Wednesday, January 24, 2018
Percakapanku dengan seorang Muslim sekitar QS Al-Kafirun 6
QS Al-Kafirun ayat 6:
"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku"
Di Facebook Mas AA, seorang dosen UI, saya menulis sebuah comment yang bernada biasa dan bersahabat yang saya tujukan ke dua orang yang tampaknya menjadi "haters" Mas AA.
Seperti halnya Mas AA, saya tentu saja menjaga diri untuk tidak membenci haters Mas AA. Saya dibesarkan dan dididik dalam dua agama besar Buddhisme dan Kekristenan yang membuat saya yakin bahwa siapapun tidak boleh dan tidak benar jika kita benci. Sebaliknya, karena didorong rasa cinta yang cerdas dan celik, saya merasa perlu ikut juga dalam berbagai usaha mencerdaskan masyarakat Indonesia, ya antara lain lewat percakapan-percakapan, tulisan-tulisan dan buku-buku saya.
Komen saya itu mula-mula membeberkan bahwa monoteisme Islam telah berubah menjadi HENOTEISME (agama keluarga, dinasti, klan dan suku), bukan lagi MONOTEISME, jika orang non-Muslim TIDAK BOLEH MEMBICARAKAN atau MEMBAHAS agama Islam. Kita tahu, dalam trajektori sejarah perkembangan agama-agama, henoteisme jauh mendahului monoteisme.
Dalam monoteisme, Tuhan YME itu kreatif, kaya dengan perspektif, sehingga Tuhan, lewat beranekaragam cara yang tidak terbatas dalam jagat raya ini, dan tentu saja dengan memakai insan-insan kreatif lintaszaman dan lintasgeografis, menciptakan banyak agama dan jalan yang majemuk sebagai wahana-wahana untuk mengenal-Nya tanpa pernah habis dan tanpa pernah selesai.
Semua jalan yang beranekaragam itu menuju ke Tuhan YME yang tanpa batas. Diversitas dan unitas diterima sekaligus. Unity-in-diversity adalah suatu konsekuensi logis teologis yang niscaya dari monoteisme.
Sebaliknya, dalam bingkai henoteisme (gabungan dua kata Yunani "henas", artinya "satu", dan "theos" yang bermakna "Allah"), berhubung setiap keluarga, dinasti, klan dan suku punya "satu Tuhan sendiri-sendiri", maka jagat raya ini diyakini berisi sangat banyak Tuhan individual yang berbeda satu sama lain. Bahkan setiap Tuhan ini kerap terlibat dalam kompetisi dan perang satu sama lain sejalan dengan berbagai kompetisi dan perang antarkeluarga, antardinasti, antarklan, dan antarsuku. Dus, henoteisme pada dasarnya bermuara pada politeisme.
Nevertheless, harus segera saya ingatkan satu hal, ini: politeisme yang di dalamnya Tuhan-tuhan atau Dewa-dewi dipercaya selalu harmonis dan berkolaborasi untuk mendatangkan kebaikan bagi dunia kehidupan manusia dan semua organisme lain, termasuk dunia flora dan dunia fauna, adalah politeisme yang hebat dan patut diagungkan, dan dirawat serta dipertahankan.
Itulah "agama-agama alam" atau natural religions yang sangat menghormati dan memelihara kekudusan alam. Dengan artistik para penganut agama-agama ini membuat personifikasi-personifikasi ragawi berbagai fenomena dan kekuatan alam. Alam dekat dengan mereka, dan mereka menceburkan diri ke dalam samudera alam yang tanpa tepi, lalu berenang-renang dengan gembira dan teduh.
Lalu, tampaknya untuk menutup keterlibatan saya lebih jauh di FB Mas AA itu, teks Al-Qur'an Al-Kafirun ayat 6 dikutip dan disodorkan ke saya.
Bukannya diam dan mundur teratur, saya malah membalas orang itu dengan menjelaskan duduk soal konten pernyataan teks Al-Qur'an itu. Saya memaparkan pikiran saya dengan nada bersahabat, dan tentu dengan sistimatik. Berikut ini, saya copypaste dari ruang FB Mas AA, sekaligus saya perluas di sana sini. Nikmatilah. Dan kritiklah dengan cerdas.
Loh Mas, itu nas Al-Qur'an sudah direnungi dalam-dalam atau belum? Apakah ada di dunia ini AGAMA YANG 100 PERSEN MURNI, yang tidak memakai nilai-nilai dan ekspresi-ekspresi sosiobudaya LOKAL yang sudah ada sebelumnya, dan yang tidak memuat ajaran atau wejangan kearifan atau adat-istiadat yang UNIVERSAL? Sejauh sudah saya kaji, TIDAK ADA TUH AGAMA YANG MURNI 100 PERSEN tanpa menyerap unsur-unsur LOKAL dan unsur-unsur UNIVERSAL.
Bagaimana dengan Islam? Nah, coba anda cek sendiri dengan jujur, cermat dan terbuka. Cek, apakah di dalam Islam tidak ada unsur-unsur besar dalam agama tawhid Yahudi yang sudah ada berabad-abad sebelum kelahiran Islam, dan juga tidak ada unsur-unsur sosiobudaya dan sosiopolitik lokal Arab atau non-Arab pra-Islam.
Coba juga cek dengan cara yang sama, tentang Nabi Isa, apakah dalam kitab suci Muslim tidak ada teks-teks yang asal-usulnya sebetulnya bisa ditelusuri jauh ke belakang, sampai abad kedua, ketiga dan keempat M, teks-teks beberapa kalangan Kristen aliran gnostik. Coba kaji, tentu dengan pendekatan ilmiah. Saya sudah menulis tentang topik ini: nisbah berbagai kekristenan gnostik dan teks-teks naratif tentang Isa dalam Al-Qur'an.
Lalu coba cek, apakah dalam Islam tidak ada wejangan-wejangan kearifan dan wejangan-wejangan etika sosial dan adat-istiadat yang juga ada di dalam agama-agama lain? Misalnya wejangan kebijaksanaan untuk hidup tekun menuntut ilmu. Ini wejangan universal lintaszaman, lintastempat, lintasbudaya dan lintasagama.
Jika bagi anda Tuhan itu mahatahu, maka Tuhan adalah sumber segala pengetahuan. Makin dekat dan cinta anda kepada Tuhan YMTahu, makin cinta dan dekat juga anda ke banyak pengetahuan, dus membuat anda makin berwawasan luas dan cerdas.
Pengetahuan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan tentu pengetahuan yang diberi oleh ilmu pengetahuan. Dus, dengan makin meningkatnya ilmu pengetahuan anda dengan tanpa batas tahap demi tahap, maju terus ke depan, makin dekat dan makin meningkat juga pengenalan anda pada Tuhan YMTahu.
Jadi, ilmu pengetahuan sesungguhnya adalah jalan agung dan mulia tanpa ujung menuju Tuhan YMTahu tanpa batas. Jadi, adalah suatu keanehan dan tak logis jika orang yang cinta Tuhan YMTahu malah membenci dan anti ilmu pengetahuan. Siapapun yang bertuhan, lewat agama apapun, tidak mungkin mereka akan bilang bahwa Tuhan mereka tidak maha tahu.
Juga cek, apakah wejangan etika sosial untuk orang memperhatikan dan membela orang yang lemah dan rentan (yatim, miskin, kelaparan, bodoh, cacat, dll) dan orang yang menjadi korban ketidakadilan dan tindakan sewenang-wenang pihak lain yang lebih kuat dan berkuasa, tidak ada di dalam agama-agama lain, tapi cuma ada di agama Islam? Tolong cek ya.
Jadi, agamaku atau agama anda, kemurniannya atau partikularitasnya, ada pada unsur yang mana? Harus dicek JIKA ADA.
Jika ternyata ada jauh lebih banyak unsur UNIVERSALITAS-nya, yakni unsur-unsur yang JUGA ADA DALAM BANYAK AGAMA LAIN atau dalam SEMUA AGAMA LAIN (bisa akidah, doktrin, bisa juga hikmat, wejangan, pepatah, filsafat sederhana, atau etika sosial, atau tata-krama dan adat-istiadat, atau kisah-kisah), maka anda masih harus bekerja keras untuk menemukan dalam hal-hal apa ISLAM ITU KHAS, UNIK dan ISTIMEWA. Jika hal-hal yang unik ini ada, mungkin sebatas itulah "AGAMAKU yang BUKAN AGAMAMU".
Yang mana yang unik dari Islam? Bantu saya untuk menemukannya, dan saya gembira kalau sudah berhasil mengetahuinya, khususnya HAL-HAL UNIK YANG ESENSIAL, bukan yang periferial.
Tawhid? Ya, sudah ada dalam agama-agama pra-Islam, misalnya Yudaisme yang dalam kitab sucinya (dinamakan TANAKH) termuat syahadat kuat tawhid. Di dalam kitab suci yang sama, teks tertuanya berasal dari abad ke-10 SM.
Nabi Besar? Ya ini keunikan setiap agama lain juga; masing-masing punya nabi besar sendiri-sendiri. Unik, tapi juga suatu kebutuhan yang universal. Tentu saja sosok nabi-nabi agung ini beda-beda. Sebaiknya dan seharusnya, nabi-nabi agung ini jangan diadu dan dipertandingkan, tapi dijadikan sahabat-sahabat sesaudara.
Ringkas kata, maksud saya begini:
Pertama, jika ada orang yang mengklaim agama A agamaku, bukan agamamu, perjelaslah dalam segi-segi apa saja agama A anda itu UNIK, TIDAK ADA PARALEL DI LUARNYA, TIDAK TERDAPAT KESEJAJARANNYA DI DALAM AGAMA-AGAMA LAIN. Sebutkanlah hal-hal yang esensial unik dalam agama anda sehingga anda bisa bilang "INI AGAMAKU, BUKAN AGAMAMU!"
Kedua, dalam SEMUA AGAMA SELALU ADA UNSUR-UNSUR YANG JUGA ADA DI DALAM AGAMA-AGAMA LAIN yang juga dihayati dan dipegang umat-umat dari agama-agama lain. Jadi, dalam sikon ini, pernyataan "AGAMAKU AGAMAKU, AGAMAMU AGAMAMU" harus tidak boleh menutup pintu untuk mengakui ada banyak titik temu atau paralelisme atau kesejajaran antaragama-agama.
Artinya, TIDAK ADA "AGAMAKU" ATAU "AGAMAMU" YANG SEPENUHNYA BEDA SATU SAMA LAIN. Dus, terbukalah pintu untuk saling bersahabat, bersaudara, dan saling mengenal dan menimba kekayaan antaragama. Karena tidak ada satupun agama yang 100 persen partikular. Selalu ada universalitas dalam semua agama.
Mari berpaling ke psikologi perkembangan kepribadian manusia. Sejak kita dilahirkan, sebagai bayi, lalu tumbuh menjadi kanak-kanak, kemudian remaja, lalu masuk ke usia pemuda, apakah kita semua tumbuh terisolasi dari pergaulan sosial dengan orang-orang lain? Tentu tidak. Kalau pun ada yang tumbuh terisolasi, orang sejenis ini akan menjadi manusia yang punya banyak masalah dan gangguan kejiwaan.
Nah, karena kita normalnya tumbuh besar dan menjadi dewasa dalam pergaulan dan interaksi sosial, maka kepribadian khas individual kita juga dilengkapi tahap demi tahap, dari waktu ke waktu, dengan bagian-bagian kepribadian-kepribadian orang lain, mulai dari yang terdekat dengan kita, yang terintegrasi dengan apik dan mulus dengan inti kepribadian kita. Adakah individu sehat yang memiliki kepribadian sendiri yang khas dan unik 100 persen? Ya tidak ada. Kita semua organisme sosial, saling memberi dan saling menerima, jika kita hidup dan tumbuh normal fisik dan mental.
Mau tahu lebih jauh? Kajian-kajian genetik yang luas yang mencakup sangat banyak ras dan etnis dan suku bangsa manusia sedunia bermuara pada satu temuan kuat yang luar biasa: gen setiap orang, dari ras dan etnis dan kebangsaan apapun, ternyata tidak ada yang murni 100 persen. Kita semua memiliki gen hibrid, gen kombinasi dari berbagai gen dan varian gen lain.
Kembali ke agama. Selain itu, karena dalam setiap agama ada keunikan masing-masing, maka kegiatan "saling mengenal dan menimba" ini akan produktif dan memberi nilai tambah bagi semua agama. Saya menyebut ini "KEUNIKAN RELASIONAL", yang berlawanan dengan "keunikan eksklusif". Kita tahu, yang selama ini ditampilkan dengan gagah-gagahan oleh para juru propaganda dan apologetika agama adalah keunikan eksklusif.
Para juru kampanye keagamaan yang bermental eksklusif ini selama ini lebih suka memperlakukan titik-titik keunikan agama-agama mereka sebagai titik-titik perang atau titik-titik tengkar antaragama-agama, titik-titik adu menang, adu unggul, dan akhirnya adu otot dan adu pedang. Padahal, semakin besar dan matang jiwa seseorang, semakin mampu dia bersahabat dan membangun relasi dengan orang-orang lain yang berbeda, yang memiliki kekhasan atau keunikan masing-masing.
Pada sisi lain, sudah saatnya unsur-unsur umum dan universal yang ada dalam semua agama mendorong orang-orang yang beragama untuk makin serius dan luas mencari dan menemukan titik-titik temu, titik-titik rekonsiliasi, yang menjadi landasan bersama untuk membangun percakapan-percakapan timbalbalik yang cerdas dan bermarwah dan berbagai bentuk kerjasama sosial yang real dalam masyarakat.
Dus, kegiatan "saling mengenal dan menimba" yang saya sebut di atas harus bukan cuma kesibukan intelektual atau spiritual saja, tapi HARUS BERDAMPAK POSITIF DAN SIGNIFIKAN bagi pembangunan kehidupan semesta yang lebih baik lewat berbagai sarana, misalnya lewat karya-karya kebajikan dan prestasi-prestasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Jelaslah bahwa aktivitas saling mengenal dan saling menimba ini menutup rapat peluang terjadinya intoleransi dan ekstrimisme dalam kehidupan semua umat beragama.
Begitulah, agama-agama apapun terbuka untuk dipelajari dan dikaji dengan cermat, bahkan lewat pendekatan keilmuan di universitas-universitas dan di lembaga-lembaga pengkajian agama-agama, oleh siapapun, kapanpun dan di manapun. Kecuali jika suatu agama sudah diisolasi ke dalam sebuah ruang karantina, dan tidak boleh lagi menjadi bagian dari kekayaan alam pemikiran dan budaya global. Tapi, adakah agama sejenis ini, terkarantina, dipasung? Jika ada, ya agama itu, betapa malangnya, akan cepat punah, atau minimal makin terasing dan tidak relevan lagi dalam dunia masa kini.
Nah, terlihat bukan, bahwa cakupan teks QS AL-KAFIRUN ayat 6 itu ternyata tidak sesederhana seperti yang anda pikirkan semula SEJAUH ANDA MAU BERPIKIR LEBIH JAUH. Sudah saya perlihatkan, dan tentu anda kini paham, penafsiran isolasionis eksklusif atas teks ini tidak sejalan dengan realitas sosial baik di zaman dulu maupun di zaman sekarang.
Selamat berpikir makin jauh, berpikir "out of the box", sebab Tuhan lebih sering memilih hadir di tempat-tempat yang tidak biasa. Tuhan itu tak terbatas oleh hal apapun. Jika Tuhan kita bisa batasi atau kita masukkan ke dalam saku kita yang memakai risleting lalu kita tutup, ya bukan Tuhan lagi namanya. Entah apa.
Begitulah sebuah contoh lagi tentang berpikir tertib. Tidak mandek. Tidak baper. Itu kalau anda mau cerdas beragama dan berwawasan makin jauh, menuju Tuhan tahap demi tahap, tanpa akhir.
Oh ya, sebetulnya saya masih ingin menemukan maksud teks Al-Qur'an itu lewat kajian komprehensif penafsiran dengan metode critical history sebagai salah satu bidang keahlian akademik saya. Tapi, lain lain lain kali saja deh.
Akhir kata, semoga anda dkk tidak serta-merta menanggapi tulisan saya ini dengan ucapan yang sama itu lagi, "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku!"
Tapi jika itu itu juga tanggapan anda, ya tak apa-apa. Bukankah tidak ada paksaan dalam orang bertuhan lewat agama atau lewat jalan-jalan lain.
Salam,
23 Jan 2017
N.B. Dimuat pada blog ini dengan sedikit tambahan pada 24 Jan 2018.
ioanes rakhmat
Silakan share.
Harap TIDAK di-copypaste sebagian atau seluruhnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)