Wednesday, August 11, 2021

Teologi Adalah Metafora. Apa itu METAFORA?

 


Klik gambarnya untuk memperbesar.

Dalam suatu visi mimpi, Yakub melihat sebuah tangga menjulang dari Bumi (Bethel) ke langit, ke sorga, ke kawasan lain. Teks Kejadian 28:10-19. Sumber gambar: Crossref-it.info.


Pendahuluan

Setiap orang suka kisah, sejak kanak-kanak hingga lansia. Ya, tak lain karena kehidupan semua orang adalah kisah, bisa kisahnya pendek, bisa juga panjang. Bisa kisah duka terus-menerus, bisa juga kisah suka.

Tapi umumnya, kehidupan kita adalah gabungan kisah suka dan kisah duka, kisah yang abu-abu, campuran kisah hitam tragedi dan kisah putih komedi, perpaduan kisah kelelahan dan kesesakan dan kisah rehat dan kelegaan.

Nah, ada banyak kisah dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ada kisah-kisah pengkhianatan, peperangan dan pembinasaan yang menimbulkan rasa seram dan membuat dada sesak; tapi ada juga kisah-kisah indah tentang pertemanan sejati, perdamaian dan kebaikan yang bikin hati tenteram dan dada plong.

Tetapi tidak setiap kisah di dalam Alkitab adalah kisah nyata atau "true story" atau kisah sejarah. Di dalamnya, ada juga banyak kisah kreatif imajinatif. Pembaca yang cerdas, berpengetahuan dan jujur akan dapat membedakan keduanya.

Ya, sejarah adalah kisah, kisah faktual tentang suatu kejadian nyata dalam dunia manusia, yang dituturkan bisa lebih dari satu sudut pandang. Tetapi tidak setiap kisah adalah sejarah atau kisah sejarah.

Kisah-kisah teologis

Selain kisah sejarah tentang peristiwa-peristiwa nyata dalam dunia yang terbuka untuk diinvestigasi oleh ilmu pengetahuan, dalam Alkitab juga ada banyak kisah yang disebut kisah-kisah teologis, yang ditulis bukan untuk melaporkan kejadian-kejadian nyata dalam dunia manusia, tetapi untuk tujuan-tujuan lain.

Dalam kisah-kisah skriptural Alkitab, sejarah dan teologi sudah bercampur. Namun, ada metode keilmuan yang dapat digunakan untuk memisahkan keduanya, untuk menemukan mana sejarah dan mana teologi di dalam kisah skriptural apapun.

Sejarah berlangsung dalam dunia kita, "this world", sedangkan teologi mengacu ke, dan masuk ke dalam, kawasan lain yang bukan bagian dunia kita, "the otherworld". Kawasan lain ini disebut kawasan transenden, kawasan yang "sangat besar", karena melampaui kawasan sehari-hari dunia indrawi yang real kita diami, kawasan yang "melampaui batas-batas biasa" yang dapat diketahui.

Kawasan nilai-nilai

Nah, suatu kisah teologis disusun dan disebarkan bukan untuk melaporkan suatu kejadian historis dalam dunia alamiah indrawi manusia. Melainkan bermaksud untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran lain yang berada dalam kawasan nilai-nilai, yakni nilai-nilai moral, spiritual, kognitif, afektif, estetik, artistik, dan eksistensial sapiensial (menyangkut kearifan orang dalam menjalani kehidupan mereka).

Juga ada nilai-nilai saintifik, yakni nilai-nilai luhur yang diberikan oleh ilmu pengetahuan langsung bagi kehidupan manusia, kebudayaan, peradaban, teknologi, dan dunia alam yang luas. 

Bagi ilmu kedokteran, misalnya, yang melibatkan pemakaian berbagai instrumen medik, penyakit apapun adalah hal yang buruk. Iptek medik dibangun dan dikembangkan untuk melahirkan nilai kebaikan, kebahagiaan dan rasa syukur pada pasien-pasien yang disembuhkan. Tentu kesembuhan bertahap dialami lewat ilmuwan-ilmuwan medik, para dokter misalnya, lepas dari agama atau ideologi yang mereka anut.




Jika anda tidak dapat menentukan mana yang benar dan mana yang salah, maka yang tidak ada pada anda bukanlah agama, tetapi empati.


Empati ("empathy") dan belarasa ("compassion") adalah nilai-nilai yang menjadi bagian dari "soft skills". Lewat ilmu pendidikan, psikologi dan pengembangan sumber daya manusia, manusia, sejak usia kanak-kanak, dilatih untuk memiliki dan mampu menerapkan dan mengembangkan nilai-nilai ini, tanpa ada kaitan dengan agama atau ideologi apapun. 

Jadi, bukan hanya agama, tetapi sains juga kaya dengan nilai-nilai. Memisahkan sains dari nilai-nilai, adalah suatu ide dan praktek yang keliru, yang sudah lama terjadi. Tentang ini, baca tulisan saya "Sciences and Values"./1/

Menyangkut nilai-nilai, kisah-kisah teologis disusun untuk menyampaikan ajaran-ajaran tentang hal yang baik dan hal yang jahat, hal yang benar dan hal yang salah, hal-hal yang memberdayakan mental dan hal-hal yang mematahkan semangat hidup, hal-hal yang menghidupkan dan hal-hal yang membinasakan, hal-hal yang membuat kita berduka dan hal-hal yang menjadikan kita bersukacita, hal-hal yang elok dipandang dan hal-hal yang menimbulkan rasa muak dan jijik jika dilihat, hal-hal yang mencerdaskan dan hal-hal yang memperbodoh, dan seterusnya.

Terkait nilai-nilai spiritual, kisah-kisah teologis mendorong orang yang beragama untuk membuat kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka berdampak entah positif atau negatif pada suasana mental dan suasana batin dan emosi, dan pada perilaku, perbuatan dan gaya serta cara hidup yang diharapkan ditunjukkan dan dilakukan orang-orang yang beragama.

Kisah-kisah teologis juga ditulis untuk menimbulkan efek dan respons pada perasaan, emosi, jiwa dan pikiran manusia terhadap "sesuatu" yang diyakini ada "di luar dunia" ini di "kawasan lain" atau di "kawasan atas", atau terhadap suatu figur insani tertentu yang dijadikan objek-objek devosional atau penyembahan dan pemujaan keagamaan. 

Efek atau respons devosional dalam mental ini akan membuahkan hal-hal lahiriah, berupa kelakuan, tindakan-tindakan dan cara-cara hidup manusia. Hal-hal lahiriah ini dapat membangun kehidupan dan peradaban serta menimbulkan kebajikan dan cinta kasih, tapi dapat juga merusak dan membinasakan kehidupan dan peradaban serta melahirkan kebiadaban dan kebencian.

Dasar-dasar dan sumber-sumber asali nilai-nilai ini, lewat investigasi sastrawi yang cermat, dapat ditemukan, baik di dalam kisah-kisahnya sendiri, maupun di luar kisah-kisah yang sedang dibaca. Setiap penulis kisah yang baik, apalagi kisah yang besar, pasti mengenal dan memanfaatkan dengan cerdas dan kreatif kisah-kisah lain yang berasal dari berbagai latar kebudayaan, latar sosial, dan latar waktu yang berbeda-beda.

Metafora, apakah ini?

Nah, kisah-kisah teologis semacam itu termasuk dalam suatu jenis sastra yang dinamakan metafora (dari dua kata Yunani "meta" dan "ferein"). Yaitu suatu bentuk wahana sastra yang berfungsi untuk "menyeberangkan" (Yunani: ferein) si pembacanya, masuk ke kawasan lain yang "melampaui" atau "beyond" (Yunani: meta) kawasan dunia rutin sehari-hari. Kawasan lain ini adalah kawasan adinilai, kawasan yang "sangat besar" atau transenden, yang melampaui "batas-batas yang biasa diketahui". Kawasan ini memukau, mengejutkan, menggerakkan hati dan pikiran, dan dapat mengubah serta menguatkan kehidupan.

Lewat metafora-metafora, kawasan yang samasekali lain itu, yang berada di luar batas-batas yang biasa, dibuka, sehingga dapat kita masuki, sejengkal atau sampai tak terhingga. Tanpa metafora, kawasan transenden akan tetap selamanya tertutup bagi manusia./2/

Selain itu, tanpa metafora-metafora, maka pengenalan, pengalaman, penghayatan, gambaran dan internalisasi kita atas kawasan transenden, kawasan yang "sangat besar" yang melampaui dunia sehari-hari kita yang rutin, kawasan yang selalu berdimensi lebih tinggi, kawasan "the Wholly Other", akan sangat terbatas, bahkan tak dapat ada, tak dapat kita alami dan masuki, tak dapat mempesona dan tak dapat membuat kita tergetar dan tersungkur dalam keheningan, in deep silence

Misterium tremendum

"Sesuatu" yang dipercaya ada di kawasan transenden ini, kawasan yang "sangat besar", kawasan yang selalu berdimensi lebih tinggi, kawasan yang melampaui atau berada di luar dunia sehari-sehari manusia, oleh Rudolf Otto (1869-1937) dalam bukunya Das Heilige (1917) dinamakan Mysterium tremendum et fascinans (Latin) atau "Misteri yang menakutkan sekaligus rahmani" ("fearful and merciful Mystery"). Dalam bahasa Jerman, Rudolf Otto menyebutnya "schauervolles und faszinierendes Geheimnis", atau sebagai "Ganz Andere", "Wholly Other", Sang Lain yang sepenuhnya asing./3/

Nah, hanya lewat metafora kawasan transenden itu, atau Misteri Besar itu, Sang Lain, jika kita mau, dapat kita masuki, karena metafora adalah wahana sastra yang dapat menyeberangkan kita, keluar dari dunia sehari-hari kita yang biasa, lalu masuk ke kawasan Misteri Besar itu, kawasan yang "melampaui" dunia kita, atau berada "di luar" dunia kita, lalu kita berjumpa Sang Lain.

Perjumpaan atau "encounter" itu akan membuat kita terdiam, hening, "silent". Ya, kita terdiam hening karena berjumpa "the Holy Silent", Sang Sunyi Kudus, Sang Lain, yang tak terpahami, tak terungkapkan, yang membuat mulut kita terkatup rapat, hati dan pikiran kita senyap.

Untuk masuk ke Misteri Besar ini, Sang Lain, kita perlu menyeberang, masuk ke dalamnya, lewat wahana metafora, karena misteri ini sepenuhnya melampaui atau berbeda dari dunia kita yang sehari-hari dan rutin. Sang Lain ini dahsyat dan mengerikan, membuat kita gemetar, tak dapat berkata, bisu, in deep stillness, tapi juga penuh kasih karunia dan menimbulkan kegembiraan, dendang, tarian, nyanyian, pujian, puisi, kesukaan dan semangat.




Bayangkan, apa yang akan mendadak menyerbu dan mengisi hati, perasaan, emosi dan pikiran anda ketika sebuah UFO mendadak turun dari angkasa lalu mendarat di hadapan anda, dan selanjutnya satu sosok alien yang samasekali lain dan berbeda dari postur tubuh anda keluar dari UFO itu dan berjalan mendekati anda?

Rasa gentar dan terteror pasti memenuhi anda pada awalnya, yang kemudian lenyap bertahap ketika anda dapat menangkap dan mengerti pesan-pesan pertemanan, perdamaian, keakraban, kepedulian, cinta kasih, keselamatan, perlindungan, pertolongan, empati, yang disampaikan si alien ini kepada anda lewat komunikasi telepati. Rasa takut dan terteror berubah menjadi rasa terpesona, terpukau, berbahagia, senang, riang, optimis, dan tersembuhkan.

Terra incognita

Nah, metafora adalah perahu yang membawa kita ke "seberang sana" sungai kehidupan kita, ke "tepi sana" yang samasekali lain, yang melampaui tepi daratan dunia kita, yang melewati dan membelah sungai kehidupan kita yang biasa. "Perahu" di sini tentu adalah metafora yang saya pakai untuk menjelaskan lagi apa itu metafora--- jadi, metafora tentang metafora.

Lewat metafora, tepi seberang yang lain samasekali itu ---ketika kita sudah menginjakkan kaki di sana lalu mulai melangkah maju dan masuk makin jauh dan dalam--- membawa kita ke "dunia yang samasekali lain".

Dunia lain ini penuh dengan kejutan, pesona, keriangan, sekaligus keasingan dan keserbalainan yang mengejutkan dan menakutkan kita karena kita sedang berada di kawasan yang tidak kita ketahui dan tidak kenal sebelumnya. Terra incognita. "The unknown realm", kawasan yang tidak dikenal.

Nah, karena metafora membawa kita masuk ke kawasan seberang, kawasan terra incognita, kawasan transenden yang melampaui dunia sehari-hari kita, kawasan yang luarbiasa besar dan tak terpahami dan tak dikenal lewat bahasa sehari-hari di dunia indrawi kita, maka setiap metafora tidak dapat dipahami dan diterima secara literal atau harfiah sebagai fakta-fakta literal objektif.

Memakai ungkapan Andrew J. Burgess, setiap metafora "tidak mempunyai ekuivalen literal", karena setiap metafora bersifat "irreducibly metaphorical"./4/ Jika suatu metafora dipahami literal, harfiah, maka pintu masuk ke kawasan transenden langsung tertutup, dan si pembacanya tetap berada di luar, tak berhasil bertemu dengan Sang Lain. Literalisme mencegah perjumpaan otentik yang hening dan dalam dengan Sang Lain. 

Jadi, jika kita mau menemukan maksud dan tujuan suatu metafora ditulis, kita perlu masuk bukan ke kawasan fakta-fakta literal yang memang bukan fokus setiap metafora, tapi ke kawasan nilai-nilai, seperti sudah ditulis di atas.

Karena menyampaikan nilai-nilai yang dibawa dari dunia Sang Lain, dunia transenden, maka setiap metafora besar akan sanggup menggugah hati dan pikiran serta membentuk kembali atau mengubah kehidupan orang-orang yang membacanya dan mengerti metafora yang dibaca mereka.

Mengonstruksi teologi

Nah, tanpa metafora, teologi apapun, baik teologi cerita maupun teologi proposional (atau teologi sistematik), tak dapat dibangun. Ya, karena setiap teologi mengacu dan membawa kita masuk ke terra incognita, ke kawasan Misteri Besar ini, misteri Sang Lain yang dahsyat sekaligus rahimi, yang melampaui segala sesuatu yang kita kenal dan persepsi dalam dunia rutin sehari-hari kita.

Karena tanpa metafora teologi apapun tidak dapat dikonstruksi, maka niscaya teologi itu sendiri adalah metafora, yang melaluinya manusia masuk, bertemu Sang Lain, dan Sang Lain ini masuk ke dalam dunia insani, menjadi bagian dari pergaulan sosial kita sehari-hari, dan dapat kita jumpai dan menjumpai kita, dan mengubah diri dan kehidupan kita. Di saat itulah, kita mengalami kegentaran, kita tercengang, kita terdiam, terpana, sekaligus juga kita mengalami kerahiman, kasih karunia, sukacita, kegembiraan dan kegairahan hidup. Kita hening sekaligus riang. Teologi yang bagus akan menimbulkan suasana ini.

Sejalan uraian di atas, Sallie TeSelle menyatakan bahwa sebuah metafora menghubungkan "hal yang biasa" dengan "hal yang luarbiasa", "the ordinary and the extraordinary", hal yang tidak mengejutkan dengan hal yang mengejutkan, "the unsurprising and the surprising". Ya, menghubungkan dunia kita yang biasa, yang sudah lumrah, dengan kawasan transenden yang samasekali lain, yang tak ada bandingannya.

Tulisnya juga, lewat metafora, "bahasa, kepercayaan dan kehidupan dipadukan menjadi satu keseluruhan." Teologi itu bahasa, suatu bentuk sastra, yang akan fungsional dan bekerja jika dipercaya. Tentu, ada teologi yang baik dan ada teologi yang buruk, bergantung adakah kebajikan, pengalaman, cinta, wawasan, pengetahuan, kearifan dan kecerdasan dalam diri si penyusunnya.

Ya, metafora apapun juga bahasa, tetapi bahasa yang lain, yang tidak biasa, yang bukan sehari-hari, yang penuh pesona sekaligus mengejutkan, yang tidak ada ekuivalen harfiahnya. Ya, karena, lewat metafora-metafora teologis kehidupan kita di dunia sehari-hari bertemu dan menyatu atau berpotongan dengan kawasan transenden, kawasan adinilai, kawasan kehidupan yang samasekali berbeda, kehidupan Misteri Besar, kehidupan Sang Lain.

Lewat metafora, pertemuan berlangsung dua arah, interaktif. Bukan hanya kita yang dibawa masuk ke kawasan transenden, ke Sang Lain, ke hal yang sangat besar yang tidak biasa, yang mengejutkan, yang melampaui dunia kita. Sebaliknya juga terjadi. Misteri Besar itu, kawasan transenden itu, Sang Lain, masuk dan menyentuh dunia sehari-hari kita yang biasa dan rutin, "the worldly", dengan suatu cara yang khas. Kata Sallie TeSelle, itulah yang terjadi dengan Yesus, sebagai metafora Allah, "the parable of God"./5/ Apa maksudnya? Berikut ini saya uraikan.

Yesus, the metaphor of God

Yesus bukan saja membawa kita masuk ke kawasan transenden, ke Sang Lain, lewat metafora-metafora-Nya, yaitu kisah-kisah kreatif imajinatif atau perumpamaan-perumpamaan-Nya yang menggugah, atau lewat kisah-kisah besar tentang Yesus yang ditulis para penulis injil-injil Perjanjian Baru.

Lebih dari itu, lewat diri Yesus sebagai sang Metafora Besar, sebagai "the transcendent metaphor", sebagai "the metaphor of God", dan juga lewat metafora-metafora tentang Yesus dalam injil-injil Perjanjian Baru, kawasan transenden itu, Sang Lain itu, juga masuk ke dunia sehari-hari kita, dan berada bersama kita, menjadi bagian dari kehidupan kita.

Sebagai "the metaphor of God", Yesus adalah Sang Lain yang "menyeberang" dari kawasan transenden, masuk ke kawasan dunia real sehari-hari manusia. Menyeberang atau "turun" dari terra incognita di "atas", masuk ke dunia "bawah", dunia manusia, berada di tengah manusia. 

Memakai ucapan Yesus sendiri, lewat dan di dalam diri-Nya, "Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Lukas 11:20; Yunani: ephthasen eph humas hē basileia tou Theou); "Kerajaan Allah ada di antara kamu" (Lukas 17:21; Yunani: hē basileia tou Theou entos humōn estin). 

Memakai teks metaforis Injil Yohanes 1:14a, "sang Firman itu telah menjadi daging" (Yunani: kai ho logos sarks egeneto). Maksudnya: sang Firman yang ada "pada mulanya" (Yunani: en arkhē, Yohanes 1:1a) yang adalah Allah (Yunani: ho Theos) dan ada bersama Allah (Yohanes 1:1b), telah menjadi satu sosok manusia yang real, yaitu Yesus, yang "diam di antara kita" (Yunani: eskēnōsen en hēmin), menjadi bagian dari dunia kita yang biasa, yang sehari-hari.

Sosok transenden dari kawasan Sang Lain yang telah masuk ke dalam dunia ini dengan menjadi manusia yang real, Yesus orang Nazareth, dinyatakan "penuh kasih karunia dan kebenaran" (Yohanes 1:14d; Yunani: plērēs kharitos kai alētheias).

Kita tidak bisa memahami ungkapan "pada mulanya" dalam Injil Yohanes 1:1 secara literal. Jika "pada mulanya" (Ibrani: bereshit, Kejadian 1:1, "In the beginning") Allah "menciptakan langit dan Bumi", maka sebelum dimensi ruangwaktu diciptakan, kita tidak bisa melakukan perhitungan apapun untuk menentukan koordinat kosmik ruangwaktu "pada mulanya". 

Jadi, frasa "pada mulanya" adalah sebuah metafora kawasan transenden, kawasan yang abadi, "eternal", dan tanpa batas atau tak berhingga, "infinite", yang melampaui, mendahului dan menyelubungi jagat semesta dan dunia sehari-hari yang kita dapat ketahui. Kawasan "pada mulanya" ini melampaui, memenuhi, menembus ruang dan waktu, dan bebas dari ikatan ruang dan waktu, hadir dan ada setiap waktu di mana-mana, mahahadir, mahaberada,  "omnipresent".

Jadi, ungkapan "pada mulanya" adalah metafora yang mengacu ke kawasan transenden, kawasan yang sama sekali lain, kawasan "Ganz Andere". Dari kawasan "atas" ini, kawasan Sang Lain, sang Firman masuk ke dunia "bawah", dunia kita sehari-hari, dengan begitu real sebagai satu sosok insani, sosok berdaging. The Word made flesh. The Word incarnated. Sosok sang Firman yang menjadi daging, atau yang ber-inkarnasi (Latin: in carne). Teks Latin: Et verbum caro factum est. 

Sang Lain yang tak terbatas, masuk ke kawasan dunia manusia yang terbatas, dan membatasi diri-Nya dalam satu sosok berdaging, Yesus dari Nazareth, supaya manusia dapat menyentuh, meraba, memegang, melihat-Nya dan mempersepsi-Nya dengan lima indra insani.

Lewat dan di dalam diri Yesus, "the worldly" dan "the otherworldly" bertemu, berpadu, membentuk interseksi. 

Ada kegentaran yang ditimbulkan Yesus pada manusia, lantaran Dia adalah wujud insani Sang Lain dalam dunia sehari-hari manusia. Sekaligus Yesus juga memberi kasih karunia, kebenaran, kelegaan, rehat, daya tahan, pertemanan, kedekatan, keakraban, kepedulian, empati, puisi, kisah-kisah, dan hal-hal yang sejati, dalam kehidupan sehari-hari kita.

Jika "pada mulanya" adalah metafora kawasan transenden, maka Yesus sebagai sang Firman yang masuk ke dalam dunia insani dari kawasan "pada mulanya", niscaya adalah juga metafora, "the metaphor of God", "the metaphor of the transcendent".

Lewat Yesus, dan bersama Yesus, kita "menyeberang", masuk ke kawasan Sang Lain, kawasan yang "melampaui" kawasan dunia alam biasa. Serentak dengan itu, Sang Lain juga "menyeberang", masuk ke dalam, dan menjadi bagian dari, dunia sehari-hari kita, lewat Yesus. Jadi, sekali lagi, Yesus adalah metafora, "the transcendent metaphor".

Karena di kawasan "pada mulanya" sang Firman "ada bersama Allah dan adalah Allah" (Yohanes 1:1b,c; Yunani: kai ho logos ēn pros ton Theon, kai Theos ēn ho logos), maka niscaya Allah, ho Theos --- seperti halnya dengan Yesus sang Firman yang menjadi daging---adalah juga metafora, "the Grand Metaphor", "the metaphor of the Wholly Other", metafora mysterium tremendum et fascinans.

Tepatlah apa yang ditulis dosen dan pakar mitologi kebangsaan Amerika, Joseph Campbell (1904-1987), bahwa “Allah adalah sebuah metafora untuk suatu misteri yang sepenuhnya mentransendir, melampaui, semua kategori pemikiran manusia, bahkan kategori ada dan non-ada. Sesimpel itu saja.”/6/

Teologi adalah metafora

Dengan demikian, jika Allah adalah metafora, maka sebagai wahana bahasa insani (atau logos) yang membawa orang ke Allah (theos), ke Sang Lain, dan Allah ke manusia, setiap teologi juga adalah metafora.



Jembatan menuju kawasan Sang Lain. Sumber gambar: istockphoto.com


Memakai metafora, teologi adalah sebuah jembatan yang menyeberangkan seseorang di kawasan "sebelah sini", untuk tiba di kawasan "sebelah sana", tentu jika orang ini mau melangkah ke depan dan meniti jembatan di hadapannya. Nah, ada jembatan yang rapuh dan sudah tua, dan ada jembatan yang kuat dan kokoh karena baru dibangun lewat perhitungan iptek yang cermat. Ada jembatan yang pendek dan ada juga yang panjang.

Atau, teologi adalah sebuah "tangga" yang kakinya bertumpu di tanah Bumi, dan ujung lainnya di atas menempel di "gerbang langit". Jika lewat tangga itu seseorang memanjat anak-anak tangga dan akhirnya tiba di depan pintu gerbang langit, dan si pemanjat ini membuka pintunya, maka dia akan masuk ke kawasan lain di balik langit, kawasan Sang Lain, kawasan terra incognitaTentu, ada tangga yang rapuh dan ringkih, dan ada tangga yang kokoh dan kuat.

Teks Kejadian 28:10-19 sangat menawan. Lewat imajinasinya, atau lewat mimpi, Yakub membangun metafora "tangga" yang membuatnya dapat melihat "gerbang sorga", lalu rasa "takut dan dahsyat" menimpanya, karena dia masuk ke kawasan Sang Lain, dan Sang Lain turun dan berbicara kepadanya. Tangga yang muncul dalam visi Yakub lewat mimpi ini sebaiknya sekarang dicari dan ditemukan di Bethel oleh kalangan literalis skriptural.

Argumen lainnya ada. Berikut ini.

Karena teologi adalah bahasa metaforis manusia tentang "Theos", tentang Allah, dan Allah menjadi pusat, fokus dan konten setiap teologi, dan setiap teologi dapat dibangun hanya jika Allah, atau Sang Lain, dipercaya ada dan dapat dijumpai dalam suatu teologi, maka "Theos", Allah, juga adalah metafora, Metafora Besar, "the Grand Metaphor".

Jika Yesus menyusun metafora-metafora dalam Dia berteologi lewat kisah-kisah untuk rakyat jelata Yahudi pada masa-Nya, dan jika Yesus sendiri adalah Metafora Allah, dan jika Allah sendiri sebagai Sang Lain adalah Metafora Besar, maka setiap teologi niscaya adalah metafora.

Bukan hanya teologi cerita, teologi proposional atau teologi sistematik pun adalah metafora.

Ide Tritunggal dalam teologi sistematik, misalnya, adalah suatu metafora yang dikonstruksi para teolog kekristenan ortodoks berabad-abad lalu dalam usaha mereka menyeberang, masuk ke kawasan "pada mulanya" untuk menemukan dan menjelaskan "kesatuan dalam kemajemukan" dalam hakikat Allah yang esa.

Nah, berhubung Allah adalah Sang Lain yang melampaui semua kategori pemikiran manusia, dan melampaui kategori ada dan non-ada, maka tentu saja "kemajemukan" dalam hakikat Allah tidak bisa manusia batasi tiga saja. Ada kemajemukan tanpa batas, infinite, limitless, dalam hakikat Allah yang esa.

Jadi, metafora Tritunggal adalah salah satu metafora, bukan satu-satunya metafora, tentang "unity in diversity" dalam hakikat ho Theos. Cara berada atau "modes of being" Sang Lain untuk dapat dikenal manusia tidak cuma tiga, tapi tanpa batas, tak berhingga./7/ Siapakah anda, manusia, yang mau membatasi Sang Lain dalam hanya tiga cara berada?

Penutup

Akhir kata, apakah masih akan ada gerejawan, rohaniwan Kristen, dan para pemikir teologi di dalam gereja-gereja dan perguruan-perguruan teologi di Indonesia, yang dengan naif anti terhadap metafora, apalagi jika dihubungkan dengan diri Yesus? Semoga tidak akan ada lagi.

Jika mereka anti metafora, sebaiknya mereka mengganti profesi saja, menjadi ilmuwan IPA yang tulen. Tetapi, masalahnya, metafora juga dibutuhkan dan dipakai dalam ilmu pengetahuan, dalam fisika, misalnya, ketika para ilmuwan mau menjelaskan mekanika quantum, atau dalam kosmologi ketika mereka mau menerangkan dan menggambarkan jagat raya, baik jagat raya kita ("the universe") maupun jagat-jagat raya lain ("the multiverse").

Ke manakah mereka harus melarikan diri jika mau lepas dari metafora sama sekali?

Jakarta, 11 Agustus 2021
ioanes rakhmat

Catatan-catatan

/1/ Lihat tulisan Ioanes Rakhmat, "Sciences and Values", Freidenk Blog, Nov 17, 2014, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2014/11/sciences-and-values.html?m=0.

/2/ Joseph Campbell, Thou Art That: Transforming Religious Metaphor (Navato, California: New World Library, 2001), hlm. xvi.  

/3/ Rudolf Otto, Das Heilige: Über das Irrationale in der Idee des Göttlichen und Sein Verhältnis zum Rationalen (München: C.H. Beck'sche Verlagsbuchhandlung, 1917, cetakan kedua 1936). Terjemahan Inggris oleh John W. Harvey, The Idea of the Holy (Oxford University Press, 1923; edisi kedua 1950). 

/4/ Andrew J. Burgess, "Irreducible Religious Metaphors", Religious Studies 8 (4): 355-366 (1972). Abstract. 
https://philpapers.org/rec/BURIRM-2.

/5/ Sallie McFague TeSelle, "Parable, Metaphor, and Theology", Journal of the American Academy of Religion, vol. XLII, Issue 4, published online 01 December 1974, hlm 630 [630-645],
https://academic.oup.com/jaar/article-abstract/XLII/4/630/730185?redirectedFrom=PDF.

/6/ Phil Cousineau, ed., The Hero’s Journey: Joseph Campbell on His Life and Work (Novato, California: New World Library, 1990, 2003), hlm. 161. Lihat juga film dokumenter Joseph Campbell: A Hero’s Journey (2000).

/7/ Uraian lebih lanjut, lihat Ioanes Rakhmat, "Problem Doktrin Tritunggal Sebagai 'Tiga Cara Berada Allah Yang Esa'", Freidenk Blog, 20 Maret 2021, diedit 9 April 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2021/03/problem-doktrin-tritunggal-sebagai-tiga.html?m=0.