Sunday, December 31, 2023

Di bawah Atap Langit Malam

 



Di bawah atap langit malam
Sebuah bintang jatuh menimpa
Membawa pesan yang dalam
Terdengar olehku suaranya

Berlarilah cepat
Lebih cepat dari sang kala
Melesatlah cepat
Lebih cepat dari cahaya

Berjalanlah tegap
Setegap barisan perwira
Berkonsentrasi ke depan menatap
Menembus tirai ruang dan kala

Melompatlah jauh ke masa depan
Masukilah dunia ekstra-dimensi
Sosok-sosok cahaya mau berbagi
Mahatinggi kearifan dan pengetahuan

Duduklah bersila
Di bawah atap langit malam
Tenang teduh tanpa suara
Bak Lautan Teduh yang dalam

Ketika duduk di bawah atap langit malam
Dengarkanlah alunan petikan gitar jagat semesta
Mengalun sejak dentuman besar awal semesta
13,8 milyar tahun yang silam

Mari, mari, kita lihat dan dengar
Sosok-sosok cahaya ekstra-dimensi
Menari indah gemulai ramai-ramai
Mengikuti irama petikan dawai gitar

Barangsiapa bertelinga, akan mendengar
Barangsiapa memiliki mata, akan melihat
Mendengar yang belum pernah didengar
Melihat yang belum pernah dilihat

Barangsiapa berkaki, akan berlari
Mereka juga akan jauh berjalan cepat
Juga akan jauh melompat
Ke tempat-tempat mahajauh mahatinggi

Bintang yang tadi jatuh menimpaku
Perlahan naik kembali ke atas langit
Tempatnya memang di kubah langit 
Cahayanya abadi menemani aku 

Jakarta, 31 Desember 2023
ioanes rakhmat


=Selamat memasuki tahun baru 2024=




Monday, December 25, 2023

Sang Firman Telah Menjadi Daging (Yohanes 1:14a)

 



“Kai ho Logos sarks egeneto.Ini adalah teks Yohanes 1:14a dalam bahasa Yunani koine Perjanjian Baru. Dalam bahasa Latin berbunyi: “Et verbum caro factum est.Terjemahan Indonesianya: “Dan sang Firman telah menjadi daging.” LAI dalam TB Perjanjian Baru menerjemahkan sarks atau caro dengan kata manusia”, bukan dengan kata “daging.

Dalam Alkitab versi NRSV dan Catholic Study Bible: New American Bible (1990), sebagai terjemahan Yohanes 1: 14a kita baca kalimat “And the Word became flesh”. Kata benda sarks di dua versi Alkitab ini diterjemahkan daging atau flesh./1/

Sebetulnya, jika konteks sejarah komunitas penulis prolog Injil Yohanes diperhatikan, maka lebih tepat menerjemahkan sarks atau caro dengan daging, alih-alih dengan manusia. Dalam bahasa Yunani, setidaknya ada dua kata untuk kata  “manusia”, yaitu anthropos dan anēr (genetif: andros). Kata Latin untuk manusia adalah homo.

Penulis prolog Injil Yohanes (Yohanes 1:1-18) dengan sengaja memang tidak memilih kata-kata anthropos atau anēr untuk Yohanes 1:14a. Tapi mereka memilih kata sarks dengan maksud, tujuan dan fokus yang jelas. Mari kita telusuri dengan singkat.

Dalam BDAG edisi ketiga (F. W. Danker dan W. Bauer), kata sarks diberi beberapa arti. Berikut ini./2/

• material yang menutupi tulang-belulang seorang manusia atau tubuh seekor hewan;

• tubuh/badan sebagai wujud atau benda yang berfungsi, yakni zat dan wujud yang hidup; 

• sesuatu yang memiliki keterbatasan-keterbatasan ragawi, kehidupan di sini di Bumi; 

• seseorang sebagai, atau yang menjadi, suatu organisme ragawi, atau suatu sosok yang hidup; 

• pribadi insani, sosok manusia;

• sosok-sosok daging yang bukan manusia, tetapi para utusan adikodrati ilahi seperti para malaikat yang mengenakan tubuh atau daging ketika mereka muncul di antara manusia;

• sosok yang fana, yang hidup di Bumi;

• sisi lahiriah kehidupan;

• instrumen berbagai tindakan atau pengungkapan;

• sumber dorongan seksual; sesuatu yang menimbulkan perasaan tertarik; 

• pembawa perasaan dan hasrat sensual yang berdosa;

• semua bagian dari tubuh yang dikuasai dosa sedemikian rupa sehingga di mana ada daging, di situ semua bentuk dosa ada; alhasil, tidak ada hal yang baik yang dapat hidup di dalam daging

Jelas, ada banyak arti untuk kata sarks di masa kelahiran kekristenan awal. Manusia memang salah satu artinya, tetapi mazhab komunitas Yohanes di abad pertama M memilih arti yang lain, yakni daging. Mengapa, dan dalam arti apa?


.....





En tō endoksō onomati Iēsou

Dominus illuminatio mea!

Selamat hari Natal 25 Desember 2023.

Thursday, November 30, 2023

Bintang telah turun

 



Kemarau sungguh panjang
Seolah tak akan berlalu
Hujan tampak tertidur panjang
Lelap, tak mau diganggu 

Tanyaku ke langit malam hari
Hujan, hujan, di manakah kau berada?
Curahkanlah dirimu ke Bumi!
Basahi dan genangi permukaannya! 

Alirkan dirimu lewat sungai-sungai
Sirami sawah-sawah para tani
Penuhilah danau dan telaga
Basahilah Bumi yang telah kering merana 

Tak terdengar jawaban kata dari kesunyian langit
Malaikat pembawa hujan tak terlihat turun
Belum terbuka katup-katup langit
Burung merpati dari langit belum turun 

Dalam kegelapan malam 
Aku keluar menuju tepi sebuah sungai besar
Sendiri, berteman hanya kekelaman malam
Sedikitpun tak ada rasa gentar 

Di tengah gelapnya malam itu
Kutengadah ke langit penuh bintang
Sang Penguasa Langit memandangku
Hinggap padaku sebuah bintang 

Sang Penguasa Langit masih membisu
Akupun berseru lagi dalam kekelaman malam:
Langit Malam, Langit Malam 
Janganlah Engkau terus membisu! 

Tiba-tiba suara besar guntur 
Memecah kesunyian malam
Kilat di sana-sini kuat menyambar 
Katup-katup langit terbuka lebar 

Hujan deras, turunlah!
Hujan deras, turunlah! 

Aku berdiri di tepi sungai besar itu
Empat puluh hari, empat puluh malam, lamanya
Air, air, air, menggenangi muka Bumi sang Ibu
Aku menyaksikan semuanya di sana 

Sang merpati telah turun ke Bumi
Sang bintang telah hinggap
Cahaya telah membungkus Bumi
Seribu tahun genangan air akan menguap 

Aku teguh berdiri sendirian
Di tepi sungai besar itu
Mungkin selamanya demikian
Ditemani bayangan tubuhku

En tō endoksō onomati Iēsou
Jakarta, 30 November 2023
ioanes rakhmat

Tuesday, October 31, 2023

Beda Bertuhan dan Beragama

 


Jari menunjuk ke Bulan, dan bukan sebaliknya.


Bertuhan dan beragama, dua hal yang tidak bisa begitu saja disamakan. Ada interseksi antara keduanya, tapi juga ada perbedaan, perselisihan dan benturan antara keduanya. Mari kita telusuri hal ini pada beberapa level yang dasariah saja.

Agama adalah suatu lembaga atau pranata sosial yang manusia bangun dan konsepkan untuk banyak keperluan. Antara lain sebagai panduan nilai-nilai dan prinsip-prinsip bagi kehidupan manusia, atau sebagai suatu sistem kepercayaan atau belief system yang umumnya dipegang teguh dan berpengaruh kuat dalam orang menjalani kehidupan sehari-hari yang dipandang bertujuan dan bermakna./1/

Lima fondasi

Lazimnya, setiap agama didirikan dengan berpilar dan berfondasi pada lima hal berikut. 

• kredo atau syahadat atau pengakuan kepercayaan, 

• sejumlah etika kehidupan atau rambu-rambu moral penuntun kehidupan,

• ritual-ritual ketika datang atau mendekat pada apa yang dipersepsi sebagai Tuhan atau sang Kudus (the Sacred) atau sang Serba Lain (the Wholly Other). Salah satu fungsi ritual keagamaan adalah mengikat sang Kudus untuk selalu memenuhi kemauan umat yang menyembah-Nya, 

• sejumlah tulisan yang diyakini sebagai pemberian sang Kudus sehingga diberi status tulisan-tulisan suci yang menjadi standard atau patokan atau ukuran atau kaidah atau kanon dalam menentukan bagaimana umat harus menjalani kehidupan mereka, mengatasi masalah, dan merumuskan ajaran-ajaran keagamaan,

• organisasi, manajemen kepemimpinan umat, dan strategi pertahanan dan pengembangan kehidupan umat ke depan.

Jelaslah, lima hal di atas umumnya adalah isi dari setiap agama sebagai suatu belief system atau sistem kepercayaan. 

Belief system

Disebut sebagai suatu belief system, ya karena agama dibangun dan dijalankan berdasarkan kepercayaan bahwa hal-hal adikodrati itu ada dan aktif dalam dunia manusia. Ini asumsi dasar paling utama dari teisme. 

Hal-hal adikodrati itu dipandang berinterkoneksi dan berinteraksi menurut suatu desain dan konstruksi yang dinamis yang sudah dirancang dan membentuk suatu sistem yang aktif dalam masyarakat. 

Apa itu sistem? Ada banyak definisi, bergantung pada bidang-bidang yang sedang dikaji. Saya berikan beberapa definisi saja.

Sistem adalah seperangkat jejaring ide-ide atau teori-teori atau kaidah-kaidah atau cara-cara yang khas, yang digunakan dalam menjalankan sesuatu dan dalam mengontrolnya supaya terbangun suatu kesatuan menyeluruh dari semua unsurnya. Ada yang memberi sebuah definisi pendek yang kena bahwa suatu sistem adalah koleksi bagian-bagian, dan tidak ada satupun bagian-bagian ini yang dapat diubah pada dirinya sendiri./2/ Satu unsur lumpuh, maka keseluruhan sistem ambruk. Dalam Oxford Concise Dictionary of Sociology, Gordon Marshall menulis bahwa sistem adalah relasi apapun yang terstruktur atau terpola di antara sejumlah unsur, di mana sistem ini membentuk suatu kesatuan atau suatu keseluruhan./3/ 

Sistem sendiri ada tiga macam: terbuka, tertutup, dan terisolasi, dalam relasinya dengan lingkungan sekitar./4/

Nah, kelima poin di atas berfungsi sebagai fondasi sekaligus sebagai pilar-pilar bangunan agama apapun. Fondasi dan pilar-pilar ini terbentuk tentu saja tidak dalam satu malam, dan juga tidak diletakkan dan didirikan dalam sekejap hanya oleh satu sosok manusia atau oleh satu oknum dari alam gaib.

Banyak pihak dan kalangan, situasi, kondisi, lokasi sosial geografis, kondisi psikologis, dunia, politik, kebudayaan, alam pemikiran, yang berinteraksi melahirkan pranata agama.

Dus, pada satu segi akan dapat muncul tulisan yang beranekaragam yang dipandang suci, yang merupakan hasil kerja banyak insan yang luar biasa, di dalam berbagai konteks zaman dan lokasi sosio-budaya, di dalam berbagai alam pemikiran dan dalam berbagai tingkat kemajuan prestasi-prestasi kebudayaan dan intelektual. 

Jenis atau genre tulisan-tulisan suci ini tidak tunggal tetapi majemuk; dan isi dan pesan tulisan-tulisan ditemukan juga tidak seragam, tetapi berbeda-beda, sejalan dengan konteks sejarah dan sikon kehidupan yang beranekaragam dan dinamis.

Masing-masing lima hal di atas umumnya berfungsi interdependen, saling bergantung satu sama lain ketika orang mengekspresikan dan menyatakan diri mereka sebagai orang-orang yang beragama. 

Bergantung pada situasi dan kondisi serta konteks kehidupan yang ada dan sedang dijalani, dari lima poin tersebut ada poin-poin yang lebih banyak atau lebih kuat dipakai dan dibutuhkan dalam mempertahankan dan memperkuat bangunan suatu agama. 

Dapat ada juga poin-poin yang tergeser ke kawasan pinggiran atau kawasan marjinal yang banyak kehilangan kekuatan fungsi dan peran mereka dalam mempertahankan kekuatan bangunan kokoh suatu agama. 

Umumnya, lima hal di atas saling mengisi dan memperkuat di saat suatu umat menjalankan agama mereka, atau bahkan ketika mereka sedang membarui dan mengubah segi-segi tertentu dari bangunan suatu agama yang sedang diperhadapkan pada tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan baru. Dalam hal ini, poin lima di atas --- manajemen kepemimpinan dan strategi pertahanan diri --- menjadi penting untuk lebih dalam dan lebih banyak digumuli, dikaji lintas-ilmu, dan dijalankan.

Tetapi akan juga ada saatnya, poin-poin tertentu dari lima poin yang ada menjadi tidak berfungsi atau kehilangan relevansi mereka karena perubahan zaman, konteks sosial-budaya dan politik, dan juga karena perubahan alam pemikiran, dari alam pemikiran primitif ke alam pemikiran modern.

Jika situasi dan kondisi yang digambarkan pada paragraf di atas tercipta, sebagai suatu sistem kepercayaan agama apapun perlu dengan dinamis beradaptasi dengan sikon-sikon natural dan sikon-sikon sosial kebudayaan yang berubah-ubah--- alhasil setiap agama perlu berubah jika ingin tetap relevan dengan lingkungan alam sekitar dan zaman yang terus berubah. Pendek kata, agama yang fungsional dan memberi dampak adalah agama yang sistemnya terbuka: agama, konteks sejarah dan konteks masa kini, berinteraksi, saling mempengaruhi, saling membentuk dan saling mengubah.

Jadi, dari interdependensi antar lima poin tersebut di atas, dan dari interaksi kelimanya, agama-agama--- dalam konteks sejarah dan konteks sosial masing-masing--- akan terbangun dan berdiri sebagai sistem-sistem kepercayaan yang terbuka dan berdampak pada kehidupan sehari-hari setiap orang dan komunitas.

Beragama

Jadi, beragama adalah memegang kuat-kuat suatu kredo atau suatu syahadat, menjalankan suatu etika atau rambu-rambu moral, mengaktifkan ritual-ritual pengikat dengan sang Kudus, memegang dan percaya pada sekumpulan tulisan yang disucikan, dan mengorganisir komunitas demi pertahanan, ketahanan dan perluasan dan perkembangannya. 

Lima poin tersebut di atas disusun dan diterapkan serta dijalankan sebagai suatu sistem yang dinamis untuk mengelola perjalanan kehidupan yang juga dinamis dari komunitas-komunitas dalam masyarakat.

Sekali lagi perlu dikatakan, sistem yang sudah didesain dan dikonstruksi dalam waktu panjang oleh banyak orang tahap demi tahap lalu diterapkan adalah suatu sistem kepercayaan atau suatu belief system. Sistem kepercayaan jelaslah bukan suatu sistem bilangan, sistem matematika, sistem filosofis, atau suatu sistem yang didesain untuk diterapkan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dibangun lewat metode-metode keilmuan, misalnya sistem komputer, sistem teknologi informasi, sistem pendidikan, sistem keamanan, sistem finansial, sistem molekuler, sistem perbintangan, sistem sosial, dan seterusnya.

Dengan melihat dan mengikuti sejarah setiap sistem kepercayaan atau agama, tahulah kita bahwa suatu agama, sejak awal pembentukannya, lalu mengalami perkembangan bertahap, bersifat dinamis dan aktif, dan menggerakkan sangat banyak orang yang semuanya sama-sama ingin mencapai sang Kudus atau Dia Yang Serba Lain.

Jelas, tentu saja, suatu komunitas keagamaan sama-sama ingin mencapai dan tiba pada sang Kudus lewat lima poin di atas yang berinteraksi dan saling bergantung, tidak tercerai-berai.

Sang Kudus sama-sama menjadi tujuan untuk dicapai, dan menjadi suatu tempat berlabuh yang selalu samar-samar terlihat. Selalu ada jarak.

Jadi, agama (yang monoteis, nonteis dan yang politeis) adalah jalan menuju suatu kondisi yang di dalamnya umat dapat bertemu dan menyatu dengan sang Kudus Adikodrati. Jalannya tidak tunggal, tetapi majemuk. Tidak statis, melainkan dinamis.

Telunjuk-bulan

Memakai suatu metafora Zen Buddhis yang saya adaptasi untuk kepentingan tulisan saya ini, agama adalah telunjuk yang menunjuk ke Bulan, dan membimbing orang untuk tiba di Bulan. Agama apapun bukan Bulan, tapi hanyalah jari yang menunjuk ke sang Bulan Adikodrati.

Ada gunanya jika saya menjelaskan seperlunya metafora Zen tersebut di sini. 

Metafora telunjuk-Bulan, sejauh ini diketahui pernah diucapkan oleh Bruce Lee dalam Enter the Dragon (1973). Aslinya, metafora Zen ini berasal dari Sutra Shurangama (II, 61-3; bdk Sutra Lankavatara bab 6, hlm. 193. Lihat juga Augustinus De doctrina Christiana atau On Christian Doctrine, tahun 397 M) yang menjadi suatu teks inti bagi orang yang sedang menerima pelatihan Zen./5/

Ketika pertama kali sang Buddha Gautama menyebut metafora ini kepada Ananda (sepupu pertama dan salah seorang murid utama Gautama Buddha), sang Buddha mengartikan Bulan sebagai Pikiran Sejati, the true Mind, yang ada dalam benak Ananda, yakni pikiran yang waspada, terjaga, terkonsentrasi, kalem, tenang, lembut, mengalir, dan tercerahkan. Dalam Buddhisme, kondisi-kondisi kognitif ini disebut sebagai mindfulness, yakni pikiran yang menyadari pikiran sendiri lewat pengamatan atau pemantauan pikiran yang terus mengalir dari momen ke momen dan semua aktivitas mental diri sendiri. 

Itulah metakognisi atau samatha dan vipassana sebagai salah satu jalan dari Jalan Delapan Rangkap untuk mencapai pembebasan atau nirvana (kondisi lepas dari siklus kelahiran kembali, padam) lewat aktivitas metakognitif atau aktivitas memikirkan dan memantau pikiran, emosi dan perasaan sendiri tentang segala sesuatu yang melintas dalam aktivitas berpikir yang terkonsentrasi dan tak pernah berhenti.

Dalam Buddhisme, chitta (Sanskrit) atau pikiran, mind, mengacu ke setiap jenis aktivitas mental, termasuk persepsi indrawi, pikiran abstrak dan verbal, emosi-emosi, perasaan-perasaan suka cita dan duka cita, atensi, konsenstrasi, kecerdasan, dan seterusnya./6/ Seorang guru Buddhisme, menyatakan bahwa pikiran, dalam Buddhisme, adalah semua aktivitas mental yang memunculkan pengalaman bahwa kita hidup./7/

Pada tingkat tertentu, seorang praktisi Zen dapat memandang, memantau dan memahami objek-objek yang real atau yang melintas dalam benaknya tanpa menggunakan bahasa. Inilah lanjutan metakognisi atau vipassana, yakni menerima dan memahami sesuatu apa adanya, sesuai dengan objek yang sedang diamati, tanpa interpretasi, tanpa bahasa. Dengan kata lain, bahasa tertinggi adalah tanpa-bahasa.

Anda tentu saja dapat berkomentar, bukankah keyakinan bisa menerima dan memahami sesuatu tanpa bahasa adalah bahasa juga, bahasa yang berbeda. Atau, jika dipahami tanpa bahasa, siapakah yang tahu bahwa apa pun yang dipikirkan tanpa bahasa sudahlah betul dan memang demikian apa adanya. Faktanya, selalu ada interaksi antara hal yang diamati dan si pengamat. Tidak ada pengamat yang netral. Ketika sesuatu diamati, hal yang diamati ini menjadi hidup.

Nah, di atas telah dibahas Bulan dalam metafora Zen telunjuk-Bulan. Pembaca yang cermat dan berpengetahuan mungkin sekali akan bertanya, mengapa Bulan tidak mengacu ke satu Tuhan Allah personal, tetapi ke Pikiran Sejati yang memiliki kodrat pikiran buddha. 

Penjelasannya pendek saja. Dalam Buddhisme tidak dikenal satu (atau lebih) sosok Tuhan Allah personal apapun; jadi, Buddhisme memang bukan suatu agama monoteistik./8/ Tetapi para penganut Buddhisme percaya ada sosok-sosok adikodrati yang dapat menolong atau menghalangi orang di jalan menuju pencerahan atau nirvana. Sosok-sosok adikodrati ini adalah dewata (dewa dewi); mereka fana, tapi sebagian memiliki kodrat buddha.

Nah, bagaimana halnya dengan “telunjuk” dalam metafora Zen telunjuk-Bulan? Telunjuk mengacu ke Dharma atau pengajaran-pengajaran sang Buddha Gautama. Orang yang sedang menerima pelatihan Zen dikehendaki memakai Dharma atau pengajaran-pengajaran sang Buddha sebagai, seperti sudah dikatakan sebelumnya, penuntun untuk mendapatkan Pikiran Sejati para peserta pelatihan, yaitu Bulan, the true Mind, Pikiran Sejati mereka.

Dalam agama-agama teisme, telunjuk jadinya mengacu ke ajaran-ajaran agama atau ke sistem kepercayaan yang jika ditekuni dan dijalani akan membawa orang ke Tuhan Allah adikodrati yang dapat disebut juga sebagai sang Kudus atau sang Serba Lain.

Nah, bencana dan pertikaian, kekusutan dan kebingungan, besar dan kecil, lokal dan global, dulu dan kini, akan pasti timbul jika si orang beragama atau suatu komunitas keagamaan mengubah Bulan menjadi telunjuk, dan mengubah telunjuk menjadi Bulan. 

Maksudnya: Sang Kudus atau sang Serba Lain menjadi sistem keagamaan atau sekumpulan pengajaran, dan pengajaran keagamaan menjadi sang Tuhan adikodrati. Inilah doksolatri, yakni menyembah dan mempertuhan ajaran; dan deteologisasi, maksudnya: Allah disingkirkan dari takhta-Nya yang mulia dan dibuat kehilangan kemuliaan dan keagungan-Nya. Allah telah dikeluarkan dan dibuang dari dunia transenden, dan berubah menjadi rangkaian huruf-huruf dan teks-teks. Pengajaran keagamaan menjadi agung dan mulia; Tuhan Allah, sebaliknya, menjadi kehilangan keserbalainan-Nya.

Bertuhan

Sekarang kita perlu menggali makna dan bagaimana bertuhan itu, jika bertuhan tidak bisa disamakan menyeluruh dengan beragama.


(belum selesai)


Catatan-catatan

/1/ Tentang agama sebagai suatu sistem kepercayaan, lihat juga antara lain Deborah Teasley, “Belief System: Definition and Types”, Study.comhttps://study.com/academy/lesson/belief-systems-definition-types-quiz.html.

/2/ “What is System? Meaning, Definition, Elements and Types of System”, Top4U,
https://www.toppers4u.com/2021/12/what-is-system-meaning-definition.html?m=1.

/3/ Gordon Marshall, Oxford Concise Dictionary of Sociology (Oxford/New York: Oxford University Press, 1994) hlm. 526. 

/4/ Ada tiga jenis sistem. Yakni sistem terbuka yang berinteraksi dinamis dengan lingkungan sekitar yang ada di luar sistem. Terjadi pertukaran materi dan energi antara keduanya. Terjadi arus pertukaran output dan input ketika sistem terbuka berinteraksi dengan lingkungan alam sekitar. Biologi manusia termasuk sistem yang terbuka. Antara sistem biologi dan lingkungan kehidupan eksternal berlangsung interaksi dan saling pengaruh.

Dalam suatu sistem tertutup, berlangsung pertukaran energi dengan lingkungan sekitar, tapi tidak ada pertukaran materi.

Yang ketiga adalah sistem yang terisolasi. Dalam sistem ini tak terjadi pertukaran energi atau materi dengan lingkungan alam sekitar. Lihat “System”, Wikipediahttps://en.m.wikipedia.org/wiki/System#:

/5/ “What the ‘Finger pointing to the moon’ analogy really means --- from Zen Buddhism, the Buddha in the Shurangama Sutra”, Essence of Buddhism, 19 April 2016, https://essenceofbuddhism.wordpress.com/2016/04/19/what-the-finger-pointing-to-the-moon-analogy-really-means-from-zen-buddhism-the-buddha-in-the-shurangama-sutra/. Lihat juga Patrick Buggy, “Never Mistake the Finger for the Moon”, Mindful Ambition, https://mindfulambition.net/finger-and-moon/. Juga lihat Bodhi Paksa, “I am a Finger pointing to the moon. Don’t look at me”, Fake Buddha Quotes, October 15, 2017, https://fakebuddhaquotes.com/i-am-a-finger-pointing-to-the-moon-dont-look-at-me-look-at-the-moon/.

/6/ Alexander Berzin, Matt Lindén, “What Is Mind”, Study Buddhismhttps://studybuddhism.com/en/essentials/what-is/what-is-mind.

/7/ Alexander Berzin, Matt Lindén, “What Is Mind”, Study Buddhismhttps://studybuddhism.com/en/essentials/what-is/what-is-mind.

/8/ The National Geographic Society, “Buddhism”, Encyclopedic Entryhttps://education.nationalgeographic.org/resource/buddhism/. Peter Harvey, Buddhism and Monotheism (Cambridge University Press, 2019) hlm. 1. Charles Taliaferro, ed., The Routledge Companion to Theism (New York: Routledge, 2013) hlm. 35.

Jika Buddhisme bukan mono-/poli-teisme, lantas apa? Sejauh ini, Buddhisme digolongkan sebagai non-teisme, atau transpoliteisme, atau anti-teisme, atau ateisme non-materialistik. 

/9/




Friday, September 22, 2023

Membagi Kegembiraan



Di saat berolah raga jalan kaki 3 putaran di pagi hari tadi, mulai pukul 8, Jumat 22 September 2023, saya dibanjiri cahaya Mentari. Lokasinya di kawasan perumahan tempat kami tinggal, kawasan Janur/Pelepah Asri, Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara. Saya menemukan banyak hal menarik yang dapat memberi kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan; sebagiannya mau saya bagikan ke anda, sahabat-sahabat saya.

Di sepanjang pinggir sebelah kiri jalan, sejumlah anak TK bertopi juga berolah raga jalan kaki, dengan ditemani dan dipandu para ibu pengasuh mereka. Lihat kolase foto di atas. Ya, harus dipandu, sebab mereka berjalan kaki di jalan raya tempat mobil dan kendaraan lainnya datang dan pergi. Ada kemungkinan risiko kecelakaan muncul jika tidak hati-hati.

Saya sempatkan diri menyalami beberapa dari mereka dan guru-guru mereka. Suara ramai timbul dari anak-anak yang berjalan dalam barisan yang tak selalu tertib. Ya, begitulah, tidak selalu tertib, tapi gembira ria. Jagoan 007 manapun tidak ada yang bisa membuat anak-anak berjalan dalam barisan dengan sepenuhnya tertib.

Kalau semuanya bisa tertib berjalan dalam satu barisan, mereka sudah bukan lagi anak-anak, tetapi tentara. Setuju gak? Saya mau jadi tentara, tetapi waktunya telah lewat jauh. Kalau menjadi sesosok tentara malaikat pelindung dimungkinkan, saya mau. 

Seorang ibu pengasuh menjadi bersemangat dan riang ketika dia melihat saya sedang membuat video. Ha ha, saya sendiri juga bersemangat, ketularan virus gembira, subvarian Happy Omicron. 

Eehhh..... nanti dulu, di bagian buntut barisan anak-anak ada seorang anak yang memisahkan diri tapi tidak tampak seperti mau menangis. Perhatikan foto di atas. Kenapa ya? Saya tak terdorong untuk  mencari tahu. 

Sekarang kita beralih ke pengalaman pendek saya lainnya. Perhatikan foto di bawah ini. Klik fotonya untuk memperbesar ukurannya dalam versi web kisah saya ini.




Tak jauh dari rumah kami, ada sebidang lahan luas, kurang lebih 3.415 m². Kurang lebih separuh sebelah sana lahan ini dimanfaatkan untuk para tani menanam sayur-sayuran. Sebagian lagi lahan sebelah sini sudah puluhan tahun dibiarkan saja seolah mubazir atau tanah tak bertuan. 

Tak bertuan? Tentu tidak. Ada pemiliknya, yakni pemerintah DKI Jakarta Utara. Jangan sekali-kali menilep milik negara, wahai sobat-sobat. Korupsi atau KKN hanya akan menghancurkan negara dan bangsa sendiri. 

Mungkin karena inisiatif pengurus komunitas kami yang baru, disertai Ketua-ketua RT dan Ketua-ketua RW yang juga baru, lapangan luas itu baru mulai dirapikan, ditata, dibangun dan dibentuk untuk nantinya menjadi taman hijau yang dapat digunakan untuk olah raga jalan kaki atau olah raga lari, atau jenis-jenis olah raga lainnya. Ditulis pada papan pemberitahuan yang ditancapkan, antara lain bahwa tanah luas itu sedang ditata lagi sebagai penyempurnaan hijau taman (PHT). Horeee,.... kami akan punya sebuah taman hijau yang baru. Semoga dibangun juga sebuah ruang doa dan sebuah ruang meditasi untuk kita dapat terbantu berkomunikasi dengan sang Gaib.

Jalan setapak pada foto di atas begitu cepat dibangun. Sudah terlihat bentuknya. Lapangannya luas sekali, bukan? 

Waktu saya sedang berolahraga jalan kaki di pagi tadi, jalan setapaknya belum terbangun sepenuhnya, dan timbunan tanah dan batu masih ada di banyak lokasi. Saya sempatkan diri meminta difoto kepada seorang pekerja bangunan dengan kamera HP yang saya bawa. Berikut ini kolase fotonya.




Tetapi ketika saya balik kembali di sore hari ke lokasi, hal yang saya lihat sudah jauh berbeda. Meski belum seluruh lapangan ditata dan dibangun sebagai taman hijau, sudah terlihat bentuk-bentuk awalnya yang enak 
dipandang mata (lihat foto kedua di atas). 

Manusia sebagai suatu organisme cerdas perlu membangun suatu relasi yang harmonis dan dinamis dengan lingkungan alam kawasan mereka tinggal. Alam adalah bagian integral dari lokasi tempat tinggal manusia, dan manusia sendiri adalah bagian tak terpisah dari alam yang luas. 

Sekarang ini manusia tidak lagi dipandang superior jika dibandingkan dengan alam, dengan tugas bukan lagi untuk menjajah dan mengeksploitasi alam, tetapi menatalayani Bumi.

Itulah, teman, hal yang saya dapat bagikan lewat Freidenk Blog saya ini. Semoga kita semua haus pengalaman baru. Kalau haus ya minumlah dari sumber air kehidupan. Carilah, maka anda akan mendapatkan.

Salam,
ioanes Rakhmat

22 September 2023

* diedit 24 September 2023

Tuesday, August 29, 2023

HESTI WIRA SAKTI

 



Di atas ini, saya pasang dua foto dari satu monumen yang sama. Monumen ini berdiri di ruang luas terbuka bagian dalam Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.

Pada monumen ini, bertengger seekor Burung Garuda, lambang yang hebat Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Burung Garuda ini mengambil posisi berdiri yang kokoh, kekar, tangguh, berani, siap, waspada dan percaya diri, dan dengan tatapan mata yang tajam ke depan. Siap menghadapi tantangan dan lawan di depannya, demi mempertahankan NKRI.

Sepasang sayapnya membentang kuat ke atas dan bertemu satu sama lain lewat sebuah Bintang yang besar dan agung, lambang Tuhan Yang Maha Esa. Posisi dan bentangan ke atas kedua sayapnya ini dengan terang dan jelas menyatakan bahwa sang Garuda ini, dengan perkenan Tuhan YME, siap selalu melindungi, menaungi dan menjaga NKRI dari setiap rongrongan dan serangan lawan, siapapun mereka. 

Lambang sang Burung Garuda ini ditampilkan dengan kombinasi warna-warni yang artistik dan mengagumkan. Entah siapa senimannya. Saya ingin tahu, jika mungkin.

Kepala dan wajah sang Burung didominasi warna putih, yang bisa ditafsirkan pikirannya suci dan bersih, tak ada kegelapan sama sekali. Kedua paruhnya yang berwarna kuning keemasan mengambil sikap sigap dan siaga. Sepasang matanya yang tajam dan siaga melihat ke depan, memandang dan menafsirkan apa yang ada di depannya. Adakah bahaya? Adakah ancaman? Adakah serangan lawan? Jika ada, sang Garuda siap mencegah dan menangkal dengan gagah perkasa. 

Dengan cara bagaimana sang Garuda siap mencegah bahaya yang mengancam NKRI, baik bahaya dari dalam dan bahaya dari luar, maupun bahaya dari dalam yang dikendalikan oleh pihak asing di luar yang memusuhi NKRI?

Jawabannya disediakan, berupa sasanti atau semboyan yang dibentangkan dan digenggam oleh kedua kaki sang Garuda yang lurus terbuka lebar.

Sasanti itu berbunyi HESTI WIRA SAKTI.

Hesti berarti mengejar atau berkonsentrasi dan berpacu sekuat tenaga untuk mencapai sesuatu yang agung dan mulia. 

Apa yang dikejar untuk dicapai lewat konsentrasi? Ya keperwiraan. Menurut KBBI edisi ketiga, perwira adalah anggota tentara yang gagah berani, siaga dan perkasa. Kata sifat wira artinya berani, perkasa, siaga dan tangguh. Sifat-sifat ini harus menjadi bagian dari kepribadian dan mental setiap anggota TNI.

Anggota TNI bukan hanya harus menjadi tentara yang memiliki mental perwira, tetapi juga harus memiliki raga atau tubuh yang sakti lewat latihan dan gemblengan fisik yang teratur dan sistematis, lewat latihan-latihan yang tradisional dan yang modern.

Menurut KBBI edisi ketiga, sakti berarti memiliki kemampuan dan kecakapan ragawi yang melampaui kodrat alam insani yang biasa. Orang yang sakti sudah berada di atas rata-rata orang, sudah mencapai level adi-insani atau superhuman. Dapat kita katakan, orang sakti memiliki kekuatan supernatural, gaib atau transenden.

Nah, lewat setiap anggota TNI, yang menjalankan Sapta Marga dengan sungguh-sungguh, mengutamakan keperwiraan, dan memiliki kesaktian, sang Burung Garuda NKRI siap selalu melindungi, menjaga, mempersatukan, memajukan dan mengamankan negara dan bangsa Indonesia yang majemuk.


ioanes rakhmat

29 Agustus 2023



Monday, July 31, 2023

Sedikit kenangan dengan alm. Pdt. Em. Johannes Loing

 



Pdt. Em. Johannes Loing sudah tiada. Beliau dilahirkan 24 Oktober 1937; dan wafat Rabu, 26 Juli 2023. Dapat dikatakan, Pdt. Em. J. Loing berumur panjang (86 tahun), mungkin di atas rata-rata umur orang Indonesia.

Saya dan kawan-kawan aktivis Komisi Pemuda GKI Samanhudi, Jakarta, sudah mengenal Pdt. Loing di tahun 1980-an, sebelum beliau pindah pekerjaan ke GKI Kayu Putih, Pulomas, Jakarta Timur. Pdt. Loing akrab dan dekat dengan kami semasa kehidupan dan pekerjaannya di GKI Samanhudi.

Ketika beberapa hari lalu saya kebetulan membaca sebuah berita di WA pada HP saya bahwa Pdt. Em. J. Loing telah wafat, saya langsung memutuskan untuk menghadiri acara kebaktian penghiburan yang kedua di hari Rabu, tanggal 26 Juli 2023, mulai pukul 19:30, di GKI Kayu Putih. Bersama Enny Riani, isteri saya, kami datang melayat. Saya merasakan ada lem yang lengket antara Pak Loing almarhum dan diri saya.

Di sana, pada acara kebaktian penghiburan tersebut saya bertemu banyak orang yang kurang lebih seusia saya, jalan 65 tahun (maksud saya: 64 tahun lebih). Wajah dan rambut dan kebugaran tubuh kami sudah berubah. Panah waktu, the arrow of time, mengubah segala sesuatunya menjadi makin tua dan ringkih, sebelum runtuh dan binasa.





Di tengah percakapan dengan banyak teman lama, antara lain Pdt. Em. Robby Chandra dan Nyonya, mendekat ke saya Pdt. Em. Jimmer Lopez G. Saragih (dari GKI Sutopo, Tangerang) dan Pdt. Frida Situmorang (pendeta muda GKI Samanhudi, Jakarta). Setelah berbincang tak lama, Pdt. Jimmer Saragih mengajak Pdt. Frida Situmorang dan saya berfoto bersama, alias selfie. Fotonya saya pasang persis di atas paragraf ini. 

Foto itu memberi makna tertentu pada diri saya sebagai bagian dari gereja Yesus Kristus. Dalam gereja, menjadi seorang pendeta itu baik; tetapi setiap orang dalam gereja, termasuk saya, adalah sesama para murid Yesus dan pelayan-Nya. 

Ketika menyalami keluarga Loing yang sedang berduka, saya sempatkan diri bercakap dengan Ibu Anneke Loing yang telah kehilangan suami. Saya katakan kepadanya dan keluarga, di alam ini ada burung yang datang, tapi ada juga yang telah terbang jauh. Ada pohon bunga yang baru tumbuh, belum menghasilkan bunga-bunga, tapi ada juga yang sudah berdaun rimbun dan mengeluarkan banyak bunga. Semua berubah, termasuk berubah menjadi tiada. Hanya lewat ketiadaan, kematian, kita sementara ini masuk ke dalam keabadian dan ke dalam kondisi tanpa batas.

Baiklah, saya kembali ucapkan ikut berduka cita. RIP. Mari kita yang masih hidup meneruskan dengan kreatif dan tegar perjalanan dan ziarah kita menuju ketakterbatasan dan ketiadaan.

En tō endoksō onomati Iēsou

Jakarta, 31 Juli 2023
ioanes rakhmat



Monday, June 19, 2023

A Short Description of the Silent Philosopher Secundus


A marble portrait of the Roman Emperor Hadrian (76 - 138 CE). Latin in full Caesar Traianus Hadrianus Augustus. Illustration @ Mark Cartwright, Vatican Museums, Rome. Image source worldhistory.org


The Life of Secundus may be taken as an example of Roman martyrology./1/ A translation of this work can be found in the article “Greco-Roman Biography” by David E. Aune./2/

In the first section of this work, it is related that Secundus’ mother hanged herself because of some words of Secundus which she found very shameful and unbearable. In reaction to this action of his mother, Secundus vows not to speak again during the remainder of his life.

The second section of this work centers on the efforts of the Roman Emperor Hadrian (117-138 CE) to force Secundus to break his vow of lifelong silence by threatening to have him executed; the Emperor is said to have commanded Secundus: “Speak out, present your address advocating virtue!” But Secundus is not moved by these words. Secundus remains adamant, even when one of the Emperor’s Greek bodyguards, in the absence of the Emperor, shows him an unsheated sword and says, “O Secundus, buy off death with your voice!” To this, Secundus says nothing, simply stretching out his neck for the sword.

The Emperor previously has secretly ordered his bodyguard to save Secundus if he remains silent, but kills him if he speaks. When Secundus indeed remains silent, he is brought back to the Emperor.

Hadrian, amazed at the philosopher’s self-control, stands up and says: “Secundus, you have imposed the maintenance of silence upon yourself as a law, and I was unable to break your law. Take this writing-tablet, write on it and converse with me using your hand.”

Aune concludes that, in terms of literary form, this section is historical martyrology, even though it does not conclude with Secundus’ death./3/ 

In what follows is the full text of the second section of the Life of Secundus which has been translated by Ben Edwin Perry and is copied here from this site:

About that time the Emperor Hadrian, having arrived in Athens, heard about Secundus and summoned him into his presence; for no good thing escaped this emperor’s notice. When Secundus entered, Hadrian, wishing to test him in order to see whether he was really committed to silence or not, rose up first and greeted him. Secundus, however, maintained his customary silence.

Then Hadrian said to him, “Speak, philosopher, so we may come to know you. It is not possible to observe the wisdom in you when you say nothing.”

But in spite of this, Secundus kept still. And Hadrian said, “Secundus, before I came to you it was a good thing for you to maintain silence, since you had no listener more distinguished than yourself, nor one who could converse with you on equal terms. But now I am here before you, and I demand it of you; speak out, bring forth your eloquence to the top level of its quality.”

Still Secundus was not abashed, nor afraid of the emperor. Then Hadrian, losing all patience, said to one of his followers, a tribune, “Make the philosopher say a word to us.” The tribune answered according to the truth by saying, “It is possible to persuade lions and leopards and other wild beasts to speak with human voices, but not a philosopher against his will.”

Then he summoned an executioner, who was a Greek, and said to him, “I do not want any man to live who refuses to speak to the emperor Hadrian. Take him away and punish him.”

Hadrian, however, called the executioner aside privately and said to him, “When you are leading the philosopher away, talk to him along the road and encourage him to speak. If you persuade him to make an answer, cut off his head; but if he does not answer, bring him back here unharmed.”

Secundus was led away in silence, and the executioner taking him in charge proceeded down to the Piraeus, for that was the place where men customarily were punished.

And the executioner said to him, “Secundus, why do you die by persisting in silence? Speak, and you shall live. Grant yourself the gift of life by a word. Behold, the swan sings near the end of his life, and all the other winged creatures give forth sound with the voice that nature has given them. There is no living thing that does not have a voice. So reconsider, and change your purpose. The time that you will have gained thereby will be ample for your silence.”

With these and many other words he sought to encourage Secundus and to lure him into the trap. But Secundus despised life itself and silently waited for death, unmoved by what had been said to him. After bringing him to the customary place the executioner said, “Secundus, hold out your neck and receive the sword through it.” Secundus held out his neck and took leave of life in silence. Then the executioner showed him the naked sword and said, “Secundus, buy off your death with speech.” But Secundus did not speak.

Thereupon the executioner took him and went back to Hadrian and said, “My lord Caesar, I have brought back Secundus to you the same as he was when you handed him over to me, silent unto death.”

Hadrian marveled at the philosopher’s strength of purpose and rising up said, “Secundus, in observing silence you have imposed upon yourself a kind of law, and that law of yours I was unable to break down. Now, therefore, take this tablet, write on it, and converse with me by means of your hands.” Secundus took the tablet and wrote as follows:

“For my part, Hadrian, I shall not stand in fear of you on account of death. You have the power of putting me to death, because you are the ruler of today. But that is all. Over my utterance and the words I choose to speak you have no power.”

Hadrian read this and said, “Your stand in self-defense is good; but come, answer me on a number of other matters. I have twenty questions to put before you and the first of them is this:

What is the universe?”

Again Secundus wrote down his reply.

“The universe, Hadrian, is the system of the heavens and the earth and all things in them, and of this I shall speak a little later on, if you pay heed to what is now being said. You, too, Hadrian, are a human being like all the rest of us, subject to every kind of accident, mere dust and corruption. The life of brute beasts is even such. Some are clothed with scales, others with shaggy hair; some are blind, some are adorned with beauty; all have the clothing and the means of protection with which they were born and which nature has given them.

But you, Hadrian, as it happens, are full of fears and apprehensions. In the bellowing wind of winter you are disturbed too much by cold and shivering, and in the summer time you are too much oppressed by the heat. You are puffed up and full of holes, like a sponge. For you have termites in your body and herds of lice, that draw furrows through your entrails; and grooves have been burned into you, as it were, like the lines made by the fire of encaustic painters. Being a short-lived creature and full of infirmities, you foresee yourself being cut and torn apart, roasted by the sun and chilled by the wintry wind. Your laughter is only the preface to grief, for it turns about and passes into tears.

What about the necessity that controls our lives? Is it destiny decreed by Heaven or the whimsy of personal luck? We know not whence it comes. Today is already passing us by, and what the morrow will be we do not know. Think not lightly, therefore, O Hadrian, of what I am saying. Boast not that you alone have encircled the world in your travels, for it is only the sun and the moon and the stars that really make the journey around it.

Moreover, do not think of yourself as being beautiful and great and rich and the ruler of the inhabited world. Know you not that, being a man, you were born to be Life’s plaything, helpless in the hands of Fortune and Destiny, sometimes exalted, sometimes humbled lower than the grave? Will you not be able to learn what life is, Hadrian, in the light of many examples? Consider how rich with his golden nails was the king of the Lydians.

Great as a commander of armies was the king of the Danaans, Agamemnon; daring and hardy was Alexander, king of the Macedonians. Heracles was fearless, the Cyclops wild and untamed, Odysseus shrewd and subtle, and Achilles beautiful to look upon. If Fortune took away from these men the distinctions that were peculiarly their own, how much more likely is she to take them away from you? For you are not beautiful like Achilles, nor shrewd as was Odysseus, nor untamed like the Cyclops, nor fearless like Heracles, nor hardy and daring like Alexander, nor such a commander of armies as Agamemnon, nor yet rich like Gyges, the king of the Lydians.

These things, Hadrian, I have written by way of a preface. Now let us proceed according to your questions:

What is the Universe?

A circumference beyond our reach,
a theoretic structure,
an eminence not easily perceived in its entirety,
a self-generated object of contemplation,
a conformation with many aspects,
an eternal establishment,
nourishing ether,
a globe that does not wander from its place,
the light of the sun,
day, stars, darkness, night,
earth, air, water.

What is the Ocean?

The thing that embraces the world,
the frontier by which the world is crowned,
the girdle of brine, the Atlantic bond,
a circuit embracing all nature,
a mirror to reflect the sun’s light,
the holder of the inhabited world.

What is God?

A self-formed good,
an image of many shapes,
an eminence too lofty to be seen,
a conformation with many aspects,
a problem hard to understand,
immortal intelligence,
an all-pervading spirit,
an eye that never closes in sleep,
a power known by many names,
light that prevails over all.

What is the Day?

A stadium of toil, a twelve-hour course,
the daily beginning, a reminder to get one’s living,
prolongation unto evening, lively contact with people,
an everlasting reckoning on the calendar,
Nature’s mirror, back-running reminiscence.

What is the Sun?

The eye of the heavens,
the adversary of night,
a globe in the ether,
the indicator of the cosmos,
unsullied flame,
unceasing light,
a torch freely supplied,
a traveler through the sky,
the ornament of the day.

What is the Moon?

The crimson of the heavens,
night-time consolation,
an all-night vigil for sailors,
encouragement for travelers,
alternate to the sun,
the enemy of evil-doers,
the heralder of festivals,
the cycle of the months.

What is the Earth?

The base of the sky,
the middle of the universe,
a stage-scene without a foundation,
a thing rooted in midair,
an immeasurable circumference,
the arena of life’s struggle,
a system established by God,
the object of the moon’s nightlong vigil,
a spectacle that cannot be seen all at once,
the nurse of the rains,
the protection of the crops and their mother,
the covering of Hades,
a region occupied by many inhabitants,
the origin of all things and their final repository.

What is Man?

Mind clothed in flesh,
a vessel containing spirit,
a receptacle for sense-perception,
a toil-ridden spirit,
a temporary dwelling-place,
a phantom in the mirror of time,
an organism fitted with bones,
a scout on the trail of life,
Fortune’s plaything,
a good thing that does not last,
one of life’s expenditures,
an exile from life,
a deserter of the light,
something that earth will reclaim,
a corpse forever.

What is Beauty?

A picture drawn by Nature,
a self-made blessing,
a short-lived piece of good fortune,
a possession that does not stay with us,
the pious man's ruin,
an accident of the flesh,
the minister to pleasures,
a flower that withers,
an uncompounded product,
the desire of men.

What is Woman?

A man’s desire,
a wild beast that shares one’s board,
the worry with which one rises in the morning,
intertwining lustfulness,
a lioness sharing one’s bed,
a viper in clothes,
a battle voluntarily chosen,
incontinence in the form of bed-partner,
a daily loss,
a storm in the house,
a hindrance to serenity,
the wreck of an incontinent man,
the stock-in-trade of adulterers,
the sacking of one’s estate,
an expensive war,
an evil creature,
too much of a burden,
a nine-wind tempest,
a venomous asp,
a service rendered in the procreation of men,
a necessary evil.

What is a Friend?

A sought-after name,
a man nowhere evident,
a possession hard to find,
an encouragement in time of distress,
the refuge of misfortune,
an arm for misery to lean upon,
an observer of life,
a man beyond reach,
a substantial and valuable possession,
unattainable good fortune.

What is a Farmer?

A servant to the crops,
a judge of rains,
the companion of solitude,
a merchant having no business on the sea,
an adversary to the woodland,
a tender of the food supply,
an improver of the fields,
physician to the earth,
a planter of trees,
trainer of the mountain lands,
one habituated to toil and hardship.

What is a Gladiator?

Death on sale,
a sacrificial offering made by the master of the show,
gluttonous appetite,
doom according to instructions,
a bloody art,
Fortune’s mistake,
speedy death,
doom heralded by the trumpet,
death ever at hand,
a bad victory.

What is a Boat?

A sea-tossed affair,
a house without a foundation,
a ready-made tomb,
a three-dimensional timber,
transportation by the winds,
a prison in winged flight,
fate bound up in a package,
the plaything of the winds,
a floating death,
a bird made of wood,
a seagoing horse,
an open weasel-trap,
uncertain safety,
death in prospect,
a traveler amid the waves.

What is a Sailor?

One who travels through the waves,
a courier on the sea,
one who follows on the track of the winds,
a fellow traveler with the winds,
a stranger to the inhabited world,
a deserter of the land,
the opponent of the storm,
a marine gladiator,
one who is unsure of his safety,
a neighbor to death,
a lover of the sea.

What is Wealth?

A burden of gold,
the minister to pleasures,
fear mingled with hope,
a senseless reaping of profits,
envy sharing one’s board,
a source of daily bother,
an unstable thing,
a beloved piece of misfortune,
a thing full of insidious snares,
desire that can never be sated,
a much-longed for hardship,
a high place to fall from,
a value conveniently reckoned in terms of money,
transitory good luck.

What is Poverty?

A good thing that is hated,
the mother of health,
a hindrance to pleasures,
a way of life free of worry,
a possession hard to cast off,
the teacher of inventions,
the finder of wisdom,
a business that nobody envies,
property unassessed,
merchandise not subject to tariff,
profit not to be reckoned in terms of cash,
a possession not interfered with by informers,
non-evident in good fortune,
good fortune free of care.

What is Old Age?

An evil easy to acquire,
a living death,
a healthy disease,
fate in prospect,
a timeworn object of laughter,
unstrung judgment,
a breathing corpse,
a stranger to love,
the prospect of death,
a corpse in movement.

What is Sleep?

Rest from toil the success of physicians,
the release of those who are bound,
the wisdom of the wakeful,
what sick men pray for,
an image of death,
the desire of those who toil in hardship,
the rest of all the spirit,
a principal occupation of the rich,
the idle chatter of poor men,
a daily object of concern.

What is Death?

Everlasting sleep,
the dissolution of the body,
the desire of those who suffer,
the departure of the spirit,
the fear of rich men,
the desire of paupers,
the undoing of the limbs,
flight from life and the loss of its possession,
the father of sleep,
an appointed day sure to be met,
the breakup of all things.

Thereupon Hadrian, after reading these things, and after learning the reason why he had made silence a philosophical practice, gave orders that his books should be deposited in the sacred library under the name of Secundus the Philosopher.


Jakarta, 19 Juni 2023

Ioanes Rakhmat



Notes

/1/ The full study of the silent philosopher Secundus is that of Ben Edwin Perry, Secundus the Silent Philosopher (APA Monographs, 22; Ithaca: The American Philological Association and Cornell University Press, 1964).

/2/ David E. Aune, “Greco-Roman Biography,” in Greco-Roman Literature and the New Testament: Selected Forms and Genres, edited by David E. Aune (SBL Sources for Biblical Studies 21. Atlanta, Georgia: Scholars Press, 1988) 114-121 [107-126].

/3/ David E. Aune, “Greco-Roman Biography,” 112, 125.


Sunday, June 18, 2023

“Ilmu Pengetahuan” dan “Berpikir Progresif”... Itulah Kata-kata Kunci untuk Mengenal Ioanes Rakhmat


Oleh Cindar Prawijaya
Seorang sahabat dan pembaca setia tulisan-tulisan Ioanes Rakhmat

• 30 November 2009

• Dibaca, dikenang kembali, dan dicopy-paste ke Freidenk Blog 18 Juni 2023

Hanya ada satu kebaikan, yaitu ilmu, dan satu keburukan, yaitu kebodohan.” (Sokrates)

Tidak ada alasan bagi seorang Ioanes untuk tidak menjadi progresif.


Baginya, menjadi progresif berarti selalu bergerak dan melesat ke depan, dan ke atas; berpikir maju di berbagai lini kehidupan dan bersedia untuk selalu mereformasi diri khususnya di bidang wawasan keilmuan dan perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih setia pada kebenaran, baik dari sudut pandang keilmuan, keagamaan maupun dari sudut pandang sosial kemasyarakatan.


Ilmu adalah urat nadi kehidupannya. Dan karena itu mencari ilmu bukan saja suatu keharusan, tapi sudah menjadi suatu kebutuhan hakikinya. Tentu saja yang dimaksud ilmu oleh Pak Ioanes bukan hanya ilmu agama dalam pengertian sempit, tetapi lebih dari itu, yakni semua ilmu yang memberi manfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat luas.

Saat ini, berkembang sebuah wacana Kristen progresif di Indonesia yang banyak menimbulkan polemik. Justru di situ saya melihat Pak Ioanes sebagai salah satu pemikir yang berada di garis depan wacana tersebut.

Mengapa saya mengatakan demikian? Karena belum lama ini beliau mengajak saya dan beberapa teman lain membangun sebuah jaringan, sebuah jaringan yang kami beri nama “Krispro”, yaitu sebuah singkatan dari Kristen progresif.

Apa yang sebenarnya ingin dicapai Krispro? Kalau kita merujuk ke motto Krispro, yakni Be religiously critical and enlightened, yang berarti “Jadilah agamawan yang kritis dan tercerahkan”, maka motto ini memberi sebuah pesan supaya kita, sebagai orang beragama, mau berproses menjadi kritis dalam berpikir dan akhirnya tercerahkan dan cerdas dalam beragama. Sesuatu yang belum kita peroleh, tetapi kita didorong untuk berusaha memperolehnya, dan menumbuhkembangkannya.





Nah, untuk memperoleh yang belum diperoleh ini, Pak Ioanes rela menjalani sebuah proses panjang, sebuah proses perubahan pemikiran, sebuah proses memperluas definisi dan interpretasi, dan memberikan tafsir baru terhadap pandangan-pandangan Kristen yang lahir dan tumbuh pada masa awal kekristenan di Eropa agar lebih relevan dalam konteks masyarakat Kristen dan dunia saat ini di zaman yang sudah berubah dan di tempat lain.

Tentu itu bukan sebuah pekerjaan yang simpel seperti kita membalikkan telapak tangan. Hampir di segala tempat di sana-sini, pemikiran-pemikiran baru keagamaan di kalangan berbagai macam umat beragama selalu berbenturan dengan ajaran-ajaran keagamaan tradisional yang dipertahankan mati-matian oleh kalangan konservatif. Demikian juga halnya dengan pemikiran-pemikiran Pak Ioanes.

Hal itu bisa dipahami, karena pemikiran Pak Ioanes dapat dikata tergolong “berbahaya” jika diperhadapkan pada ortodoksi Kristen yang dimapankan.

Maka tak heran jika ada kelompok-kelompok Kristen tertentu yang merasa amat sangat terganggu; malah ada yang merasa telah kehilangan pegangan keimanan mereka karena gagasan-gagasan baru Pak Ioanes.

Lalu apa yang terjadi pada diri Pak Ioanes? Beliau harus menerima satu dua konsekuensinya, yaitu ditarik dari pekerjaannya sebagai dosen, dan juga berproses memasuki masa emeritasi, yang berarti beliau harus melepaskan jabatan strukturalnya sebagai seorang pendeta.

Itu sungguh luar biasa untuk seorang seperti Pak Ioanes yang tidak mempunyai kekuatan politis apa-apa, yang tidak mempunyai massa atau kelompok fanatik manapun sebagai para pendukungnya.

Namun, dia bersyukur atas semuanya. Yang terpenting baginya adalah dia masih memiliki suatu kebebasan untuk berpikir, sebuah karunia paling berharga bagi semua insan yang dilahirkan merdeka.

Walaupun banyak orang telah menyatakan akan memberi dukungan kepadanya dalam menghadapi orang-orang yang antipati kepadanya, dengan halus Pak Ioanes menolak semuanya, dengan alasan dia ingin menghadapi semua persoalannya sendirian, dengan seluruh kemampuannya. Sungguh sebuah sikap yang terpuji dan teruji ; teruji oleh pendiriannya yang kokoh, teruji oleh ketegarannya dan kebesaran jiwanya, dan juga oleh keceriaan dan optimismenya.

Apa yang terjadi pada Pak Ioanes itu membuat saya teringat pada apa yang dikatakan Sokrates, bahwa “Hidup yang tidak teruji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Hanya ada satu tempat di dunia ini di mana manusia bisa terbebas dari segala ujian hidup, yaitu di kuburan.”

Kini Pak Ioanes sudah pindah ke suatu tempat baru, berpindah dari suatu tempat yang sempit dan terbatas di dalam sebuah gereja kolot, ke suatu tempat yang jauh memberi harapan, yang dapat memberinya lebih banyak kebebasan, kebebasan dalam berpikir dan kebebasan dalam memperluas gagasan-gagasannya yang sangat inspiratif.

Akhir kata, saya ucapkan selamat menempati dunia yang baru untuk mengolah pemikiran yang baru dan gagasan yang baru. Sekali lagi, selamat. 

Selamat menjelma menjadi satu sosok insan bebas, ya.... bebas dalam bimbingan Roh Yesus Kristus.