Saturday, March 20, 2021

PROBLEM DOKTRIN TRITUNGGAL sebagai "Tiga Cara Berada Allah Yang Esa"

N.B. Baca juga PROBLEM TEODISE.

N.B. Editing mutakhir 13 Oktober 2021

Setelah menulis dengan terinci problem teodise (harfiah berarti "problem keadilan Allah"), saya kini mau menulis cukup simpel saja tentang problem dogma Tritunggal kekristenan ortodoks.

Keinginan menulis topik ini muncul setelah saya mengingatkan bahwa problem teodise hanya muncul dalam kepercayaan monoteisme.

Ada seorang teman yang bertanya ke saya waktu itu, apakah agama Kristen agama monoteis.

Saya jawab ya betul, cuma monoteisme dalam kekristenan sudah "dimodifikasi" ("modified monotheism") menjadi Tritunggalisme atau Trinitarianisme.

"Modified monotheism"

Modifikasi monoteisme bisa dilakukan karena kekristenan memandang ada "kemajemukan dalam diri hakikat Allah yang esa". Ada "unity in diversity" (UID) atau "diversity in unity" (DIU) dalam hakikat Allah yang esa. Atau "plurality in oneness" atau "oneness in plurality". 

Dasar terkuat untuk mendukung UID atau DIU dalam hakikat Allah yang esa didapat dalam pendahuluan Injil Yohanes 1:1-14, khususnya ayat 1.

"Pada mulanya adalah sang Firman (Yunani: ho logos), dan sang Firman itu bersama-sama dengan Allah (ēn pros ton theon) dan sang Firman itu adalah Allah (kai theos ēn ho logos)."

Frasa "bersama-sama" (ēn pros) berarti ada individualitas masing-masing yang berbeda, terpisah, memiliki keunikan. Kata "adalah" (ēn) menyatakan ada kesatuan, kebersamaan, kesamaan, ketidakterpisahan. Dengan kata lain, ada UID atau DIU dalam hakikat Allah yang esa

Oh ya, saya perlu tambahkan satu hal sangat penting dalam teologi penulis Injil Yohanes, yang lazimnya disebut mazhab Yohanes. 

Dalam Yohanes 1:14a ditulis "Dan sang Firman itu telah menjadi manusia" (teks TB LAI). Teks Yunaninya berbunyi kai ho logos sarks egeneto. Terjemahan harfiahnya: "Dan sang Firman itu telah menjadi daging." Teks Latin: Et verbum caro factum est.

Sarks atau daging dalam teks tersebut bermakna manusia biologis. Yakni, Yesus Kristus. 

Jadi, sang Firman itu menitis atau menjelma atau "menjadi fakta" dalam sosok manusia yang real, manusia Yesus Kristus. Teks ini melawan aliran gnostik doketisme yang berpendirian sarkofobik, yakni memandang rendah tubuh/daging manusia, yang mereka yakini sebagai penjara jiwa. Sarkofobia dilawan komunitas Yohanes dengan sarkofilia.

Dalam pandangan penganut doketisme, sang Firman itu tampaknya (Yunani: dokein) saja sebagai manusia, bukan betul-betul manusia. Bagi mereka tidak mungkin "roh" (sang Firman) sungguh-sungguh menjadi "daging" (manusia Yesus) sebab keduanya pada kodratnya bertentangan satu sama lain.

Nah, mazhab Yohanes menolak keras doketisme dengan menegaskan fakta keberdagingan Yesus Kristus lewat penjelmaan atau inkarnasi (Latin: in carne, "dalam daging"). Kalangan doketis inilah yang disebut sebagai "antikristus" dalam surat 1 Yohanes 2:18, 22; 4:2-3. 

Sangat jelas ditulis dalam 1 Yohanes 4:2-3 bahwa antikristus (ho antiKhristos) adalah kalangan yang tidak mengakui bahwa "Yesus Kristus telah datang sebagai manusia" (TB LAI). Teks Yunaninya: Iēsoun Khriston en sarki elēluthota, "Yesus Kristus telah datang dalam daging" (Latin: in carne venisse).

Komunitas Yohanes menunjukkan perlawanan keras antara lain terhadap komunitas Thomas yang doktetis dan sarkofobis.

Dalam Kitab Thomas 143.10f, termuat sebuah kutukan dari komunitas Thomas terhadap kalangan yang sarkofilik, “Celakalah kalian yang berharap pada daging, dan pada penjara yang akan binasa!”

Kita tahu pada bagian akhir Injil Yohanes ada kisah tentang rasul Thomas yang baru mau percaya pada kebangkitan ragawi Yesus jika dia sudah "melihat bekas paku pada tangan" Yesus dan sudah "mencucukkan jarinya ke dalam lambung" Yesus (Yohanes 20:19-29). 

Kisah itu mencerminkan percakapan sekaligus perdebatan antara komunitas Yohanes dan komunitas Thomas di sekitar wujud "tubuh" dari Yesus yang sudah bangkit. Bagi mazhab Yohanes, keberdagingan Yesus adalah fakta bukan hanya pada peristiwa inkarnasi, tapi juga pada peristiwa kebangkitan Yesus. 

Lewat kisah itu juga mazhab Yohanes mengungkapkan harapan mereka bahwa mazhab Thomas mau mengikuti tafsiran mazhab Yohanes tentang wujud tubuh kebangkitan Yesus. Selanjutnya bacalah tulisan saya WUJUD TUBUH YESUS YANG BANGKIT.

Diagram lingkaran UID atau DIU

Nah, "diversitas atau pluralitas dalam hakikat Allah yang esa", "plurality in oneness", dapat dibuat diagramnya, lebih dari satu diagram, sampai tak terhingga, ad infinitum.

Nah, saya buatkan diagram lingkaran dogma Tritunggal di bawah ini. Tentu ini sebuah metafora yang membantu kita "menyeberang" (Yunani: ferein) untuk masuk ke "kawasan lain yang besar" yang "melampaui" (Yunani: meta) kawasan dunia kita yang sudah biasa dan rutin kita diami.



Diagram lingkaran doktrin Tritunggal Kristen (Latin: tres in unum, "three in one")

Allah yang esa dalam hakikat diri-Nya yang esa memiliki tiga individualitas atau tiga persona (tiga lingkaran biru). Masing-masing lingkaran biru ini unik, memiliki individualitas, tetapi menjadi satu dalam satu lingkaran besar yang menyelimuti tiga lingkaran biru yang lebih kecil.

Bayangkanlah dalam metafora tiga dimensi panenteistik: Ada tiga bola kecil biru di dalam satu bola besar. Bola besar ini bola imajiner, yang menyelubungi tiga bola kecil biru di dalamnya.

Mengunci Allah dalam diagram yang pertama, diagram lingkaran Tritunggal, hanya menjadikan Allah terbatas. Tetapi jika cinta anda sudah begitu dalam pada dogma ini, ya peluklah terus, dan ciumi terus.

Nah, bagi saya, cara paling hemat kata dan paling simpel (ini kaidah ilmiah OCCAM'S RAZOR) dalam menjelaskan UID atau DIU dalam hakikat Allah yang esa, adalah dengan memandang Allah yang esa mengambil TIGA CARA BERADA (modes of being) sebagai sang Bapa, sang Putera dan sang Roh Kudus atau Roh Kebenaran atau Roh Penghibur (Yunani: ho paraklētos; Inggris NRSV "Comforter" dari kata Latin "confortare", artinya "memperkuat"). Cara berada ini lewat emanasi masing-masing persona (lingkaran biru) ke dalam dunia dan terlibat dan berkarya dalam kehidupan dunia dan manusia.

Ho paraklētos (Yohanes 14:16, 26; teks Latin: Paraclitus) dalam TB LAI diterjemahkan sebagai Roh Penghibur. Sebetulnya memiliki banyak arti: penghibur, pelindung, pembela, penopang, pemberdaya, pendamping, perantara, penguat, pengingat, penolong, pembimbing, penasihat, konselor.

Doktrin Tritunggal menjadi simpel, tidak ruwet, tidak ribet, dan gamblang, jika diilustrasikan dengan sedikitnya tiga peran atau tiga cara berada satu diri anda dalam kehidupan anda. Jika bisa simpel, jangan dibuat rumit. 

Nah, di rumah, anda berperan dan berada sebagai sang ayah/bunda. Di gereja sebagai pendeta yang baik, dan di sekolah pascasarjana sebagai seorang mahasiswa yang cerdas. 

Anda satu orang, tapi dapat berada dalam tiga peran atau tiga "modes of being" yang berbeda dan saling merangkul. Anda yang satu, terlibat dan bekerja dalam tiga (atau jauh lebih banyak) cara berada.

Harap dicatat kepercayaan bahwa Allah terlibat dan berkarya dalam jagat raya dan kehidupan manusia adalah asumsi paling dasar dari konstruksi teologi apapun. Tanpa asumsi dasar ini, teologi tidak bisa dirancangbangun, tidak bisa berjalan dan tidak bisa berfungsi. Angkat asumsi dasar ini, maka semua teologi teistik pasti roboh.

Jika dogma Tritunggal menjadi simpel, gamblang, tidak ruwet, hemat kata, kalau dijelaskan secara metaforis sebagai tiga cara berada Allah yang esa, mengapa orang harus membuatnya sangat rumit, ruwet, ngelibat di sana-sini, dan tak bisa dimengerti?

Orang yang suka memperumit suatu hal, adalah orang yang sedang kebingungan atau merasa diri mereka hebat, berilmu tinggi dan harus ditaati. Padahal para pendengarnya atau para pembacanya banyak sekali yang tidak mengerti. Lewat diri orang yang sedang bingung itu, kebingungan dan ketidakmengertian disebarkan lalu menjalar ke mana-mana. 

Malah ketidakmengertian ini dikuduskan, menjadi ketidakmengertian yang kudus, yang sakral, yang harus dijaga untuk tetap membikin bingung. Saya sih tak mau ikut dibuat bingung. 

Kalau satu ekor itik sedang bingung, maka si itik ini berkoek-koek keras, lalu kawanan itik semuanya ikut berkoek-koek ribut dan bising. Ruwet jadinya. Untung, saya ini seekor elang, yang terbang tinggi sendirian di angkasa, hening, menembus awan-awan.

"A logical fallacy"

Well, orang Kristen biasa dan senang diindoktrinasi bahwa jika mereka tidak mengerti dogma X, terima saja kuat-kuat dan sepenuhnya dogma X itu dalam iman sebagai kebenaran. Setelah mengimani kuat-kuat, barulah akal mereka nanti akan mengerti kebenaran dogma X itu. Ini sebuah argumentasi yang salah atau yang cacat, a logical fallacy. Kok? Mengapa?

Pertama, hal yang diimani kuat-kuat itu, meski tidak dimengerti, bukanlah kebenaran, tetapi iman si empunya iman. Mereka beriman pada iman mereka sendiri yang dikuat-kuatkan. Mereka percaya pada kepercayaan mereka sendiri.

Ambil contoh. Bisakah Allah membuat telur ayam tidak berbentuk oval, tetapi berbentuk kubus? 

Anda lalu menjawab, tentu Allah bisa karena Allah mahakuasa

Nah, lepas dari apa yang akan terjadi pada dubur ayam jika semua ayam mengeluarkan telur yang berbentuk kubus, sudah jelas bahwa anda menjawab pertanyaan tersebut dengan kepercayaan anda, bukan dengan bukti. Jadi, pada dasarnya anda belum menjawab. 

Nah, kalau anda ditanya lagi, dari mana anda tahu bahwa Allah itu mahakuasa, anda akan menjawab, karena anda percaya Allah itu mahakuasa. Jadi, anda menjawab kali kedua dengan kepercayaan lagi. Kepercayaan dipakai untuk membenarkan kepercayaan. 

Atau anda akan menjawab bahwa Allah itu mahakuasa karena Alkitab memberitakan bahwa Allah itu mahakuasa. Kalau anda ditanya lagi, bagaimana anda tahu kalau hal yang diberitakan Alkitab itu benar, maka anda akan menjawab, ya karena anda percaya berita Alkitab itu benar. 

Begitu seterusnya, kepercayaan anda tersusun bertumpuk untuk membenarkan kepercayaan anda yang sudah anda sebut sebelumnya. Kepercayaan membenarkan kepercayaan. Pendek kata, you believe in your beliefs. Anda percaya pada kepercayaan-kepercayaan anda. Anda beriman pada iman-iman anda. Anda berasumsi pada asumsi-asumsi yang anda asumsikan. Paham ya. Simpel kok. Tidak ruwet kok.

Anda belum mengajukan argumen-argumen logis yang anda dasarkan pada bukti-bukti. 

Anda hanya bisa membangun tumpukan kepercayaan atau tumpukan iman atau tumpukan asumsi hanya untuk membenarkan kepercayaan, iman dan asumsi anda lainnya. 

Anda piawai membangun bukan bangunan proposisi intelektual, melainkan bangunan asumsi-asumsi, yang tidak memiliki fondasi fakta-fakta. Ya tak apa-apa kalau anda memang memilih menjalani kehidupan anda hanya dengan berdasar asumsi-asumsi. Berbahagialah mereka yang mau hidup cuma dengan asumsi-asumsi. 

Lebih berbahagia lagi adalah orang yang tidak puas, atau tidak bisa, hidup hanya dalam dunia asumsi-asumsi.

Kedua, karena belum dibuktikan benar atau salah, maka setiap dogma tentang hal-hal adikodrati, dilihat dari sudut metode penelitian ilmiah, adalah sebuah hipotesis

Nah, hipotesis harus dirumuskan dengan dapat dipahami dan dapat dimengerti oleh si perumusnya, supaya dapat dibuktikan benar atau salah lewat serangkaian pengujian berlapis dengan memakai intelek dan pendekatan-pendekatan ilmu pengetahuan.

Nah, jika dogma X sebagai sebuah hipotesis sudah sejak awal tidak dipahami dan tidak dimengerti oleh seseorang yang kuat-kuat mengimani kebenaran dogma tersebut, maka bagaimana mungkin orang tersebut dapat memakai akalnya atau inteleknya untuk membuktikan kebenaran sesuatu yang sejak awal dia tidak pahami dan dia tidak mengerti? 

Jadi, metode fides quaerens intellectum (Augustinus dan Anselmus dari Canterbury), "iman yang mencari pengertian" atau "iman yang membuat orang mengerti", adalah suatu logical fallacy sejauh objek yang diimani tidak dimengerti sejak awal.

Ketiga, berhubung kemampuan beriman dan kemampuan berpikir berada dalam satu wadah sistem neural kognisi di dalam otak orang yang sama, maka kedua kemampuan ini harus menimbulkan pengertian dan pemahaman sekaligus. 

Iman itu berkonten pengetahuan atau pikiran. Jika pikiran anda rusak, ya iman juga tidak bisa ada. Jika iman itu orang masukkan ke aspek emosi, ya emosi juga memerlukan akal, dan akal juga memerlukan emosi. 

Akal juga menghasilkan pengetahuan, sekaligus berkonten pengetahuan juga. Lazimnya, dalam kehidupan yang normal, akal dan emosi serta perasaan bersinergi untuk menghasilkan ide-ide yang bagus dan keputusan-keputusan yang tepat.

Jadi, ya iman itu butuh dan harus dijelaskan sejak iman itu ada dan dipegang, bukan hanya dikuat-kuatkan. Bagaimana menjelaskan iman, sekuat apapun? Ya, hanya dengan pemakaian akal, berbarengan, bukan dengan pemakaian iman lagi. Sederhana, bukan? Kenapa harus dibuat ruwet lagi? 

Hipotesis yang dipercaya benar hanya bisa dibuktikan benar lewat kerja intelek atau nalar hanya jika hipotesis tersebut dimengerti dan dipahami oleh kemampuan kognisi manusia. 

Jika kita tidak mengerti apa-apa, bagaimana kita bisa bernalar apa-apa, dan bagaimana kita bisa berbuat apa-apa, dan mengapa kita hanya bisa ngotot apa-apa? 

Mengapa "logical fallacy" ini terjadi? Ya, karena anda menganut fideisme. Waah. Apa itu fideisme? Baik, saya jelaskan pendek saja, tidak ruwet.

Orang pertama yang memberi landasan fideisme adalah seorang bapak gereja yang bernama Tertullianus (c. 160-230 M). Bapak gereja ini bertanya retoris, “Sesungguhnya ada hubungan apa antara Athena [baca: nalar] dan Yerusalem [baca: iman]?” 

Belakangan, di era kita, Alvin Plantinga (dalam bukunya Faith and Rationality: Reason and Belief in God yang ditulis bersama Nicholas Wolterstorff sebagai para penyunting) mendefinisikan fideisme sebagai “suatu ketergantungan eksklusif dan dasariah pada iman saja, yang disertai oleh suatu peremehan dan cemooh terhadap nalar, dan digunakan khususnya dalam pengejaran kebenaran filosofis dan keagamaan.” 

Kata Plantinga lagi, seorang fideis adalah seseorang yang “mengharuskan orang bergantung hanya pada iman alih-alih pada akal, dalam hal-hal filosofis dan keagamaan” dan yang “akan terus-menerus meremehkan dan mencemooh dan merendahkan akal.”

Ya, suatu cacat logika. Bukankah Athena bersahabat baik dengan Yerusalem? Bukan hanya Athena, tapi Yerusalem juga melahirkan banyak filsuf dan pemikir besar. Bukankah ilmu pengetahuan yang dibangun akal juga memiliki landasan-landasan filosofis? Bukankah ada filsafat pengetahuan dan pengetahuan filsafat?

Bukankah iman dan akal bekerja dalam satu wadah sistem kognitif dalam otak manusia yang sama? Siapa pencipta otak? Anda pasti menjawab, ya tentu Tuhan, bukan setan. 

Bukankah jika anda selalu mencemooh, merendahkan dan mencerca akal atau intelek, itu artinya anda selalu mencerca, merendahkan dan mencemooh Tuhan sang Pencipta? Nah loh. Sedih, gak?

Lagi, terapkan fideisme ke segala aspek kehidupan, jangan tanggung-tanggung. Lalu, mari kita lihat, apakah anda akan bisa hidup baik dan sehat dalam dunia modern sekarang ini. Makin sedih, kan? 

Setiap dogma selalu mempunyai problem

Catat saja, setiap dogma apapun selalu memiliki problem. Juga begitu halnya dengan teori-teori ilmu pengetahuan. Juga kehidupan kita, individual dan kolektif.

Bedanya, problem-problem dalam teori-teori ilmu pengetahuan selalu dicari, dan akhirnya ditemukan jalan keluar atau pemecahan dari problem-problem ini. Ini pada gilirannya memajukan ilmu pengetahuan. Kita juga selalu berusaha mencari solusi atas masalah-masalah kita. Satu masalah terselesaikan, akan muncul masalah-masalah baru, yang menunggu diatasi.

Sedangkan, problem-problem dalam dogma-dogma tidak ingin diketahui, dan sekalipun diketahui ya tetap dibiarkan atau ditutup-tutupi pakai sebuah tudung saji yang dinamakan tudung misteri sakral. 

Wanti-wanti diingatkan oleh para juru kunci bangunan dogma, dengan keliru tentunya, "Jangan mengutak-atik dogma gereja!" Diingatkan juga, sekali suatu dogma sudah dibangun di zaman dulu sekali, ya berlaku sampai dunia berakhir, entah kapan.

Padahal, serius nih, dogma apapun dulu dirancangbangun untuk menjawab persoalan-persoalan di zaman dulu di tempat-tempat yang berbeda. Setiap dogma selalu terikat konteks zaman dan konteks kebudayaan tertentu dan juga alam pemikiran tertentu. Mengabaikan fakta ini, akan membuat kita hidup di zaman yang salah, di kebudayaan yang salah, dan juga dalam alam pemikiran yang salah. Salah zaman. Salah budaya. Salah alam pemikiran.

Problem-problem yang sedang dihadapi gereja-gereja sedunia di abad ke-21 sudah jauh berbeda dari problem-problem ratusan tahun yang lalu atau puluhan abad yang lalu di tempat-tempat lain dalam kebudayaan-kebudayaan lain, yang juga memiliki alam pemikiran yang berbeda.

Problem doktrin Tritunggal

Baiklah, kita bertanya apakah ada problem dalam dogma Tritunggal kekristenan ortodoks? Ya, ada, dan sangat jelas.

Ini problemnya: Jika Allah yang esa itu Allah yang mahatakterbatas, mengapakah cara berada atau cara berkomunikasi-Nya harus manusia batasi cuma tiga cara? Bukankah bisa juga sepuluh cara berada, bahkan dapat berada dalam cara-cara yang tak terhitung jumlahnya, infinite modes of being

Saya ekspresikan dalam tiga contoh diagram lingkaran lain di bawah ini. Boleh tokh. Kenapa tidak?

Jika anda bersemangat berkelana, menempuh perjalanan jauh tanpa akhir, silakan lanjutkan terus, sampai lingkaran-lingkaran dalam satu lingkaran besar mencapai ketakberhinggaan, infinity.

Sanggupkah anda mencapai dan meraih infinitas? Be silent. Be quiet. Be still. Be non-existent. Be empty.




Septem in unum ("Seven in one")




Undecim in unum ("Eleven in one")




Duodecim in unum ("Twelve in one")


Cara berada Allah lebih dari tiga

Tidak usah mencari repot-repot di luar Alkitab. Mari kita tengok sekarang beberapa saja teks Perjanjian Lama, dan juga Perjanjian Baru. Selebihnya, ya anda bantu saya cari dan temukan sendiri, dan pahami.

Sabda Tuhan, ".... Bukankah Aku memenuhi langit dan Bumi?" (Yeremia 23:24b). 

Itu suatu pertanyaan retoris Allah yang jawabannya sudah jelas positif. Disampaikan dalam konteks penolakan oleh nabi Yeremia (masa aktif mulai 627 SM sampai setelah 580 SM) terhadap para nabi dan para imam di Yehuda dan Yerusalem. Mereka sebetulnya tidak diutus dan ditetapkan Allah, tetapi terus-menerus mengklaim bahwa mereka menyampaikan firman Allah, meskipun mereka melakukan banyak tindakan tidak bermoral.

Ya, Allah mahahadir di seluruh alam semesta, menyelimuti atau memenuhi jagat raya. Teks Yeremia tersebut jelas panenteistik, teks yang menyatakan bahwa "segala sesuatu" ("pan") ada "di dalam" ("en") Allah ("theos"). 

Pakai sebuah metafora: Allah adalah suatu bola besar tanpa batas yang menyelubungi segenap jagat raya yang ada, dan kita, manusia, ada di dalam naungan bola besar tak berhingga ini, cuma sebagai titik-titik atau partikel-partikel. Kehadiran "Tuhan semesta alam" yang tanpa batas. Cara berada-Nya juga tentu tanpa batas. Why there is something rather than nothing?

Dalam ungkapan-ungkapan yang puitis, penulis Mazmur 9 mengungkapkan isi hati dan pikirannya. 

Tulisnya, "Langit menceritakan kemuliaan Allah dan cakrawala memberitakan karya-karya tangan-Nya." (ayat 2)

Langit dan cakrawala pun menjadi cara berada Allah yang penuh dengan kemuliaan. Bahkan, langit dan cakrawala dipersonifikasi, bisa bercerita dan bisa memberitakan. Jika langit dipahami sebagai jagat raya, langit sebetulnya juga bergerak dan mengembang makin cepat.

Allah juga mengambil cara berada lewat diri bayi-bayi dan anak-anak batita yang dapat bernyanyi untuk Tuhan, yang  kemuliaan-Nya mengatasi langit.

Dalam Mazmur 8:1-2a termuat pujian kepada Tuhan, demikian:  

"Oh Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh Bumi. Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan oleh mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusui." (mengikuti teks NRSV). 

Kalau anda sedang gerah dan kepanasan, lalu berhembus angin sepoi-sepoi basa, "a gentle breeze", ke anda, tentu anda akan merasa nyaman, bukan?

Begitulah juga halnya dengan nabi Elia (900 SM-849 SM) dalam kisah 1 Raja-raja 19:11-13. 

Dituturkan, dalam kondisi tertekan karena sedang dikejar-kejar oleh orang Israel untuk dibunuh, sang nabi terpaksa mengamankan diri dalam sebuah goa. 

Ketika Elia mentaati perintah TUHAN semesta alam untuk keluar dari goa dan sedang berdiri di mulut goa itu, berhembuslah angin badai yang membelah gunung-gunung dan bukit-bukit batu. Lalu gempa melanda, yang disusul kobaran api yang menjalar. Tetapi, dikatakan, tidak ada TUHAN dalam tiga kejadian alam yang dahsyat ini. Nabi Elia tentu tambah ciut hati. Tiga kejadian alam itu adalah simbolik kekerasan di luar, sekaligus simbolik suasana batin Elia. 

Tetapi kisahnya belum selesai. Selanjutnya datanglah "bunyi angin sepoi-sepoi basa" (teks RSV/NRSV, "suara berbisik yang pelan dan hening" atau "keheningan total") yang menjadi cara Allah berada, cara Allah hadir. Sebuah metafora yang keren. Elia pun merasa nyaman. Pergolakan berat batinnya teratasi.

Jika kita baca dalam konteks naratifnya, sayangnya "suara hening" itu suara TUHAN yang menyatakan akan membalas dengan keras orang Israel yang telah melanggar perjanjian mereka dengan Tuhan dan telah menewaskan nabi-nabi dan sedang mengejar Elia. Apakah keheningan dan kekerasan bisa sejalan? Apakah suara angin sepoi-sepoi basa membuahkan pekik peperangan dan pembunuhan? 

Memang, api dan kekerasan digambarkan sebagai ciri nabi Elia. Bacalah, misalnya, 2 Raja-raja 1:1-18. Murid dan penerus nabi Elia, yaitu Elisa, juga mengutuk 42 orang anak-anak dari kota Betel, yang selanjutnya semua anak-anak ini mati dicabik-cabik dua ekor beruang hutan (2 Raja-raja 2:23-25).

Bagaimanapun juga, Allah bebas memilih cara berada dalam keheningan yang dalam, dalam angin sepoi-sepoi basa, dalam "a quiet whispering voice".

Ada sebuah ucapan kenabian dalam kitab (Deutero-) Yesaya (ditulis sebelum kejatuhan Babilonia ke tangan pasukan Koresh, raja Persia, 29 Oktober 539 SM) tentang cara berada Allah yang unik dan mengejutkan: Allah memilih cara berada yang tidak terlihat, cara bersembunyi, meski dalam ketidakberadaan-Nya ini Allah tetap ada. Ketidakberadaan Allah adalah juga suatu cara berada Allah. 

Masuklah ke dalam meditasi dan perenungan ketidakberadaan Allah. Hasilnya akan sangat menakjubkan: anda menemukan keberadaan dan kehadiran Allah, yang khas, unik, lain dari biasanya.

"Sungguh, Engkau Allah yang menyembunyikan diri, Allah Israel, sang Juruselamat." (Yesaya 45:15)

Ucapan itu muncul setelah sebelumnya ada pengakuan dari bangsa-bangsa lain bahwa Allah, satu-satunya Allah, hanya ada di tengah-tengah bangsa Israel. Ini tampak seperti sebuah ironi. Rupanya, terhadap bangsa-bangsa yang bukan pilihan Allah Israel, Allah menyembunyikan diri. Allah bebas memilih, kepada siapa Dia akan terlihat ada, dan kepada siapa Dia akan tersembunyi, tidak terlihat ada.

He is always present even in His absence. Allah selalu ada, senantiasa hadir, bahkan ketika Allah tampak tidak ada, tidak hadir. 

Dalam kisah Injil Markus (15:33-39), di saat Yesus sedang sekarat di kayu salib, sendirian, Dia merasakan Allah, Bapa-Nya, tidak berada bersama-Nya, telah meninggalkan-Nya. Teriak Yesus, "Eloi, Eloi, lamasabakhtani?", artinya" "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" 

Teriakan Yesus itu tidak berjawab. Awan gelap menutupi daerah itu selama tiga jam, suatu simbolik langit atau sorga yang tertutup sama sekali, tidak ada suara sang Bapa yang terdengar. Di manakah Allah berada? 

Allah mengambil cara berada menyatu dengan Yesus dalam azab-Nya. Allah berempati sangat dalam, tak terkatakan. Yang ada hanya keheningan yang kedalamannya tak terukur. Azab Yesus adalah azab sang Bapa yang berada di dalam diri-Nya, tidak meninggalkan-Nya. Ini suatu teologi empati, teologi compassion, yang luar biasa menggugah, yang sanggup menegakkan sehelai benang yang basah terkulai.

TUHAN juga mengambil cara berada sebagai hikmat (Ibrani: ḥāḵmāh, חָכְמָ֑ה).

Mari kita perhatikan Amsal 8-9 yang memuat gambaran tentang hikmat. Kita baca di situ, hikmat dipersonifikasi sebagai “anak kesayangan” (TB LAI; teks NRSV memberi alternatif terjemahan “little child”) TUHAN (Amsal 8:30), yang “senantiasa bermain-main/bergembira di hadapan TUHAN” (ay. 30).

Hikmat memiliki praeksistensi, maksudnya: sudah ada sebelum langit dan Bumi diciptakan. Hikmat diciptakan “pada mula pertama” atau “lebih dulu”, sebelum Bumi ada (ayat 22, 23). Hikmat sendiri bersabda, “Ketika TUHAN mempersiapkan langit, aku ada di sana” (ay. 22, 27).

Hikmat juga disejajarkan dengan kecerdasan dan pengetahuan (ay. 5, 9, 10, 12), pengertian (ay. 14), kebenaran dan keadilan (ay. 8, 15, 20), kehidupan (ay. 35), kebahagiaan (ay. 32) dan umur panjang (9:11).

Digambarkan, hikmat mengambil tempat kediaman atau “mendirikan rumah”, di antara manusia, dan mengundang manusia untuk dituntunnya (8:2 dyb; 9:1 dyb).

TUHAN juga mengambil cara berada sebagai Shekinah. Apa ini?

Keluaran 25:8, misalnya, menyebut suatu tempat kudus yang Aku dapat diami (Ibrani: miqdāš wəšhāḵantî, מִקְדָּ֑שׁ וְשָׁכַנְת). Kata kerja šhāḵan berarti mendiami, Inggris: dwell. Tetapi kata benda feminin shekinah, yang dibentuk dari kata kerja šhāḵan, tidak terdapat dalam Kitab suci Ibrani.

Ya, karena sebutan shekinah baru dibuat oleh para rabbi Yahudi setelah Bait Allah di Yerusalem dihancurkan oleh pasukan Romawi pada tahun 70 M dalam Perang Yahudi Pertama (66-74 M). Ketika Bait ini masih berdiri, TUHAN yang penuh kemuliaan (Ibrani: kavod, כבוד) dipandang berdiam di Ruang Maha Kudus Bait Allah.

Nah, ketika Bait ini sudah dihancurleburkan, para rabbi penopang Yudaisme rabbinik mengubah pandangan, bahwa kehadiran TUHAN tidak bisa dibatasi hanya dalam Ruang Maha Kudus, tetapi hadir di mana-mana, mahahadir, sebagai Shekinah.

Jadi, Shekinah adalah kemahadiran TUHAN dalam kemuliaan-Nya. Shekinah, dalam pandangan Yudaisme rabbinik, adalah kedekatan dan kemahahadiran TUHAN dalam dunia manusia dan jagat raya, menampilkan aspek feminin TUHAN dalam kemuliaan-Nya.

Kalau kavod atau kemuliaan atau glory menunjuk pada suatu manifestasi sifat TUHAN, maka Shekinah adalah wujud segala sifat TUHAN yang mahahadir, wujud kemahaadaan TUHAN yang mulia, Shekinah kavod, atau Shekinah glory.

Kehadiran Shekinah kavod ditandai dengan penampakan cahaya sorgawi yang cemerlang dan gilang-gemilang, tak terkatakan. Shekinah menyelubungi dengan cahaya gemilang segala hal yang di dalamnya TUHAN berkenan hadir, berdiam dan menyatakan kemuliaan-Nya. Orang yang hidup di jalan TUHAN, yang jalan kehidupan mereka diperkenan TUHAN, diselubungi oleh Shekinah, manifestasi feminin TUHAN yang mahamulia dan mahahadir. 

"Let God be God"

Well, sejauh diakui bahwa Allah itu tak terbatas, dan mahahadir, maka cara berada Allah juga tak terbatas. Doktrin Tritunggal adalah salah satu usaha untuk menggambarkan cara berada Allah, bukan satu-satunya usaha.

Jadi, ya jangan ngotot dan berjibaku mati hidup demi suatu dogma atau demi "satu-satunya" dogma. 

Biarkan dogma-dogma terus terbuka, dan biarkan juga dogma-dogma baru disusun. Gereja belum berakhir. Bahtera gereja masih terus berlayar, belum tiba di pelabuhan tujuan, yang selalu menjauh ketika didekati. 

Allah yang esa itu hidup, cerdas, kreatif, mahaberkarya, terus berkarya, mahaberada, dan terus menyatakan kemuliaan-Nya dalam banyak cara yang tak berhingga. Allah inilah yang saya percayai, dan kepercayaan saya ini membangun dan mencerdaskan, bukan merusak dan memperbodoh saya. Kepercayaan saya ini menyebabkan saya mencintai akal dan ilmu pengetahuan sebagai jalan-jalan agung tanpa ujung menuju Tuhan yang mahacerdas dan mahatahu.

Jadi, ya Allah tidak bisa dikuasai oleh dogma apapun. Allah tetap bebas, kendati anda mau mengurung-Nya dalam suatu dogma. Allah selalu mengelak, selalu elusive, selalu menghindar, selalu evasive, ketika Dia mau dikerangkeng dalam doktrin-doktrin. Kok begitu? Ya karena Allah mahabesar, mahacerdas, mahatakterbatas dan mahahadir, bebas dan kreatif.

Biarkan Allah tetap Allah. Let God be God. Jangan menangkap dan menyusutkan Allah menjadi sebuah dogma, sebuah doktrin. Jangan menyemen Allah menjadi suatu patung atau tugu dogma sekalipun patung atau tugunya diberi lapisan emas murni seperti "patung lembu emas" bangsa Israel kuno.

Penutup

Lantas, masih bergunakah dogma Kristen Tritunggal? 

Tentu saja berguna, sejauh anda tidak memperlakukan dogma ini sebagai satu-satunya dogma yang setara dengan Allah sendiri. Ingatlah, dogma apapun hanyalah sebuah perahu kecil yang sedang berlayar menuju Cakrawala Besar yang tak pernah berdiam di satu tempat. Selalu bergeser. Bergeser. Menjauh.

Juga, sejauh dogma ini mendorong dan memberdayakan anda untuk berperan positif dan membangun kehidupan, entah sebagai seorang bapa/bunda, atau seorang putera/puteri, ataupun sebagai seorang pembimbing, pemberdaya, pendamping dan pelipur lara. Do that! Make the trinitarian theology work in your life.

Jakarta, 20 Maret 2021
ioanes rakhmat

N.B. Diedit 9 April 2021
13 Oktober 2021