Hegesippus, dalam karyanya, Buku V Hupomnemata (yang dikutip Eusebius, Historia Ecclesiastica 2.23) melaporkan bahwa Yakobus dipandang orang Yahudi sebagai Imam Besar yang disegani; juga Epifanius (dalam karyanya, Panarion 29.4; 78.13-14) mencatat hal yang sama. Lebih dari itu, Hegesippus bahkan menuturkan bahwa Yakobus setiap hari memasuki Ruang Maha Kudus dari Bait Allah untuk di situ dia memanjatkan doa syafaat bagi pengampunan dosa bangsa Israel; dan bahwa Yakobus menjalani suatu kehidupan asketis sebagai seorang nazir.
Dalam tradisi Kristen sebagaimana tercatat dalam Galatia 2:9; KPR 15:13; 21:18, dan juga dalam Injil Thomas logion 12, Yakobus si Adil dikenal dan dikenang sebagai seorang pemimpin besar atau soko guru terpandang jemaat Yahudi-Kristen yang berpusat di Yerusalem sebelum tahun 70, yang juga dipimpin oleh dua soko guru lainnya, Yohanes dan Petrus. Selain itu, dalam Pseudo-Klementin Rekognisi Buku I, pasal 43, dicatat bahwa setelah tujuh tahun dari saat kesengsaraan dan kematian Yesus, Gereja Tuhan yang dibentuk di Yerusalem berkembang pesat dan berlipatganda, di bawah kepemimpinan Uskup Yakobus, saudara Yesus, yang ditahbis menjadi uskup oleh Yesus sendiri (lihat juga Buku I, pasal 66, 68, 70, 72). Juga perlu dicatat bahwa dalam Surat Petrus kepada Yakobus, yang ditempatkan pada awal Pseudo-Klementin Homili, Yakobus si Adil disebut sebagai “Tuan dan Uskup gereja yang kudus”.
Tradisi Kristen skriptural juga mencatat bahwa pada masa kepemimpinan Yakobus, saudara Yesus, jemaat Yahudi-Kristen Yerusalem, dengan dihadiri Paulus dan Barnabas, menyelenggarakan suatu konsili penting untuk menyelesaikan persoalan yang ditimbulkan oleh masuknya bangsa-bangsa lain ke dalam komunitas gereja, persoalan mengenai sampai sejauh mana orang Kristen non-Yahudi terikat atau tidak terikat pada hukum Taurat, khususnya pada keharusan untuk disunat (lihat Galatia 2:1-10; KPR 15:1-21; 21:15-26).
Selain itu, minimal ada dua tradisi non-skriptural yang melaporkan ihwal kematian Yakobus, si Adil. Menurut Hegesippus, Yakobus si Adil mati terkena pentung besar pada kepalanya dalam suatu huru-hara di suatu kompleks Bait Allah pada masa perayaan Paskah. Huru hara ini timbul menyusul suatu perdebatan sengit apakah Yesus itu sang penyelamat atau bukan, antara Yakobus dan orang-orang dari sejumlah aliran Yahudi, yang melibatkan banyak orang Yahudi lainnya, para ahli Taurat dan orang Farisi. Tradisi lainnya tentang ihwal kematian Yakobus si Adil berasal dari seorang sejarawan Yahudi Flavius Yosefus dalam karyanya Antiquities Buku 20:197-203. Tetapi laporan Hegesippus dan laporan Yosefus perihal cara dan penyebab kematian Yakobus si Adil tidak harmonis.
Pada kesempatan ini, ada tiga hal yang akan diselidiki dengan singkat. Pertama, ihwal peran Yakobus dan posisi Rasul Paulus dalam Konsili Yerusalem dan keputusan apa yang diambil di konsili itu dalam mengatasi persoalan yang telah disebut di atas, yakni persoalan sampai sejauh mana Taurat, khususnya kewajiban sunat, masih mengikat orang Kristen yang berasal dari bangsa bukan-Yahudi, sementara bagi orang Yahudi-Kristen di Yerusalem, yang terhimpun di sekitar Yakobus, Taurat mengikat mereka sepenuhnya. Hal kedua yang akan disorot adalah insiden di Antiokhia yang terjadi menyusul Konsili Yerusalem, yang melibatkan kelompok Yakobus yang sangat ketat mengamalkan Taurat. Ketiga, ihwal penyebab sebetulnya dari kematian Yakobus. Hal yang ketiga ini penting diselidiki sebab, seperti baru saja dikatakan, ada dua versi berbeda tentang penyebab dan cara kematian Yakobus; dan penyelidikan tentang hal ini dapat menyingkapkan ihwal apakah Yakobus si Adil memang akan berkompromi mengenai kedudukan Taurat Musa bagi orang Kristen Yahudi dan orang Kristen non-Yahudi seperti digambarkan belakangan dalam KPR 15:1-21; 21:15-26. Pengetahuan mengenai hal yang ketiga ini akan membantu kita untuk menyelidiki ihwal yang pertama. Karena itu, yang akan dianalisis pertama adalah ihwal cara dan penyebab kematian Yakobus si Adil.
1. Ihwal Kematian Yakobus, Saudara Yesus
Dalam penilaian saya, tuturan Hegesippus (abad kedua M) mengenai penyebab dan cara kematian Yakobus si Adil berisi beberapa hal yang tidak logis. Jika memang Yakobus betul dipandang sebagai Imam Besar, di samping juga sebagai seorang nazir Allah, oleh bangsa Yahudi sendiri pada umumnya, dan khususnya oleh orang Yahudi dan para pemuka keagamaan mereka yang berdiam di Yerusalem, maka lebih besar kemungkinannya untuk dia didengarkan dan diterima, apapun pandangannya tentang Yesus, ketimbang ditolak. Tetapi menurut Hegesippus, perkataan dan testimoni Yakobus mengenai status dan posisi Yesus malah menyulut huru-hara besar di suatu kompleks Bait Allah, yang berakhir dengan kematiannya ketika dia terkena pentung besar yang dilemparkan ke kepalanya. Sebagai seorang Imam Besar, sudah seharusnya Yakobus si Adil dijaga dan dilindungi, demi keselamatannya, bukan dibiarkan sendirian di tengah huru-hara besar itu. Lagi pula, sebagai Imam Besar, yang tugasnya memutuskan perkara-perkara prinsipil dalam kehidupan keagamaan bangsa Yahudi, sangat tidak logis kalau dia harus berhadapan dengan orang banyak yang mudah dihasut ketika mereka memperdebatkan status dan posisi seseorang yang sudah mati disalibkan beberapa dasawarsa sebelumnya, yaitu Yesus dari Nazaret, yang dituduh sebagai seorang pemberontak oleh pemerintah kolonial Roma.
Jadi, lebih tepat jika kita menyimpulkan bahwa status Yakobus sebagai Imam Besar sebagaimana dilaporkan Hegesippus bukanlah status resmi yang diberikan kepadanya oleh para pemimpin Yahudi, misalnya Raja Agrippa, atau oleh Sanhedrin, atau oleh pemerintah Roma, melainkan status yang diberikan sepihak oleh kekristenan Yahudi belakangan sebagai suatu penghormatan agung terhadap dirinya. Dengan kata lain, jika gambaran Yakobus sebagai Imam Besar adalah gambaran yang diberikan belakangan oleh para pengikutnya dan lumayan dibesar-besarkan, maka seluruh kisah Hegesippus mengenai ihwal kematian Yakobus juga tidak dapat dipandang sebagai suatu kisah sejarah.
Sudah sepatutnya kita berpaling kepada seorang sejarawan Yahudi yang bernama Flavius Yosefus, atau Yosef ben Matthias (37- sekitar 100 M), jika kita ingin mendapatkan gambaran aktual historis mengenai penyebab dan cara kematian Yakobus si Adil, saudara Yesus. Tentu, seperti telah diingatkan antara lain oleh Shaye J.D. Cohen (Cohen 1979: 47, 81) dan Helen K. Bond (Bond 2000: 177 ff.), ada segi-segi subjektif dalam laporan-laporan yang disampaikan Flavius Yosefus dalam tulisan-tulisan pentingnya mengenai sejarah bangsa Yahudi, seperti dituangkan dalam dua karya pentingnya, Bellum Judaecum atau The Wars of the Jews dan Antiquitates Judaicae atau The Antiquities of the Jews. Bagaimanapun juga, kedua karya sejarah ini adalah sumber-sumber penting yang diperlukan untuk kita bisa, dengan mendekatinya secara kritis, mendapatkan informasi penting tentang sejarah bangsa Yahudi khususnya dari masa pemerintahan raja Syria Antiokhus IV Epifanes (175-163 SM) sampai jatuhnya benteng Massada dekat Laut Mati pada tahun 73 M. Selain dua tulisan sejarah ini, Yosefus juga menulis dua karya lainnya, yakni sebuah autobiografinya The Life of Flavius Josephus dan sebuah karya apologetis pendek namun lancar yang membela keutamaan agama Yahudi dibandingkan berbagai segi pemikiran Yunani, yang berjudul Against Apion.
Dalam Antiquities Buku 20:197-203, Yosefus menuturkan ihwal kematian Yakobus si Adil yang terjadi pada tahun 62 M, kurang lebih lima sampai sepuluh tahun setelah perkunjungan terakhir (ketiga) Rasul Paulus ke Yerusalem. Sang Rasul datang ke Yerusalem pada waktu itu dengan maksud untuk menyerahkan bantuan ekonomi yang dikumpulkannya dari jemaat-jemaat non-Yahudi yang didirikannya, untuk jemaat miskin Yahudi-Kristen di Yerusalem (tentang hal ini, lihat Galatia 2:10b; Roma 15:25-30f.; KPR 24:17; 11:27 ff.), yang ternyata ditolak jemaat ini. Penolakan terhadap dukungan ekonomi ini sejalan dengan penolakan keras kelompok Yakobus si Adil terhadap Rasul Paulus (analisis tentang penolakan ini, dengan memakai teks KPR 21:15-26 sebagai landasannya, lihat Lüdemann 1989:59-62).
Yosefus mengisahkan bahwa setelah prokurator (atau gubernur) Festus mati, Kaisar Nero di Roma menunjuk Albinus sebagai penggantinya untuk memerintah provinsi Yudea. Selama masa peralihan ini, ketika Albinus masih dalam perjalanan menuju Yerusalem dari Roma, timbul anarki di Yerusalem. Seorang yang bernama Ananus yunior, dari latarbelakang keluarga Imam Besar Ananus senior, oleh Raja Agrippa diangkat menjadi Imam Besar. Ananus yunior ini termasuk kelompok Saduki, dan dengan jabatannya yang baru sebagai Imam Besar dia adalah pendukung dan pembela utama Sadukisme, namun dia bertemperamen buruk.
Dalam rangka untuk memperlihatkan kekuasaannya sebagai Imam Besar yang baru diangkat, Ananus, dalam masa interim ini, memanggil Sanhedrin dan membawa Yakobus, “saudara Yesus yang disebut Kristus”, dan beberapa orang Yahudi lainnya, ke hadapan majelis agama ini dan menuduh mereka semua sebagai orang-orang yang telah melanggar Taurat. Sanhedrin menjatuhkan hukuman mati kepada Yakobus dan sahabat-sahabatnya berupa penghukuman rajam sampai mati. Tindakan Ananus ini adalah tindakan terakhirnya selama masa tiga bulan memangku jabatan sebagai Imam Besar, sebab karena perbuatannya menghukum mati Yakobus dia akhirnya dicopot dari jabatannya oleh Raja Agrippa. Hal ini bisa terjadi karena sejumlah “warga kota (Yerusalem) yang sangat terpandang dan taat kepada Taurat” (epieikestatoi tōn kata tēn polin … kai peri tous nomous akribeis [Antiquities 20:201]) melawan tindakan sewenang-wenang Ananus ini. Mereka membawa suatu tuduhan berat rahasia terhadap Ananus kepada Raja Agrippa, bahwa tindakannya itu melanggar hukum dan tidak dapat dibenarkan. Bahkan sebagian dari mereka secara diam-diam mendatangi Albinus yang sedang dalam perjalanan dari Aleksandria ke Yerusalem, dan menyatakan kepada prokurator baru ini bahwa Ananus sebagai Imam Besar tidak memiliki hak dan wewenang untuk mengundang Sanhedrin dan menjatuhkan vonis hukuman mati tanpa izin dari Albinus. Karena laporan ini, Albinus menjadi sangat murka kepada Ananus dan mengancam akan menjatuhkan hukuman kepadanya; tetapi sementara ini belum tejadi, Raja Agrippa segera mencopot jabatan Imam Besar dari Ananus dan memberikan jabatan ini kepada Yesus, putra Damneus.
Laporan Yosefus tentang kematian Yakobus si Adil ini sangat kuat historisitasnya karena ditempatkan dalam suatu konteks historis suksesi kepemimpinan politik prokurator Roma atas Yudea dan suksesi kepemimpinan religio-politik Imam Besar di Yerusalem. Hal pertama yang patut dicatat dari laporan Yosefus ini adalah bahwa menjelang kematian Yakobus pada tahun 62 M, jabatan Imam Besar tidak dipangku Yakobus, tetapi oleh Ananus yang ditetapkan oleh Raja Agrippa. Dengan demikian, tuturan Hegesippus bahwa Yakobus adalah Imam Besar di Yerusalem bukanlah suatu catatan sejarah, tetapi lebih sebagai suatu bentuk penghormatan yang diberikan oleh para pengikutnya di kemudian hari, yang memandang Yakobus sebagai patriarkh atau bapak leluhur mereka.
Hal berikutnya yang sangat penting diperhatikan adalah tuturan Yosefus bahwa kematian Yakobus ini, sebagai soko guru Gereja Induk Yerusalem, menimbulkan kemarahan dan reaksi sebagian warga Yerusalem yang dikenal sebagai orang-orang “yang sangat terpandang dan taat kepada Taurat.” Kalau Ananus adalah pendukung dan pembela utama kelompok Saduki yang berpengaruh (Antiquities 20:199), maka warga Yerusalem yang mempersoalkan dan melawan tindakan kejam Ananus tidak bisa lain selain kalangan yang berpengaruh lainnya, yakni kalangan Farisi, kalangan yang dikenal sangat taat pada Taurat dan diklaim sebagai kalangan yang paling berwenang memberi tafsiran-tafsiran atas Taurat. Jika penghukuman mati Yakobus menimbulkan kemarahan kalangan Farisi, hal ini menunjukkan bahwa dalam pandangan mereka, Yakobus si Adil tidaklah bercacat dalam kelakuan maupun dalam pandangannya mengenai Taurat, dan bahwa Yakobus si Adil adalah seorang Yahudi-Kristen yang sangat ketat melaksanakan ketentuan Taurat dan karena itu tuduhan Ananus bahwa Yakobus telah melanggar Taurat sama sekali tidak benar dan karena itu mereka melawannya.
2. Konsili Yerusalem dan Posisi Rasul Paulus
Bahan Kitab Suci yang secara tradisional dipakai dan diandalkan untuk merekonstruksi apa yang menjadi pokok perbincangan dan perdebatan dalam Konsili Yerusalem adalah Galatia 2:1-10, karena apa yang dapat dibaca dalam perikop ini adalah kesaksian seorang saksi mata, yakni Rasul Paulus sendiri, meskipun penulis KPR beberapa dasawarsa sesudahnya juga merujuk kepada konsili yang sama (KPR 15:1-21; 21:15-26). Konsili Yerusalem diselenggarakan karena sebelumnya sudah muncul persoalan serius di dalam jemaat campuran (antara orang Kristen-Yahudi dan orang Kristen non-Yahudi) di Antiokhia, yakni persoalan apakah orang Kristen non-Yahudi harus disunat sebagai prasyarat untuk menjadi anggota komunitas Kristen (lihat Galatia 2: 3). Di jemaat ini, orang-orang yang disebut Paulus sebagai “saudara-saudara palsu” (pseudadelfoi) (Galatia 2:4) telah menyusup masuk untuk memaksakan pandangan mereka bahwa orang non-Yahudi juga harus disunat jika mereka ingin menjadi bagian dari gereja Kristen. Untuk menyelesaikan persoalan ini, Paulus memutuskan untuk datang ke Yerusalem guna membicarakannya dengan para pemimpin jemaat induk Yerusalem dan mencari penyelesaiannya. Keputusan Paulus untuk pergi ke Yerusalem menunjukkan bahwa yang dimaksud olehnya sebagai “saudara-saudara palsu” tidak lain adalah orang-orang Yahudi-Kristen asal jemaat Yerusalem. Paulus membawa Barnabas (seorang Yahudi) dan Titus (seorang Kristen kebangsaan Yunani) sertanya ketika dia berangkat ke Yerusalem (Galatia 2:1).
Di Yerusalem, dalam suatu konsili, Paulus membentangkan keberhasilan kegiatan misi pekabaran injil yang telah dilakukannya di antara bangsa-bangsa non-Yahudi serta persoalan apakah seorang non-Yahudi harus disunat jika orang ini mau menjadi anggota komunitas Kristen. Kesaksian Paulus ini dan persoalan yang diangkatnya dibentangkannya di hadapan jemaat Yerusalem secara keseluruhan dan juga secara khusus di hadapan para pemimpin terpandang jemaat ini yang menjadi “soko guru”, yakni Yakobus, Petrus dan Yohanes (Galatia 2:2b; 6 ff.). Pada saat itu, Paulus menyatakan pandangannya, dengan memakai contoh diri Titus, bahwa orang non-Yahudi yang menjadi Kristen tidak diharuskan untuk menyunatkan dirinya (Galatia 2:3). Tetapi, di dalam konsili Gereja Induk Yerusalem ini “saudara-saudara palsu” ini menyusup masuk dan mendesakkan kehendak mereka agar Titus disunat untuk memenuhi ketentuan Hukum Musa (Galatia 2:4). Paulus menuduh mereka hendak “menghadang kebebasan” Kristen dengan memaksa orang Kristen untuk “diperhamba” (kembali) oleh Taurat Musa (Galatia 2:4). Karena orang-orang ini bebas berbicara di dalam Konsili Yerusalem ini, harus dianggap bahwa mereka, kalangan legalis ini, mendapat dukungan kuat dari jemaat Yahudi-Kristen Yerusalem. Bahkan karena mereka berani berbicara di hadapan para soko guru ini, dan mendesakkan pandangan mereka bahwa Titus harus disunat, sangat mungkin bahwa sebelum kedatangan Paulus ke konsili ini para soko guru ini, khususnya Yakobus si Adil, semula memihak kepada “saudara-saudara palsu” itu.
Dari catatan Paulus sendiri dalam Galatia 2:7-10, Paulus jelas pada akhirnya dalam konsili ini mendapatkan persetujuan dan dukungan dari ketiga soko guru ini untuk terus melanjutkan misi pekabaran injilnya kepada bangsa-bangsa bukan-Yahudi dengan tidak mengharuskan mereka untuk disunat sebelum menjadi bagian dari jemaat Kristen. Persetujuan dan dukungan ini ditandai dengan “jabat tangan” dari ketiga soko guru ini dengan Paulus dan dengan Barnabas juga sebagai tanda “persekutuan” (Galatia 2:9). Alasan persetujuan dan dukungan ini jelas tentu karena misi evangelisasi Paulus kepada bangsa-bangsa bukan-Yahudi, yang membebaskan mereka dari tuntutan Taurat, telah mencapai sukses yang signifikan sehingga tidak dapat disepelekan atau diabaikan oleh mereka bertiga. Di samping itu, dukungan ini diberikan juga karena jemaat-jemaat Kristen non-Yahudi yang Paulus telah dirikan siap memberi dukungan dan bantuan ekonomi kepada jemaat Yerusalem (= “orang-orang miskin”; hoi ptōkhoi) (Galatia 2:10) sebagai tanda persekutuan dengan jemaat induk ini.
Apakah dengan didukungnya Paulus dan misinya kepada bangsa-bangsa bukan-Yahudi oleh ketiga soko guru jemaat Yerusalem, “saudara-saudara palsu” itu, yang telah dikalahkan dalam debat tentang kewajiban sunat, telah kehilangan pengaruh mereka sama sekali? Apakah karenanya mereka menarik diri selamanya sehingga tidak akan lagi merongrong misi evangelisasi Paulus kepada orang-orang bukan-Yahudi yang, ketika mereka menjadi Kristen, dibebaskan oleh sang Rasul ini dari segala tuntutan Taurat Musa? Kalau kesepakatan antara Paulus dan Barnabas dengan tiga soko guru jemaat Yerusalem, yang dicapai dalam Konsili Yerusalem ini, diperhatikan dengan saksama, maka akan terlihat bahwa kesepakatan ini mengandung unsur-unsur yang potensial anti-Paulus juga, yang kemudian dipakai kalangan anti-Paulus untuk menekannya di jemaat-jemaat lain yang telah didirikannya.
Dalam kesepakatan itu diatur bahwa Paulus dan Barnabas diserahi tanggungjawab untuk pergi memberitakan injil “kepada orang-orang yang tidak bersunat” (lebih tepat: “kepada bangsa-bangsa lain”) (eis ta ethnē), sedangkan Yakobus, Petrus dan Yohanes “kepada orang-orang bersunat” (eis tēn peritomēn) (Galatia 2:9). Pembagian tugas misioner ini dilakukan secara etnografis, berdasarkan ras atau kebangsaan orang yang menjadi sasaran pekabaran injil, bukan secara geografis teritorial. Dengan pembagian secara etnografis ini, di masa depan terbuka kemungkinan untuk orang-orang Yahudi yang menjadi bagian dari jemaat Kristen non-Yahudi dituntut untuk memenuhi semua ketentuan yang diatur dalam Taurat Musa. Sementara, Paulus sendiri, kalau kita perhatikan insiden yang dituturkannya dalam Galatia 2:11-14, tidak menghendaki orang Kristen-Yahudi yang bergaul dengan orang-orang Kristen non-Yahudi menjalani kehidupan yang sejalan dengan tuntutan Taurat Musa, dan dengan demikian menghindar untuk bergaul dengan orang-orang yang tidak bersunat.
3. Insiden di Antiokhia Menyusul Konsili Yerusalem
Menyusul laporannya tentang Konsili Yerusalem dalam Galatia 2:1-10, dalam Galatia 2:11-14 Paulus menuturkan suatu peristiwa lanjutan yang terjadi di Antiokhia, yang berkaitan dengan “beberapa orang dari kalangan Yakobus” (tinas apo Iakōbou). Konsili Yerusalem dan insiden di Antiokhia ini terjadi dalam dua dasawarsa pertama gerakan Kristen yang berawal di Yerusalem yang dipimpin Yakobus, sepeninggal Yesus. Insiden ini menunjukkan bahwa kendatipun telah tercapai kesepakatan dalam Konsili Yerusalem, pengaruh Rasul Yakobus dan nomisme-nya (=keterikatan mutlak pada Hukum Taurat) tetap sangat kuat khususnya di jemaat-jemaat Kristen di luar Palestina, yang di dalamnya terdapat orang-orang Yahudi-Kristen. Jemaat Antiokhia, seperti sudah ditulis di atas, adalah jemaat campuran antara orang Kristen-Yahudi dan orang Kristen non-Yahudi. Di jemaat semacam ini, orang Kristen yang lahir sebagai orang Yahudi makan sehidangan dengan orang Kristen non-Yahudi; dengan demikian mereka (orang Yahudi-Kristen) telah tidak mengindahkan ketentuan dalam agama Yahudi yang melarang orang Yahudi makan semeja dengan orang dari bangsa non-Yahudi atau masuk ke rumah orang bukan-Yahudi (lihat antara lain KPR 10:28; Yohanes 18:28; Yobel 22:16; Tobit 1:10 f.).
Paulus, dalam bagian surat Galatia ini, melaporkan bahwa di jemaat Antiokhia ini, Rasul Petrus semula biasa makan semeja dengan orang-orang yang tidak bersunat. Tetapi, ketika dilihat oleh Petrus ada beberapa orang dari kalangan Yakobus datang dan menjumpainya, dia “menjauhi mereka (yakni orang-orang yang tidak bersunat) karena takut akan saudara-saudara yang bersunat” (Galatia 2:12b). Melihat sikap Rasul Petrus yang semacam ini, orang-orang Yahudi lain, termasuk Barnabas, juga menarik diri dari sesama anggota jemaat bukan-Yahudi. Paulus menilai perilaku Petrus dan orang-orang Yahudi lainnya yang semacam ini sebagai kemunafikan; lalu dia menyatakan bahwa kelakuan atau cara hidup Petrus dan orang-orang Yahudi lainnya yang seperti ini adalah “hidup secara kafir” (ethnikōs), bukan “hidup secara Yahudi” (Ioudaïkōs). Jika demikian halnya, tandas Paulus, bagaimana mungkin mereka dapat memaksa orang-orang non-Yahudi untuk “hidup secara Yahudi” (Ioudaïzein).
Jadi, dari tuturan Paulus tentang suatu insiden di Antiokhia ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, orang-orang dari kalangan Yakobus yang datang ke Antiokhia ini tentu datang bukan karena kehendak mereka sendiri, melainkan karena diutus Yakobus ke sana dan dengan demikian membawa otoritas Yakobus sendiri, sehingga mereka dapat disebut “dari kalangan Yakobus”. Kedua, karena mereka ditakuti oleh Petrus dan orang Yahudi lainnya yang biasa makan semeja dengan orang bukan-Yahudi, berarti orang-orang dari kalangan Yakobus ini sendiri konsisten dan gigih memberlakukan ketentuan Taurat yang sangat ketat yang memisahkan orang Kristen-Yahudi dari orang Kristen non-Yahudi, dan mereka adalah kalangan yang bersunat. Ketiga, karena pandangan dan sikap mereka mewakili pandangan dan sikap Yakobus si Adil sendiri, maka harus disimpulkan bahwa Yakobus sendiri adalah seorang soko guru jemaat Yerusalem yang mempertahankan sunat dan pandangan bahwa orang Yahudi harus tidak makan di meja orang bukan-Yahudi yang secara ritual dinilai najis, sementara Paulus sendiri mengharapkan orang-orang Yahudi-Kristen tidak lagi mematuhi aturan Taurat mengenai hal halal dan hal haram dalam soal-soal makanan dan cara hidup ketika mereka bergaul dengan orang-orang Kristen non-Yahudi. Keempat, kesepakatan yang dicapai dalam Konsili Yerusalem dan insiden di Antiokhia ini menunjukkan bahwa Yakobus, saudara Yesus, menyetujui hanya pembagian tanggungjawab misioner secara etnografis dengan Paulus, tetapi dia tidak mengompromikan nomisme dengan injil Paulus yang anti-nomisme, yang memberitakan dan memberlakukan pembebasan orang Kristen dari tuntutan Hukum Taurat Yahudi. Dalam KPR 21:21, yang dinilai Lüdemann sebagai sebuah catatan historis (Lüdemann 1989: 59), dimuat tuduhan yang ditujukan kepada Paulus yang disampaikan “Yakobus dan semua penatua” jemaat Yerusalem, bahwa dia “mengajar semua orang Yahudi yang tinggal di antara bangsa-bangsa lain untuk melepaskan Hukum Musa” sebab dia melarang orang-orang Yahudi menyunatkan anak-anak mereka dan hidup menurut adat-istiadat Yahudi. Kelima, kendatipun Konsili Yerusalem sudah diselenggarakan dan di sana kesepakatan sudah dicapai, ternyata Yakobus si Adil tetap memperlihatkan anti-Paulinisme dalam usahanya membela, mempertahankan dan memberlakukan nomisme kepada orang Yahudi yang menjadi Kristen, di Yerusalem dan di luar Palestina.
4. Penutup
Dalam tulisan ini telah diperlihatkan bahwa Yakobus si Adil, saudara Yesus, adalah seorang pemimpin utama Gereja Induk Yerusalem yang memiliki pandangan dan cara hidup nomistik, cara hidup yang terpusat pada keutamaan Hukum Taurat Musa bagi setiap orang Kristen-Yahudi. Dia mati dirajam dengan batu pada tahun 62 M karena suatu tuduhan yang tidak pada tempatnya yang diajukan oleh Imam Besar Ananus kepada Sanhedrin, bahwa Yakobus telah melanggar Taurat Musa. Kalangan Farisi di Yerusalem membela Yakobus dan mengupayakan perlawanan terhadap tindakan yang tidak sah yang telah dilakukan Imam Besar Ananus. Pembelaan dan perlawanan kalangan Farisi ini menunjukkan bahwa Yakobus dipandang oleh mereka sebagai orang yang tidak bercacat dalam mempertahankan dan mengamalkan Yudaisme.
Ketika Konsili Yerusalem digelar pada dasawarsa kedua gerakan Kristen, Yakobus bersama dua soko guru lainnya, Rasul Yohanes dan Rasul Petrus, mendukung misi Paulus dan Barnabas yang anti-nomian kepada bangsa-bangsa bukan-Yahudi, sedangkan misi evangelisasi nomian kepada bangsa Yahudi dipikul oleh para soko guru Gereja Induk Yerusalem ini. Pembagian kerja ini dilakukan secara etnografis, bukan secara geografis teritorial, sehingga tidak mengompromikan nomisme atau ketaatan mutlak pada Hukum Musa, yang dipertahankan dan diberlakukan oleh Yakobus si Adil, yang dengan konsisten dipertahankan dan diberlakukan kepada orang Yahudi-Kristen yang hidup bersama dengan orang Kristen non-Yahudi.
Insiden di Antiokhia yang terjadi menyusul Konsili Yerusalem membuktikan bahwa Yakobus si Adil bersama para muridnya atau warga jemaat Yerusalem tetap mempertahankan dan memberlakukan ketentuan Taurat yang melarang orang Yahudi makan semeja dengan orang bukan-Yahudi. Sementara Paulus menghendaki orang Yahudi-Kristen yang bergaul bersama orang Kristen non-Yahudi melepaskan keterikatan mereka pada Hukum Musa, misalnya larangan makan semeja dengan orang non-Yahudi atau larangan memasuki rumah orang non-Yahudi.
Jadi, kita temukan kembali suatu fakta sejarah yang solid bahwa kekristenan Yahudi yang berpusat di Yerusalem adalah kekristenan yang nomistik, dan berada dalam konflik dengan kekristenan yang didirikan Paulus, yang anti-nomian.
Sumber-sumber rujukan:
(1) Lüdemann, Gerd, Opposition to Paul in Jewish Christianity (ET by M. Eugene Boring; Minneapolis: Fortress Press, 1989) 35-63.
(2) Lüdemann, Gerd, Heretics: The Other Side of Early Christianity (ET by John Bowden; Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 1996) 27-52.
(3) Whiston, William (penerjemah), The Works of Josephus: Complete and Unabridged (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publisher, 19871, 199510).
(4) Cohen, Shaye J.D., Josephus in Galilee and Rome. His Vita and Development As a Historian (Leiden: E.J. Brill, 1979).
(5) Bond, Helen K., “New Currents in Josephus Research” dalam Currents in Research: Biblical Studies 8 (2000) 162-190.
(6) Mason, Steve, Josephus and the New Testament (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publisher, 1992).