Banyak penganut agama-agama memandang bahwa semua hal yang ditulis dalam kitab-kitab suci mereka pasti akan
selalu relevan di zaman kapanpun dan di tempat apapun. Ini pandangan yang
salah, karena faktanya akan selalu ada teks-teks kitab suci yang tak relevan lagi di dunia masa kini
di tempat kita. Kenapa? Lalu, apa yang harus kita lakukan saat kita menemukan teks-teks kitab suci yang menurut kita tidak relevan lagi? Uraian berikut akan menjawab dua pertanyaan ini. Bersiaplah mengarungi jeram-jeram.
Semua kitab
suci agama-agama besar yang kita kenal ditulis pada zaman dulu dan bukan di
tempat kita, di suatu dunia dan zaman yang lain, yang jauh terpisah dari zaman
dan tempat kita sekarang di Indonesia abad ke-21.
Ada dua
jurang yang memisahkan kita dari para penulis kitab-kitab suci: jurang sejarah
(historical gap) dan jurang budaya (cultural gap). Dua jurang ini lebar dan
dalam, sukar bahkan ada yang mustahil untuk diseberangi.
Jurang
sejarah adalah jurang waktu, yang memisahkan kita dari para penulis kitab-kitab
suci, sepanjang ratusan tahun hingga ribuan tahun. Jurang sejarah menciptakan
juga jurang budaya yang membuat hidup berbudaya para penulis kitab-kitab suci secara
radikal tak sama lagi dengan hidup berbudaya yang sedang kita jalani.
Sebagai
contoh: antara kita yang hidup di abad ke-21 dan Tanakh Yahudi (Perjanjian Lama
orang Kristen) terbentang jurang sejarah sepanjang 23 abad hingga 33 abad.
Antara Perjanjian Baru dan kita terbentang jurang sejarah sepanjang 20 abad. Antara
kita dengan Al-Qur’an terbentang jurang sejarah minimal 14 abad, maksimal 33 abad
jika dihitung dari saat penulisan kisah-kisah nabi-nabi agung Yahudi seperti Abraham/Ibrahim dan Musa, yang masuk ke dalam Al-Qur’an di abad ke-7 di Tanah Arab.
Jurang
sejarah beberapa abad hingga puluhan abad itu harus dipandang sangat serius,
tidak boleh kita menutup mata terhadapnya, karena jurang ini menimbulkan
akibat-akibat serius dalam usaha kita memahami teks-teks skriptural kuno.
Hallo saudaraku dari dunia lain, apa kabarmu?
Indonesia
100 tahun lalu sudah sangat ketinggalan dalam segala segi jika dibandingkan
Indonesia abad ke-21. Apalagi Indonesia puluhan abad lalu. Cobalah anda baca
beberapa surat kabar di Indonesia yang terbit sekitar awal masa-masa
kemerdekaan Indonesia. Anda akan heran ketika mengetahui betapa berbedanya
Indonesia pada masa-masa itu jika dibandingkan Indonesia di abad ke-21, dalam banyak
segi kehidupan.
Semua
penulis kitab-kitab suci dan masyarakat mereka hidup dalam era pra-modern dan
pra-ilmiah, dalam suatu dunia agraris kuno, yang belum mengalami modernisasi,
yang dipenuhi banyak takhayul dan pemikiran-pemikiran mitologis. Kita sekarang
hidup dalam era modern dan era ilmiah, dalam suatu masyarakat industrial dan
pasca-industrial. Kalaupun kita masih juga hidup dalam zaman agraris, sistem
manajemen pertanian dan perkebunan kita sudah dimodernisasi.
Saat
kitab-kitab suci kuno ditulis, para penulis dan masyarakat mereka tentu belum
tahu komputer, Internet, smartphone, Facebook, Twitter, dan Instagram. Ada seseorang di
Twitter pernah menyatakan kepada saya bahwa dalam kitab sucinya semua sains dan
teknologi modern sudah ada infonya, sebab kitab sucinya memuat semua info
tentang segala sesuatu dalam dunia ini sejak awal diciptakan sampai jagat raya
ini binasa nanti dalam suatu kiamat besar. Bagi saya, pernyataannya ini
menunjukkan ada yang tidak beres dalam cara berpikirnya, mungkin dia korban
indoktrinasi yang berlangsung panjang dan intensif.
Orang-orang
dalam zaman kitab-kitab suci ditulis tentu saja sering melihat berbagai jenis burung
terbang di udara, tapi mereka belum pernah melihat pesawat-pesawat jet
melintasi langit. Dalam zaman modern, ketika saya dulu berdiam di sebuah negara di Eropa,
nyaris setiap hari saya melihat sekian pesawat jet Concorde melintas di ketinggian angkasa, bergerak terbang dengan
kecepatan beberapa kali di atas kecepatan suara, dengan meninggalkan garis-garis
panjang lurus asap putih di belakang ekornya masing-masing, membentuk suatu
pemandangan yang menakjubkan.
Orang-orang
zaman kitab-kitab suci disusun tentu bisa berpergian jauh hanya lewat darat dan
laut, tapi tak pernah lewat angkasa dengan menumpang pesawat-pesawat jet. Lewat
darat mereka berpergian jauh tentu saja tidak dengan mengendarai Jeep Land Rover
untuk membelah padang pasir yang tandus, tapi dengan menunggang hewan-hewan
tunggangan seperti onta, atau keledai, kuda, dan juga gajah di
kawasan-kawasan lain. Lewat laut mereka dapat berpergian jauh dengan naik
kapal-kapal layar atau yang didayung dengan kekuatan tangan, tanpa memakai
mesin-mesin penggerak.
Mereka juga
tidak tahu sama sekali kalau jagat raya ini sudah berusia 14 milyar tahun, dan tata
surya sudah berusia 5 milyar tahun. Pengetahuan-pengetahuan ini adalah
pengetahuan-pengetahuan yang diberikan sains modern, khususnya kosmologi dan
astrofisika, yang belum lahir pada zaman-zaman kuno ketika kitab-kitab suci ditulis.
Sains dan
teknologi kesehatan dan pengobatan modern tentu saja mereka tidak ketahui. Pada
masa kitab-kitab suci ditulis, angka kematian bayi sangat tinggi, begitu juga
ibu-ibu yang mandul jumlahnya sangat banyak sehingga kaum pria harus beristeri
lebih dari satu agar kemungkinan mendapatkan keturunan lebih besar lagi. Para
perempuan pada masa-masa itu lebih dilihat sebagai tempat “bercocoktanam” kaum
pria, ketimbang sebagai insan-insan mulia yang setara yang patut disayangi dan
dihormati sepenuh-penuhnya.
Pemerintahan
demokratis modern seperti yang dijalankan sekarang di negara-negara maju belum
mereka kenal. Mereka mengelola masyarakat dan negara mereka secara teokratis
atau nomokratis, berdasarkan hukum-hukum Allah, tidak demokratis yang membagi
pemerintahan dalam tiga lembaga tinggi negara yang dikenal sebagai “trias
politica”. Pada era Yunani klasik yang pagan sistem demokrasi langsung sudah
diterapkan, misalnya di negara kota Athena. Tapi di negara-negara yang dari
dalamnya muncul kitab-kitab suci agama-agama teistik sistem demokrasi langsung
ala Yunani kuno tidak diterapkan.
Alam
pemikiran mereka bercorak mitologis: dewa-dewi dari dunia adikodrati dipercaya
berinteraksi dengan manusia di dunia kodrati dan mempengaruhi kehidupan mereka.
Mereka melihat sejarah dibentuk bukan oleh para insan besar pembuat sejarah,
tapi oleh makhluk-makhluk gaib adikodrati yang telah menentukan sebelumnya
perjalanan sejarah manusia dalam skenario ilahi mereka.
Sakit
penyakit dicari penyebabnya pada tindakan makhluk-makhluk gaib seperti setan
dan iblis serta makhluk-makhluk gaib lainnya dalam diri manusia. Diare dilihat
penyebabnya pada setan-setan yang merasuk perut manusia, bukan pada
bakteri-bakteri jahat yang masuk ke dalamnya dan menyerangnya. Mereka memberi
jampi-jampi kepada para penderita diare, bukan memberi antibiotika, untuk
menyembuhkan mereka. Orang yang menderita sakit gangguan mental seperti depresi
dan skizofrenia dilihat penyebabnya juga pada setan-setan yang harus diusir
lewat ritual-ritual keagamaan.
Masyarakat
mereka dikuasai dan diperintah kaum pria sehingga melahirkan patriarki yang
melegitimasi misogini dan diskriminasi terhadap perempuan atas nama agama-agama mereka. Mereka
mengabsahkan budaya patriarki dan misogini dengan memakai nama Tuhan dan Allah
mereka, dan memasukkannya ke dalam kitab-kitab suci mereka.
Di dalam Perjanjian Baru, diskriminasi terhadap kaum perempuan muncul dalam sebuah teks yang bunyinya demikian: “Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah dia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa. Tetapi perempuan akan diselamatkan karena melahirkan anak,...” (1 Timotius 2:11-14). Teks yang penulisnya tidak kita ketahui ini dengan jelas menyatakan bahwa insan perempuan hanya punya nilai karena mereka melahirkan anak. Selebihnya, kaum perempuan adalah insan yang lemah, inferior, tak punya pendirian, pendosa, tak ada harga dan nilainya. Sungguh menyakitkan hati siapapun yang punya nurani yang membacanya. Lalu, menurut Rasul Paulus, “Hawa
diperdayakan oleh ular dengan kelicikannya” (2 Korintus 11:3); jadi,
Hawa, bagi Paulus, adalah makhluk bodoh yang kalah lihai dibandingkan
seekor ular.
Itulah teks-teks tipikal Kristen dalam suatu patriarki di zaman kuno yang merendahkan, membenci dan mendiskriminasi kaum perempuan. Teks-teks ini perlu dilawan, bukan dibiarkan untuk mendukung superioritas kaum pria./1/ Sesungguhnya tidak perlu Hawa mitologis dipandang sebagai sumber dosa asal, atau insan lemah yang kalah cerdik dibandingkan seekor ular. Hawa harus dipandang sebagai seorang perempuan pemberani, seorang yang heroik, karena berani mengambil langkah sendiri dalam mencari dan mendapatkan pengetahuan moral. Orang pertama yang tercerahkan adalah Hawa, kendatipun dia hanya sosok mitologis.
Ada juga teks-teks Kristen misoginis di luar Perjanjian Baru. Seorang
pemimpin gereja dari abad ke-2, Tertullianus, dengan memakai Kejadian 3
sebagai titik pijaknya, menegur keras dan kejam kaum perempuan Kristen zamannya, lagi-lagi dengan mengacu ke sosok Hawa, demikian:
“Kalian adalah pintu gerbang masuknya setan ke dalam dunia... kalian adalah Hawa yang membujuk Adam, yang setan tidak berani serang.... Tahukah kalian bahwa setiap orang dari antara kalian adalah seorang Hawa? Hukuman Allah terhadap gender kalian tetap berlaku dalam zaman ini; begitu juga, kesalahan yang dibuat Hawa bagaimanapun juga tetap ada” (Tertullianus, De Cultu Feminarum I, 12).
Di dalam sebuah dokumen yang dibeli British Museum tahun 1785, yang berjudul Pistis Sofia
(ditulis tahun 250 M), misogini digambarkan juga terdapat dalam
diri Rasul Petrus, yang menurut Gereja Roma Katolik adalah bapak moyang
semua Paus. Teks Pistis Sofia
72 memuat ucapan Maria Magdalena tentang Rasul Petrus kepada Yesus,
demikian: “Guruku, aku memahami dalam pikiranku bahwa aku dapat maju ke
muka kapan saja untuk menafsirkan apa yang Pistis Sofia telah katakan,
tetapi aku takut kepada Petrus, karena dia telah mengancam aku dan
membenci gender kami.” Teks Pistis Sofia
yang semacam ini tentu dilatarbelakangi suatu persaingan tajam antara
rasul-rasul perempuan dan rasul-rasul pria dalam gereja awal dulu.
Anda segera
saja dapat melihat dan merasakan betapa berbedanya cara kehidupan dan cara
berbudaya mereka di zaman yang sangat lampau dan di tempat yang berbeda, jika dibandingkan dengan manusia yang hidup dalam zaman
modern di tempat anda. Jadi, jurang sejarah dan jurang budaya antara kita dan para penulis
kitab-kitab suci sangat real, sehingga tak bisa diabaikan dengan alasan apapun.
Banyak orang
beragama menyatakan dengan keyakinan yang berlebihan bahwa kitab suci agama
mereka tak terikat ruang dan waktu, tapi berlaku kekal abadi di manapun. Ini suatu
kesalahan besar. Sekuat apapun klaim orang bahwa kitab suci mereka berlaku kekal
di segala tempat, fakta menunjukkan semua kitab suci terikat ruang dan waktu. Semua
kitab suci, karena ditulis dalam dunia ini dalam suatu kurun tertentu di tempat
tertentu, selalu terikat ruang dan waktu.
Kalau kita telaah lewat kajian-kajian
ilmiah, misalnya lewat telaah antropologis kultural, dalam setiap kitab suci
akan terlihat banyak unsur budaya insani kuno yang terjalin dalam teks-teksnya. Setiap teks, menurut kajian-kajian ini, memiliki makna yang berasal dari sistem-sistem sosial, bukan dari dunia ilahi./2/
Unsur-unsur budaya insani lokal tempat para penulis kitab-kitab suci hidup, terlihat
dengan jelas di mana-mana dalam setiap lembaran kitab-kitab suci. Begitu juga,
kalau kajian-kajian sosiosaintifik dilakukan atas teks-teks kitab suci apapun,
akan terlihat dengan jelas unsur-unsur sosiopolitik insani kontemporer yang terjalin
di dalam serat-serat teks-teksnya./3/ Semua kitab suci, dengan demikian, terikat pada zaman dan tempat kelahiran masing-masing.
Menyangkali fakta ini, akan membuat kita memandang kebudayaan insani yang terdapat di dalam setiap kitab suci sebagai wahyu ilahi, alhasil kita memberhalakannya, dengan demikian kita jatuh ke dalam dosa syirik. Selain itu, karena para penganut agama-agama umumnya akan pasti menyebarkan berita-berita dalam kitab-kitab suci mereka ke mana-mana sejauh mereka dapat jangkau, maka bersamaan dengan kegiatan misioner ini kebudayaan insani kuno para penulis kitab-kitab suci mereka akan juga dibawa mereka ke tempat-tempat lain dalam zaman mereka untuk menggantikan kebudayaan-kebudayaan asli tempat-tempat lain itu. Alhasil, terjadilah penjajahan kultural atas kebudayaan-kebudayaan lain yang dipandang inferior jika dibandingkan dengan kebudayaan insani para penulis kitab-kitab suci mereka. Menjajah dan menggantikan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain yang dipandang superior (misalnya kebudayaan Yahudi kuno, Eropa abad-abad pertama, dan Arab), saya percaya bukan kehendak Allah agama apapun. Sekali lagi, memperlakukan suatu kebudayaan insani sebagai kebudayaan ilahi yang normatif untuk seluruh dunia, sebenar-benarnya adalah suatu dosa syirik yang membuahkan penindasan dan penjajahan kultural.
Pada pihak lain, orang boleh
saja mengklaim bahwa kitab suci mereka adalah wahyu dari sorga sepenuhnya sehingga tak
berisi unsur-unsur budaya insani. Klaim ini sesungguhnya berbahaya dan melarikan
diri dari fakta-fakta. Mengapa? Pertama, pandangan semacam itu sesungguhnya mengabaikan kebudayaan insani yang sifatnya relatif yang begitu kuat mengisi lembaran-lembaran setiap kitab suci dan menjadikannya kebudayaan ilahi yang diwahyukan, yang dipandang harus dengan segala cara menggantikan semua kebudayaan lain dalam dunia ini. Penjajahan kultural ini berbahaya, karena akan bisa melenyapkan sebuah kebudayaan yang semustinya dilindungi. Kedua, andaikata wahyu dari dunia adikodrati itu ada,
untuk bisa dipahami manusia di Bumi wahyu ini memerlukan kebudayaan manusia
sebagai wadah dan medianya, sebagai tubuhnya. Wahyu 100 persen dari dunia gaib yang sama sekali
tak memakai unsur-unsur kebudayaan manusia, tak pernah akan dapat dipahami
manusia real di Bumi, dus kita tak membutuhkannya.
Jika sebuah
kitab suci dapat berguna untuk kehidupan manusia, itu artinya wahyu ilahi sampai
kepada manusia lewat kebudayaan-kebudayaan insani dan berbagai pengalaman manusia.
Wahyu ilahi dan kebudayaan insani jalin-menjalin, dan kerap sukar sekali bahkan mustahil
dipisahkan, alhasil wahyu ilahi murni itu sebenarnya tak ada sama sekali. Tanpa kebudayaan insani sebagai tubuhnya, sebagai wadahnya, wahyu ilahi akan
menjadi roh gentayangan tanpa raga, yang melayang bebas tanpa arah dan tanpa
tujuan, dan tanpa pesan-pesan yang real dan aktual.
Dalam
kekristenan pernah diyakini dengan sangat kuat bahwa Perjanjian Baru gereja
adalah wahyu dari sorga yang turun langsung karena bahasa Yunani yang
dipakainya diyakini tak ada paralelnya. Dus, bahasa Yunani Perjanjian Baru pada
masa-masa itu dipandang sebagai bahasa sorgawi, bukan bahasa duniawi. Keyakinan
bahwa Perjanjian Baru wahyu langsung dari sorga bertahan lama sampai akhirnya
sains, sekali lagi sains, membuktikannya tak benar. Sains sudah menemukan dan
membuktikan bahwa di luar Perjanjian Baru bahasa Yunani yang dipakainya
ternyata juga dipakai dalam banyak dokumen lain yang sezaman dari
kawasan-kawasan yang berdekatan. Kini orang menyebut bahasa Yunani Perjanjian
Baru bahasa Yunani koine, artinya
bahasa Yunani yang umum dipakai di kawasan Laut Tengah kuno, konteks budaya
Perjanjian Baru, pada abad pertama M. Sama sekali bukan bahasa sorgawi. Hal
yang sama tentu akan terjadi juga dengan kitab-kitab suci lain, hanya menunggu
waktu saja.
Dalam zaman
modern, sains bagaimanapun juga akan bisa menjelaskan asal-usul semua kitab
suci tanpa perlu merujuk ke alam gaib. Metode yang dinamakan historical criticism telah terbukti
mampu menjelaskan teks-teks kitab suci sebagai teks-teks yang terikat ruang dan
waktu, dikondisikan oleh sejarah dan kebudayaan insani. Seberapa siap setiap umat beragama menerapkan metode ilmiah ini dalam
usaha memahami kitab suci mereka, bergantung pada pertumbuhan kesadaran ilmiah
mereka. Susahnya, agama-agama umumnya juga berfungsi untuk mematikan kesadaran ilmiah manusia, dengan mengharuskan para penganut masing-masing hidup hanya dengan iman, tanpa ilmu.
Meskipun
terikat pada konteks sejarah dan konteks budaya tertentu, tak berarti tak ada
pesan-pesan yang langgeng dalam setiap kitab suci. Tentu ada pesan-pesan yang
langgeng dalam setiap kitab suci, khususnya yang disampaikan lewat teks-teks
kebijaksanaan universal. Selain itu dalam setiap kitab suci ditemukan juga
pergumulan-pergumulan eksistensial manusia yang terus berulang secara universal
dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, melintasi zaman-zaman dan
tempat-tempat. Dalam sebuah lagu mereka yang berjudul Ebony and Ivory, penyanyi Paul McCartney dan Stevie Wonder bersenandung, “People are the same wherever you go.” Teks-teks kitab-kitab suci yang mendorong anda mencintai sesama anda (dari latarbelakang apapun) dan berkorban untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka tentu selalu relevan, kendatipun bagaimana wujud cinta kasih kepada sesama itu dapat berbeda dari satu situasi ke situasi lain.
Tapi sejauh
menyangkut modernitas dan sains-tek modern, semua kitab suci terputus dari
dunia dan zaman kita di abad ke-21. Kita tak perlu melakukan praktek “cocokologi”
untuk membela apa yang kita yakini sebagai kehebatan kitab-kitab suci kita
masing-masing. Mencocok-cocokkan kitab suci kita dengan pandangan-pandangan
sains modern hanya membuat kitab-kitab suci kita mengekor sains yang terus
berubah sehingga kitab-kitab suci kita kehilangan fungsinya sebagai kitab-kitab
pemandu moralitas manusia supaya manusia menjadi makhluk-makhluk yang memiliki
moral agung.
Dengan
cocokologi yang kerap dilakukan para agamawan konservatif yang umumnya
anti-modernitas, para agamawan ini tanpa mereka sadari telah menjadi
agamawan-agamawan modern lewat kegiatan-kegiatan mereka memodernisasi teks-teks
kitab suci mereka di luar kemauan teks-teksnya sendiri. Kalau memang benar
kitab-kitab suci memuat segala info tentang sains dan teknologi modern,
mustinya sejak zaman-zaman kitab-kitab suci ditulis belasan hingga puluhan abad lampau,
sains dan teknologi modern sudah dibangun oleh orang-orang zaman kitab-kitab
suci ditulis. Faktanya tokh tidak demikian sama sekali. Yang membuat sesuatu itu
disebut sains bukan agama apapun, tetapi metode-metode saintifik universal (observasi, eskperimentasi, empirisisme, instrumentalisme, verifikasi) dan penalaran-penalaran (induksi, deduksi, dan abduksi) yang
digunakan./4/ Siapapun yang memakai metode-metode dan penalaran-penalaran saintifik ini, apapun agamanya dan di zaman dan tempat apapun dia hidup, akan
menghasilkan temuan-temuan saintifik yang sama, sebab sains itu universal dan
tidak berserikat dengan agama apapun.
Cikal-bakal
dan beberapa fondasi penting sains modern justru ditemukan mula-mula di dunia pagan
Yunani kuno pada era SM dan di Eropa era Pencerahan abad ke-18 M, bukan di dalam agama-agama teistik Yahudi, Kristen dan Islam.
Tetapi sains modern sendiri dimulai oleh penyelidikan-penyelidikan astronomis
yang dilakukan Galileo Galilei di abad ke-16/17 M di Italia. Galileo Galilei
adalah ilmuwan yang kini diakui sebagai bapak sains modern, khususnya untuk natural sciences.
Terlihat
sudah ada jurang sejarah dan jurang budaya yang lebar antara dunia kita di abad
ke-21 dan dunia kitab-kitab suci kuno. Dengan demikian, sudah pasti akan ada
banyak pesan dan info dalam kitab-kitab suci yang tak relevan lagi di zaman dan
tempat kita sekarang. Beberapa saja perlu disebut pada kesempatan ini; yang
lain-lainnya silakan anda tambah sendiri.
Bentuk
negara teokratis yang muncul dalam kitab-kitab suci agama-agama teistik, tak
relevan lagi di suatu dunia yang sekarang diatur secara demokratis. Jika kita
ingin negara kita maju dan modern, hanya tersedia satu pilihan bentuk negara,
yakni negara demokratis. Ada pemuka-pemuka keagamaan yang menyatakan bahwa sekalipun kitab-kitab suci mereka disusun di zaman kuno, di dalam masing-masing kitab suci mereka sudah ada prinsip-prinsip demokrasi modern. Hemat saya, ini adalah suatu anakronisme: memindahkan kebudayaan modern yang mempraktekkan demokrasi ke zaman-zaman kuno pra-modern yang di dalamnya teokrasi dijalankan. Bagaimana mungkin teokrasi dan demokrasi duduk sepelaminan? Bagaimana mungkin penunjukan seseorang sebagai pemimpin bangsa lewat wahyu dan wangsit sejalan dengan pemilihan seorang kepala negara lewat pemilu?
Kepercayaan
bahwa setan sebagai penyebab diare dan depresi, jelas tak relevan lagi dalam
zaman modern, zaman ketika sains kedokteran, medikasi dan psikiatri sudah sangat maju dan terbukti
bermanfaat. Faktanya adalah, ketika kepercayaan ini tetap dipertahankan, orang-orang yang sakit tidak disembuhkan, tapi penyakit-penyakit mereka makin bertambah parah dan akhirnya mereka meninggal dunia.
Lex talionis yang diberlakukan di dunia
kuno atas nama agama jelas tak relevan lagi dalam dunia masa kini yang umumnya
diatur oleh hukum positif (ius positum),
yaitu hukum-hukum yang didalilkan oleh manusia lewat mekanisme demokratis,
bukan oleh Tuhan. Salah satu bentuk lex
talionis zaman kuno, yakni hukum potong tangan, jelas sekarang ini dinilai
sangat jahat dan karenanya tak relevan lagi di zaman modern.
Alam
pemikiran mitologis jelas berbenturan tajam dengan alam pemikiran modern di
mana sains menjelaskan hampir segala sesuatu dengan objektif. Keingintahuan
yang dihambat, dan pelakunya dihukum berat, seperti terjadi pada Hawa sebagaimana dikisahkan dalam mitos
Taman Eden, jelas tak sejalan dengan semangat ilmiah masa kini, yang membuat
orang dengan bergairah mengikuti rasa ingin tahunya terhadap berbagai misteri
kehidupan, yang membuatnya merangkul sains.
Genosida
yang diperintahkan oleh Tuhan Allah kepada umat-Nya, yang ikut berperang
bersama umat-Nya, seperti dikisahkan dalam banyak bagian Perjanjian Lama, jelas dinilai sebagai fiksi yang destruktif pada
masa kini.
Ancaman hukuman
mati kepada penganjur dialog antaragama dan kepada orang yang pindah agama
seperti diperintahkan dalam Tanakh Yahudi (Ulangan 13) jelas tak relevan lagi di dalam suatu
dunia di mana pluralisme dan multikulturalisme dan HAM dihayati sebagai
nilai-nilai modern.
Misogini, dan diskriminasi terhadap kaum perempuan, dan juga kepada kaum homoseksual (atau yang lebih dikenal sebagai kaum LGBT), yang umumnya mengisi lembaran-lembaran kitab-kitab suci kuno, jelas sudah tak bisa dipraktekkan lagi dalam zaman modern ketika semua gender dan orientasi seksual diperlakukan sederajat, ketika kaum perempuan telah membuktikan diri mereka sebagai insan-insan yang sama hebat, sama kreatif dan sama mandirinya dengan insan lelaki./5/
Masih banyak
contoh yang bisa diangkat dari kitab-kitab suci kuno yang sudah tak bisa ditiru
dalam zaman modern. Apa yang harus kita lakukan terhadap teks-teks skriptural
yang sudah tak relevan lagi dalam zaman sekarang? Tentu kita tak perlu
membuangnya. Yang paling mudah adalah tak memakai lagi teks-teks skriptural
yang sudah tak relevan. Usul ini sering ditanggapi dengan negatif oleh umat-umat beragama yang sangat mencintai kitab-kitab suci mereka. Tetapi sebetulnya, diam-diam banyak bagian kitab-kitab suci yang sudah tak disentuh lagi oleh umat-umat beragama, karena mereka diam-diam sudah menilai sendiri bahwa teks-teks ini sudah tak cocok lagi untuk dijalankan dalam zaman modern sekarang ini. Praktek diam-diam ini disebut sebagai “kanon di dalam kanon”: hanya sebagian isi kitab suci yang dipandang masih berwibawa sebagai norma-norma dan karena itu terus digunakan, dan bagian-bagian lainnya dinilai sudah tidak berwibawa, lalu tidak dipakai, meskipun ada dalam satu kitab suci yang sama.
Atau, teks-teks yang tak relevan lagi kita interpretasi ulang
supaya masih dapat digunakan dengan konstruktif. Salah satu langkah reinterpretasi
teks-teks skriptural yang sudah tak relevan adalah mengubahnya jadi metafora,
kiasan, bukan teks-teks tentang fakta-fakta yang harus kita jalankan. Misalnya,
lex talionis potong tangan dalam
agama Islam perlu ditafsir ulang sebagai metafora hukuman terberat pada
zaman
kini terhadap para kriminal berat. Meskipun demikian, saya masih
bertanya-tanya, hukuman potong tangan yang semustinya dikenakan pada
seorang pencuri kelas teri (misalnya seorang pencuri kambing), harus
diganti dengan hukuman penjara terberat berapa tahun? Tapi tak semua
teks skriptural yang sudah
tak relevan bisa ditafsir ulang sebagai metafora, sehingga memang dengan
berat hati harus tak dipakai lagi.
Selain itu,
dalam rangka reinterpretasi, supaya teks-teks skriptural yang sudah tak relevan masih bisa dipakai, kita
mencari bukan huruf-hurufnya tetapi semangatnya, spirit-nya. Atau, idiom-idiom mitologis teks-teks skriptural yang sudah
tak relevan kita cari titisan jiwanya, kita jelmakan dalam idiom-idiom modern. Perang
melawan setan-setan, misalnya, kita ubah idiom-nya menjadi perang melawan
bakteri-bakteri dan semua sumber asali penyakit, tentu saja dengan memakai sains
dan teknologi pengobatan sebagai senjata pamungkasnya.
Sebetulnya, semua
kitab suci masih bisa berguna dan signifikan di zaman modern, asal anda tak
memahaminya harfiah, melainkan lewat sains hermeneutik. Hermeneutik
bekerja saat anda pertama-tama memahami sebuah teks kuno dalam konteks
sistem-sistem sosiobudaya zaman lampau yang di dalamnya teks-teks ini
ditulis (ini dinamakan Horison 1). Lalu, anda kenali dan pahami betul
sistem-sistem sosiobudaya sekarang, yang di dalamnya anda hidup, berkarya dan
berpikir dan membangun peradaban (ini dinamakan Horison 2). Nah, ketika
anda dengan kreatif mempertemukan dan mendialogkan Horison 1 dan
Horison 2 secara berimbang, dan darinya anda mendapatkan sebuah
pemahaman baru atas teks kuno itu yang tidak lazim tetapi mampu menjawab
tantangan Horison 2, anda telah menjalankan sebuah hermeneutik yang
bagus. Dengan demikian, dimensi-dimensi teks kuno yang berada dalam wilayah interseksi Horison 1 dan Horison 2 adalah dimensi-dimensi teks yang bisa
menjawab panggilan zaman dan tempat anda hidup sekarang. Oleh Hans-Georg
Gadamer, interseksi yang saya sebut ini dinamakannya suatu “fusi horison-horison” (Jerman: Horizontverschmelzung). Gadamer menyatakan bahwa “pemahaman [atas sebuah teks] selalu merupakan fusi horison-horison ini yang dianggap ada pada dirinya sendiri.”/6/ Hemat saya, lebih tepat jika kita menyebutnya interseksi, bukan fusi, sebab tidak seluruh wilayah Horison 1 dan wilayah Horison 2 dapat digabung atau dipertemukan atau bertumpangtindih dengan sempurna.
Berkaitan dengan ini, dalam konteks hermeneutik fiqih Islam di Indonesia, saya kagum pada alm. KH Sahal Mahfudz (wafat 24 Januari 2014), penulis buku bagus Kritik Nalar Fiqih NU. Beliau menyatakan bahwa “Karena [merupakan] produk ijtihad, maka keputusan fiqih bukan barang sakral yang tidak boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang mensakralkan fiqih jelas keliru.”/7/ Jelas, pandangan KH Sahal Mahfudz ini melawan arus, bahkan di dalam tubuh NU sendiri, dan karena itu menjadikannya seorang jurutafsir fiqih masa kini yang hebat. Jika demikian halnya dengan hermeneutik fiqih, hermeneutik Al-Qur’an juga dengan sendirinya mengikuti.
Menurut Ulil Abshar-Abdalla, KH Sahal Mahfudz “mengembangkan corak berpikir fiqih yang kontekstual. Maksudnya: berpikir dengan
mempertimbangkan konteks dan keadaan sosial di suatu masa. Karena cara berpikir
inilah, Kiai Sahal dikenal dengan gagasannya mengenai Fiqih Sosial (al-fiqh al-ijtima’i). Ciri-ciri
fiqih kontekstual adalah: terlibat dengan persoalan-persoalan nyata yang
dihadapi rakyat; teks dalam kitab-kitab fiqih dipahami dalam terang konteks
sosial yang ada pada suatu waktu; dinamis dan progresif, dalam pengertian
berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan zaman; tidak hitam-putih;
fleksibel, tanpa kehilangan komitmen pada suatu prinsip pokok.”/8/Dengan bagus Mas Ulil telah membeberkan dengan singkat bagaimana hermeneutik dijalankan oleh KH Sahal Mahfudz. Kita memerlukan lebih banyak lagi sosok seperti beliau.
Dengan hermeneutik,
jurang sejarah dan jurang budaya yang lebar dapat kita persempit supaya kita
dapat menyeberanginya dengan aman, untuk mempertemukan orang-orang zaman lampau dengan orang-orang zaman modern. Lewat hermeneutik, firman Allah dalam kitab-kitab suci kuno yang sampai ke zaman modern akan menjadi firman yang membangun kehidupan dan peradaban manusia, bukan yang menghancurkan dan membinasakan. Anda tentu mau agama anda menjadi agama yang membangun kehidupan dan peradaban, bukan? Jika ya, tak ada jalan lain, selain anda cerdas beragama.
----------------------
/1/ Tentang perlawanan terhadap kisah Hawa skriptural, lihat Ioanes Rakhmat, “Menerapkan 'Hermeneutik Resistensi' terhadap Kisah Skriptural Taman Eden Demi Merehabilitasi Hawa, Sang Perempuan”, Jurnal Perempuan, no. 64, thn 2009, hlm. 141-149.
/2/ Kajian-kajian antropologis kutural telah lama dilakukan terhadap Alkitab, dan sudah banyak buku tentang ini yang sudah ditulis. Antara lain, lihat Bruce J. Malina, Christian Origins and Cultural Anthropology: Practical Models for Biblical Interpretation (Louisville, Kentucky: Westminter John Knox Press, 1986); idem, The New Testament World: Insights from Cultural Anthropology (Louisville, Kentucky: Westminter John Knox Press, edisi ketiga, 2001).
/3/ Pendekatan tafsir sosiosaintifik juga sudah lama dipakai dalam orang menafsir Alkitab; sudah banyak buku tentangnya yang sudah ditulis. Antara lain, lihat John H. Elliott, What Is Social Scientific Criticism? (Minneapolis, MN: Fortress Press, 1993); John J. Pilch, ed., Social Scientific Models for Interpreting the Bible: Essays by the Context Group in Honor of Bruce J. Malina (Atlanta, GA: SBL, 2000).
/4/ Metode dan penalaran saintifik modern ini diberi landasan-landasan filosofisnya terutama oleh seorang filsuf pragmatisisme dan empirisisme Charles S. Peirce (1839-1952), disamping juga oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Tentang pemikiran Peirce, sudah banyak buku ditulis; lihat khususnya Karl-Otto Apel, Charles S. Peirce: From Pragmatism to Pragmaticism. E.T. by John Michael Krois (Atlantic Highlands, N.J.: Humanities Press International, 1995); Nathan Houser, Don D. Roberts, dan James van Evra, eds., Studies in the Logic of Charles Sanders Peirce (Bloomington and Indiana Polis: Indiana University Press, 1997).
/5/ Usaha menafsirkan kembali teks-teks tentang homoseksual di dalam Alkitab telah saya lakukan; lihat Ioanes Rakhmat, “Benturan Tafsir: Homoseksualitas dalam Alkitab”, dalam majalah Bhinneka: Agama dan Kepercayaan, edisi Juni 2012, hlm. 22-31. Lihat juga Ioanes Rakhmat, “Benturan Tafsir Konservatif dan Tafsir Liberal atas Teks-teks Homoseksualitas dalam Alkitab”, 4 Januari 2012, pada http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/01/benturan-tafsir-konservatif-dan-tafsir.html.
/6/ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (London dan New York: Continuum International Publishing Group, 1975, 2006, 2011), hlm. 305.
/7/ Lihat tulisan MI MH Keling dalam blog-nya, “KH. Sahal Mahfudz; Ketidaksyakralan Fiqih dan Perlunya Bermazhab secara Metodologis”, 18 April 2011, pada http://mimatholiulhudakeling.blogspot.com/2011/08/kh-sahal-mahfudz-ketidak-syakralan.html.
/8/ Ulil
Abshar-Abdalla, “Opini: Mengenang Kiai Sahal”, Satu Harapan.Com, 27 Januari 2014, pada http://satuharapan.com/index.php?id=109&tx_ttnews[tt_news]=11367&cHash=1.