Jari menunjuk ke Bulan, dan bukan sebaliknya.
Bertuhan dan beragama, dua hal yang tidak bisa begitu saja disamakan. Ada interseksi antara keduanya, tapi juga ada banyak perbedaan, perselisihan dan benturan antara keduanya. Mari kita telusuri hal ini pada beberapa level yang dasariah saja.
Agama adalah suatu lembaga atau pranata sosial yang manusia bangun dan konsepkan untuk banyak keperluan, antara lain sebagai panduan nilai-nilai dan prinsip-prinsip bagi kehidupan manusia, atau sebagai suatu sistem kepercayaan atau belief system yang umumnya dipegang teguh dan berpengaruh kuat dalam orang menjalani kehidupan sehari-hari yang dipandang bertujuan dan bermakna./1/
Lazimnya, setiap agama didirikan dengan berpijak dan berfondasi pada lima hal berikut.
• kredo atau syahadat atau pengakuan kepercayaan,
• sejumlah etika kehidupan atau rambu-rambu moral penuntun kehidupan,
• ritual-ritual ketika datang atau mendekat pada apa yang dipersepsi sebagai Tuhan atau Sang Kudus (the Sacred) atau Sang Serba Lain (the Wholly Other). Salah satu fungsi ritual keagamaan adalah mengikat Sang Kudus untuk selalu memenuhi kemauan umat yang menyembah-Nya,
• sejumlah tulisan yang diyakini sebagai pemberian Sang Kudus sehingga diberi status tulisan-tulisan suci yang menjadi standard atau patokan atau ukuran atau kaidah atau kanon dalam menentukan bagaimana umat harus menjalani kehidupan mereka dan merumuskan ajaran-ajaran keagamaan,
• organisasi, manajemen kepemimpinan, dan strategi pertahanan kehidupan ke depan.
Jelaslah, lima hal di atas umumnya adalah isi dari setiap agama sebagai suatu belief system atau sistem kepercayaan.
Disebut sebagai suatu belief system, ya karena agama dibangun dan dijalankan lewat hal-hal adikodrati yang dipercaya ada yang berinterkoneksi dan berinteraksi menurut suatu desain dan konstruksi yang dinamis yang sudah dirancang dan membentuk suatu sistem yang aktif dalam masyarakat.
Nah, kelima poin itu berfungsi sebagai fondasi sekaligus sebagai pilar-pilar bangunan agama apapun. Fondasi dan pilar-pilar ini terbentuk tentu saja tidak dalam satu malam, dan juga tidak diletakkan dan didirikan dalam sekejap oleh hanya oleh satu sosok manusia atau oleh satu oknum dari alam gaib.
Banyak pihak, situasi, kondisi, lokasi sosial geografis, dunia, politik, kebudayaan, alam pemikiran, yang berinteraksi melahirkan pranata agama.
Dus, pada satu segi muncullah beranekaragam tulisan yang dipandang suci, yang merupakan hasil kerja banyak insan yang luar biasa, di dalam berbagai konteks zaman dan lokasi sosio-budaya, di dalam berbagai alam pemikiran dan dalam berbagai tingkat kemajuan prestasi-prestasi kebudayaan dan intelektual.
Jenis atau genre tulisan-tulisan suci ini tidak tunggal tetapi majemuk; dan isi dan pesan tulisan-tulisan ditemukan juga tidak seragam, tetapi berbeda-beda, sejalan dengan konteks sejarah dan sikon kehidupan yang beranekaragam.
Masing-masing lima hal di atas umumnya berfungsi interdependen, saling bergantung satu sama lain ketika orang mengekspresikan dan menyatakan diri mereka sebagai orang-orang yang beragama.
Bergantung pada situasi dan kondisi serta konteks kehidupan yang ada dan sedang dijalani, dari lima poin tersebut ada poin-poin yang lebih banyak atau lebih kuat dipakai dan dibutuhkan dalam mempertahankan dan memperkuat bangunan suatu agama.
Dapat ada juga poin-poin yang tergeser ke kawasan pinggiran atau kawasan marjinal yang banyak kehilangan kekuatan fungsi dan peran mereka dalam mempertahankan kekuatan bangunan kokoh suatu agama.
Umumnya, lima hal di atas saling mengisi dan memperkuat di saat suatu umat menjalankan agama mereka, atau bahkan ketika mereka sedang membarui dan mengubah segi-segi tertentu dari bangunan suatu agama yang sedang diperhadapkan pada tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan baru. Dalam hal ini, poin lima di atas --- manajemen dan strategi pertahanan diri --- menjadi penting untuk lebih dalam dan lebih banyak digumuli, dikaji lintas-ilmu, dan dijalankan.
Tetapi akan juga ada saatnya, poin-poin tertentu dari lima poin yang ada menjadi tidak berfungsi atau kehilangan relevansi mereka karena perubahan zaman, konteks sosial-budaya dan politik, dan juga karena perubahan alam pemikiran, dari alam pemikiran primitif ke alam pemikiran modern.
Jika situasi dan kondisi yang digambarkan pada paragraf di atas tercipta, sebagai suatu sistem kepercayaan agama apapun perlu dengan dinamis beradaptasi dengan sikon-sikon natural dan sikon-sikon sosial kebudayaan yang berubah-ubah.
Jadi, dari interdependensi antar lima poin tersebut di atas, dan dari interaksi kelimanya, agama-agama terbangun dan berdiri sebagai sistem-sistem kepercayaan yang berdampak pada kehidupan sehari-hari setiap orang dan komunitas.
Jadi, beragama adalah memegang kuat-kuat suatu kredo atau suatu syahadat, menjalankan suatu etika atau rambu-rambu moral, mengaktifkan ritual-ritual pengikat dengan Sang Kudus, memegang dan percaya pada sekumpulan tulisan yang disucikan, dan mengorganisir komunitas demi pertahanan, ketahanan dan perluasan dan perkembangannya.
Lima poin tersebut di atas disusun dan ditetapkan serta dijalankan sebagai suatu sistem yang dinamis untuk mengelola perjalanan kehidupan yang juga dinamis dari komunitas-komunitas dalam masyarakat.
Sekali lagi perlu dikatakan, sistem yang sudah didesain dan dikonstruksi dalam waktu panjang oleh banyak orang tahap demi tahap lalu diterapkan adalah suatu sistem kepercayaan atau suatu belief system, bukan suatu sistem matematika atau suatu sistem yang didesain untuk diterapkan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dibangun lewat metode-metode keilmuan, misalnya sistem komputer.
Dengan melihat dan mengikuti sejarah setiap sistem kepercayaan atau agama, tahulah kita bahwa suatu agama, sejak awal pembentukannya, lalu mengalami perkembangan bertahap, bersifat dinamis dan aktif, dan menggerakkan sangat banyak orang yang semuanya sama-sama ingin mencapai Sang Kudus atau Dia Yang Serba Lain.
Jelas, tentu saja, suatu komunitas keagamaan sama-sama ingin mencapai dan tiba pada Sang Kudus lewat lima poin di atas yang berinteraksi dan saling bergantung, tidak tercerai-berai.
Sang Kudus sama-sama menjadi tujuan untuk dicapai, dan menjadi suatu tempat berlabuh yang selalu samar-samar terlihat.
Jadi, agama (yang monoteis dan yang politeis) adalah jalan menuju suatu kondisi yang di dalamnya umat dapat bertemu dan menyatu dengan Sang Kudus Adikodrati.
Memakai suatu metafora Zen Buddhis yang saya adaptasi untuk kepentingan tulisan saya ini, agama adalah telunjuk yang menunjuk dan membimbing orang untuk tiba di Bulan. Agama apapun bukan Bulan, tapi hanyalah jari yang menunjuk ke Sang Bulan Adikodrati.
Ada gunanya jika saya menjelaskan sedikit metafora tersebut di sini.
Metafora telunjuk-Bulan, sejauh ini diketahui diucapkan oleh Bruce Lee dalam Enter the Dragon (1973). Aslinya, metafora ini berasal dari Sutra Shurangama (II, 61-3; bdk Sutra Lankavatara bab 6, hlm. 193. Lihat juga Augustinus On Christian Doctrine, tahun 397 M) yang menjadi suatu teks inti bagi orang yang sedang menerima pelatihan Zen./2/
Ketika pertama kali sang Buddha Gautama menyebut metafora ini kepada Ananda, sang Buddha mengartikan Bulan sebagai Pikiran Sejati yang ada dalam benak Ananda,yakni pikiran yang secara alamiah telah tercerahkan; sedangkan telunjuk mengacu ke Dharma atau ajaran-ajaran yang belum tercerahkan, masih gelap, belum terang.
Orang yang sedang menerima pelatihan Zen dikehendaki memakai Dharma (“telunjuk”) atau ajaran-ajaran sang Buddha sebagai penuntun untuk mendapatkan Pikiran Sejati para peserta pelatihan, yaitu Bulan, the True Mind, pikiran Sejati mereka.
Catatan-catatan
/1/ Tentang agama sebagai suatu sistem kepercayaan, lihat juga antara lain Deborah Teasley, “Belief System: Definition and Types”, Study.com, https://study.com/academy/lesson/belief-systems-definition-types-quiz.html.
/2/ “What the ‘Finger pointing to the moon’ analogy really means --- from Zen Buddhism, the Buddha in the Shurangama Sutra”, Essence of Buddhism, 19 April 2016, https://essenceofbuddhism.wordpress.com/2016/04/19/what-the-finger-pointing-to-the-moon-analogy-really-means-from-zen-buddhism-the-buddha-in-the-shurangama-sutra/. Lihat juga Patrick Buggy, “Never Mistake the Finger for the Moon”, Mindful Ambition, https://mindfulambition.net/finger-and-moon/. Juga lihat Bodhi Paksa, “I am a Finger pointing to the moon. Don’t look at me”, Fake Buddha Quotes, October 15, 2017, https://fakebuddhaquotes.com/i-am-a-finger-pointing-to-the-moon-dont-look-at-me-look-at-the-moon/.
(belum selesai)