Sunday, November 22, 2020

Vaksin-vaksin Covid-19 yang sedang diunggulkan, sementara dunia menunggu penuh tanya


Di tahun 2014, Maria Shandi merilis lagu "Waktu Tuhan". Lagunya tidak panjang. Sebagian liriknya saya kutipkan.

"Waktu Tuhan bukan waktu kita. Jangan sesali keadaannya. Untuk semua ada waktu Tuhan. Tetap setia mengandalkan-Nya.... semua 'kan indah pada waktunya..."

Di saat pandemi Covid-19 sekarang ini, banyak orang menunggu Tuhan bertindak untuk mengakhiri pandemi ini, yang dimulai di Wuhan, China, Desember 2019, terus melesat ke Januari 2020, hingga saat ini, penghujung 2020.

Jika pandemi ini berakhir, itu berarti waktu Tuhan telah tiba. Itu juga berarti waktu Tuhan adalah waktu para ilmuwan medik spesialis, yaitu ketika mereka berhasil membuat vaksin-vaksin Covid-19 yang aman dan efektif, yang tidak punya efek samping yang berbahaya sekaligus ampuh dan mujarab.

Waktu Tuhan tampaknya sedang datang, didatangkan oleh para ilmuwan sebagai hamba-hamba Tuhan, lewat keberhasilan mereka mengembangkan vaksin-vaksin Covid-19 yang aman dan efektif.

Sudah ada tiga vaksin (bisa juga lima vaksin) yang kelihatannya akan menjadi vaksin-vaksin unggulan untuk mengendalikan dan bahkan mengakhiri pandemi Covid-19. Sejauh ini, harapan-harapan sedang bermunculan. Apakah harapan-harapan ini akan terpenuhi, jawabnya masih harus dilihat di tahun-tahun yang akan datang. Duuh.

Vaksin-vaksin unggulan

Mari sekarang kita mengenali vaksin-vaksin yang diunggulkan itu. Tidak sangat mendalam tentunya, tapi cukup memadai.

Vaksin Arcturus

Arcturus Therapeutics Holdings Inc. (didirikan 2013, berbasis di San Diego, California, America) pada 11 Agustus yang lalu mengumumkan telah mulai menjalankan uji klinis tahap 1 dan tahap 2 (biasa ditulis tahap 1/2, karena dua tahap ini umumnya dijalankan serentak) terhadap kandidat vaksin Covid-19 yang mereka sedang kembangkan. Hasil uji klinis tahap 1/2 akan diumumkan sebelum tahun 2020 berakhir.

Kandidat vaksin ini tergolong vaksin baru mRNA, diberi nama LUNAR-COV19 atau ARCT-021 oleh perusahaan ini, yang bekerjasama dengan Duke-NUS Medical School di Singapura dalam menjalankan uji klinis vaksin ini. Pemerintah Singapura sendiri telah memesan kandidat vaksin Arcturus ini untuk kebutuhan vaksinasi dalam negeri. 




Arcturus meyakini bahwa vaksin mereka yang dikembangkan berdasarkan messenger-RNA (ditulis mRNA) yang mereplikasi diri, akan memungkinkan vaksinasi dalam dosis sangat rendah, dengan 1 kali suntikan. Keyakinan ini dibangun di atas data imunogenisitas dan respons sel T yang diperoleh dari uji praklinis dengan hewan-hewan pengerat.

Uji praklinis menunjukkan kandidat vaksin ARCT-021 menghasilkan antibodi-antibodi penetralisir (mulai hari ke-sembilan belas) dengan 100 % serokonversi, dengan satu kali suntikan saja berdosis tunggal 2 µg (2 ug atau 2 mikrogram). Serokonversi (atau imunogenisitas) mengacu ke tingkat kemampuan suatu vaksin untuk memunculkan antibodi yang paripurna atau komplit, antibodi humoral dan antibodi selular, sebagai respons sistem imun.

Antibodi-antibodi penetralisir yang timbul, yang distimulasi vaksin Arcturus ini, terus-menerus bertambah banyak sampai 60 hari setelah injeksi dosis pertama. Data praklinis juga memperlihatkan induksi sel T CD8 dan respons imun selular berupa sel "Th1 biased T-helper" atau sel "T-penolong yang dibiaskan T-penolong1". Terma-terma medis ini cukup dibaca saja, tak perlu dipusingkan.

Kandidat vaksin ARCT-021 tidak berisi virus dan tidak memakai vektor-vektor virus atau "viral adjuvants" atau virus pembantu, tetapi menggunakan teknologi mRNA yang dimiliki Arcturus, yang dapat "mereplikasi diri" dan "self-transcribing" atau "melakukan transkripsi mandiri" (Arcturus menamakannya teknologi STARR, singkatan dari "self-transcribing and replicating-mRNA"). 

Selain itu, Arcturus juga memakai teknologi baru "sistem pengiriman yang diperantarai lipid", yang dinamakan LUNAR (singkatan dari "Lipid-enabled and Unlocked Nucleomonometer Agent modified RNA"). LUNAR memakai partikel-partikel pengirim asam nukleat ke sel-sel dan jaringan yang secara klinis penting, yang menjadi target. Proses pengiriman ini dinamakan endositosis. Partikel-partikel LUNAR ini melebur dengan membran-membran sel target, lalu masuk ke dalam sel di mana partikel-partikel ini mengirim muatan RNA/DNA. Sel ini selanjutnya menggunakan medikasi RNA/DNA untuk menangani penyakit-penyakit yang menimbulkan kerusakan genetik dan menghasilkan protein yang sehat dan normal. Penggunaan teknologi LUNAR adalah kekuatan vaksin Arcturus.

Vaksin mRNA bekerja dengan mengkodekan sekuen mRNA, yakni molekul yang memberitahu sel-sel tubuh tentang apa yang harus dibangun, untuk antigen penyakit yang spesifik. Di saat sudah dihasilkan oleh sel-sel dalam tubuh, antigen ini dikenali oleh sistem imun dan mempersiapkan sistem imun untuk memerangi patogen penyusup yang real.

Ada kelebihan vaksin mRNA jika dibandingkan dengan vaksin terinaktivasi tradisional.

Vaksin mRNA dapat melindungi penerima vaksin dari anekaragam mutasi yang akan terjadi pada virus SARS-CoV-2 di masa depan. Kok bisa? Ya, karena vaksin ini mencakupi protein-protein "spike" virus sepenuhnya sehingga vaksin ini akan dapat menangani suatu mutasi virus dari awal hingga yang mutakhir, "at either end".

Keuntungan besar vaksin mRNA adalah bahwa RNA dapat diproduksi dalam lab dari suatu template DNA dengan menggunakan material-material yang sudah tersedia. Alhasil, biaya pengembangan dan produksi vaksin mRNA akan lebih murah dan lebih cepat dibandingkan vaksin konvensional yang memerlukan telur-telur ayam atau sel-sel mamalia lain.

https://ir.arcturusrx.com/news-releases/news-release-details/arcturus-therapeutics-announces-it-has-initiated-dosing-its

https://gvwire.com/2020/07/31/a-darkhorse-vaccine-developer-in-san-diego-is-quietly-gaining-global-attention-in-covid-19-fight

https://arcturusrx.com/proprietary-technologies/lunar/

Vaksin Moderna

Kandidat vaksin yang kedua dengan tingkat efektivitas di atas 90 % sedang dikembangkan oleh Moderna Inc., dan kini sedang diuji klinis tahap akhir. Kandidat vaksin Covid-19 Moderna ini juga dikembangkan dengan memakai teknologi mRNA yang belum pernah digunakan sebelumnya.

Dalam analisis pendahuluan atas uji klinis besar tahap akhir yang melibatkan 30.000 relawan, kandidat vaksin Moderna ditemukan efektif 94,5 %. Angka persentase yang tinggi ini, patut dicatat, bukan serokonversi, tapi persentase relawan yang berhasil diproteksi oleh vaksin Moderna, yang didapat dari uji klinis vaksin yang telah disuntikkan ke salah satu grup relawan, sementara grup yang lainnya menerima suntikan placebo (berisi hanya cairan saline atau NaCl). Uji klinis dapat dijalankan dengan metode "double blind, placebo, controlled trial" (DBPCT), atau metode "single blind, placebo, controlled trial" (SBPCT).

Baiklah, sebagai pelengkap, mau saya gambarkan dulu dengan singkat apa itu DBPCT atau SBPCT.

DBPCT atau SBPCT adalah suatu metode ilmiah yang diakui, yang dijalankan dalam riset uji klinis vaksin-vaksin (atau obat-obatan, atau berbagai penanganan suatu penyakit).

Dalam DBPCT, baik para relawan maupun para peneliti (dokter atau ilmuwan) tidak tahu siapa saja yang diberi suntikan vaksin (yang sedang diteliti) dan siapa saja yang mendapat suntikan placebo (berupa cairan NaCl, yang tidak memberi efek apapun) sebagai kelompok kontrol.

Karena para relawan tidak tahu ("blind"), dan para peneliti juga tidak tahu ("blind") dan karenanya tidak bisa memberi isyarat atau tanda kecil kepada para relawan, maka apapun kepercayaan para relawan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya tidak akan merusak atau mengkontaminasi hasil-hasil selanjutnya. Begitu juga, para peneliti tidak akan mengkontaminasi atau menodai hasil-hasil riset dengan ekspektasi mereka sendiri yang berbias tentang apa yang akan menjadi hasil riset.

Oh ya, jika hanya para relawan yang tidak tahu apa yang telah disuntikkan ke tubuh mereka, sedangkan para peneliti tahu, maka riset yang sedang dijalankan dinamakan SBPCT.

https://www.verywellhealth.com/double-blind-placebo-controlled-clinical-trial-715861

Kembali ke kandidat vaksin Moderna. Hasil-hasil interim menyatakan bahwa vaksin Moderna ini dapat memblokir kasus-kasus Covid-19 yang tergolong parah. Bahkan kasus yang paling serius dapat efektif dicegah dan dihambat oleh kandidat vaksin ini sehingga tidak memburuk. Data dari 30.000 relawan menunjukkan vaksin ini mencegah perkembangan semua kasus simtomatik. Ini diumumkan oleh perusahaan Moderna, Senin, 16 Nov 2020.

Dalam uji klinis besar tahap akhir itu, 30.000 relawan dibagi dalam 2 kelompok. Sejumlah 15.000 orang diberi suntikan placebo yang tentu saja tidak memberi efek apa-apa. Setelah beberapa bulan, 90 orang dari mereka terkena Covid-19, dengan 11 orang di antara mereka menjadi sakit parah.

Kelompok 15.000 relawan lainnya disuntik vaksin, dan hanya 5 orang dari antara mereka yang belakangan terinfeksi virus corona baru, dan tak ada seorang pun dari antara mereka tergolong sakit parah.

Selain hasil-hasil itu, ditemukan juga kandidat vaksin Moderna tidak menimbulkan efek-efek samping apapun yang signifikan. Hanya sedikit yang mengalami simtom seperti pusing dan sakit tubuh setelah menerima suntikan vaksin.

Well, menurut pakar penyakit infeksius Amerika, Dr. Anthony Fauci, "Efektif 94,5 % sungguh luar biasa. Capaian ini sudah bagus." Pakar penyakit infeksius Amerika ini meminta vaksinasi vaksin Moderna sebaiknya diadakan akhir Desember 2020, tidak di awal Desember, terkait dengan rencana Moderna untuk mengajukan permohonan otorisasi kepada FDA atas vaksin mereka segera setelah data keamanan vaksin terhimpun dalam bulan November ini. Untuk resmi diotorisasi, suatu vaksin harus mampu memproteksi minimal 60 % dari populasi.

Satu hal penting patut juga dikemukakan. Kandidat vaksin Moderna ini dapat disimpan selama 30 hari dalam refrigerator yang bersuhu minus 20°c, suatu kapasitas refrigerator yang umum dipakai di kebanyakan kantor dokter dan farmasi.

https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-11-16/moderna-vaccine-is-found-highly-effective-at-preventing-covid-19

https://edition.cnn.com/world/live-news/coronavirus-pandemic-11-16-20-intl/h_3c91c6f3b13c0b6d96bd126d9cda9018

Vaksin Pfizer-BioNTech

Nah, kandidat vaksin ketiga berasal dari perusahaan farmasi raksasa Pfizer yang bermitra dengan perusahaan farmasi Jerman BioNTech SE.

Pfizer-BioNTech adalah perusahaan pertama Amerika-Jerman yang pada 8 Nov 2020 telah mengumumkan hasil-hasil uji klinis tahap akhir terhadap vaksin yang dikembangkannya dengan teknologi mRNA.

Sudah kita tahu, teknologi ini berproses cepat, tidak memerlukan kultur virus dalam jumlah yang sangat besar, tapi membutuhkan hanya sekuens genetik SARS-CoV-2 (pertama kali tersedia di China untuk seluruh dunia Januari 2020) untuk memulai proses pengembangan vaksin. Pada esensinya, vaksin mRNA mengubah sel-sel tubuh jadi semacam "mesin-mesin" kecil pembuat vaksin. Lalu vaksin yang dibuat sel-sel tubuh ini menginstruksikan sel-sel tubuh untuk mengkopi protein "spike" coronavirus, dus menstimulir sistem imun untuk memproduksi antibodi-antibodi pelindung.

Vaksin Pfizer telah dengan efektif mencegah 90 % relawan dari penyakit Covid-19, dibandingkan dengan penerima suntikan placebo. Analisis ini berdasarkan data dari 94 kasus infeksi SARS-CoV-2 dari antara para relawan kelompok yang divaksinasi dan para relawan kelompok yang diberi placebo. Hasil ini mencakup data dari 38.955 relawan dari total 43.538 yang telah mendaftar. Temuan ini diperoleh dari data yang dihimpun selama 7 hari setelah uji klinis tahap 3 dengan dosis 2 suntikan telah selesai sebelumnya.

Seperti halnya dengan vaksin Moderna, angka 90 % untuk efektivitas vaksin Pfizer tidak mengacu ke serokonversi, jadi tidak mencerminkan tingkat imunitas yang komplit dalam menangkal infeksi. Angka ini adalah persentase relawan yang terproteksi terhadap Covid-19 karena telah divaksinasi dengan vaksin ini.

Koran online Bloomberg tanggal 18 Nov memberitakan bahwa Pfizer-BioNTech telah mengumumkan hasil analisis final atas data uji klinis vaksin mereka. Data ini menunjukkan bahwa vaksin Pfizer efektif 95 %, lebih tinggi dari yang telah diumumkan sebelumnya (90 %). Perkembangan ini membuka jalan bagi perusahaan ini untuk mengajukan permohonan otorisasi regulatif yang pertama di Amerika kepada FDA dalam beberapa hari mendatang.

Vaksin Pfizer diklaim memberi proteksi kepada orang dari segala usia (?) dan segala etnisitas, juga efektif untuk manula usia 65 tahun ke atas dengan tingkat efektivitas 94 %.

Bagaimana dengan efek samping vaksin Pfizer? Umumnya tubuh para relawan dapat dengan baik mentolerir vaksin ini. Sejauh ini ditemukan hanya 3,8 % dari mereka yang mengalami rasa lelah setelah menerima suntikan dosis kedua. Rasa lelah adalah satu-satunya efek negatif yang berat, yang dialami lebih dari 2 % orang yang telah disuntik vaksin.

https://time.com/5909322/pfizer-covid-19-vaccine-effective/

https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-11-18/pfizer-biontech-plan-filing-as-vaccine-proves-95-effective

Vaksin Pfizer harus disimpan dalam ruang refrigerator atau freezer bersuhu minus 70°c ("ultra cold"), lebih dingin dari suhu musim dingin di Antarktika. Ini seperti vaksin Ebola, yang virusnya tidak menyebar luas dan global, beda dari virus corona baru. Dalam suhu sedingin itu, vaksin Pfizer (dan juga vaksin Moderna yang memerlukan suhu ruang penyimpanan minus 20 °c) akan awet sampai enam bulan. Dua perusahaan ini akan terus menjalankan riset supaya suhu penyimpanan makin dapat ditinggikan, bahkan sampai suhu kamar biasa. Tentu ini baru akan terjadi pada generasi-generasi berikutnya dari masing-masing vaksin mereka. Direncanakan, pada 2022 vaksin Covid-19 Pfizer akan dapat disimpan dalam suhu 2-8 °c.

Mengapa sampai suhu sedingin itu, minus 70 °c? Karena mRNA dapat hancur atau mengalami degradasi dengan mudah (jika ini terjadi, vaksin mRNA tidak dapat digunakan), berhubung ada banyak sekali enzim dari tubuh manusia yang akan memecah-memecahnya. Untuk mencegah ini, atau membuat vaksin stabil, ditempuh tiga jalan. Pertama, memodifikasi nukleosid mRNA, "building blocks" vaksin RNA. Kedua, menggunakan nanopartikel lipid sebagai salut atau "coating" luar RNA. Akhirnya, sebagai penstabil ketiga, menempatkan vaksin mRNA dalam ruang penyimpanan yang luar biasa dingin.

Yang sudah jelas adalah suhu "ultra cold" untuk penyimpanan vaksin Pfizer ini akan menimbulkan banyak masalah (atau tantangan?). Tidak semua sentra kesehatan atau rumah sakit atau perusahaan farmasi dapat menyediakan refrigerator khusus yang mampu mencapai suhu minus 70 °c. Vial vaksin harus dibuat dari beling khusus yang tahan suhu super dingin.

Kendala juga akan muncul pada pengiriman vaksin ini ke mana-mana, lebih lagi ke negara-negara terbelakang dan negara berkembang, yang harus didukung oleh infrastruktur yang andal, sampai kawasan pedesaan dan kawasan terpencil. Juga dry ice (karbon dioksida padat yang bersuhu sekitar minus 78°c) diperlukan sangat banyak untuk mempertahankan suhu ultra-dingin saat pengiriman dari tempat ke tempat ("ultra-cold chain"). 

Tantangan infrastruktur dan logistik bagi vaksin Pfizer memang sangat berat dan ruwet. Jadi, jangan berharap di 2021 atau 2022 vaksin Pfizer sudah tersedia di negara anda! Kalaupun dapat disediakan dengan segera, tentu harga per dosisnya akan jadi sangat mahal. Tentu, pemerintah federal Amerika bersama organisasi-organisasi lain, termasuk WHO, akan bekerjasama dengan Pfizer untuk mengatasi segala masalah dan tantangan yang telah dilihat dan yang akan ditemukan, baik bagi kepentingan jangka pendek maupun bagi kepentingan jangka panjang, jika vaksin Covid-19 Pfizer memang vaksin unggulan.



Dr. William Moss, direktur eksekutif International Vaccine Access Center di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, mengatakan bahwa

"Akan luar biasa menantang, jika bukan mustahil, untuk mengirim vaksin Pfizer ke, sebutlah, Afrika Sub-Sahara dan banyak tempat di Asia, di mana infrastruktur yang tersedia tidak seperti yang kita miliki di Amerika."

https://www.npr.org/sections/health-shots/2020/11/17/935563377/why-does-pfizers-covid-19-vaccine-need-to-be-kept-colder-than-antarctica

https://time.com/5911543/pfizer-vaccine-cold-storage/

https://edition.cnn.com/2020/11/21/world/coronavirus-vaccine-dry-ice-intl/index.html

Kita harapkan, vaksin yang efektivitasnya tinggi 90 % ke atas, baik efektivitas serokonversi maupun efektivitas persentase relawan (di luar uji klinis,  persentase populasi), bukan hanya tiga vaksin yang sudah dipaparkan di atas. 

Vaksin Oxford-AstraZeneca

Ya betul, dunia masih menunggu laporan final uji klinis tahap-tahap akhir dari vaksin Oxford-AstraZeneca (yang memakai adenovirus yang diambil dari simpanse), yang dijalankan tim Universitas Oxford, Inggris, yang dipimpin oleh begawan vaksin Sarah Gilbert. Sementara ini diberitakan bahwa vaksin ini (ChAdOx1nCoV-19) lebih dapat ditolerir oleh lansia ketimbang oleh orang yang lebih muda, dan menimbulkan respons imun (imunogenisitas) yang serupa di semua golongan usia setelah partisipan menerima suntikan 1 dosis booster. Uji klinis tahap 2/3 vaksin ini dilangsungkan 30 Mei - 8 Agustus 2020.

https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)32466-1/fulltext

https://www.ox.ac.uk/news/2020-11-19-oxford-coronavirus-vaccine-produces-strong-immune-response-older-adults

Selain itu, ada juga vaksin Covid-19 yang berupa tablet dan cairan, yang diarahkan ke perut kecil lewat mulut. 

Vaksin Vaxart

Vaksin Covid-19 yang berbentuk tablet oral ini, dan juga dalam bentuk cairan oral bagi anak-anak dan orang dewasa yang tidak bisa mencerna tablet, sedang dalam tahap awal pengembangan oleh perusahaan Vaxart. Vaksinnya dilabeli VXA-CoV2-1.

Vaksin ini ditargetkan masuk ke perut kecil. Pada bagian luar tablet diberi salut atau "coating" enterik untuk melindungi zat-zat aktifnya dari lingkungan asam dalam perut. Target perut kecil dimaksudkan untuk membuat vaksin ini "tersetel pas" dengan sistem imun perut, sehingga akan menimbulkan respons-respons imun mukosal dan sistemik yang akan menghasilkan imunitas yang kuat, luas dan bertahan lama.

Sebagai vaksin rekombinan adenoviral oral, vaksin Vaxart tersebut tidak berisi virus-virus yang dibunuh atau yang dilemahkan, juga tidak memakai telur dalam proses produksi.

Vaxart percaya, target membangkitkan imunitas mukosal terhadap Covid-19 sebagai penyakit lapisan mukus saluran pernafasan, akan memposisikan vaksin mereka sebagai "salah satu kandidat yang paling memberi harapan bagi kampanye vaksinasi massal yang sukses di Amerika dan di negara-negara lain."

https://www.precisionvaccinations.com/vaccines/vaxart-covid-19-oral-vaccine

Covid-19 akan jadi musiman?

Makin banyak merk vaksin yang aman dan efektif, ya makin baik, lantaran akan makin banyak dan makin cepat vaksin-vaksin produk berbagai perusahaan farmasi tersedia bagi dunia yang berpenduduk 8 milyar lebih manusia sehingga pandemi Covid-19 akan cepat terkendali, tertangani, dan jika mungkin terakhiri.

Akan lenyapkah Covid-19 dari muka Bumi, dari dunia kita? Jawabnya bergantung pada keamanan dan efektivitas vaksin-vaksin, ketersediaan dan keterjangkauan (jarak dan lokasi geografis dan harga) vaksin-vaksin, level imunogenisitas vaksin-vaksin, daya tahan dan durabilitas imunitas yang dibangkitkan oleh vaksin-vaksin yang aman dan efektif yang telah disuntikkan ke dalam tubuh, perilaku manusia dalam interaksi dengan lingkungan hidup, alam dan teknologi, kesediaan manusia untuk divaksinasi, persentase "herd immunity" yang tercapai, dan perilaku dan resiliensi virus SARS-CoV-2 dan mutasi-mutasinya yang akan terus berlangsung.

Skenario yang perlu siap kita jalani adalah vaksin-vaksin yang ada hanya akan mengubah Covid-19 menjadi Covid musiman, sehingga kita nantinya perlu satu atau dua tahun sekali divaksinasi ulang sebagai booster, atau dengan vaksin-vaksin generasi berikutnya yang lebih responsif dan efektif dalam menangkal virus corona baru yang terus bermutasi.

Hal itu tentu bergantung pada durasi atau durabilitas antibodi total (humoral dan selular) yang diproduksi sistem imun manusia ketika kita sudah menerima vaksinasi. Berapa lama total antibodi yang dihasilkan sistem imun "bawaan" dan sistem imun "adaptif" akan bertahan dalam cairan tubuh kita ("humoral antibodies") dan dalam sel-sel tubuh ("cellular antibodies"), setahun, dua tahun, enam tahun, atau seumur hidup? Ini yang belum bisa dijawab. 

Pilih vaksin yang mana?

Nah, dari tiga vaksin unggulan (Arcturus, Moderna, dan Pfizer-BioNTech), bahkan empat atau lima vaksin, manakah yang nanti Indonesia pilih?

Kandidat vaksin Arcturus baru akan selesai menjalani uji klinis akhir 2020. Jika efektivitas (serokonversi) vaksin ini dalam uji klinis tahap 3 nanti ditemukan sama atau dekat dengan yang sudah ditemukan dari uji praklinis, katakanlah antara 95% hingga 100 %, tentu Indonesia, seperti Singapura, perlu memilih vaksin Arcturus. Kenapa?

Karena, selain serokonversi yang tinggi, vaksin Arcturus cuma perlu disuntikkan 1 kali ("one shot", tidak "two shots") dengan dosis yang rendah (2 µg atau 2 mikrogram). Belum diketahui, vaksin ini harus disimpan dalam suhu refrigerator berapa. Apakah suhu sangat rendah di bawah 0°c seperti vaksin Pfizer (minus 70°c), atau suhu rata-rata penyimpanan vaksin-vaksin lain pada umumnya, seperti vaksin Moderna yang perlu disimpan pada suhu minus 20 °c.

Perlu diingatkan lagi bahwa efektivitas tinggi vaksin Pfizer (95%) dan vaksin Moderna (94,5%) mengacu ke persentase populasi (dalam uji klinis tahap 3, ke para relawan) yang terproteksi oleh vaksin-vaksin ini, tidak merujuk ke serokonversi. Jadi, apakah dua vaksin ini tidak akan menghasilkan antibodi yang banyak dan komplit? Oh tidak demikian.

Persentase populasi yang tinggi juga berarti dua vaksin ini bekerja efektif; dus, tentu menghasilkan antibodi-antibodi dalam jumlah yang signifikan juga. Cuma tidak terdata berapa % serokonversi vaksin-vaksin produk Pfizer dan Moderna. Pendekatan dua perusahaan ini adalah pendekatan kesehatan publik, bukan pendekatan imunologis seperti dilakukan Arcturus.

Kalau vaksin Arcturus, dalam uji praklinis, cukup 1 suntikan dalam dosis rendah untuk menimbulkan antibodi total (dalam tubuh hewan-hewan pengerat), dua vaksin lainnya yang bersaing memerlukan 2 suntikan pada satu orang, dus berarti memerlukan dosis yang besar. Ini kelebihan kandidat vaksin Arcturus.

Harap diingat, Indonesia juga memilih vaksin konvensional terinaktivasi (bukan vaksin mRNA) produk Sinovac Biotech China (yang memerlukan suhu penyimpanan 2 hingga 8°c) yang memperlihatkan serokonversi sekitar 90 % (hasil uji klinis tahap 2). Vaksin Sinovac ini diberi nama CoronaVac. Pilihan Indonesia ini sudah benar. Uji klinis tahap tiga vaksin ini masih sedang berlangsung di Indonesia.


Perlu diketahui, di China ada lima vaksin Covid-19 yang dikembangkan, yang satu sama lain berkompetisi, yang sejauh ini sedang menjalani uji klinis. Total, ada 10 perusahaan China yang terjun ke dalam usaha pengembangan vaksin-vaksin Covid-19.

https://www.bioworld.com/articles/435989-cnbg-reports-100-seroconversion-rate-for-covid-19-vaccine-candidate

Dunia real beda dari dunia uji klinis

Satu catatan penting. Persentase populasi yang terlindungi oleh vaksin Moderna dan vaksin Pfizer-BioNTech memang tinggi. Tetapi, hasil ini adalah hasil dari konteks uji klinis tahap akhir yang terkontrol dan terus dimonitor dengan ketat dan dekat, dengan para partisipan yang dipilih, dan yang dipersiapkan untuk suatu riset ilmiah yang terbatas. Konteks riset tentu berbeda dari konteks dunia nyata yang luas. Mari kita lihat hal ini lebih dekat.

• Dalam dunia real, orang yang perlu divaksinasi sangat beraneka ragam, mencakup semua golongan usia, dan banyak yang mengidap berbagai penyakit penyerta (komorbiditas), dan terdampak oleh kondisi kesehatan umum. Keadaan ini tidak ditemukan dalam konteks uji klinis tahap akhir kandidat vaksin-vaksin Covid-19.

• Berbeda dari yang berlangsung dalam uji klinis, dalam dunia nyata anggota masyarakat yang divaksinasi tidak dipantau dekat, cermat dan ketat dalam waktu lama oleh para ilmuwan. Perilaku orang di dunia real umumnya berbeda dari perilaku para relawan selama uji klinis vaksin-vaksin. Dr. Paul Offit, direktur Vaccine Education Center di RS Anak Philadelphia, menyatakan bahwa "di saat anda menempatkan suatu vaksin di dunia nyata, orang dapat berkelakuan berbeda."

• Selain itu, perilaku virus SARS-CoV-2 sangat "protean" (seperti dikatakan Dr. Anthony Fauci), sangat mudah berubah wujud dan sifat dari waktu ke waktu, sehingga menyulitkan para ilmuwan untuk mengenal dan tahu persis virus ini. Virus ini tidak bisa dimasukkan ke dalam kantung anda, lalu risleting kantung anda itu anda tarik tutup. Anda tidak bisa menguasainya. Dus, dalam jangka panjang, suatu vaksin yang efektif akhirnya tidak akan efektif lagi. Kondisi ini tidak muncul dalam uji klinis vaksin Covid-19 apapun, termasuk vaksin baru mRNA, yang berlangsung beberapa bulan saja.

• Satu poin lagi. Jika durasi atau durabilitas antibodi yang ditimbulkan vaksin ini tidak lama (hal ini sekarang belum dapat dipastikan), maka imunitas akan dapat lenyap. Saat ini terjadi, orang akan dapat terinfeksi kembali. Ini yang tidak dapat dialami dalam setiap uji klinis. Jadi, lambat laun efektivitas 90 % atau lebih akan turun. 

Tapi, mengingat tidak adanya reinfeksi Covid-19 secara umum yang menyebar selama ini (sejak Januari 2020), dapat diharapkan durasi imunitas alamiah (tidak lewat vaksin) cukup bagus untuk dapat mempertahankan efektivitas vaksin-vaksin yang tinggi itu bahkan dalam dunia nyata. Sayangnya, kita masih harus melihat berapa lama imunitas yang ditimbulkan vaksin-vaksin Covid-19, lewat pembentukan antibodi-antibodi, akan bertahan dalam tubuh kita. Dalam hitungan bulan, atau dalam hitungan tahun, atau selamanya? For now, nobody knows. 

Nah, akan bisa terjadi bahwa ketika vaksin Pfizer dan vaksin Moderna sudah dikerahkan ke masyarakat dan dunia luas, dan vaksinasi besar-besaran dijalankan di mana-mana, bertahun-tahun, persentasi populasi yang terlindungi ternyata turun dari 90 %, katakanlah menjadi 50 % atau 60 %. Lain halnya jika yang diandalkan adalah persentase serokonversi vaksin mRNA yang tinggi, yang tetap tinggi meskipun virus SARS-CoV-2 terus bermutasi. 

Tetapi masalahnya tidak sesimpel itu. Ketika antibodi-antibodi dalam tubuh orang yang sudah sembuh (antibodi-antibodi humoral dan selular) makin berkurang dan akhirnya menghilang, tidak serta-merta tubuh mereka tak mempunyai kekuatan pelawan terhadap virus SARS-CoV-2 yang menginfeksi kembali, dan membuat mereka jatuh sakit kembali. Kenapa bisa begitu?

Karena sistem imun tubuh kita masih mempunyai sel-sel limfosit B dan sel-sel T (dalam kasus infeksi SARS-CoV-2, sel-sel T CD4+ dan CD8+) yang membentuk sel-sel memori. Sel-sel memori senantiasa mampu mengingat patogen-patogen yang pernah menyerbu atau menyusup kapanpun juga sebelumnya. Jadi, kalau terjadi reinfeksi (yakni virus SARS-CoV-2 kembali menyusup ke dalam tubuh orang yang telah sembuh dari Covid-19), sel-sel memori akan ingat dan mengenali si patogen, lalu dengan cepat memproduksi antibodi-antibodi kembali.

Pamela Bjorkman, seorang pakar biokimia di California Institute of Technology, menyatakan bahwa "adalah mungkin orang yang sebelumnya telah terinfeksi dapat menggunakan respons-respons memori imunologis untuk memproduksi antibodi-antibodi baru jika mereka terpapar SARS-CoV-2 kembali. Jadi tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang sudah terinfeksi SARS-CoV-2 tidak terproteksi dari suatu infeksi lain di kemudian hari."  

Nah, pertanyaan berapa lama antibodi-antibodi yang dibangkitkan vaksin-vaksin Covid-19 yang efektif akan bertahan dalam tubuh, belum dapat dijawab sekarang. Bagaimana pun juga, jika antibodi-antibodi ini lambat-laun akan menghilang, durabilitasnya tidak panjang, kita masih akan dapat terlindungi oleh sel-sel B dan sel-sel T. Masalahnya, kita belum tahu pasti apakah vaksin-vaksin Covid-19 yang efektif akan juga dapat, lewat sistem imun, mengaktifkan sel-sel B dan sel-sel T pada waktunya jika diperlukan, sama seperti yang terjadi ketika orang telah sembuh dari Covid-19 dan memiliki imunitas secara natural, tanpa dilindungi oleh vaksin apapun.


Penutup

Waaah..., kalau begitu apakah waktu Tuhan betul sudah tiba, atau betul sedang datang? Ya, lihatlah apa yang sedang dikerjakan para ilmuwan, dan ikutilah, dari waktu ke waktu (jika anda tahan, tidak lelah), sejauh mana mereka telah berhasil, atau gagal, mengembangkan vaksin-vaksin Covid-19 yang safe and effective dan mampu menstimulir sistem imun untuk menghasilkan antibodi-antibodi yang bertahan langgeng.

Bagaimana pun juga, dengan tetap realistik, kita dapat optimistik jika kita memperhatikan uji-uji praklinis dan uji-uji klinis vaksin-vaksin Covid-19 dan pemantauan terhadap para relawan sesudah tahap-tahap uji klinis selesai, meski dunia real tidak sama dengan dunia uji klinis.

Well, hal terpenting yang kini harus kita lakukan adalah menjalankan protokol kesehatan: memakai masker, menjauhi kerumunan, melakukan distansi sosial/fisik, cuci tangan pakai sabun, menyediakan ventilasi ruangan indoor yang cukup, dan mendisinfektan dengan teratur ruang indoor dan permukaan benda-benda.

Jakarta, 22 November 2020
ioanes rakhmat