, sekaligus keasingan dan keserbalainan yang mengejutkan dan menakutkan kita karena kita sedang berada di kawasan yang tidak kita ketahui dan tidak kenal sebelumnya. Terra incognita. "The unknown realm", kawasan yang tidak dikenal.

Nah, karena metafora membawa kita masuk ke kawasan seberang, kawasan terra incognita, kawasan transenden yang melampaui dunia sehari-hari kita, kawasan yang luarbiasa besar dan tak terpahami dan tak dikenal lewat bahasa sehari-hari di dunia indrawi kita, maka setiap metafora tidak dapat dipahami dan diterima secara literal atau harfiah sebagai fakta-fakta literal objektif.

Memakai ungkapan Andrew J. Burgess, setiap metafora "tidak mempunyai ekuivalen literal", karena setiap metafora bersifat "irreducibly metaphorical"./4/ Jika suatu metafora dipahami literal, harfiah, maka pintu masuk ke kawasan transenden langsung tertutup, dan si pembacanya tetap berada di luar, tak berhasil bertemu dengan Sang Lain. Literalisme mencegah perjumpaan otentik yang hening dan dalam dengan Sang Lain. 

Jadi, jika kita mau menemukan maksud dan tujuan suatu metafora ditulis, kita perlu masuk bukan ke kawasan fakta-fakta literal yang memang bukan fokus setiap metafora, tapi ke kawasan nilai-nilai, seperti sudah ditulis di atas.

Karena menyampaikan nilai-nilai yang dibawa dari dunia Sang Lain, dunia transenden, maka setiap metafora besar akan sanggup menggugah hati dan pikiran serta membentuk kembali atau mengubah kehidupan orang-orang yang membacanya dan mengerti metafora yang dibaca mereka.

Mengonstruksi teologi

Nah, tanpa metafora, teologi apapun, baik teologi cerita maupun teologi proposional (atau teologi sistematik), tak dapat dibangun. Ya, karena setiap teologi mengacu dan membawa kita masuk ke terra incognita, ke kawasan Misteri Besar ini, misteri Sang Lain yang dahsyat sekaligus rahimi, yang melampaui segala sesuatu yang kita kenal dan persepsi dalam dunia rutin sehari-hari kita.

Karena tanpa metafora teologi apapun tidak dapat dikonstruksi, maka niscaya teologi itu sendiri adalah metafora, yang melaluinya manusia masuk, bertemu Sang Lain, dan Sang Lain ini masuk ke dalam dunia insani, menjadi bagian dari pergaulan sosial kita sehari-hari, dan dapat kita jumpai dan menjumpai kita, dan mengubah diri dan kehidupan kita. Di saat itulah, kita mengalami kegentaran, kita tercengang, kita terdiam, terpana, sekaligus juga kita mengalami kerahiman, kasih karunia, sukacita, kegembiraan dan kegairahan hidup. Kita hening sekaligus riang. Teologi yang bagus akan menimbulkan suasana ini.

Sejalan uraian di atas, Sallie TeSelle menyatakan bahwa sebuah metafora menghubungkan "hal yang biasa" dengan "hal yang luarbiasa", "the ordinary and the extraordinary", hal yang tidak mengejutkan dengan hal yang mengejutkan, "the unsurprising and the surprising". Ya, menghubungkan dunia kita yang biasa, yang sudah lumrah, dengan kawasan transenden yang samasekali lain, yang tak ada bandingannya.

Tulisnya juga, lewat metafora, "bahasa, kepercayaan dan kehidupan dipadukan menjadi satu keseluruhan." Teologi itu bahasa, suatu bentuk sastra, yang akan fungsional dan bekerja jika dipercaya. Tentu, ada teologi yang baik dan ada teologi yang buruk, bergantung adakah kebajikan, pengalaman, cinta, wawasan, pengetahuan, kearifan dan kecerdasan dalam diri si penyusunnya.

Ya, metafora apapun juga bahasa, tetapi bahasa yang lain, yang tidak biasa, yang bukan sehari-hari, yang penuh pesona sekaligus mengejutkan, yang tidak ada ekuivalen harfiahnya. Ya, karena, lewat metafora-metafora teologis kehidupan kita di dunia sehari-hari bertemu dan menyatu atau berpotongan dengan kawasan transenden, kawasan adinilai, kawasan kehidupan yang samasekali berbeda, kehidupan Misteri Besar, kehidupan Sang Lain.

Lewat metafora, pertemuan berlangsung dua arah, interaktif. Bukan hanya kita yang dibawa masuk ke kawasan transenden, ke Sang Lain, ke hal yang sangat besar yang tidak biasa, yang mengejutkan, yang melampaui dunia kita. Sebaliknya juga terjadi. Misteri Besar itu, kawasan transenden itu, Sang Lain, masuk dan menyentuh dunia sehari-hari kita yang biasa dan rutin, "the worldly", dengan suatu cara yang khas. Kata Sallie TeSelle, itulah yang terjadi dengan Yesus, sebagai metafora Allah, "the parable of God"./5/ Apa maksudnya? Berikut ini saya uraikan.

Yesus, the metaphor of God

Yesus bukan saja membawa kita masuk ke kawasan transenden, ke Sang Lain, lewat metafora-metafora-Nya, yaitu kisah-kisah kreatif imajinatif atau perumpamaan-perumpamaan-Nya yang menggugah, atau lewat kisah-kisah besar tentang Yesus yang ditulis para penulis injil-injil Perjanjian Baru.

Lebih dari itu, lewat diri Yesus sebagai sang Metafora Besar, sebagai "the transcendent metaphor", sebagai "the metaphor of God", dan juga lewat metafora-metafora tentang Yesus dalam injil-injil Perjanjian Baru, kawasan transenden itu, Sang Lain itu, juga masuk ke dunia sehari-hari kita, dan berada bersama kita, menjadi bagian dari kehidupan kita.

Sebagai "the metaphor of God", Yesus adalah Sang Lain yang "menyeberang" dari kawasan transenden, masuk ke kawasan dunia real sehari-hari manusia. Menyeberang atau "turun" dari terra incognita di "atas", masuk ke dunia "bawah", dunia manusia, berada di tengah manusia. 

Memakai ucapan Yesus sendiri, lewat dan di dalam diri-Nya, "Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Lukas 11:20; Yunani: ephthasen eph humas hē basileia tou Theou); "Kerajaan Allah ada di antara kamu" (Lukas 17:21; Yunani: hē basileia tou Theou entos humōn estin). 

Memakai teks metaforis Injil Yohanes 1:14a, "sang Firman itu telah menjadi daging" (Yunani: kai ho logos sarks egeneto). Maksudnya: sang Firman yang ada "pada mulanya" (Yunani: en arkhē, Yohanes 1:1a) yang adalah Allah (Yunani: ho Theos) dan ada bersama Allah (Yohanes 1:1b), telah menjadi satu sosok manusia yang real, yaitu Yesus, yang "diam di antara kita" (Yunani: eskēnōsen en hēmin), menjadi bagian dari dunia kita yang biasa, yang sehari-hari.

Sosok transenden dari kawasan Sang Lain yang telah masuk ke dalam dunia ini dengan menjadi manusia yang real, Yesus orang Nazareth, dinyatakan "penuh kasih karunia dan kebenaran" (Yohanes 1:14d; Yunani: plērēs kharitos kai alētheias).

Kita tidak bisa memahami ungkapan "pada mulanya" dalam Injil Yohanes 1:1 secara literal. Jika "pada mulanya" (Ibrani: bereshit, Kejadian 1:1, "In the beginning") Allah "menciptakan langit dan Bumi", maka sebelum dimensi ruangwaktu diciptakan, kita tidak bisa melakukan perhitungan apapun untuk menentukan koordinat kosmik ruangwaktu "pada mulanya". 

Jadi, frasa "pada mulanya" adalah sebuah metafora kawasan transenden, kawasan yang abadi, "eternal", dan tanpa batas atau tak berhingga, "infinite", yang melampaui, mendahului dan menyelubungi jagat semesta dan dunia sehari-hari yang kita dapat ketahui. Kawasan "pada mulanya" ini melampaui, memenuhi, menembus ruang dan waktu, dan bebas dari ikatan ruang dan waktu, hadir dan ada setiap waktu di mana-mana, mahahadir, mahaberada,  "omnipresent".

Jadi, ungkapan "pada mulanya" adalah metafora yang mengacu ke kawasan transenden, kawasan yang sama sekali lain, kawasan "Ganz Andere". Dari kawasan "atas" ini, kawasan Sang Lain, sang Firman masuk ke dunia "bawah", dunia kita sehari-hari, dengan begitu real sebagai satu sosok insani, sosok berdaging. The Word made flesh. The Word incarnated. Sosok sang Firman yang menjadi daging, atau yang ber-inkarnasi (Latin: in carne). Teks Latin: Et verbum caro factum est. 

Sang Lain yang tak terbatas, masuk ke kawasan dunia manusia yang terbatas, dan membatasi diri-Nya dalam satu sosok berdaging, Yesus dari Nazareth, supaya manusia dapat menyentuh, meraba, memegang, melihat-Nya dan mempersepsi-Nya dengan lima indra insani.

Lewat dan di dalam diri Yesus, "the worldly" dan "the otherworldly" bertemu, berpadu, membentuk interseksi. 

Ada kegentaran yang ditimbulkan Yesus pada manusia, lantaran Dia adalah wujud insani Sang Lain dalam dunia sehari-hari manusia. Sekaligus Yesus juga memberi kasih karunia, kebenaran, kelegaan, rehat, daya tahan, pertemanan, kedekatan, keakraban, kepedulian, empati, puisi, kisah-kisah, dan hal-hal yang sejati, dalam kehidupan sehari-hari kita.

Jika "pada mulanya" adalah metafora kawasan transenden, maka Yesus sebagai sang Firman yang masuk ke dalam dunia insani dari kawasan "pada mulanya", niscaya adalah juga metafora, "the metaphor of God", "the metaphor of the transcendent".

Lewat Yesus, dan bersama Yesus, kita "menyeberang", masuk ke kawasan Sang Lain, kawasan yang "melampaui" kawasan dunia alam biasa. Serentak dengan itu, Sang Lain juga "menyeberang", masuk ke dalam, dan menjadi bagian dari, dunia sehari-hari kita, lewat Yesus. Jadi, sekali lagi, Yesus adalah metafora, "the transcendent metaphor".

Karena di kawasan "pada mulanya" sang Firman "ada bersama Allah dan adalah Allah" (Yohanes 1:1b,c; Yunani: kai ho logos ēn pros ton Theon, kai Theos ēn ho logos), maka niscaya Allah, ho Theos --- seperti halnya dengan Yesus sang Firman yang menjadi daging---adalah juga metafora, "the Grand Metaphor", "the metaphor of the Wholly Other", metafora mysterium tremendum et fascinans.

Tepatlah apa yang ditulis dosen dan pakar mitologi kebangsaan Amerika, Joseph Campbell (1904-1987), bahwa “Allah adalah sebuah metafora untuk suatu misteri yang sepenuhnya mentransendir, melampaui, semua kategori pemikiran manusia, bahkan kategori ada dan non-ada. Sesimpel itu saja.”/6/

Teologi adalah metafora

Dengan demikian, jika Allah adalah metafora, maka sebagai wahana bahasa insani (atau logos) yang membawa orang ke Allah (theos), ke Sang Lain, dan Allah ke manusia, setiap teologi juga adalah metafora.



Jembatan menuju kawasan Sang Lain. Sumber gambar: istockphoto.com


Memakai metafora, teologi adalah sebuah jembatan yang menyeberangkan seseorang di kawasan "sebelah sini", untuk tiba di kawasan "sebelah sana", tentu jika orang ini mau melangkah ke depan dan meniti jembatan di hadapannya. Nah, ada jembatan yang rapuh dan sudah tua, dan ada jembatan yang kuat dan kokoh karena baru dibangun lewat perhitungan iptek yang cermat. Ada jembatan yang pendek dan ada juga yang panjang.

Atau, teologi adalah sebuah "tangga" yang kakinya bertumpu di tanah Bumi, dan ujung lainnya di atas menempel di "gerbang langit". Jika lewat tangga itu seseorang memanjat anak-anak tangga dan akhirnya tiba di depan pintu gerbang langit, dan si pemanjat ini membuka pintunya, maka dia akan masuk ke kawasan lain di balik langit, kawasan Sang Lain, kawasan terra incognitaTentu, ada tangga yang rapuh dan ringkih, dan ada tangga yang kokoh dan kuat.

Teks Kejadian 28:10-19 sangat menawan. Lewat imajinasinya, atau lewat mimpi, Yakub membangun metafora "tangga" yang membuatnya dapat melihat "gerbang sorga", lalu rasa "takut dan dahsyat" menimpanya, karena dia masuk ke kawasan Sang Lain, dan Sang Lain turun dan berbicara kepadanya. Tangga yang muncul dalam visi Yakub lewat mimpi ini sebaiknya sekarang dicari dan ditemukan di Bethel oleh kalangan literalis skriptural.

Argumen lainnya ada. Berikut ini.

Karena teologi adalah bahasa metaforis manusia tentang "Theos", tentang Allah, dan Allah menjadi pusat, fokus dan konten setiap teologi, dan setiap teologi dapat dibangun hanya jika Allah, atau Sang Lain, dipercaya ada dan dapat dijumpai dalam suatu teologi, maka "Theos", Allah, juga adalah metafora, Metafora Besar, "the Grand Metaphor".

Jika Yesus menyusun metafora-metafora dalam Dia berteologi lewat kisah-kisah untuk rakyat jelata Yahudi pada masa-Nya, dan jika Yesus sendiri adalah Metafora Allah, dan jika Allah sendiri sebagai Sang Lain adalah Metafora Besar, maka setiap teologi niscaya adalah metafora.

Bukan hanya teologi cerita, teologi proposional atau teologi sistematik pun adalah metafora.

Ide Tritunggal dalam teologi sistematik, misalnya, adalah suatu metafora yang dikonstruksi para teolog kekristenan ortodoks berabad-abad lalu dalam usaha mereka menyeberang, masuk ke kawasan "pada mulanya" untuk menemukan dan menjelaskan "kesatuan dalam kemajemukan" dalam hakikat Allah yang esa.

Nah, berhubung Allah adalah Sang Lain yang melampaui semua kategori pemikiran manusia, dan melampaui kategori ada dan non-ada, maka tentu saja "kemajemukan" dalam hakikat Allah tidak bisa manusia batasi tiga saja. Ada kemajemukan tanpa batas, infinite, limitless, dalam hakikat Allah yang esa.

Jadi, metafora Tritunggal adalah salah satu metafora, bukan satu-satunya metafora, tentang "unity in diversity" dalam hakikat ho Theos. Cara berada atau "modes of being" Sang Lain untuk dapat dikenal manusia tidak cuma tiga, tapi tanpa batas, tak berhingga./7/ Siapakah anda, manusia, yang mau membatasi Sang Lain dalam hanya tiga cara berada?

Penutup

Akhir kata, apakah masih akan ada gerejawan, rohaniwan Kristen, dan para pemikir teologi di dalam gereja-gereja dan perguruan-perguruan teologi di Indonesia, yang dengan naif anti terhadap metafora, apalagi jika dihubungkan dengan diri Yesus? Semoga tidak akan ada lagi.

Jika mereka anti metafora, sebaiknya mereka mengganti profesi saja, menjadi ilmuwan IPA yang tulen. Tetapi, masalahnya, metafora juga dibutuhkan dan dipakai dalam ilmu pengetahuan, dalam fisika, misalnya, ketika para ilmuwan mau menjelaskan mekanika quantum, atau dalam kosmologi ketika mereka mau menerangkan dan menggambarkan jagat raya, baik jagat raya kita ("the universe") maupun jagat-jagat raya lain ("the multiverse").

Ke manakah mereka harus melarikan diri jika mau lepas dari metafora sama sekali?

Jakarta, 11 Agustus 2021
ioanes rakhmat

Catatan-catatan

/1/ Lihat tulisan Ioanes Rakhmat, "Sciences and Values", Freidenk Blog, Nov 17, 2014, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2014/11/sciences-and-values.html?m=0.

/2/ Joseph Campbell, Thou Art That: Transforming Religious Metaphor (Navato, California: New World Library, 2001), hlm. xvi.  

/3/ Rudolf Otto, Das Heilige: Über das Irrationale in der Idee des Göttlichen und Sein Verhältnis zum Rationalen (München: C.H. Beck'sche Verlagsbuchhandlung, 1917, cetakan kedua 1936). Terjemahan Inggris oleh John W. Harvey, The Idea of the Holy (Oxford University Press, 1923; edisi kedua 1950). 

/4/ Andrew J. Burgess, "Irreducible Religious Metaphors", Religious Studies 8 (4): 355-366 (1972). Abstract. 
https://philpapers.org/rec/BURIRM-2.

/5/ Sallie McFague TeSelle, "Parable, Metaphor, and Theology", Journal of the American Academy of Religion, vol. XLII, Issue 4, published online 01 December 1974, hlm 630 [630-645],
https://academic.oup.com/jaar/article-abstract/XLII/4/630/730185?redirectedFrom=PDF.

/6/ Phil Cousineau, ed., The Hero’s Journey: Joseph Campbell on His Life and Work (Novato, California: New World Library, 1990, 2003), hlm. 161. Lihat juga film dokumenter Joseph Campbell: A Hero’s Journey (2000).

/7/ Uraian lebih lanjut, lihat Ioanes Rakhmat, "Problem Doktrin Tritunggal Sebagai 'Tiga Cara Berada Allah Yang Esa'", Freidenk Blog, 20 Maret 2021, diedit 9 April 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2021/03/problem-doktrin-tritunggal-sebagai-tiga.html?m=0.