Thursday, September 12, 2013
Aneka warna klaim yang saling bersaing
Tuhan itu sebetulnya ada berapa? Kalau ada hanya satu, kok ada sangat banyak agama yang masing-masing mengklaim punya Tuhan sendiri-sendiri?
Di tengah banyak klaim tentang Tuhan, umat suatu agama biasanya akan menyatakan bahwa Tuhan dalam agama mereka adalah Tuhan yang benar satu-satunya.
Faktanya, dalam agama apapun yang mengklaim Tuhan itu hanya satu, muncul banyak mazhab yang masing-masing mengklaim memiliki teologi yang benar satu-satunya.
Umat beragama politeistik juga mengklaim, bahwa Tuhan itu tidak satu, tetapi banyak dan masing-masing memiliki otoritasnya sendiri-sendiri.
Jadi, sementara umat beragama monoteistik tak bisa membenarkan politeisme, umat beragama politeistik juga tak bisa membenarkan monoteisme.
Gagasan tentang panteon dalam politeisme, bahwa ada satu Tuhan kepala yang memimpin tuhan-tuhan lain yang lebih rendah, juga ditolak umat monoteistik.
Umat monoteistik menuduh umat politeistik telah melanggar tawhid dan mempraktekkan syirik.
Sebaliknya, umat politeistik menuduh umat monoteistik telah merobohkan pluralitas ilahi yang dipertahankan agama politeistik.
Jelaslah, saling serang dan saling membenarkan diri sendiri memang mewarnai kehidupan intra- dan inter-umat-umat beragama dalam dunia ini.
Kenapa tidak ada kedamaian sejati dalam dunia agama-agama? Kenapa agama-agama yang beranekawarna tidak bersama-sama membangun sebuah taman bunga indah agama-agama?
Perselisihan tentang klaim kebenaran akan terus mewarnai kehidupan intra- dan inter-umat-umat beragama. Karena apa?
Perselisihan abadi dalam dunia agama-agama terjadi karena, pertama, semua klaim keagamaan tentang hal-hal spiritual tidak pernah dilandaskan pada bukti-bukti empirik objektif.
Semua klaim kebenaran dalam agama-agama dipertahankan masing-masing umat dengan ngotot secara subjektif keimanan saja, tanpa bukti-bukti empiris.
Kata seorang beragama dengan emosional, “Pokoknya gua mau percaya begini, sampai kiamat, lo mau apa?”
Perselisihan di sekitar klaim-klaim kebenaran dalam dunia agama-agama muncul karena, kedua, semua klaim itu dibuat kebal terhadap segala kritik. Setiap agama sebetulnya anti-kritik. Kritik hanya akan membangkitkan emosi destruktif dalam diri para agamawan.
Dalam dunia agama-agama verifikasi atau falsifikasi atas semua klaim keagamaan umumnya tidak diperbolehkan.
Bagaimana halnya dengan dunia sains? Perbedaan pendapat tentu ada di situ, tapi sama sekali tak membuahkan perselisihan dan kekerasan.
Dalam dunia sains, semua klaim saintifik berlandaskan bukti-bukti empiris objektif. Semua perbedaan pendapat diselesaikan lewat bukti-bukti, bukan lewat debat kusir atau lewat apologetik atau lewat cara-cara kekerasan.
Dalam dunia sains, kritik sangat diperlukan, dan menyebabkan sains maju dan berkembang terus.
Verifikasi dan falsifikasi harus selalu dilakukan dengan terbuka terhadap semua klaim saintifik, sehingga kebenaran-kebenaran terus didapat tanpa akhir.
Hemat saya agama-agama akan bisa membuahkan lebih banyak kebaikan dalam dunia ini jika semangat saintifik juga menjadi semangat umat beragama.
Sama sekali tidak perlu men-sains-kan agama, tetapi sikap mental para saintis niscaya perlu juga menjadi sikap mental para agamawan.
Ada kebenaran-kebenaran agama yang bukan kebenaran sains, tapi dari para saintis kaum agamawan dapat belajar bagaimana berdialog dan bersikap terbuka dan melakukan otokritik.
Selain itu, jika agama-agama ingin menyumbang kebaikan kepada dunia dengan signifikan, umat-umat beragama juga perlu mengadopsi nilai-nilai humanisme.
Dengan landasan humanisme kita akan mengutamakan rasa kemanusiaan kita, bukan agama kita, ketika kita bergaul dengan semua insan dalam dunia ini yang datang dari berbagai latarbelakang yang berbeda.
Tanpa humanisme dihayati oleh para agamawan, untuk siapakah sebenarnya agama-agama ada dalam dunia ini? Bukankah agama ada untuk manusia, untuk melayani kepentingan manusia untuk hidup sehat dan berbahagia? Ketika anda membaliknya, bahwa manusia ada untuk agama, maka akan banyak prahara terjadi.
Saya menghayati sekaligus ketiga entitas ini: Tuhan dalam agama, humanisme dan sains, dalam suatu interaksi yang dinamis.
Lewat meditasi, saya mengalami sang Tuhan yang transenden, lewat humanisme saya tumbuh dalam cinta kepada sesama, lewat sains saya menjalani kehidupan yang dicirikan kejujuran, keterbukaan dan pengetahuan.
Beragama, berperikemanusiaan dan berilmupengetahuan sudah menjadi satu dalam diri saya seutuhnya. I am a happy man.
Meskipun ketiganya sudah menyatu dalam diri saya, saya tetap masih berada dalam suatu ziarah... menuju Titik Akhir yang tampak selalu menjauh dan selalu memunculkan banyak ketidaktahuan baru.
Subscribe to:
Posts (Atom)