Monday, February 22, 2021

BUSUR atau PELANGI (Kejadian 9:13-16)?



"Bow of war" or "rainbow"?


N.B. diedit 30 Desember 2021

Kemarin, mulai jam 14 WIB, Minggu 21 Feb 2021, saya ikut beribadah online GKI Kepa Duri, Jakarta. Pengkhotbahnya Pdt. Daud Chevi Naibaho dengan memakai teks Kejadian 9:8-17.

Teks tersebut adalah teks tentang "perjanjian" (Ibrani: berith. Inggris: "covenant") antara Allah dan Nuh (dan semua keturunannya) dan dengan segenap makhluk lain di Bumi (yakni, semua hewan yang ada bersama Nuh dalam bahtera) setelah air bah. Sebagai tanda perjanjian itu, Allah dengan sengaja "menaruh" (Ibrani: nātan) "busur" (Ibrani: qešet) Allah di awan.

Khotbah Pdt. Daud menarik. Sebagai pelengkap pencerah bagi khotbahnya, ada dua hal penting yang pada kesempatan ini perlu diperdalam dari teks Kejadian 9:8-17. Yang pertama adalah "perjanjian" yang Allah bangun, dan yang kedua adalah "busur Allah" sebagai tanda perjanjian-Nya sehabis air bah. 

Berikut ini, saya bagikan ke para pelayan gereja sebuah uraian simpel tentang arti busur dalam teks Kejadian tersebut, yang saya dapat susun setelah memperhatikan dan mengolah beberapa tulisan pendek online via Internet dan dua buku tebal konkordansi.

Dalam Alkitab Ibrani (PL) dan dalam PB total ada enam perjanjian yang dibangun Allah, salah satunya perjanjian Allah dengan Nuh (pada teks Kejadian 9:8-17 kata "perjanjian" muncul berulang kali, menandakan kata ini penting sekali).

Tema "perjanjian" merangkai dokumen-dokumen Perjanjian Lama (Alkitab Ibrani) yang beraneka ragam menjadi satu "sejarah keselamatan" (Heilsgeschichte) Allah. Sekaligus menempatkan Perjanjian Baru (antara Allah, Yesus dan gereja)---menurut sudut pandang kekristenan awal--- sebagai kelanjutan dan puncak semua perjanjian Allah sebelumnya yang disebut dalam kitab suci Ibrani. 

Enam perjanjian itu akan dibahas lain kali setelah pembahasan sekarang dalam tulisan pendek ini tentang "busur Allah" yang "ditaruh" atau "digantungkan" Allah di awan, sebagai tanda perjanjian-Nya dengan Nuh. 

Pada kesempatan ini, tanpa diuraikan dan dibahas, saya mau menyebut saja seluruh enam perjanjian tersebut: 

• Perjanjian dengan Adam (lihat teks NRSV Hosea 6:7, "But like (/at) Adam they transgressed the covenant;..."); 

• Perjanjian dengan Nuh dan umat manusia, segenap organisme lain, dan alam; 

• Perjanjian dengan Abraham; 

• Perjanjian dengan Musa (yang mengatasnamakan bangsa Israel); 

• Perjanjian messianik dengan raja Daud; 

• Perjanjian dengan Yesus Kristus (atas nama Israel yang baru).

Dalam khotbah Daud Chevi sempat disebut kata Ibrani qešet tanpa ditelaah, yang oleh LAI diterjemahkan "busur" (Inggris: "bow"), bukan "pelangi" ("rainbow") yang dapat muncul sehabis hujan. Pdt. Daud melaju kencang dan yakin, sampai menyebut Yesus Kristus sebagai "pelangi kasih" (tentu mengacu tak langsung pada sebuah lagu gereja).

Ya, qešet dalam teks Kejadian 9:8-17 tepat jika diterjemahkan "busur", bukan pelangi yang lazimnya muncul alamiah sehabis hujan sejak planet Bumi ada (usia planet kita ini 4,5 milyar tahun, dan manusia cerdas, Homo sapiens, baru muncul 300.000 tahun lalu di suatu tempat di Afrika), bukan baru muncul setelah bencana air bah zaman Nuh. Hanya orang yang rapat-rapat menutup akal dan pengetahuan mereka, akan ngotot menyatakan bahwa pelangi baru muncul di zaman Nuh.

Apa yang dimaksudkan dengan busur atau qešet oleh penulis Kejadian 9:8-17 dalam konteks perjanjian Allah dengan Nuh pasca-air bah? 

Kata qešet (Yunani: tokson) muncul 76 kali dalam Alkitab Ibrani. Hanya pada 2 teks kata ini jelas dimaksudkan sebagai pelangi alamiah yang diberi makna figuratif sebagai kehadiran Allah dalam kemuliaan-Nya (Yehezkiel 1:28,  "busur pelangi"), dan sebagai testimoni karya Allah sang Pencipta (Sirakh 43: 11-12, "rainbow", teks NRSV).

Dalam teks-teks lainnya, qešet dimaknai figuratif sebagai simbol kekuasaan, keagungan dan otoritas (misalnya Sirakh 50:7, mengacu ke Imam Besar Simon, putera Onias, teks NRSV), atau, lebih sering, sebagai senjata untuk berperang atau berburu.

Pada 2 Samuel 1:18 kata busur (dengan vokalisasi berbeda qāšet) muncul dengan latar peperangan yang telah menewaskan Saul dan Yonathan yang sedang diratapi Daud ("nyanyian busur" atau "nyanyian ratapan"). Busur juga dimaknai figuratif sebagai keperkasaan dan kekuatan yang diberi Allah yang membuat orang dapat "melengkungkan/melenturkan busur tembaga" (teks LAI 2 Samuel 22:35; Mazmur 18:35).

Ada 11 teks dalam Alkitab Ibrani yang menggambarkan TUHAN menggunakan busur sebagai senjata dalam melawan musuh-musuh-Nya, antara lain Babel, Elam dan Gog sebagai musuh Israel/Yehuda.

Teks Habakuk 3:9 menyatakan secara figuratif bahwa Tuhan bertindak terhadap Bumi, "membelah Bumi", dengan menggunakan busur-Nya. Dalam Mazmur 7:13-14, busur, anak panah dan pedang ditempatkan dalam suatu konteks kekerasan suatu penyerangan.

Dalam Zakharia 9:10, Mazmur 46:9, Hosea 2:17, digambarkan bahwa untuk mengakhiri konflik dan membangun perdamaian dan ketenteraman, Allah mematahkan, membuang dan melenyapkan busur perang.

Kata benda "bumi" (Ibrani: erets), yang dikaitkan dengan busur yang digantungkan atau dijauhkan, muncul dalam 4 teks PL (Kejadian 9:10, 13, 16, 17; Hosea 2:17; Zakharia 9:10; Mazmur 46:9).

Jadi, qešet dalam banyak teks Alkitab Ibrani diartikan sebagai senjata untuk berperang, selain untuk berburu, atau diberi makna figuratif sebagai simbol otoritas, kekuasaan dan keagungan. Saya tidak tahu apakah olah raga memanah sudah ada di zaman Nuh.

Nah, apa yang harus kita pahami dengan busur atau qešet sebagai tanda perjanjian Allah dengan nabi Nuh dan segenap bentuk kehidupan lain serta Bumi dalam Kejadian 9:13-16? Apakah harus diartikan sebagai senjata dalam berperang ("bow") atau sebagai pelangi alamiah ("rainbow")?

Baiklah kita berpaling dulu ke teks Hosea 2:15-22 yang jelas sekali menyajikan tema yang sejajar dengan teks Kejadian 9:13-16. Fokus kita tujukan pada ayat 17, yang saya kutipkan penuh berikut ini (dari teks TB LAI).

"Aku akan mengikat perjanjian bagimu pada waktu itu dengan binatang-binatang di padang dan dengan burung-burung di udara, dan binatang-binatang melata di muka Bumi. Aku akan meniadakan busur panah, pedang dan alat perang dari negeri, dan akan membuat engkau berbaring dengan tenteram."




Ilustrasi seorang prajurit pemanah di medan laga. Sumber gambar: archery360.com


Seluruh Hosea 2:15-22 itu (lihat teks NRSV juga) adalah ucapan kepada isteri Hosea. Jika kata ganti dalam teks MT diikuti (seperti diikuti TB LAI), menjadi jelaslah bahwa "perjanjian" yang dibuat itu tertuju ke bentuk-bentuk kehidupan non-insani: hewan-hewan di padang, burung-burung di angkasa, dan reptilia di muka Bumi.

Tak pelak lagi, teks Hosea tersebut berpadanan dengan teks Kejadian 9:13-16 tentang perjanjian Allah dengan Nuh, keluarganya dan keturunan mereka dan dengan semua bentuk kehidupan lain non-manusia.

Dalam Hosea, perjanjian Allah ini ditandakan dengan "peniadaan" (TB LAI) atau "pematahan" busur dan senjata-senjata perang lainnya, artinya Allah mengakhiri konflik dan perang. Tanda perjanjian Allah dengan Nuh yang ditandai oleh "peletakan" atau "penggantungan" busur Allah di awan, juga bermakna sama.

Jika senjata perang busur Allah digantungkan di awan, itu artinya Allah mengakhiri konflik dan kegeraman-Nya terhadap umat manusia setelah air bah menghukum mereka semua. 

Yang diluputkan Allah hanya Nuh dan keluarganya dan keturunannya dan hewan-hewan berpasangan yang ikut masuk ke dalam bahtera yang dibangun Nuh dalam waktu sangat panjang atas perintah Allah sebelum air bah melanda dan menenggelamkan muka Bumi selama 150 hari. 

Tentu saja, kisah air bah zaman Nuh ini tidak ada kaitannya dengan siklus panjang Zaman-zaman es di planet Bumi. Zaman Es paling belakangan, yang dinamakan Pleistosin, berakhir 12.000 tahun yang lalu ketika glasier-glasier (bongkahan atau endapan es yang terakumulasi di muka Bumi) mulai melumer. Setelah zaman Pleistosin, muncul zaman Holosin yang di dalamnya kita sekarang hidup dan membangun peradaban-peradaban.




Buku The Epic of Gilgamesh, salah satu buku kertas yang masih saya miliki.


Kisah air bah dalam zaman Nuh ini jelas mengikuti tema serupa dari Epik Gilgamesh yang ditulis di kawasan Mesopotamia lima ribu tahun lalu. Lihat bab 5 ("The Story of the Flood") buku The Epic of Gilgamesh yang diterjemahkan oleh N. K. Sandars (London, etc.: Penguin Books, 1960, cetak ulang dengan revisi 1964, 1972). 

Seandainya ada sebuah anak panah lepas dari busur yang tergantung di awan-awan, anak panah ini akan melesat menjauhi muka Bumi. Tidak akan menusuk dan menancap pada perut bunda Bumi. Kehilangan daya tusuknya, lalu terhempas melayang di ketinggian. 

Perlu diingat, dalam berbagai mitologi kuno, jika digambarkan busur-busur ditaruh atau digantungkan di awan-awan, ini adalah gambaran kemenangan di akhir perang. Dengan latar ini juga, busur yang ditaruh di awan dalam kisah Kejadian 9 menggambarkan secara metaforis bahwa Allah dengan sengaja, berdasarkan pertimbangan-Nya, menyingkirkan senjata busur perang untuk mengakhiri peperangan-Nya dengan umat manusia dan Bumi yang sebelum air bah datang melanda dipandang-Nya "sungguh telah rusak/bejad" (Kejadian 6:11-13; juga ayat 5-6).

Ya, paradoks-nya adalah: lewat air bah yang destruktif Allah memenangkan perang dengan memenangkan umat manusia, Bumi dan segala binatang. Allah sendiri yang memulai peperangan destruktif total, Allah juga yang mengakhirinya.

Busur Allah sudah digantung tinggi di awan, di atas muka Bumi. Perang antara Allah dan umat manusia berakhir sudah. Busur Allah menjadi tanda rekonsiliasi antara Allah, umat manusia, organisme non-manusia, dan Bumi. Rekonsiliasi ini dibangun dengan ikatan perjanjian yang ditandai oleh penggantungan busur perang Allah di awan. Isi perjanjian ini adalah bahwa "tidak akan ada lagi air bah yang akan memusnahkan segala yang hidup" yang ada di Bumi (Kejadian 9:15). 

Busur juga menjadi suatu tanda memorial yang mengingatkan Allah pada perjanjian-Nya dengan Nuh yang berlaku kekal (ayat 12, 16). Kelihatannya, hemat saya, busur baru bisa menjadi tanda pengingat jika secara berkala muncul di awan-awan, dan tampaknya di sini qešet diberi juga makna "rainbow" atau pelangi.

Seharusnya memang, Allah menaati dan selalu ingat perjanjian ini selamanya. Allah tak perlu lagi menurunkan busur perang-Nya dari awan untuk berperang lagi. Tetapi masalahnya ada pada manusia yang dapat merusak ekosistem Bumi dan mengubah iklim global, dus mengancam kehidupan.

Nah, jika ditempatkan dalam latar banyak peperangan yang telah dan sedang berlangsung antar berbagai suku bangsa di Timur Tengah kuno saat Kejadian 9:13-16 ditulis, maka ikatan perjanjian Allah dengan Nuh berbicara dengan suatu perspektif lain. Bahwa Allah peperangan, "the God of war", telah memilih jalan perdamaian dan rekonsiliasi dengan kalangan yang tidak disukai Allah, dengan busur perang-Nya dihalau dan digantung jauh dari Bumi, di awan-awan tinggi. Siapa yang bisa mengambil busur perang Allah di angkasa dengan tangan?

Allah yang disembah Nuh lebih memilih untuk akur dan berdamai dengan semua ciptaan, demi Nuh yang diberkati dan hidup bergaul dengan Allah (Kejadian 6:9), dan demi keturunannya. "The God of war and destruction" bertransformasi menjadi "the God of peace, reconciliation and construction" tapi dengan harga yang sangat mahal yang harus dibayar sebelumnya, yakni pemusnahan nyaris seluruh umat manusia. Ini suatu kisah tragedi teologis besar.

Ya, jika lewat Yesus Kristus yang "digantung" (seperti busur) pada kayu salib Allah mengadakan perdamaian dan rekonsiliasi dengan umat manusia, dan kegeraman Allah diganti atau berubah menjadi "kasih yang begitu besar" (Yohanes 3:16a), bisa tepat juga jika Yesus Kristus yang tersalib dipandang sebagai "sang pelangi kasih", atau lebih tepat "sang busur kasih", tanda perjanjian yang baru yang dimeteraikan oleh pengorbanan Yesus.

Di dalam peristiwa Yesus, dalam suatu perjanjian yang baru, ketimbang membasmi umat manusia (seperti yang dilakukan Allah nabi Nuh lewat air bah), Allah dimetaforakan "menggantung" diri-Nya sendiri di kayu salib, berkorban diri, lewat tangan Roma dan para pemimpin Yahudi, untuk mendatangkan kedamaian dan kehidupan bagi dunia. Kematian agung sang Immanuel, yang memberi kehidupan.

22 Februari 2021
ioanes rakhmat

Dibaca kembali 9 Agustus 2021