Sunday, February 28, 2021

Teologi Salib versus Teologi Kemuliaan dalam Teks Markus 8:31-38


"Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!" Apakah ini sebuah pengakuan kebenaran, atau sebuah satir?


N.B. editing mutakhir 26 November 2021


Di pagi yang cerah tadi, Mulai pk. 9:20 WIB, Minggu, 28 Februari 2021, saya ikut ibadah online GKI Kepa Duri. Ada 2 penatua yang bertugas: Pnt. Elinne Ratnasari dan Pnt. Simon Tobing.

TPG Christian Siregar tampil sebagai pemberita firman. Khotbahnya keren dan otoritatif; saya mendengarkannya dengan penuh minat. Teks khotbah diambil dari Markus 8:31-38.

Terima kasih kepada Majelis Jemaat GKI Kepa Duri dan semua pihak yang berperan, yang memungkinkan ibadah online berjalan dengan baik setiap hari Minggu.

Pada kesempatan ini saya mau jauh lebih memperdalam telaah atas teks khotbah tersebut. Supaya para pelayan gereja dapat menyusun sebuah khotbah yang berbeda, yang tidak biasa, yang tidak usang, tidak klise, jika teks skriptural yang sama dipakai lagi.

Teks Markus 8:31-38 mengisahkan kali pertama ihwal Yesus memberitahukan kepada "murid-murid-Nya" dan "orang banyak" bahwa jalan yang akan ditempuh-Nya adalah jalan sengsara (Latin: via dolorosa) atau jalan salib (Latin: via crucis) (ay. 31, 34).

Kita sebut, teologi yang dihayati Yesus adalah theologia crucis (Latin) atau teologi salib (Yunani: staurotheologos). Frasa Inggrisnya "theology of the cross". Orang Jerman seperti Martin Luther menyebutnya Kreuzestheologie.

Tetapi Petrus tidak mendukung teologi salib Yesus. Dengan nekad, sang rasul kepala ini menarik Yesus ke samping dan "menegur" atau "memarahi" atau "memperingatkan" (Yunani: epitimaein) Yesus. Akibatnya, Yesus langsung di depan murid-murid-Nya "memarahi" balik Petrus, "menegur" sang rasul ini dengan sangat keras. Hardik Yesus:

"Enyahlah Iblis (Yunani: satana), sebab engkau (Petrus) bukan memikirkan (Yunani: fronein) apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." (ay. 33). 

Dalam Alkitab versi NRSV kata Yunani fronein diterjemahkan "on the side of", "memihak kepada": memihak kepada Allah, atau memihak kepada manusia. Jadi, Yesus melihat diri-Nya memihak ke Allah, sedangkan Petrus ke manusia yang sedang dikuasai Iblis. Tapi, terjemahan "memikirkan", hemat saya lebih tepat, lantaran kisah Markus ini adalah kisah bentrokan atau konflik dua ide teologis.

Ya, jelas ada konflik pandangan tentang siapa Yesus antara Yesus dan rasul Petrus. Bagi Yesus sudah jelas, teologi-Nya atau "pikiran Allah" adalah teologi salib. Lalu, apa teologi Petrus yang oleh Yesus disebut "pikiran manusia" yang dikehendaki Iblis

Kuncinya terdapat pada ucapan pengajaran pemuridan yang disampaikan Yesus pada ayat 36, "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia (Yunani: kerdainein ton kosmon holon), tetapi dia kehilangan nyawanya?"

Frasa "memperoleh seluruh dunia" mengingatkan kita pada kisah-kisah injil tentang Yesus dicobai Iblis/Setan. Penulis Injil Markus tidak mengisahkan terinci pencobaan (Yunani: peirasmos) apa saja yang dialami Yesus (Markus 1:12-13). Matius dan Lukas memuat kisah pencobaan ini dengan terinci (Matius 4:1-11, par. Lukas 4:1-13).

Salah satu tawaran Iblis kepada Yesus ketika Yesus dicobai adalah "semua kerajaan dunia" dengan "segala kuasa,  kemuliaan dan kemegahannya" akan diberikan Iblis kepada Yesus jika Yesus mau menyembah Iblis yang sedang mencobai-Nya (Matius 4:8-9; Lukas 4:5-7).

Tawaran si Iblis itulah yang ada dalam pikiran Petrus, yakni Yesus harus menguasai dunia, kerajaan dunia dengan segala yang ada di dalamnya: kuasa, kemegahan, dan kemuliaan (Yunani: doksa; Latin: gloria). Dus, jalan ke situ adalah Yesus harus menjadi raja Yahudi yang penuh kemuliaan. Inilah teologi kemuliaan, theology of glory, theologia gloriae.

Dalam bingkai teologi kemuliaan yang dipegang para murid Yesus dan orang Yahudi umumnya dalam masa kehidupan Yesus, mereka menantikan Zaman Mesianik tiba, dan seorang Messias raja muncul untuk meremukkan kekuasaan Kekaisaran Romawi yang sedang menjajah negeri Israel (sejak 63 SM), lalu kerajaan Daud yang agung dan mulia akan berdiri kembali. 

Oh ya, kata "Messias" dialihkan dari kata Ibrani Massiakh (Yunani: Khristos, Indonesia: Kristus), artinya "orang yang diurapi" atau "dilantik (atas nama Allah)" lewat suatu ritual peminyakan Yahudi untuk menjalankan tugas-tugas ilahi. Raja-raja Yahudi kuno, di samping jabatan-jabatan suci lainnya, dilantik lewat ritual ini menjadi Messias.

Nah, langsung setelah Yesus dikisahkan menyampaikan ajaran teologi salib untuk kali ketiga (Markus 10:32-34), dalam Markus 10:35-45 dengan jelas Markus menggambarkan bahwa dua orang murid Yesus lainnya, yakni Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, memegang teologi kemuliaan. Mereka meminta kepada Yesus kedudukan yang mulia nanti, ketika saatnya tiba, saat Yesus duduk di takhta mulia kerajaan messianik, yang melanjutkan dinasti Daud.

Kata mereka kepada Yesus, 

"Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang di sebelah kanan-Mu, dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu." (ay. 37). 

Seperti Petrus yang dimarahi Yesus, dua murid tersebut, setelah dituntun oleh Yesus ke pemahaman yang berbeda, juga dimarahi, tetapi bukan oleh Yesus, melainkan oleh sepuluh murid lainnya (ay. 41).

Ya, Markus 8:31-38 mengisahkan benturan antara teologi salib yang dipegang Yesus dan teologi kemuliaan yang digenggam erat oleh para murid Yesus dan orang banyak. 

Kalau menurut Yesus adalah suatu "keharusan ilahi" (Yunani: dei, Markus 8:31) bagi-Nya untuk menjalani jalan kesengsaraan, tidak demikian halnya menurut para murid-Nya dan orang banyak.

Tak ada ide teologis tentang sang Messias yang sengsara, yang memikul salib, lalu mati dibunuh di kayu salib, dalam pikiran orang Yahudi. Sebaliknya, setidaknya sejak Jenderal Romawi Pompey menaklukkan dan menguasai Palestina (63 SM), bangsa Yahudi menunggu kemunculan seorang Messias petempur, seorang Messias perang, "a warrior messiah", yang akan memerdekakan dan menyucikan kembali negeri mereka.

Juga, dalam ide messianik Yahudi, tak ada sang Messias yang menyerang Bait Allah di Yerusalem, seperti yang telah dilakukan Yesus (Markus 11:15-19; par. Matius 21:12-13; Lukas 19:45-48; Yohanes 2:13-16). Dalam ideologi messianisme Yahudi, seorang Messias sejati akan menjaga dan melindungi kota Yerusalem di mana Bait Allah berada (sebagai pusat kekuasaan religiopolitik dan pusat ekonomi), bukan menyerangnya.

Dalam karya pseudepigrafis yang ditulis dalam bahasa Yunani dalam kurun antara 63 SM dan 37 SM, yang diberi judul Mazmur-mazmur Salomo (Yunani: Psalmoi Solomontos, Inggris: Psalms of Solomon), kita temukan ungkapan eksplisit Yahudi pertama tentang pengharapan kedatangan seorang Messias keturunan Daud yang diberi gelar "Tuhan Kristus" (Yunani: Kurios Khristos) (17:32). Sang Messias ini digambarkan akan memulihkan dan mempertahankan kesucian kota Yerusalem yang di dalamnya Bait Allah berada (17:30). Dalam teks-teks gulungan dari Laut Mati, Dead Sea Scrolls, ditemukan juga pengharapan akan kedatangan seorang Messias keturunan Daud yang akan memerintah dengan adil dan berperang mempertahankan dan membela negeri Israel (4Q161; 4Q285; 4Q252; 4Q174).

Pendek kata, tidak ada tradisi Yahudi dalam Alkitab Ibrani, Pseudepigrafa, dan Apokrifa, tentang seorang Messias yang terang-terangan menolak dan menyerang Bait Allah.

Nah, terkait dengan aksi-Nya di salah satu bagian Bait Allah yang dinamakan Serambi Salomo (TB LAI. Ibrani: Ha-stav ha-Mal'ḥuti, הסטיו המלכות; Yunani: tē stoa tou Solomônos. Lihat Yohanes 10:23; juga KPR 3:11; 5:12), Yesus, dalam Injil Yohanes (ditulis tahun 95), berkata "Rombak Bait Allah ini,..." (Yohanes 2:19). 

TB LAI menerjemahkan kata Yunani lusate pada Yohanes 2:19 dengan "Rombak"; tapi sebetulnya lebih tepat diterjemahkan "Robohkan" atau "Hancurkan" (NRSV dengan tepat memakai kata "destroy"). Karena kata kerja lusate pada ayat itu bermodus imperatif permisif, terjemahannya yang pas adalah "Silakan kalian robohkan Bait Allah ini,..." 

Kalau pasal 15:29 (dan par.) dalam Injil Markus yang ditulis pada tahun 70 ketika Bait Allah baru saja dihancurkan oleh pasukan Romawi, kita perhatikan, maka kita dapat simpulkan bahwa maksud Yesus sebetulnya adalah Yesus sendirilah yang mau merobohkan atau menghancurkan Bait Allah di Yerusalem. 

Dalam teks Markus 15:29 dan par yang dipakai adalah kata sinonimnya kataluein dengan subjeknya Yesus. Teks ini memuat perkataan orang-orang yang lewat di lokasi penyaliban Yesus dan mengejek-Nya. Kata mereka, "Hai Engkau yang mau merobohkan (Yunani: kataluôn) Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, turunlah dari salib itu dan selamatkan diri-Mu!"

Bagi komunitas-komunitas Kristen awal yang sudah berdiri sebelum tahun 70, dan sempat menyaksikan (atau mendengar berita) kejatuhan kota Yerusalem dan penghancuran Bait Allah di tahun 70 oleh pasukan Romawi yang dipimpin Jenderal Titus, ucapan Yesus itu harfiah dipenuhi oleh Kekaisaran Romawi.

Peredaksian subjek dan modus kata kerja luein pada teks Yohanes 2:19 memungkinkan si pengisahnya mengaitkan aksi Yesus di Bait Allah itu dengan "tubuh" Yesus (to sômatos autou) yang nanti akan dirobohkan lewat penyaliban, yang akan disusul dengan kebangkitan-Nya pada hari yang ketiga (Yohanes 2:19, 21). Peredaksian dan pengaitan ini harus dilakukan lantaran Bait Allah sudah dirobohkan dan dihancurkan oleh pasukan Romawi pada tahun 70, sementara komunitas Kristen Yohanes menulis Injil Yohanes di tahun 95.

Dengan mengacu ke tubuh-Nya sendiri, Yesus, dalam kisah Injil Yohanes pasal 2, dipentaskan sudah mengetahui apa konsekuensi tindakan-Nya yang menimbulkan keributan di serambi Salomo (atau Portiko Rajani) Bait Allah: hukuman mati. Risiko ini juga yang membuat Yesus dan murid-murid-Nya di senja hari "keluar lagi dari kota Yerusalem", kembali ke Betania, untuk mengamankan diri (Markus 11:19, 12).

Ya, barangsiapa menyerang Bait Allah, apalagi di musim Paskah Yahudi yang rawan pemberontakan dan keributan (lihat Markus 14:2 dan par.), orang itu menyerang langsung Kekaisaran Romawi yang menjadi penguasa de jure Bait Allah. Si penyerang akan dieksekusi. Gerakannya langsung dipadamkan sebelum berkobar membesar.

Berbeda dari Injil-injil Sinoptik (Markus, Matius, Lukas) yang menempatkan kisah aksi Yesus di Bait Allah di bagian-bagian belakang masing-masing Injil (Matius 21:12-17; Markus 11:15-19; Lukas 19:45-48), penulis Injil Yohanes memuat kisah tersebut pada bagian awal Injil, Yohanes 2:13-21, bersisian dengan kisah Yesus mengubah air dalam tempayan ritual pembasuhan menjadi anggur dalam suatu perjamuan kawin di Kana (Yohanes 2:1-11). Peristiwa di Kana ini disebut sebagai "tanda (Yunani: semeion) yang pertama" dari semua "tanda-tanda" (Yunani: semeia) yang diperlihatkan Yesus. 

Dengan demikian, penyusun Injil Yohanes menempatkan aksi Yesus di Bait Allah dalam suatu latar atau konteks teologis yang mendorong "orang-orang Yahudi" untuk menantang Yesus memberi "tanda" bahwa Yesus berhak melakukan aksi keributan di Bait Allah itu (ayat 18). Patut diingat, "orang-orang Yahudi" (Yunani: hoi Ioudaioi) adalah suatu terma khas dalam Injil Yohanes yang mengacu ke lawan-lawan abadi Yesus yang terus-menerus muncul dalam keseluruhan Injil ini. 

Terhadap tantangan itu, Yesus menyebut sebuah "tanda" lain, yakni diri-Nya ("tubuh-Nya") yang akan "dirobohkan", atau disalibkan, lalu "bangkit pada hari ketiga" (ayat-ayat 19, 21-22). 

Selanjutnya, dengan programatis penulis Injil Yohanes menuntun para pembaca injil ini dari satu kejadian ke kejadian lain dalam jalan kehidupan Yesus, sampai tiba di puncaknya atau di penggenapannya atau di garis finish ketika Yesus di kayu salib berkata "Sudah selesai" (Yunani: tetelestai; Yohanes 19:30. Terjemahan NRSV: "It is finished."). 

Lewat salib, Yesus "ditinggikan" (12:32-33; Yunani: hupsoein) atau "diangkat" kembali dalam "kemuliaan" ke kawasan dari mana Dia telah datang, kawasan sang Bapa (antara lain, Yohanes 16:28). Inilah "tanda" yang paling agung dan mulia, yang membuat penuh lingkaran kehidupan Yesus: Dia datang dari "atas", Dia juga kembali ke "atas", lewat penyaliban.

Jadi, jelaslah, bahwa tindakan historis Yesus di Bait Allah itu bukan suatu tindakan simbolik (sebagaimana ditafsirkan dalam kitab-kitab Injil PB sebagai "penyucian Bait Allah", atau mengacu ke "tubuh-Nya sendiri"), tetapi, dalam realita sejarahnya, adalah tindakan perlawanan dan penolakan kuat Yesus terhadap sistem imamat yang dijalankan dalam ritual-ritual di Bait Allah. 

Kegiatan penukaran uang dan penjualan hewan-hewan kurban dibutuhkan untuk ritual-ritual ini dapat berjalan. Jadi, pada dirinya sendiri, tidak ada yang salah dengan semua aktivitas komersial ini, aktivitas berjualan. Tidak ada yang merampok, dan juga tidak ada yang dirampok. Yesus sama sekali bukan seorang penafsir harga pasaran atas semua barang yang diperjualbelikan atau penilai kurs mata uang. Jika begitu, mengapa Yesus sampai melakukan aksi keributan terhadap semua aktivitas komersial di serambi Salomo Bait Allah itu?

Yesus melihat Allah "dari bawah" ("from below"), dari rakyat jelata, "doing theology from below". Sedangkan para penguasa Bait Allah yang elitis melihat Allah "dari atas" ("from above"), yakni dari posisi tinggi mereka yang mengelola Bait Allah menurut aturan-aturan sistem imamat yang harus ditaati mutlak oleh rakyat Yahudi, yakni "theology from above".

Sistem imamat ini membuat jalan masuk ke Allah dikuasai dan dimonopoli segelintir orang, yang berbenturan dengan keyakinan dan ajaran-ajaran Yesus bahwa Allah dialami kehadiran-Nya dan karya kerahiman-Nya sebagai Raja langsung oleh rakyat Yahudi, tanpa perlu diperantarai sistem imamat. Kata Yesus berulangkali kepada murid-murid-Nya dan orang banyak, "Kerajaan Allah telah datang (Yunani: phthanein) kepada kalian" (Lukas 11:20 dan par.), atau "Kerajaan Allah ada di antara/di tengah kalian" (Yunani: hē basileia tou theou entos humôn estin; Lukas 17:21), tanpa perlu mediator sistem imamat.

Dengan latar teologi Yesus itu, yang dibangun-Nya dari perspektif "kalangan bawah", pantaslah jika para manajer religiopolitik dan ekonomi yang menjalankan sistem imamat disebut-Nya sebagai para "penyamun" (Yunani: lēstēs; yang juga berarti "bandit" atau "penjahat") yang bersarang di Bait Allah (Markus 11:17; Matius 21:13; Lukas 19:46). Kalangan elitis Bait Allah mengambil dari rakyat, sedangkan Allah, sang Bapa, memberi kemurahan kepada mereka. 

Jelas, memang ada konflik tajam antara Yesus dan Bait Allah. Dalam musim perayaan Paskah Yahudi yang berlangsung 7 hari, dengan sangat banyak orang (ratusan ribu) terhimpun di kota Yerusalem, Yesus menyerang Bait Allah, mau menghancurkannya. 

Tentu, sekali lagi, ada risiko berat bagi setiap orang yang melawan dan mau menghancurkan Bait Allah, meski perlawanan dan penyerangan yang kecil saja. Melawan dan menyerang Bait Allah berarti melawan dan menyerang pusat kekuasaan religiopolitik Yahudi dan pusat ekonomi yang semuanya, pada dasarnya, ada dalam genggaman Kekaisaran Romawi.

Selanjutnya, dalam konsep messianik Yahudi menjelang dan pada abad 1 M, seperti ditemukan dalam sastra pseudepigrafis Mazmur-mazmur Salomo yang sudah disebut diatassang Messias yang akan datang haruslah satu sosok agung, mulia dan kuat yang dengan gagah berani akan mengobarkan perang untuk mengusir penjajah tanah mereka. "A warrior messiah", itulah yang dinanti orang Yahudi, juga di masa kehidupan Yesus.

Yesus tak pernah diakui sebagai sang Messias oleh orang Yahudi yang beragama Yahudi hingga saat ini. Lantaran dua kriteria messianik minimal tersebut (menjaga dan melindungi Bait Allah, dan menjadi Messias perang) tak terpenuhi dalam jalan kehidupan Yesus.

Ya, Yesus menempuh jalan lain, via dolorosa, yang akhirnya memberi signifikansi universal, bukan nasional Yahudi. Ketimbang menyayangi bangsa Yahudi saja, Yesus menjadi wujud aktif kasih Allah bagi seisi dunia. 

Makna kehidupan Yesus yang berhorison universal ini ditemukan, misalnya, oleh penulis Injil Yohanes (3:16a). Jika wujud aktif kasih Allah terhadap dunia ini dipercaya, maksudnya: diaktualisasi, oleh seseorang atau oleh gereja, maka orang itu, atau gereja, menjalankan suatu kehidupan sekualitas kehidupan Allah, yakni kehidupan kekal, dalam dunia sekarang ini. 

Di era kekristenan awal, adakah sosok Yahudi yang tampil sebagai seorang messias perang? Ada. 

Dalam Pemberontakan Yahudi Kedua (132-135 M), Simon bar Kokhba mengambil peran sebagai sang Messias Yahudi, yang menjadi panglima perang. 

Dalam beberapa bagian tulisan para rabbi Yahudi, nama Simon bar Kokhba (atau Simon bar Kosevah/Kosibah) muncul, digambarkan sebagai panglima perang atau nasi ("pangeran") yang berkarakter keras, gigih dan sangat percaya diri (Talmud Yerusalem, Ta'anit 4:5; Ratapan Rabbah 2:5).

Perang Yahudi Pertama (66-73 M) berakhir dengan kekalahan bangsa Yahudi, kota Yerusalem dibumihanguskan, dan Bait Allah dihancurkan (tahun 70 M). 

Dalam perang kedua yang dipimpin Messias Simon bar Kokhba ("bar Kokhba" artinya "si anak bintang", suatu simbol messianik), akhirnya, setelah 3 tahun bangsa Yahudi berhasil menjadi kerajaan yang merdeka, Roma berhasil mengalahkan Simon bar Kokhba dan pasukannya (200.000 orang Yahudi) setelah benteng pertahanan mereka di kota kecil Betar dikepung lalu jatuh ke tangan pasukan Romawi. Sang Messias Simon bar Kokhba ditawan dan dibawa ke Roma, dan di sana kepalanya dipenggal.

Sebagai tindak lanjut kemenangan Romawi, pada tahun 135 Kaisar Hadrianus mengeluarkan Dekrit Hadrianus yang melarang orang Yahudi mendiami tanah Israel kembali, dan nama kota Yerusalem diubah menjadi Aelia Capitolina (dari salah satu nama Hadrianus, Aelius).

Selain itu, Hadrianus juga mengkonsolidasi 3 provinsi lama negeri Israel (Yudea, Samaria dan Galilea), menjadi satu provinsi negara baru Palestina Syria.

Langkah-langkah strategis Hadrianus ini menutup kemungkinan orang Yahudi mengklaim kembali Palestina sebagai negara mereka dan Yerusalem sebagai kota suci negara mereka. Begitulah, Messianisme nasionalis Yahudi gagal total.

Jadi, bisa dipahami, meski ditolak tegas oleh Yesus, jika para murid-Nya dan orang banyak Yahudi mengharapkan Yesus berjuang keras untuk meraih posisi yang mulia sebagai sang raja Yahudi yang akan melanjutkan keagungan dinasti raja Daud, dengan mengalahkan Kekaisaran Romawi yang sedang menguasai negeri mereka. 

Bagaimana pun juga, teologi salib Yesus berkonflik dengan teologi kemuliaan Yahudi. Benturan dua teologi ini paling keras terjadi ketika Yesus akhirnya dibunuh lewat penyaliban. Para penganut teologi kemuliaan, termasuk para pemimpin religiopolitik Yahudi, dan orang-orang lain, menghujat, mengejek dan memperolok Yesus pada peristiwa penyaliban (Markus 15:29-32).

Namun, bagi penulis Injil Markus, teologi salib yang dihayati Yesus akhirnya bermuara juga pada pengakuan akan kemuliaan Yesus, bukan berupa duduknya Yesus di takhta kerajaan dinasti Daud, melainkan ketika Dia diakui sebagai "Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!" oleh kepala pasukan Romawi yang berdiri berhadapan dengan Yesus saat Yesus mati di kayu salib dan melihat cara kematian Yesus (Markus 15:39). Kemuliaan jenis ini tak bisa masuk ke dalam ide Messianisme Yahudi. Paradoks kemuliaan Yesus!

Bagi penulis Injil Markus, takhta mulia Yesus sebagai sang Messias, Anak Allah, bukan takhta emas kerajaan dunia, tapi kayu salib, dan mahkota Yesus adalah anyaman duri (Markus 15:17). 

Dalam dunia pagan Greko-Romawi, sosok-sosok besar yang dipandang adiinsani, superhuman, tidak ada yang berakhir di kayu salib. Sosok-sosok besar di kawasan luas ini diberi status atau dipercaya sebagai demigod atau semideus (Latin) atau hēmitheos (Yunani) atau theios anēr (Yunani), atau sosok setengah dewa atau manusia ilahi. Dilihat dari sudut ini, ada dasar untuk menafsirkan pernyataan sang kepala pasukan Romawi tentang siapa Yesus sebagai sebuah satir, bukan suatu pengakuan seorang pagan yang sungguh-sungguh. Roma pun ikut mengejek Yesus, mengejek Yerusalem.



Paradoks mahkota kemuliaan Yesus

Apakah ada pesan simbolik dari mahkota anyaman duri ini? Tampaknya ada. Pada Kejadian 3:18, ditulis bahwa salah satu hukuman Allah kepada Adam, wakil umat manusia, adalah tanah yang sudah dikutuk Allah akan cuma "menghasilkan semak duri dan rumput duri" untuk Adam. Maksudnya: hidup menjadi sangat berat bagi Adam. Bumi tak menghasilkan hal-hal yang berguna untuk Adam. 

Jadi, mahkota anyaman duri pada kepala Yesus membawa ingatan pembaca pada akhir kisah Taman Eden dan penghukuman yang harus ditanggung Adam. Ketika disalibkan, Yesus, dus, memakai ide Paulus (1 Korintus 15:47), menjadi "Adam kedua". 

Sebagai Adam kedua, Yesus menanggung kerja dan kesukaran berat dan kesia-siaan yang harus dijalani Adam primordial yang telah menjadi seperti Allah, tetapi, ironisnya, harus diusir dari Taman Eden dan, selanjutnya, harus berpeluh dan berkeringat ketika mengusahakan tanah yang hanya menghasilkan rumput duri dan semak duri. 

Adam pertama, sebagai representasi manusia universal bersama Hawa, sangat menderita di dunia real, bukan di taman impian. Adam kedua yang disalibkan berempati pada Adam pertama, wakil umat manusia. Yesus memakai mahkota duri pedih Adam pada kepala-Nya. Yesus yang tersalib memikirkan umat manusia yang harus hidup dengan sangat berat. Pada Markus 10:45, tercantum ucapan Yesus bahwa Dia datang "untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."

Tapi, Markus mengisahkan lebih lanjut. Ada sebuah krisis batin berat yang dialami Yesus di saat Dia sedang sekarat di kayu salib.

Di kayu salib, Yesus memanggil-manggil Allah, sang Bapa-Nya, karena Yesus melihat diri-Nya ditelantarkan dan ditinggalkan Allah. Teriak Yesus, "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?" Artinya, "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Markus 15:34). Tetapi Allah tidak menjawab, "God in silence". Allah tidak bertindak, Allah tidak hadir. "God in absence". "God is unseen". Langit tertutup oleh "kegelapan yang meliputi seluruh daerah itu" (Markus 15:33). Tak ada suara dari langit yang tertutup, suatu kontras dengan "langit yang terbuka/terkoyak" lalu Allah "berbicara" dalam kisah Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis (Markus 1:9-11). Dalam peristiwa penyaliban, Allah membungkam, diam seribu basa. Silent. Still. Quiet. Empty. Unseen.

Teriakan ngenes Yesus di kayu salib dapat ditafsirkan sebagai suatu problem teodise (problem tentang keadilan atau dikē Allah) yang Yesus tak bisa pahami: Engkau, sang Bapa, yang menyayangi-Ku, Anak-Mu (Markus 1:11), mengapa Engkau tidak peduli dan tidak menolong-Ku di saat Aku sedang sengsara? Di mana keadilan-Mu? Mengapa Engkau menghilang?

Ya, PROBLEM TEODISE dialami banyak orang yang saleh dan benar di seluruh dunia dan di segala zaman. Problem ini dapat memakan banyak energi biologis siapapun, menimbulkan stres religiopsikologis. Syukurlah, ada banyak jalan keluarnya. Salah satunya, berikut ini.

"Ketiadaan Allah" atau "Allah yang hening, membungkam" juga bisa ditafsirkan sebagai menyatunya Allah dalam kesengsaraan berat yang sedang dialami Yesus ketika Dia disalibkan. Allah sang Bapa ikut menderita, ber-compassion, berbelarasa, berempati, bergabung dan berpadu dalam diri Yesus yang sedang berada di ujung dan puncak jalan salib-Nya. 

Allah sang Bapa tidak meninggalkan-Mu, Yesus. Sang Bapa ada begitu dekat dengan-Mu, menyatupadu dengan diri-Mu yang sedang sengsara berat di kayu salib. Teologi salib yang Engkau yakini sebagai "pikiran Allah" sedang menuju puncaknya, di saat Engkau sedang sekarat. 

Yesus,... yakinlah bahwa Allah sang Bapa tidak membatalkan "pikiran"-Nya ketika Engkau tersalib. Allah sang Bapa konsekuen dengan pikiran-Nya. Di kayu salib itu, Allah ada dalam diri-Mu, bahkan menyelubungi diri-Mu. Derita-Mu sebagai Anak Allah juga derita Allah, sang Bapa. Di saat sang Anak menderita, sang Bapa juga menderita dalam keheningan yang dalam. Tak ada problem teodise, Yesus. Gantilah teriakan-Mu dengan keheningan sang Bapa.

Ya, cobalah terbenam dan hanyut dalam kontemplasi ketidakhadiran Allah atau kebisuan Allah. Pada puncaknya, paradoksnya, kita, dalam penderitaan kita, akan menemukan kehadiran Allah dan suara-Nya yang hening. "Presence in absence". "Voice in silence". "Fullness in emptiness".

Akhirnya, tertinggal pertanyaan-pertanyaan ini: Dalam Perjanjian Baru siapa yang awalnya menyebut teologi salib, atau berita tentang salib (Yunani: to kerugma/ho logos tou staurou)? Bukan penulis Injil Markus di tahun 70, tetapi lebih awal lagi, yakni rasul Paulus (lihat 1 Korintus 1:18, 23). Lalu, selanjutnya Martin Luther di abad ke-16 juga membenturkan theologia crucis dan theologia gloriae. Apa yang dimaksud Luther dengan dua teologi yang tidak dapat bertemu ini? Hal-hal ini akan diurai lain kali.


28 Februari 2021
ioanes rakhmat