Thursday, November 30, 2023

Bintang telah turun

 



Kemarau sungguh panjang
Seolah tak akan berlalu
Hujan tampak tertidur panjang
Lelap, tak mau diganggu 

Tanyaku ke langit malam hari
Hujan, hujan, di manakah kau berada?
Curahkanlah dirimu ke Bumi!
Basahi dan genangi permukaannya! 

Alirkan dirimu lewat sungai-sungai
Sirami sawah-sawah para tani
Penuhilah danau dan telaga
Basahilah Bumi yang telah kering merana 

Tak terdengar jawaban kata dari kesunyian langit
Malaikat pembawa hujan tak terlihat turun
Belum terbuka katup-katup langit
Burung merpati dari langit belum turun 

Dalam kegelapan malam 
Aku keluar menuju tepi sebuah sungai besar
Sendiri, berteman hanya kekelaman malam
Sedikitpun tak ada rasa gentar 

Di tengah gelapnya malam itu
Kutengadah ke langit penuh bintang
Sang Penguasa Langit memandangku
Hinggap padaku sebuah bintang 

Sang Penguasa Langit masih membisu
Akupun berseru lagi dalam kekelaman malam:
Langit Malam, Langit Malam 
Janganlah Engkau terus membisu! 

Tiba-tiba suara besar guntur 
Memecah kesunyian malam
Kilat di sana-sini kuat menyambar 
Katup-katup langit terbuka lebar 

Hujan deras, turunlah!
Hujan deras, turunlah! 

Aku berdiri di tepi sungai besar itu
Empat puluh hari, empat puluh malam, lamanya
Air, air, air, menggenangi muka Bumi sang Ibu
Aku menyaksikan semuanya di sana 

Sang merpati telah turun ke Bumi
Sang bintang telah hinggap
Cahaya telah membungkus Bumi
Seribu tahun genangan air akan menguap 

Aku teguh berdiri sendirian
Di tepi sungai besar itu
Mungkin selamanya demikian
Ditemani bayangan tubuhku

En tō endoksō onomati Iēsou
Jakarta, 30 November 2023
ioanes rakhmat

Tuesday, October 31, 2023

Beda Bertuhan dan Beragama

 


Jari menunjuk ke Bulan, dan bukan sebaliknya.


Bertuhan dan beragama, dua hal yang tidak bisa begitu saja disamakan. Ada interseksi antara keduanya, tapi juga ada banyak perbedaan, perselisihan dan benturan antara keduanya. Mari kita telusuri hal ini pada beberapa level yang dasariah saja.

Agama adalah suatu lembaga atau pranata sosial yang manusia bangun dan konsepkan untuk banyak keperluan, antara lain sebagai panduan nilai-nilai dan prinsip-prinsip bagi kehidupan manusia, atau sebagai suatu sistem kepercayaan atau belief system yang umumnya dipegang teguh dan berpengaruh kuat dalam orang menjalani kehidupan sehari-hari yang dipandang bertujuan dan bermakna./1/

Lazimnya, setiap agama didirikan dengan berpijak dan berfondasi pada lima hal berikut. 

• kredo atau syahadat atau pengakuan kepercayaan, 

• sejumlah etika kehidupan atau rambu-rambu moral penuntun kehidupan,

• ritual-ritual ketika datang atau mendekat pada apa yang dipersepsi sebagai Tuhan atau Sang Kudus (the Sacred) atau Sang Serba Lain (the Wholly Other). Salah satu fungsi ritual keagamaan adalah mengikat Sang Kudus untuk selalu memenuhi kemauan umat yang menyembah-Nya, 

• sejumlah tulisan yang diyakini sebagai pemberian Sang Kudus sehingga diberi status tulisan-tulisan suci yang menjadi standard atau patokan atau ukuran atau kaidah atau kanon dalam menentukan bagaimana umat harus menjalani kehidupan mereka dan merumuskan ajaran-ajaran keagamaan,

• organisasi, manajemen kepemimpinan, dan strategi pertahanan kehidupan ke depan.

Jelaslah, lima hal di atas umumnya adalah isi dari setiap agama sebagai suatu belief system atau sistem kepercayaan. 

Disebut sebagai suatu belief system, ya karena agama dibangun dan dijalankan lewat hal-hal adikodrati yang dipercaya ada yang berinterkoneksi dan berinteraksi menurut suatu desain dan konstruksi yang dinamis yang sudah dirancang dan membentuk suatu sistem yang aktif dalam masyarakat. 

Nah, kelima poin itu berfungsi sebagai fondasi sekaligus sebagai pilar-pilar bangunan agama apapun. Fondasi dan pilar-pilar ini terbentuk tentu saja tidak dalam satu malam, dan juga tidak diletakkan dan didirikan dalam sekejap oleh hanya oleh satu sosok manusia atau oleh satu oknum dari alam gaib.

Banyak pihak, situasi, kondisi, lokasi sosial geografis, dunia, politik, kebudayaan, alam pemikiran, yang berinteraksi melahirkan pranata agama.

Dus, pada satu segi muncullah beranekaragam tulisan yang dipandang suci, yang merupakan hasil kerja banyak insan yang luar biasa, di dalam berbagai konteks zaman dan lokasi sosio-budaya, di dalam berbagai alam pemikiran dan dalam berbagai tingkat kemajuan prestasi-prestasi kebudayaan dan intelektual. 

Jenis atau genre tulisan-tulisan suci ini tidak tunggal tetapi majemuk; dan isi dan pesan tulisan-tulisan ditemukan juga tidak seragam, tetapi berbeda-beda, sejalan dengan konteks sejarah dan sikon kehidupan yang beranekaragam.

Masing-masing lima hal di atas umumnya berfungsi interdependen, saling bergantung satu sama lain ketika orang mengekspresikan dan menyatakan diri mereka sebagai orang-orang yang beragama. 

Bergantung pada situasi dan kondisi serta konteks kehidupan yang ada dan sedang dijalani, dari lima poin tersebut ada poin-poin yang lebih banyak atau lebih kuat dipakai dan dibutuhkan dalam mempertahankan dan memperkuat bangunan suatu agama. 

Dapat ada juga poin-poin yang tergeser ke kawasan pinggiran atau kawasan marjinal yang banyak kehilangan kekuatan fungsi dan peran mereka dalam mempertahankan kekuatan bangunan kokoh suatu agama. 

Umumnya, lima hal di atas saling mengisi dan memperkuat di saat suatu umat menjalankan agama mereka, atau bahkan ketika mereka sedang membarui dan mengubah segi-segi tertentu dari bangunan suatu agama yang sedang diperhadapkan pada tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan baru. Dalam hal ini, poin lima di atas --- manajemen dan strategi pertahanan diri --- menjadi penting untuk lebih dalam dan lebih banyak digumuli, dikaji lintas-ilmu, dan dijalankan.

Tetapi akan juga ada saatnya, poin-poin tertentu dari lima poin yang ada menjadi tidak berfungsi atau kehilangan relevansi mereka karena perubahan zaman, konteks sosial-budaya dan politik, dan juga karena perubahan alam pemikiran, dari alam pemikiran primitif ke alam pemikiran modern.

Jika situasi dan kondisi yang digambarkan pada paragraf di atas tercipta, sebagai suatu sistem kepercayaan agama apapun perlu dengan dinamis beradaptasi dengan sikon-sikon natural dan sikon-sikon sosial kebudayaan yang berubah-ubah.

Jadi, dari interdependensi antar lima poin tersebut di atas, dan dari interaksi kelimanya, agama-agama terbangun dan berdiri sebagai sistem-sistem kepercayaan yang berdampak pada kehidupan sehari-hari setiap orang dan komunitas.

Jadi, beragama adalah memegang kuat-kuat suatu kredo atau suatu syahadat, menjalankan suatu etika atau rambu-rambu moral, mengaktifkan ritual-ritual pengikat dengan Sang Kudus, memegang dan percaya pada sekumpulan tulisan yang disucikan, dan mengorganisir komunitas demi pertahanan, ketahanan dan perluasan dan perkembangannya. 

Lima poin tersebut di atas disusun dan ditetapkan serta dijalankan sebagai suatu sistem yang dinamis untuk mengelola perjalanan kehidupan yang juga dinamis dari komunitas-komunitas dalam masyarakat.

Sekali lagi perlu dikatakan, sistem yang sudah didesain dan dikonstruksi dalam waktu panjang oleh banyak orang tahap demi tahap lalu diterapkan adalah suatu sistem kepercayaan atau suatu belief system, bukan suatu sistem matematika atau suatu sistem yang didesain untuk diterapkan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dibangun lewat metode-metode keilmuan, misalnya sistem komputer.

Dengan melihat dan mengikuti sejarah setiap sistem kepercayaan atau agama, tahulah kita bahwa suatu agama, sejak awal pembentukannya, lalu mengalami perkembangan bertahap, bersifat dinamis dan aktif, dan menggerakkan sangat banyak orang yang semuanya sama-sama ingin mencapai Sang Kudus atau Dia Yang Serba Lain.

Jelas, tentu saja, suatu komunitas keagamaan sama-sama ingin mencapai dan tiba pada Sang Kudus lewat lima poin di atas yang berinteraksi dan saling bergantung, tidak tercerai-berai.

Sang Kudus sama-sama menjadi tujuan untuk dicapai, dan menjadi suatu tempat berlabuh yang selalu samar-samar terlihat.

Jadi, agama (yang monoteis dan yang politeis) adalah jalan menuju suatu kondisi yang di dalamnya umat dapat bertemu dan menyatu dengan Sang Kudus Adikodrati.

Memakai suatu metafora Zen Buddhis yang saya adaptasi untuk kepentingan tulisan saya ini, agama adalah telunjuk yang menunjuk dan membimbing orang untuk tiba di Bulan. Agama apapun bukan Bulan, tapi hanyalah jari yang menunjuk ke Sang Bulan Adikodrati.

Ada gunanya jika saya menjelaskan sedikit metafora tersebut di sini. 

Metafora telunjuk-Bulan, sejauh ini diketahui diucapkan oleh Bruce Lee dalam Enter the Dragon (1973). Aslinya, metafora ini berasal dari Sutra Shurangama (II, 61-3; bdk Sutra Lankavatara bab 6, hlm. 193. Lihat juga Augustinus On Christian Doctrine, tahun 397 M) yang menjadi suatu teks inti bagi orang yang sedang menerima pelatihan Zen./2/

Ketika pertama kali sang Buddha Gautama menyebut metafora ini kepada Ananda, sang Buddha mengartikan Bulan sebagai Pikiran Sejati yang ada dalam benak Ananda,yakni pikiran yang secara alamiah telah tercerahkan; sedangkan telunjuk mengacu ke Dharma atau ajaran-ajaran yang belum tercerahkan, masih gelap, belum terang.

Orang yang sedang menerima pelatihan Zen dikehendaki memakai Dharma (“telunjuk”) atau ajaran-ajaran sang Buddha sebagai penuntun untuk mendapatkan Pikiran Sejati para peserta pelatihan, yaitu Bulan, the True Mind, pikiran Sejati mereka.





 

Catatan-catatan

/1/ Tentang agama sebagai suatu sistem kepercayaan, lihat juga antara lain Deborah Teasley, “Belief System: Definition and Types”, Study.comhttps://study.com/academy/lesson/belief-systems-definition-types-quiz.html.

/2/ “What the ‘Finger pointing to the moon’ analogy really means --- from Zen Buddhism, the Buddha in the Shurangama Sutra”, Essence of Buddhism, 19 April 2016, https://essenceofbuddhism.wordpress.com/2016/04/19/what-the-finger-pointing-to-the-moon-analogy-really-means-from-zen-buddhism-the-buddha-in-the-shurangama-sutra/. Lihat juga Patrick Buggy, “Never Mistake the Finger for the Moon”, Mindful Ambition, https://mindfulambition.net/finger-and-moon/. Juga lihat Bodhi Paksa, “I am a Finger pointing to the moon. Don’t look at me”, Fake Buddha Quotes, October 15, 2017, https://fakebuddhaquotes.com/i-am-a-finger-pointing-to-the-moon-dont-look-at-me-look-at-the-moon/.



(belum selesai)



Friday, September 22, 2023

Membagi Kegembiraan



Di saat berolah raga jalan kaki 3 putaran di pagi hari tadi, mulai pukul 8, Jumat 22 September 2023, saya dibanjiri cahaya Mentari. Lokasinya di kawasan perumahan tempat kami tinggal, kawasan Janur/Pelepah Asri, Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara. Saya menemukan banyak hal menarik yang dapat memberi kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan; sebagiannya mau saya bagikan ke anda, sahabat-sahabat saya.

Di sepanjang pinggir sebelah kiri jalan, sejumlah anak TK bertopi juga berolah raga jalan kaki, dengan ditemani dan dipandu para ibu pengasuh mereka. Lihat kolase foto di atas. Ya, harus dipandu, sebab mereka berjalan kaki di jalan raya tempat mobil dan kendaraan lainnya datang dan pergi. Ada kemungkinan risiko kecelakaan muncul jika tidak hati-hati.

Saya sempatkan diri menyalami beberapa dari mereka dan guru-guru mereka. Suara ramai timbul dari anak-anak yang berjalan dalam barisan yang tak selalu tertib. Ya, begitulah, tidak selalu tertib, tapi gembira ria. Jagoan 007 manapun tidak ada yang bisa membuat anak-anak berjalan dalam barisan dengan sepenuhnya tertib.

Kalau semuanya bisa tertib berjalan dalam satu barisan, mereka sudah bukan lagi anak-anak, tetapi tentara. Setuju gak? Saya mau jadi tentara, tetapi waktunya telah lewat jauh. Kalau menjadi sesosok tentara malaikat pelindung dimungkinkan, saya mau. 

Seorang ibu pengasuh menjadi bersemangat dan riang ketika dia melihat saya sedang membuat video. Ha ha, saya sendiri juga bersemangat, ketularan virus gembira, subvarian Happy Omicron. 

Eehhh..... nanti dulu, di bagian buntut barisan anak-anak ada seorang anak yang memisahkan diri tapi tidak tampak seperti mau menangis. Perhatikan foto di atas. Kenapa ya? Saya tak terdorong untuk  mencari tahu. 

Sekarang kita beralih ke pengalaman pendek saya lainnya. Perhatikan foto di bawah ini. Klik fotonya untuk memperbesar ukurannya dalam versi web kisah saya ini.




Tak jauh dari rumah kami, ada sebidang lahan luas, kurang lebih 3.415 m². Kurang lebih separuh sebelah sana lahan ini dimanfaatkan untuk para tani menanam sayur-sayuran. Sebagian lagi lahan sebelah sini sudah puluhan tahun dibiarkan saja seolah mubazir atau tanah tak bertuan. 

Tak bertuan? Tentu tidak. Ada pemiliknya, yakni pemerintah DKI Jakarta Utara. Jangan sekali-kali menilep milik negara, wahai sobat-sobat. Korupsi atau KKN hanya akan menghancurkan negara dan bangsa sendiri. 

Mungkin karena inisiatif pengurus komunitas kami yang baru, disertai Ketua-ketua RT dan Ketua-ketua RW yang juga baru, lapangan luas itu baru mulai dirapikan, ditata, dibangun dan dibentuk untuk nantinya menjadi taman hijau yang dapat digunakan untuk olah raga jalan kaki atau olah raga lari, atau jenis-jenis olah raga lainnya. Ditulis pada papan pemberitahuan yang ditancapkan, antara lain bahwa tanah luas itu sedang ditata lagi sebagai penyempurnaan hijau taman (PHT). Horeee,.... kami akan punya sebuah taman hijau yang baru. Semoga dibangun juga sebuah ruang doa dan sebuah ruang meditasi untuk kita dapat terbantu berkomunikasi dengan sang Gaib.

Jalan setapak pada foto di atas begitu cepat dibangun. Sudah terlihat bentuknya. Lapangannya luas sekali, bukan? 

Waktu saya sedang berolahraga jalan kaki di pagi tadi, jalan setapaknya belum terbangun sepenuhnya, dan timbunan tanah dan batu masih ada di banyak lokasi. Saya sempatkan diri meminta difoto kepada seorang pekerja bangunan dengan kamera HP yang saya bawa. Berikut ini kolase fotonya.




Tetapi ketika saya balik kembali di sore hari ke lokasi, hal yang saya lihat sudah jauh berbeda. Meski belum seluruh lapangan ditata dan dibangun sebagai taman hijau, sudah terlihat bentuk-bentuk awalnya yang enak 
dipandang mata (lihat foto kedua di atas). 

Manusia sebagai suatu organisme cerdas perlu membangun suatu relasi yang harmonis dan dinamis dengan lingkungan alam kawasan mereka tinggal. Alam adalah bagian integral dari lokasi tempat tinggal manusia, dan manusia sendiri adalah bagian tak terpisah dari alam yang luas. 

Sekarang ini manusia tidak lagi dipandang superior jika dibandingkan dengan alam, dengan tugas bukan lagi untuk menjajah dan mengeksploitasi alam, tetapi menatalayani Bumi.

Itulah, teman, hal yang saya dapat bagikan lewat Freidenk Blog saya ini. Semoga kita semua haus pengalaman baru. Kalau haus ya minumlah dari sumber air kehidupan. Carilah, maka anda akan mendapatkan.

Salam,
ioanes Rakhmat

22 September 2023

* diedit 24 September 2023

Tuesday, August 29, 2023

HESTI WIRA SAKTI

 



Di atas ini, saya pasang dua foto dari satu monumen yang sama. Monumen ini berdiri di ruang luas terbuka bagian dalam Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.

Pada monumen ini, bertengger seekor Burung Garuda, lambang yang hebat Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Burung Garuda ini mengambil posisi berdiri yang kokoh, kekar, tangguh, berani, siap, waspada dan percaya diri, dan dengan tatapan mata yang tajam ke depan. Siap menghadapi tantangan dan lawan di depannya, demi mempertahankan NKRI.

Sepasang sayapnya membentang kuat ke atas dan bertemu satu sama lain lewat sebuah Bintang yang besar dan agung, lambang Tuhan Yang Maha Esa. Posisi dan bentangan ke atas kedua sayapnya ini dengan terang dan jelas menyatakan bahwa sang Garuda ini, dengan perkenan Tuhan YME, siap selalu melindungi, menaungi dan menjaga NKRI dari setiap rongrongan dan serangan lawan, siapapun mereka. 

Lambang sang Burung Garuda ini ditampilkan dengan kombinasi warna-warni yang artistik dan mengagumkan. Entah siapa senimannya. Saya ingin tahu, jika mungkin.

Kepala dan wajah sang Burung didominasi warna putih, yang bisa ditafsirkan pikirannya suci dan bersih, tak ada kegelapan sama sekali. Kedua paruhnya yang berwarna kuning keemasan mengambil sikap sigap dan siaga. Sepasang matanya yang tajam dan siaga melihat ke depan, memandang dan menafsirkan apa yang ada di depannya. Adakah bahaya? Adakah ancaman? Adakah serangan lawan? Jika ada, sang Garuda siap mencegah dan menangkal dengan gagah perkasa. 

Dengan cara bagaimana sang Garuda siap mencegah bahaya yang mengancam NKRI, baik bahaya dari dalam dan bahaya dari luar, maupun bahaya dari dalam yang dikendalikan oleh pihak asing di luar yang memusuhi NKRI?

Jawabannya disediakan, berupa sasanti atau semboyan yang dibentangkan dan digenggam oleh kedua kaki sang Garuda yang lurus terbuka lebar.

Sasanti itu berbunyi HESTI WIRA SAKTI.

Hesti berarti mengejar atau berkonsentrasi dan berpacu sekuat tenaga untuk mencapai sesuatu yang agung dan mulia. 

Apa yang dikejar untuk dicapai lewat konsentrasi? Ya keperwiraan. Menurut KBBI edisi ketiga, perwira adalah anggota tentara yang gagah berani, siaga dan perkasa. Kata sifat wira artinya berani, perkasa, siaga dan tangguh. Sifat-sifat ini harus menjadi bagian dari kepribadian dan mental setiap anggota TNI.

Anggota TNI bukan hanya harus menjadi tentara yang memiliki mental perwira, tetapi juga harus memiliki raga atau tubuh yang sakti lewat latihan dan gemblengan fisik yang teratur dan sistematis, lewat latihan-latihan yang tradisional dan yang modern.

Menurut KBBI edisi ketiga, sakti berarti memiliki kemampuan dan kecakapan ragawi yang melampaui kodrat alam insani yang biasa. Orang yang sakti sudah berada di atas rata-rata orang, sudah mencapai level adi-insani atau superhuman. Dapat kita katakan, orang sakti memiliki kekuatan supernatural, gaib atau transenden.

Nah, lewat setiap anggota TNI, yang menjalankan Sapta Marga dengan sungguh-sungguh, mengutamakan keperwiraan, dan memiliki kesaktian, sang Burung Garuda NKRI siap selalu melindungi, menjaga, mempersatukan, memajukan dan mengamankan negara dan bangsa Indonesia yang majemuk.


ioanes rakhmat

29 Agustus 2023



Monday, July 31, 2023

Sedikit kenangan dengan alm. Pdt. Em. Johannes Loing

 



Pdt. Em. Johannes Loing sudah tiada. Beliau dilahirkan 24 Oktober 1937; dan wafat Rabu, 26 Juli 2023. Dapat dikatakan, Pdt. Em. J. Loing berumur panjang (86 tahun), mungkin di atas rata-rata umur orang Indonesia.

Saya dan kawan-kawan aktivis Komisi Pemuda GKI Samanhudi, Jakarta, sudah mengenal Pdt. Loing di tahun 1980-an, sebelum beliau pindah pekerjaan ke GKI Kayu Putih, Pulomas, Jakarta Timur. Pdt. Loing akrab dan dekat dengan kami semasa kehidupan dan pekerjaannya di GKI Samanhudi.

Ketika beberapa hari lalu saya kebetulan membaca sebuah berita di WA pada HP saya bahwa Pdt. Em. J. Loing telah wafat, saya langsung memutuskan untuk menghadiri acara kebaktian penghiburan yang kedua di hari Rabu, tanggal 26 Juli 2023, mulai pukul 19:30, di GKI Kayu Putih. Bersama Enny Riani, isteri saya, kami datang melayat. Saya merasakan ada lem yang lengket antara Pak Loing almarhum dan diri saya.

Di sana, pada acara kebaktian penghiburan tersebut saya bertemu banyak orang yang kurang lebih seusia saya, jalan 65 tahun (maksud saya: 64 tahun lebih). Wajah dan rambut dan kebugaran tubuh kami sudah berubah. Panah waktu, the arrow of time, mengubah segala sesuatunya menjadi makin tua dan ringkih, sebelum runtuh dan binasa.





Di tengah percakapan dengan banyak teman lama, antara lain Pdt. Em. Robby Chandra dan Nyonya, mendekat ke saya Pdt. Em. Jimmer Lopez G. Saragih (dari GKI Sutopo, Tangerang) dan Pdt. Frida Situmorang (pendeta muda GKI Samanhudi, Jakarta). Setelah berbincang tak lama, Pdt. Jimmer Saragih mengajak Pdt. Frida Situmorang dan saya berfoto bersama, alias selfie. Fotonya saya pasang persis di atas paragraf ini. 

Foto itu memberi makna tertentu pada diri saya sebagai bagian dari gereja Yesus Kristus. Dalam gereja, menjadi seorang pendeta itu baik; tetapi setiap orang dalam gereja, termasuk saya, adalah sesama para murid Yesus dan pelayan-Nya. 

Ketika menyalami keluarga Loing yang sedang berduka, saya sempatkan diri bercakap dengan Ibu Anneke Loing yang telah kehilangan suami. Saya katakan kepadanya dan keluarga, di alam ini ada burung yang datang, tapi ada juga yang telah terbang jauh. Ada pohon bunga yang baru tumbuh, belum menghasilkan bunga-bunga, tapi ada juga yang sudah berdaun rimbun dan mengeluarkan banyak bunga. Semua berubah, termasuk berubah menjadi tiada. Hanya lewat ketiadaan, kematian, kita sementara ini masuk ke dalam keabadian dan ke dalam kondisi tanpa batas.

Baiklah, saya kembali ucapkan ikut berduka cita. RIP. Mari kita yang masih hidup meneruskan dengan kreatif dan tegar perjalanan dan ziarah kita menuju ketakterbatasan dan ketiadaan.

En tō endoksō onomati Iēsou

Jakarta, 31 Juli 2023
ioanes rakhmat