Di pagi yang cerah tadi, Mulai pk. 9:20 WIB, Minggu, 28 Februari 2021, saya ikut ibadah online GKI Kepa Duri. Ada 2 penatua yang bertugas: Pnt. Elinne Ratnasari dan Pnt. Simon Tobing.
TPG Christian Siregar tampil sebagai pemberita firman. Khotbahnya keren dan otoritatif; saya mendengarkannya dengan penuh minat. Teks khotbah diambil dari Markus 8:31-38.
Terima kasih kepada Majelis Jemaat GKI Kepa Duri dan semua pihak yang berperan, yang memungkinkan ibadah online berjalan dengan baik setiap hari Minggu.
Pada kesempatan ini saya mau lebih memperdalam telaah atas teks khotbah tersebut.
Teks Markus 8:31-38 mengisahkan kali pertama ihwal Yesus memberitahukan kepada "murid-murid-Nya" dan "orang banyak" bahwa jalan yang akan ditempuh-Nya adalah jalan sengsara (Latin: via dolorosa) atau jalan salib (Latin: via crucis) (ay. 31, 34).
Kita sebut, teologi yang dihayati Yesus adalah theologia crucis (Latin) atau teologi salib (Yunani: staurotheologos). Frasa Inggrisnya "theology of the cross". Orang Jerman seperti Martin Luther menyebutnya Kreuzestheologie.
Tetapi Petrus tidak mendukung teologi salib Yesus. Dengan nekad, sang rasul kepala ini menarik Yesus ke samping dan "menegur" atau "memarahi" atau "memperingatkan" (Yunani: epitimaein) Yesus. Akibatnya, Yesus langsung di depan murid-murid-Nya "memarahi" balik Petrus, "menegur" sang rasul ini dengan sangat keras. Hardik Yesus:
"Enyahlah Iblis (Yunani: satana), sebab engkau (Petrus) bukan memikirkan (Yunani: fronein; teks NRSV menerjemahkan fronein dengan "memihak kepada", "on the side of") apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." (ay. 33).
Ya, jelas ada konflik pandangan tentang siapa Yesus antara Yesus dan rasul Petrus. Bagi Yesus sudah jelas, teologi-Nya atau "pikiran Allah" adalah teologi salib. Lalu, apa teologi Petrus yang oleh Yesus disebut "pikiran manusia" yang dikehendaki Iblis
Kuncinya terdapat pada ucapan pengajaran pemuridan yang disampaikan Yesus pada ayat 36, "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia (Yunani: kerdainein ton kosmon holon), tetapi dia kehilangan nyawanya?"
Frasa "memperoleh seluruh dunia" mengingatkan kita pada kisah-kisah injil tentang Yesus dicobai Iblis/Setan. Penulis Injil Markus tidak mengisahkan terinci pencobaan (Yunani: peirasmos) apa saja yang dialami Yesus (Markus 1:12-13). Matius dan Lukas memuat kisah pencobaan ini dengan terinci (Matius 4:1-11, par. Lukas 4:1-13).
Salah satu tawaran Iblis kepada Yesus ketika Yesus dicobai adalah "semua kerajaan dunia" dengan "segala kuasa, kemuliaan dan kemegahannya" akan diberikan Iblis kepada Yesus jika Yesus mau menyembah Iblis yang sedang mencobai-Nya (Matius 4:8-9; Lukas 4:5-7).
Tawaran si Iblis itulah yang ada dalam pikiran Petrus, yakni Yesus harus menguasai dunia, kerajaan dunia dengan segala yang ada di dalamnya: kuasa, kemegahan, dan kemuliaan (Yunani: doksa; Latin: gloria). Dus, jalan ke situ adalah Yesus harus menjadi raja Yahudi yang penuh kemuliaan. Inilah teologi kemuliaan, theology of glory, theologia gloriae.
Dalam bingkai teologi kemuliaan yang dipegang para murid Yesus dan orang Yahudi umumnya dalam masa kehidupan Yesus, mereka menantikan Zaman Mesianik tiba, dan seorang Messias raja muncul untuk meremukkan kekuasaan Kekaisaran Romawi yang sedang menjajah negeri Israel (sejak 63 SM), lalu kerajaan Daud yang agung dan mulia akan berdiri kembali.
Langsung setelah Yesus dikisahkan menyampaikan ajaran teologi salib untuk kali ketiga (Markus 10:32-34), dalam Markus 10:35-45 dengan jelas Markus menggambarkan bahwa dua orang murid Yesus lainnya, yakni Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, memegang teologi kemuliaan. Mereka meminta kepada Yesus kedudukan yang mulia nanti, ketika saatnya tiba, saat Yesus duduk di takhta mulia kerajaan messianik, yang melanjutkan dinasti Daud.
Kata mereka kepada Yesus,
"Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang di sebelah kanan-Mu, dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu." (ay. 37).
Seperti Petrus yang dimarahi Yesus, dua murid tersebut juga dimarahi, tetapi bukan oleh Yesus, melainkan oleh sepuluh murid lainnya (ay. 41).
Ya, Markus 8:31-38 mengisahkan benturan antara teologi salib yang dipegang Yesus dan teologi kemuliaan yang digenggam erat oleh para murid Yesus dan orang banyak.
Kalau menurut Yesus adalah suatu "keharusan ilahi" (Yunani: dei, Markus 8:31) bagi-Nya untuk menjalani jalan kesengsaraan, tidak demikian halnya menurut para murid-Nya dan orang banyak.
Tak ada ide teologis tentang sang Messias yang sengsara, yang memikul salib, lalu mati dibunuh di kayu salib, dalam pikiran orang Yahudi.
Juga, dalam ide messianik Yahudi, tak ada sang Messias yang menyerang Bait Allah di Yerusalem, seperti yang telah dilakukan Yesus (Markus 11:15-19; par. Matius 21:12-13; Lukas 19:45-48; Yohanes 2:13-16). Dalam ideologi messianisme Yahudi, seorang Messias sejati akan menjaga dan melindungi Bait Allah (sebagai pusat kekuasaan religiopolitik dan pusat ekonomi), bukan menyerangnya.
Dalam konsep messianik Yahudi pada abad 1 M, sang Messias yang akan datang haruslah satu sosok agung, mulia dan kuat yang dengan berani akan mengobarkan perang untuk mengusir penjajah tanah mereka.
Yesus tak pernah diakui sebagai sang Messias oleh orang Yahudi yang beragama Yahudi hingga saat ini. Lantaran dua kriteria messianik minimal tersebut tak terpenuhi dalam jalan kehidupan Yesus.
Ya, Yesus menempuh jalan lain, via dolorosa, yang akhirnya memberi signifikansi universal, bukan nasional Yahudi. Ketimbang menyayangi bangsa Yahudi saja, Yesus menjadi wujud aktif kasih Allah bagi seisi dunia. Makna kehidupan Yesus yang berhorison universal ini ditemukan, misalnya, oleh penulis Injil Yohanes (3:16a).
Dalam Pemberontakan Yahudi Kedua (132-135 M), Simon bar Kokhba mengambil peran sebagai sang Messias Yahudi, yang menjadi panglima perang.
Dalam beberapa bagian tulisan para rabbi Yahudi, nama Simon bar Kokhba (atau Simon bar Kosevah/Cosibah) muncul, digambarkan sebagai panglima perang atau nasi ("pangeran") yang berkarakter keras, gigih dan sangat percaya diri (Talmud Yerusalem, Ta'anit 4:5; Ratapan Rabbah 2:5).
Perang Yahudi Pertama (66-73 M) berakhir dengan kekalahan bangsa Yahudi. Dalam perang kedua yang dipimpin Messias Simon bar Kokhba ("bar Kokhba" artinya "si anak bintang"), akhirnya, setelah 3 tahun bangsa Yahudi berhasil menjadi kerajaan yang merdeka, Roma berhasil mengalahkan Simon bar Kokhba dan pasukannya (200.000 orang Yahudi) setelah benteng pertahanan mereka di kota kecil Betar dikepung lalu jatuh ke tangan pasukan Romawi. Sang Messias Simon bar Kokhba ditawan dan dibawa ke Roma, dan di sana kepalanya dipenggal.
Sebagai tindak lanjut kemenangan Romawi, pada tahun 135 Kaisar Hadrianus mengeluarkan Dekrit Hadrianus yang melarang orang Yahudi mendiami tanah Israel kembali, dan nama kota Yerusalem diubah menjadi Aelia Capitolina (dari salah satu nama Hadrianus, Aelius).
Selain itu, Hadrianus juga mengkonsolidasi 3 provinsi lama negeri Israel (Yudea, Samaria dan Galilea), menjadi satu provinsi negara baru Palestina Syria.
Langkah-langkah strategis Hadrianus ini menutup kemungkinan orang Yahudi mengklaim kembali Palestina sebagai negara mereka dan Yerusalem sebagai kota suci negara mereka. Begitulah, Messianisme nasionalis Yahudi gagal total.
Jadi, bisa dipahami, meski ditolak tegas oleh Yesus, jika para murid-Nya dan orang banyak Yahudi mengharapkan Yesus berjuang keras untuk meraih posisi yang mulia sebagai sang raja Yahudi yang akan melanjutkan keagungan dinasti raja Daud, dengan mengalahkan Kekaisaran Romawi yang sedang menguasai negeri mereka.
Bagaimana pun juga, teologi salib Yesus berkonflik dengan teologi kemuliaan Yahudi. Benturan dua teologi ini paling keras terjadi ketika Yesus akhirnya dibunuh lewat penyaliban. Para penganut teologi kemuliaan, termasuk para pemimpin religiopolitik Yahudi, dan orang-orang lain, menghujat, mengejek dan memperolok Yesus pada peristiwa penyaliban (Markus 15:29-32).
Namun, bagi penulis Injil Markus, teologi salib yang dihayati Yesus akhirnya bermuara juga pada pengakuan akan kemuliaan Yesus, bukan berupa duduknya Yesus di takhta kerajaan dinasti Daud, melainkan ketika Dia diakui sebagai "Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!" oleh kepala pasukan Romawi yang berdiri berhadapan dengan Yesus saat Yesus mati di kayu salib dan melihat cara kematian Yesus (Markus 15:39). Kemuliaan jenis ini tak bisa masuk ke dalam ide Messianisme Yahudi. Paradoks kemuliaan Yesus!
Bagi penulis Injil Markus, takhta mulia Yesus sebagai sang Messias, Anak Allah, bukan takhta emas kerajaan dunia, tapi kayu salib, dan mahkota Yesus adalah anyaman duri (Markus 15:17).
Di kayu salib, Yesus memanggil-manggil Allah, sang Bapa-Nya, karena Yesus melihat diri-Nya ditelantarkan dan ditinggalkan Allah. Teriak Yesus, "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?" (Markus 15:34). Ini dapat ditafsirkan sebagai problem teodise (problem tentang keadilan atau dikē Allah) yang Yesus tak bisa pahami: Engkau, sang Bapa, yang menyayangi-Ku, Anak-Mu (Markus 1:11), mengapa Engkau tidak peduli dan tidak menolong-Ku di saat Aku sedang sengsara? Di mana keadilan-Mu?
Tetapi, "ketiadaan Allah" juga bisa ditafsirkan sebagai menyatunya Allah dalam kesengsaraan berat yang sedang dialami Yesus ketika Dia disalibkan. Allah sang Bapa ikut menderita, ber-compassion, berbelarasa, berempati, bergabung dan berpadu dalam diri Yesus yang sedang berada di ujung dan puncak jalan salib-Nya.
Allah sang Bapa tidak meninggalkan-Mu, Yesus. Sang Bapa ada begitu dekat dengan-Mu, menyatupadu dengan diri-Mu yang sedang sengsara berat di kayu salib. Teologi salib yang Engkau yakini berlaku juga di saat Engkau sedang sekarat: di kayu salib itu, Allah ada dalam diri-Mu, bahkan menyelubungi diri-Mu. Derita-Mu sebagai Anak Allah juga derita Allah, sang Bapa. Di saat sang Anak menderita, sang Bapa juga menderita dalam keheningan yang dalam. Tak ada problem teodise, Yesus. Gantilah teriakan-Mu dengan keheningan sang Bapa.
Nah, dalam Perjanjian Baru siapa yang awalnya menyebut teologi salib, atau berita tentang salib (Yunani: to kerugma/ho logos tou staurou)? Bukan penulis Injil Markus di tahun 70, tetapi lebih awal lagi, yakni rasul Paulus (lihat 1 Korintus 1:18, 23). Lalu, selanjutnya Martin Luther di abad ke-16 juga membenturkan theologia crucis dan theologia gloriae. Apa yang dimaksud Luther dengan dua teologi yang tidak dapat bertemu ini? Hal-hal ini akan diurai lain kali.
28 Februari 2021
ioanes rakhmat