Beragama, apakah harus menang-menangan, ADU OTOT, dengan akibat: dunia dan manusia luluh lantak, binasa dan musnah? The deadly Red Ocean competition. Sumber gambar www.wallpaper4u.org.
Sering sebuah pertanyaan yang itu-itu juga diajukan orang yang beda anutan agama kepada saya. Misalnya, Siapa yang lebih tinggi, Nabi Isa/Yesus atau Nabi Muhammad? Gautama Buddha atau Yesus Kristus? Kong Hu Cu atau Nabi Musa? Tapi pertanyaan yang paling banyak diajukan ke saya adalah pertanyaan yang pertama.
Sebelum menjawab mereka, saya biasanya menegaskan bahwa era saya fanatik taklid buta dalam beragama tidak pernah ada dalam kehidupan saya sejak kanak-kanak hingga saat ini. Masa remaja hingga masuk ke usia pemuda saya jalani dalam tiga tradisi agama besar yang saya manfaatkan dengan kreatif untuk saling memperkaya dan saling mengisi: Buddhisme, Tridharma, dan Kekristenan.
Bagi saya, pembedaan atau pemisahan agama-agama Bumi dari agama-agama Langit (atau agama-agama Samawi, yang biasa dinamakan juga Agama-agama Abrahamik: Yudaisme, Kristen, Islam) salah kaprah, dan sudah melahirkan stigma inferior bagi agama-agama Bumi. Sesungguhnya, tanpa Bumi, ya tidak akan ada agama-agama Samawi, sebab tidak ada manusia di Bumi yang telah menginvensi agama-agama Samawi. Ada Bumi, maka ada Langit; juga sebaliknya. Langit boleh ada. Tetapi jika tidak ada Bumi, ya agama-agama apapun tidak akan ada! Sosok-sosok yang hidup di Langit, ya jelas tidak butuh agama jenis apapun.
Setelah menyelesaikan studi purnasarjana yang fokus pada investigasi atas dunia Mediterania (Laut Tengah) dan Timur Tengah kuno (abad-abad pertama M), saya makin terbiasa menjadi seorang warga dunia agama-agama, bukan dunia satu agama saja.
Kini saya asyiiiiik menjelajah dunia ilmu pengetahuan yang sangat kaya dan tanpa batas seperti tak terbatasnya jagat raya tanpa tepi atau samudera tanpa pantai. Saya seorang pengembara di dalam anekaragam dunia-dunia dan juga suka menyusup masuk ke suatu bagian dari kawasan ekstradimensi yang asing, di luar empat dimensi ruangwaktu yang sudah kita kenal dan sedang mengurung kita. The Skywalker.
Banyak pemandangan indah sudah saya lihat, baik di Bumi maupun di angkasa luar. Banyak jalan setapak yang tidak dikenal orang banyak, saya telah tempuh. Jalan-jalan tertutup pun saya buka lalu jalani dengan di ujung-ujungnya saya menemukan kawasan-kawasan baru yang memukau yang belum pernah dijamah manusia atau genderuwo.
Kata orang, “Awas, itu jalan sesat dan berbahaya!” Saya jawab, “Biarin! Enak kok berada di perjalanan sesat, sebab sesat berarti mencari pilihan-pilihan lain yang tidak biasa, menempuh jalur yang tidak ketahuan ujungnya. Cari sungai-sungai dan danau-danau baru. Lihat-lihat pemandangan baru. Ubah perspektif. Cari spesies-spesies baru. Kalau nanti bisa ketemu dino T-rex, juga tak apa. Tokh T-rex hewan juga, seperti saya.”
Nah, berikut ini jawaban pendek saya atas pertanyaan pertama yang sudah saya ungkap di awal tulisan ini. Meskipun begitu, jawaban saya ini berlaku juga untuk agama-agama pada umumnya, tanpa dibeda-bedakan, baik agama yang terlembaga yang dilengkapi dengan banyak unsur, maupun agama-agama yang tidak terlembaga, atau yang tidak memiliki kitab suci atau akidah dan syahadat serta semua unsur lain yang lazimnya ada dalam agama-agama terlembaga.
Saya ingin tekankan di awal jawaban saya ini satu hal: Semua nabi beda. Yesus beda dari Musa, beda dari Ibrahim, beda dari nabi-nabi Yahudi kuno yang disebut dalam Perjanjian Lama, beda dari Yohanes Pembaptis (meski Yesus sempat berguru padanya), beda dari Rasul Paulus, beda dari kakaknya yang bernama Yakobus si Adil, beda dari Eusebius, beda dari Athanasius, beda dari Arius, beda dari Martin Luther, beda dari Yohanes Kalvin, beda dari John Newton, beda dari Mahatma Gandhi, beda dari semua paus, semua uskup, beda dari semua muridnya, dan seterusnya.
Setiap orang punya keunikan masing-masing yang terbentuk lewat banyak faktor sosial yang universal maupun yang partikular, dan juga karena zaman dan tempat kehidupan mereka dan sistem sosial yang di dalamnya mereka hidup berbeda-beda.
Sistem sosial inilah yang mengatur dan menentukan ideologi-ideologi yang orang harus anut, cara dan gaya hidup yang harus dilakoni, hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, nilai-nilai sosiokultural dan sosioreligius serta nilai-nilai moral apa yang harus dipertahankan dan dihayati, dan pranata-pranata sosiobudaya, sosioantropologis dan sosiopolitik apa yang harus dibangun, dirawat dan dikembangkan. Pendek kata, setiap masyarakat bisa berjalan dan berfungsi karena ada sistem-sistem sosial yang mengatur dan menjaganya.
Selain faktor sosialbudaya yang beranekaragam, ada hal-hal natural atau kodrati yang juga memberi keunikan pada setiap orang. Salah satunya adalah biologi yang membuat si A atau si B atau si Z-plus beda dari si P, Q, R-plus: gen biologis suatu kelompok orang yang bersaudara berbeda dari gen kelompok orang yang bersaudara lainnya.
Bahkan individu-individu kembar dengan DNA yang identik juga tak ada yang 100 persen sama. Semua anak kembar tidak ada yang memiliki sidik jari yang sama. Ya, menurut estimasi, masih ada peluang untuk seseorang (termasuk individu-individu kembar) memiliki sidik jari yang klop sepersis-persisnya dengan sidik jari orang lain. Peluangnya 1 banding 64 milyar! Penduduk dunia sekarang 7 milyar lebih, masih sangat jauh dari 64 milyar.
Ada tiga pola sidik jari manusia. Tidak ada sidik jari kembar satupun dari antara 7 milyar lebih manusia sekarang ini!
Alam (atau Tuhan, atau Shunyata, jika bagi anda lebih srek) telah memberi petunjuk lewat banyak cara dan bentuk bahwa keanekaragaman itu adalah kodrat semua ciptaan Tuhan, sesuatu yang sunatulah. Keanekaragaman ini ada bukan untuk dipecahbelah dan diadubanteng, tapi untuk menyatu-dalam-kemajemukan, saling terikat pada matarantai sirkular interdependensi dan inter-relasi kehidupan yang mutualistik. Karena ada hal-hal yang khas dan unik, maka pluralitas menjadi niscaya.
Orang yang menolak pluralitas sesungguhnya tidak mengakui bahwa diri mereka sendiri, dan juga diri nabi-nabi junjungan mereka dan agama-agama mereka, memiliki keunikan, kekhasan. Semua hal dalam dunia ini, bagi orang semacam itu, seragam. Bagi mereka, apel sama dengan ketapel. Pesawat supersonik sama dengan jerawat kronik. Semua seragam dan tunggal. Hidup seperti itu pasti tidak enak. Karena mau menang sendiri. Menimbulkan stres dan depresi yang menyerang tubuh, emosi dan kognisi serentak. Sebaliknya, memandang kemajemukan warna-warni indah pelangi sehabis hujan sangat meneduhkan hati, menenteramkan jiwa, dan menyenangkan pikiran. Pelangi, pelangi, alangkah indahmu. Merah, kuning, hijau. Di langit yang biru. Pelukismu agung. Siapa gerangan?
Selain faktor genetik, juga ada faktor epigenetik yang membuat individu-individu dalam satu ikatan darah keluarga juga berbeda dalam banyak segi, karena berbagai pengalaman dan sikon kehidupan eksternal yang berbeda-beda (kehidupan sang bunda anda, misalnya) berpengaruh secara hormonal sejak anda masih dalam kandungan mama anda sebagai janin atau sebagai bayi yang belum lahir.
Jadi ya tak usah nabi-nabi dan agama-agama yang mereka masing-masing bangun dipertandingkan: adu hebat, adu sempurna, adu superior, adu kuat, adu cerdas, adu keras, adu suci, adu jumlah pengikut, dsb. BUAT APA??? ADU MENANG-MENANGAN?? Akhirnya, ADU OTOT! Aaaiiih!
Akibat dari adu menang-menangan dan adu otot ini sudah terlihat: dunia dan umat manusia jadi hancur lebur. Tengok teokrasi-teokrasi Islam di Timteng dewasa ini, baik yang sepenuhnya kilafah maupun yang sebagian saja kilafah. Luluh lantak! Hancur lebur! Apakah kita tidak bisa melihat fakta yang sudah terang-benderang ini? Kok? Kenapa?
Jadi, Yesus punya kekhasan dan kedirian sendiri. Begitu juga Musa, begitu juga Sidhartha, begitu juga Lao Tzu, Kong Hu Cu, Budai. Begitu juga Dewi Kwam Im, Dewi Saraswati. Begitu juga Nabi Muhammad, Sufi Rumi, Rabiah al-Adawiyyah, dan seterusnya, dan seterusnya. Tak habis-habis, tentu sejauh agama-agama masih akan dibutuhkan di masa depan yang akan makin maju dan manusia sudah akan mendiami planet-planet lain, dan sudah akan melanglang alam semesta tanpa batas. Di saat itu, lewat evolusi biologis alamiah dan evolusi buatan, manusia juga sudah akan berubah fisik dan mental.
Salah satu contoh terang benderang bedanya Yesus dan para murid perdananya dari Nabi Muhammad dan para pengikut perdananya, ini: Yesus tidak melancarkan perang militer defensif atau ofensif di tanah Yahudi yang waktu itu sedang dijajah imperium Romawi. Ini beda sekali dari kondisi kehidupan Nabi Muhammad dan para penerusnya di tanah Arab abad ke-7 M. Kita katakan, ide-ide religiopolitik Yahudi abad pertama M yang dibela Yesus beda sekali dari ide-ide religiopolitik Arab abad ketujuh M yang dipegang dan diyakini Nabi Muhammad. Sistem sosial yang di dalamnya masing-masing figur yang disucikan dan dimuliakan ini hidup, tidak sama, juga beda tempatnya, beda zamannya. Perbedaan ini ya sudah sangat jelas, tidak usah dan tidak bisa dipertandingkan. Cukup diterima sebagai fakta-fakta sejarah saja dan darinya kita tarik hikmahnya, entah hikmah positif atau sebaliknya. Begitu saja. Simpel.
Tidak usah dibuat ribet dan rumit, kalau sesuatu itu memang sudah simpel. Kata sebuah kaidah fikih, “Yassiru walaa tu ‘assiru.” Ini kurang lebih serupa dengan ucapan mendiang Gus Dur yang sudah kita semua tahu, “Gitu aja kok repot!” Kaidah ini juga yang memandu setiap kajian keilmuan dalam dunia sains, yang dinamakan Occam’s Razor.
Oh ya, kalau umat-umat beragama yang berbeda-beda itu mau bertanding, ya boleh dan malah bagus, asal mereka bertanding dengan cerdas, fair, terbuka, penuh respek, dan bermartabat, dalam dunia ekonomi, bisnis, pengembangan sains dan teknologi, kemajuan peradaban, gerakan ke angkasa luar untuk eksplorasi (kehidupan lain, kawasan yang bisa manusia nanti diami, dan barang tambang yang sudah ada atau tidak ada di Bumi), dan nilai-nilai agung kemanusiaan. Dalam bidang-bidang ini hendaklah kita semua menjadi pemain, bukan cuma penonton. Kompetisi sehat, cerdas, fair, dan bermarwah, tentu saja tidak terhindar.
Jangan cemas dengan kata kompetisi, pun jika anda seorang komunis atau seorang sosialis. Ada kompetisi sehat yang memacu kita makin maju, tanpa meninggalkan kawan-kawan kita yang kalah, tetapi tetap membantu dan menopang mereka untuk terus bisa maju juga. Ini kompetisi Lautan Biru, Blue Ocean competition, karena berlangsung dengan teduh, sejuk dan friendly. Ada juga kompetisi mematikan, kompetisi jahat, yang mematikan para kompetitor. Ini kompetisi Lautan Merah, Red Ocean competition, karena jahat, mematikan, penuh permusuhan, hostile, banjir lumuran darah dan lahar merah panas yang menggelegak.
Ketahuilah, organisme cerdas yang dinamakan insan cerdas dan arif, Homo sapiens, yaitu kita semua, juga muncul 300.000 hingga 400.000 tahun lalu di Afrika Selatan lewat kompetisi, yang keras dan yang lunak, yang berlangsung sangat panjang dalam sejarah evolusi biologis alamiah spesies-spesies sejak kira-kira 3,5 hingga 4 milyar tahun lalu.
Ke depan, dengan makin majunya sainstek modern, khususnya biologi molekuler dan teknik DNA-editing (yang kini sudah semakin bervariasi dan makin cermat), juga neurosains, dll, evolusi Homo sapiens dapat kita atur dan kendalikan sendiri sehingga evolusi spesies hewan mamalia cerdas ini (cerdas, karena spesies ini punya neokorteks dalam organ otaknya yang keseluruhannya bermassa 1,5 kg) tidak akan berlangsung dalam persaingan “to live and let die”, artinya: “aku/kami harus bertahan hidup, sedangkan engkau/kalian harus mati dan punah.” Persaingan tentu tetap akan terus ada, tapi dalam semangat memajukan sainstek dan demi ketahanan kehidupan bersama global Homo sapiens di muka satu planet Bumi dan dalam jagat raya.
Kalau nanti (direncanakan mulai tahun 2025) Homo sapiens sudah mulai mendiami planet Mars yang sudah diolah (di-“terraform”), ya yang akan menghuni planet merah ini adalah manusia-manusia yang datang dari beranekaragam gen dan latarbelakang sosialbudaya, bukan cuma para insan bule atau para insan mata sipit (seperti yang mungkin selama ini anda pikirkan). Kenapa harus dari anekaragam gen manusia? Supaya, misalnya, kalau ada serangan penyakit yang mematikan di sana, masih akan ada manusia-manusia yang bisa bertahan hidup dan berhasil mengalahkan penyakit itu, lalu berkembangbiak, lantaran mereka memiliki gen-gen yang berbeda dan lebih tahan terhadap penyakit tertentu.
Jadi, bertandinglah dengan agung dan terpelajar dalam dunia-dunia itu lewat kehidupan pribadi anda, kehidupan masyarakat dan negara anda masing-masing dan bersama-sama dalam suatu interdependensi global antarsemua bentuk kehidupan yang memiliki kesadaran, kehendak, perasaan dan kecerdasan. Jadikan agama anda sumber nilai-nilai yang mampu menjadikan anda pribadi seorang mahatma, sosok yang berjiwa besar.
Akhirulkalam, itulah tugas mulia paling esensial dari semua orang dari agama apapun, bukan mencari mualaf baru tak habis-habisnya, yang nyatanya malah menguras energi kita semua, dengan ujung-ujungnya dapat memusnahkan umat manusia sendiri. Juga bukan adu menang-menangan, entah adu unggul doktrin-doktrin atau adu unggul jumlah umat.
Sekarang ini, faktanya ini: sedikit orang yang unggul otak, unggul kecerdasan, unggul ekonomi, unggul sainsteks dan unggul marwah dapat dengan mudah mengalahkan bahkan (“God forbid!”) memusnahkan orang yang sangat banyak jumlahnya tapi kalah otak, kalah kecerdasan, kalah ekonomi, kalah marwah dan kalah sainstek. Hayo, mau pilih yang mana?
Jakarta, 03 Januari 2017
Salam hangat,
di musim dingin
ioanes rakhmat
Silakan share seluas mungkin. Thank you.