Tuesday, January 13, 2015
Orang Buta dan Seekor Gajah Besar
Apa yang terjadi, jika seorang buta diminta menjelaskan sosok seekor gajah yang besar? Wah, hasilnya akan rame! Yang satu akan bilang, oh gajah itu hanyalah seutas tambang. Yang satunya lagi akan berkata, oh gajah itu hanyalah tembok. Yang lainnya dengan yakin berkata, oh gajah itu rupanya semeter selang besar. Si buta yang memegang hanya kuping gajah akan ngotot menyatakan, oh gajah itu seperti tampah rupanya.
Sang gajahnya sendiri terheran-heran, bingung dan bengong! Pusing tujuh keliling. Hanya bisa mengernyitkan keningnya dalam-dalam.
Begitulah, metafora orang buta dan seekor gajah besar menggambarkan kepada kita bahwaTuhan itu mahabesar dan mahatakterbatas. Pengenalan manusia lewat agama hanyalah pengenalan tentang Tuhan secara parsial, sangat jauh dari lengkap. Tetapi celakanya, nyaris semua orang beragama mengklaim bahwa agama mereka masing-masing adalah keseluruhan diri sang Tuhan sendiri. Hanya orang yang matanya buta dan pikirannya dangkal akan ngotot menyatakan bahwa ekor gajah atau belalai gajah atau telinga gajah adalah gajah itu sendiri.
Akibatnya sudah banyak kita saksikan. Tuhan yang satu berkelahi dengan Tuhan yang lain, dan umat yang satu berselisih dengan umat yang lain. Dan Tuhan yang sejati hanya bisa mencucurkan air mata, menangis dalam kesedihan yang dalam, bak seorang bunda yang menangis saat melihat putra dan putrinya berkelahi dan menyerang satu sama lain. Siapakah yang mau menyeka air mata Tuhan, sang Bunda kita? Siapakah yang mau menghibur hati sang Bunda, yang sedang berduka sangat dalam?
Saya terdorong untuk mengungkapkan Tuhan dalam bahasa perempuan, sebagai sosok sang Ibu yang hatinya selalu iba, tidak bisa marah dan tidak bisa bertindak keras. Kalau sudah tidak bisa berbuat hal lain secara fisikal di dunia objektif, seorang ibu biasanya akan menangis pilu dalam dunia subjektifnya, dalam batinnya yang paling dalam. Tangisan putra, kata orang, derita bunda. Sebaliknya juga benar: tangisan bunda, derita putra dan putrinya.
Kata banyak orang, sosok bunda menyimpan jauh lebih banyak misteri ketimbang sosok ayah. Bahkan fisikawan besar Stephen Hawking melihat misteri terbesar dalam jagat raya ini bukan misteri-misteri fisika, tetapi misteri kaum perempuan, the mystery of women. Begitulah, Tuhan sebagai sosok sang Bunda menyimpan jauh lebih banyak misteri ketimbang kalau sang Tuhan yang sama diungkap secara metaforis dalam bahasa lelaki. Misteri Tuhan sebagai sang Bunda tak terbatas, terungkap hanya sedikit demi sedikit, dan untuk bisa terungkap sepenuhnya, hanya keabadian yang memungkinkannya. Berapa panjang waktu yang dinamakan keabadian itu? Bisakah anda menjawabnya? Bayangkanlah, seluruh gunung di pegunungan Himalaya sedang dipindahkan oleh seekor burung pipit lewat patuknya yang mungil ke suatu tempat lain. Secuil demi secuil tanah dipatuknya, lalu dibawa terbang ke sebuah tempat lain yang sangat luas untuk dipindahkan. Berapa lama waktu yang diperlukan sang burung pipit ini untuk berhasil memindahkan seluruh pegunungan Himalaya itu? Keabadian jauh melebihi waktu yang diperlukan si burung pipit ini.
Karena misteri Tuhan sang Bunda itu tak terbatas, maka selama kehidupan kita, kita hanya mampu menangkapnya secara parsial, sedikit demi sedikit saja, itupun kita lakukan secara perspektival, artinya hanya dari sudut pandang terbatas yang kita pilih. Selamanya, kita tidak bisa melihat realitas sepenuh-penuhnya, tetapi hanya bisa secara perspektival. Bulan purnama yang menggantung di langit, tidak bisa kita lihat sepenuh-penuhnya sebagai sebuah bola padat bersinar. Kita hanya bisa melihat sang bulan ini hanya separuh, yaitu sisinya yang tampak dari Bumi. Separuhnya lagi tidak pernah akan bisa kita lihat dari planet kita, kecuali kita menumpang sebuah wantariksa untuk membawa kita ke sisi di balik sisi bulan yang kita selama ini lihat. Memandang bulan yang objektif kelihatan saja kita harus perspektival, apalagi jika kita memandang dan mencoba memahami sang Bunda ilahi yang besarnya tidak terbatas. Ibaratnya, kita ini sebutir debu yang mau melihat keseluruhan jagat raya tanpa batas.
Karena manusia selalu perspektival, maka pemahaman manusia tentang sang Tuhan yang sudah diungkap oleh agama-agama juga selalu perspektival. Kita tidak akan bisa melihat keseluruhan diri Tuhan seketika. Terlalu dahsyat dan terlalu luas sang Tuhan sebagai sang Bunda, sehingga mustahil sang Bunda habis terpahami manusia. Tuhan yang sudah habis dipahami manusia, kehilangan sifat ketuhanannya. Kata Abdurrahman Wahid, “Sia-sialah upaya menjaring Tuhan hanya ke dalam sebuah pengertian saja. Dia lebih besar dari apapun rumusan manusia tentang hakikat-Nya yang Mahasempurna.”
Agama-agama, dengan demikian, sudah kodratnya harus perspektival. Karena itu, tidak ada jalan lain, selain semua umat beragama saling mengenal satu sama, saling memahami satu sama lain, bersedia untuk berdialog dan berdiskusi, supaya oleh kita bersama-sama kebenaran-kebenaran Tuhan terungkap makin luas dan makin dalam, makin multidimensional, dalam makin banyak perspektif, makin penuh. Bahkan kalaupun seluruh agama bisa disatukan tanpa sisa, sang Tuhan sebagai sang Bunda kita selalu jauh lebih besar dari semua pemahaman dalam semua agama tentang Tuhan. Agama apapun sudah kodratnya tidak bisa sombong, seperti Tuhan sang Bunda tidak pernah bisa sombong.
Karena sang Bunda ilahi kita tidak bisa kita pahami habis, karena sang Tuhan selalu mahatakterbatas, selalu mahatahu, maka adalah tugas kita untuk terus-menerus belajar dan menimba serta mengembangkan ilmu pengetahuan tanpa batas. Belajar, menimba ilmu, dan memajukan ilmu pengetahuan tanpa batas, adalah usaha-usaha yang sejalan dengan usaha kita semua untuk mengenal sang Bunda dengan lebih luas dan lebih dalam lagi setiap hari. Semakin Tuhan itu dipercaya mahatahu, maka semakin harus kita bertambah cerdas dan bertambah ilmu setiap hari. Mengenal Tuhan sang Bunda, pasti mendorong kita untuk terus mau belajar dan mau berubah. Pada sisi lain, tidak ada bunda manapun yang menginginkan anak-anaknya bodoh dan berilmu dangkal. Setiap bunda, ingin putra dan putrinya cerdas, berilmu tinggi, dan terus mengalami perubahan menuju kematangan dan kedewasaan. Perubahan adalah tanda kita masih hidup dan masih sedang belajar.
Periksalah diri anda, apakah anda masih berubah, ataukah sudah tidak pernah berubah lagi. Banyak orang yang masih hidup secara ragawi, tetapi pikiran dan kesadaran mereka telah mati. Saya berharap, anda tidak seperti mereka. Berubahlah menjadi makin dewasa dan matang.
Jakarta, 13 Januari 2015
by ioanes rakhmat
Subscribe to:
Posts (Atom)