Kita tahu, test swab/usap (atau test PCR atau RT-PCR, "Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction") bertujuan untuk mendeteksi material genetik (yang tidak hidup) virus corona pada sampel atau gabungan sampel yang diambil dari bagian dalam rongga hidung (nasofaring) dan tenggorokan (orofaring).
Sampel dari dua tempat ini harus digabung jadi satu dalam satu tabung untuk meningkatkan muatan atau "load" virus sehingga hasil test lebih dapat diandalkan. Ini arahan WHO.
Selain itu, test PCR mendapatkan hasil dengan melipatgandakan muatan material genetik RNA virus dalam gabungan spesimen lewat siklus yang diulang-ulang (sampai 35 hingga 40 siklus). Ini adalah proses kimiawi.
Sekali lagi, lewat test ini, yang mau ditemukan adalah material genetik RNA virus yang ada pada sampel atau spesimen yang telah diambil dan disatukan. Bukan keseluruhan virus yang hidup, yang dinamakan virion.
Material genetik suatu virus bukanlah keseluruhan virus utuh yang hidup, tapi cuma asam nukleat DNA atau RNA virus ini, tidak menyertakan cangkang (atau "shell") luarnya yang berupa protein, dan juga enzim.
Baiklah, saya kutipkan suatu paragraf dari buku Mollecular Cell Biology edisi keempat, butir 6.3, "Viruses: Structure, Function, and Uses". Link-nya di bawah ini.
"Suatu virus adalah suatu parasit yang tidak dapat memperbanyak diri atau mereproduksi diri pada dirinya sendiri. Ketika suatu virus menginfeksi sel yang rentan, virus yang infeksius ini dapat mengarahkan mesin sel inang untuk menghasilkan lebih banyak virus. Umumnya virus memiliki entah RNA atau DNA sebagai material genetik mereka.
Bisa terjadi, pada secuil sampel test swab gabungan yang kebetulan terambil tidak ada material genetik virus. Dus, disimpulkan, si pasien negatif.
Tetapi, material genetik virus bisa ada di bagian-bagian lain dalam rongga hidung dan tenggorokan, yang tidak terwakili oleh gabungan sampel dari dua lokasi dalam saluran pernafasan.
Sudah diketahui, virus SARS-CoV-2 sebagai penyebab penyakit Covid-19 ("COrona VIrus Disease"), ada di dan menyerang sejumlah organ tubuh, bukan cuma menyerang, dan ada pada, saluran pernafasan dan organ paru.
Virus corona dapat menyerang bagian tertentu organ otak, juga organ ginjal, dan organ lain. Juga dapat membuat darah menggumpal kecil-kecil dalam pembuluh darah.
Jadi, tidak ditemukannya material genetik virus pada sampel-sampel yang diambil dan disatukan untuk test swab (atau hasil test negatif), tidak mutlak berarti si pasien tidak terinfeksi virus.
Lantaran itulah, test swab perlu diulang beberapa kali (dengan biaya habis lebih banyak!) pada pasien yang bergejala (batuk, bersin, puyeng, demam dengan suhu tubuh 38°c ke atas, muka pucat, ditambah diare, dan rasa lelah luar biasa dan sesak nafas untuk yang bergejala berat), atau yang tak bergejala, tetapi dengan hasil test swab negatif.
Sebetulnya, gejala terjangkit Covid-19 lebih dari itu, mencakup juga antara lain:
• kehilangan berat tubuh yang sangat cepat
• kehilangan kemampuan untuk membedakan rasa dan kemampuan untuk mencium bau
• hypoxia, yakni persentase saturasi oksigen rendah dalam darah, di bawah 90%, tetapi tidak langsung berefek negatif, dus tidak diketahui, tetapi akhirnya nenimbulkan kematian mendadak. Kematian mendadak? Ya, karena organ paru sebagai "mesin" biologis pemasok oksigen telah rusak diam-diam atau mengalami "silent lung damage" dengan akibat darah, sel-sel tubuh, organ tubuh dan organ otak tidak menerima oksigen lagi. Inilah penyebab kematian karena hypoxia.
• darah yang menggumpal kecil-kecil dalam pembuluh darah
• ruam-ruam merah kecil pada kulit
• gangguan pada organ seperti ginjal dan hati.
Material genetik suatu virus bukanlah keseluruhan virus utuh yang hidup, tapi cuma asam nukleat DNA atau RNA virus ini, tidak menyertakan cangkang (atau "shell") luarnya yang berupa protein, dan juga enzim.
"Suatu virus adalah suatu parasit yang tidak dapat memperbanyak diri atau mereproduksi diri pada dirinya sendiri. Ketika suatu virus menginfeksi sel yang rentan, virus yang infeksius ini dapat mengarahkan mesin sel inang untuk menghasilkan lebih banyak virus. Umumnya virus memiliki entah RNA atau DNA sebagai material genetik mereka.
Asam nukleat RNA/DNA ini dapat bertipe tunggal (heliks tipe tunggal) atau bertipe ganda (heliks tipe ganda).
Keseluruhan partikel virus yang infeksius, yang dinamakan virion, terdiri atas asam nukleat (material genetik RNA/DNA) dan cangkang ("shell") luarnya yang berupa protein.
Virus paling sederhana berisi RNA/DNA dalam jumlah cukup saja untuk mengkodekan 4 protein. Virus yang paling rumit dapat mengkodekan 100 hingga 200 protein."
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK21523/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK21523/
Bisa terjadi, pada secuil sampel test swab gabungan yang kebetulan terambil tidak ada material genetik virus. Dus, disimpulkan, si pasien negatif.
Tetapi, material genetik virus bisa ada di bagian-bagian lain dalam rongga hidung dan tenggorokan, yang tidak terwakili oleh gabungan sampel dari dua lokasi dalam saluran pernafasan.
Sudah diketahui, virus SARS-CoV-2 sebagai penyebab penyakit Covid-19 ("COrona VIrus Disease"), ada di dan menyerang sejumlah organ tubuh, bukan cuma menyerang, dan ada pada, saluran pernafasan dan organ paru.
Virus corona dapat menyerang bagian tertentu organ otak, juga organ ginjal, dan organ lain. Juga dapat membuat darah menggumpal kecil-kecil dalam pembuluh darah.
Jadi, tidak ditemukannya material genetik virus pada sampel-sampel yang diambil dan disatukan untuk test swab (atau hasil test negatif), tidak mutlak berarti si pasien tidak terinfeksi virus.
Lantaran itulah, test swab perlu diulang beberapa kali (dengan biaya habis lebih banyak!) pada pasien yang bergejala (batuk, bersin, puyeng, demam dengan suhu tubuh 38°c ke atas, muka pucat, ditambah diare, dan rasa lelah luar biasa dan sesak nafas untuk yang bergejala berat), atau yang tak bergejala, tetapi dengan hasil test swab negatif.
Sebetulnya, gejala terjangkit Covid-19 lebih dari itu, mencakup juga antara lain:
• kehilangan berat tubuh yang sangat cepat
• kehilangan kemampuan untuk membedakan rasa dan kemampuan untuk mencium bau
• hypoxia, yakni persentase saturasi oksigen rendah dalam darah, di bawah 90%, tetapi tidak langsung berefek negatif, dus tidak diketahui, tetapi akhirnya nenimbulkan kematian mendadak. Kematian mendadak? Ya, karena organ paru sebagai "mesin" biologis pemasok oksigen telah rusak diam-diam atau mengalami "silent lung damage" dengan akibat darah, sel-sel tubuh, organ tubuh dan organ otak tidak menerima oksigen lagi. Inilah penyebab kematian karena hypoxia.
• darah yang menggumpal kecil-kecil dalam pembuluh darah
• ruam-ruam merah kecil pada kulit
• gangguan pada organ seperti ginjal dan hati.
Jadi, ya... test swab juga terbatas. Karena tidak bisa mendeteksi material genetik (yang tidak hidup) virus di luar sampel gabungan yang telah diambil yang tidak berisi material genetik RNA/DNA virus. Dus, diagnosis negatif atau tidak terinfeksi virus lewat test swab juga bisa salah. Ini dinamakan "false negative" (FN).
Penting juga diingat bahwa FN akan didapat jika seorang yang sebetulnya sudah terinfeksi mengambil test PCR di saat virus masih belum menyusup ke sel-sel tubuh lalu memperbanyak diri, dan gejala belum muncul (karena baru akan muncul 4-5 hari setelah terinfeksi). OTG yang sebetulnya membawa virus dalam jumlah kecil dapat ditest negatif juga. Dalam jurnal British Medical Journal, dokter-dokter Amerika dan Inggris melaporkan hasil FN berkisar antara 2 hingga 29 % dari seluruh test PCR yang telah dilakukan.
Juga ada hasil test PCR yang false positive (FP), ditest positif padahal tidak membawa virus. FP berpeluang muncul karena gabungan sampel material genetik telah melewati siklus multiplikasi yang diulang banyak kali. Proses kimiawi ini dapat menghasilkan FP meski dalam sampel semula/asli tidak ada RNA coronavirus. Orang yang telah sembuh tapi masih membawa sisa-sisa material genetik virus yang sudah tidak infeksius, juga dapat ditest FP.
https://www.thenationalnews.com/uae/science/false-negatives-and-positives-how-accurate-are-pcr-tests-for-covid-19-1.1113187
Nah, ada sisi lain.
Jika hasil test swab ditemukan positif, artinya: si pasien terinfeksi virus, kiamatkah dunia ini? Oh tentu tidak. Tidak sama sekali!
Dalam peringkat yang signifikan, ada jauh lebih banyak orang yang sembuh dibandingkan orang yang tidak sembuh, ketika terjangkit Covid-19.
Ratio sembuh dan tak sembuh atau "recovery rate" kasus Covid-19 di Indonesia Oktober 2020 adalah 80,51%. Artinya, jumlah orang yang sembuh 4 kali lipat orang yang tak sembuh. Perhatikan kutipan berikut.
"Jumlah kasus sembuh dari Covid-19 dan pasien yang selesai isolasi di Indonesia mencapai 317.672 orang, dengan tingkat kesembuhan ["recovery rate"] 80,51 persen. Rasio tersebut diklaim jauh di atas angka dunia [73,60%]."
https://kabar24.bisnis.com/read/20201026/15/1310014/rasio-kesembuhan-dari-covid-19-di-indonesia-kian-jauhi-angka-global
Tentu, pasien dengan gejala berat, dan ada dalam kondisi sakit berat dan kritis (dikenakan ventilator dan berbagai instrumen medik lain untuk menggantikan fungsi paru yang sudah rusak berat atau fungsi jantung pada pasien yang punya penyakit ikutan), jauh berisiko tinggi untuk tidak bisa sembuh. Penderita berat dan kritis tidak bisa lakukan isolasi mandiri. Mereka memerlukan perawatan intensif di rumah-rumah sakit yang dapat diandalkan.
Nah, ketika hasil test swab PCR positif, dan pasien memperlihatkan gejala ringan (hingga sedang), lalu selanjutnya menjalankan isolasi mandiri di rumah dan minum obat-obatan (seperti kapsul China LIAN HUA QINGWEN) dan vitamin sebagai suplemen (seperti vitamin D3) serta madu hutan hitam pahit, peluang mereka sembuh sangat besar.
Berpengharapanlah! Be hopeful!
Nah, ketika mereka sudah melewati masa 14 hari isolasi mandiri (masa inkubasi virus corona), ditambah 10 hingga 15 hari lagi untuk memberi waktu yang cukup ke sistem imun tubuh untuk bekerja, mereka yang positif terinfeksi (diketahui dari test swab) akan sembuh, dan sistem imun mereka akan menghasilkan antibodi IgG (yang akan bertahan lama) dan IgM (yang akan lenyap setelah dua atau tiga bulan sejak terinfeksi). Keberadaan antibodi ini diperlihatkan lewat rapid test atau test serologi yang memakai serum darah pasien, yang diambil dari pembuluh vena. Jika ditemukan antibodi, maka hasil test ini disebut reaktif. Jika antibodi tidak terdeteksi, hasil test dikatakan non-reaktif.
Antibodi IgG inilah yang selanjutnya akan melindungi orang yang telah sembuh dari serangan virus SARS-CoV-2 berikutnya.
Sementara vaksin yang aman, efektif, dan terjamin belum ada hingga saat ini, ya beruntunglah orang yang telah memiliki antibodi IgG dalam tubuh mereka ketika sudah sembuh dari Covid-19.
Dilihat dari satu sudut, orang yang telah positif tertular, dan telah sembuh, dan sudah memiliki antibodi, lebih santai dalam menjalani kehidupan dibandingkan orang yang belum pernah terpapar virus, di masa pandemi Covid-19 yang kita sama sekali tidak ketahui kapan akan berakhir. Bisa lima tahun di depan lagi, atau malah 10 tahun lagi. Devastating indeed!
Tentu, mereka yang telah memiliki antibodi, harus tetap menjalankan protokol kesehatan, yakni: menghindari kerumunan atau tempat banyak orang berkumpul, tetap memakai masker di ruang publik (bisa juga di rumah sendiri jika ada anggota keluarga yang terinfeksi dan sedang dirawat di rumah), menjalankan "physical distancing", mencuci tangan dengan sabun, mendisinfektan dengan teratur ruang dan permukaan benda-benda dalam rumah.
Mereka yang telah sembuh, dan memiliki antibodi, tapi belum menerima vaksin yang aman dan efektif, tetap tidak akan bisa 100 % dan selamanya terlindung penuh dari efek-efek jangka panjang penyakit Covid-19 yang pernah menjangkit mereka.
Kini makin disadari, bahwa orang yang telah sembuh, masih belum terbebas penuh dari long covid. Sebab masih mungkin virus SARS-CoV-2 dalam muatan ("viral load") yang besar dalam tubuh, tidak terbunuh semua dalam tubuh mereka, tetapi berhasil sembunyi dalam sistem imun mereka lewat cara-cara yang belum diketahui.
Kondisi itulah yang membuat orang yang sudah sembuh ("recovered") masih mungkin dalam jangka lama yang berkepanjangan ("long") ke depan tetap didera dengan berbagai kelemahan tubuh dan gangguan kesehatan.
https://www.newscientist.com/article/mg24833064-100-long-covid-why-are-some-people-sick-months-after-catching-the-virus/
Kondisi seperti "long covid" sebetulnya dapat muncul juga pada orang yang menderita berbagai penyakit lain, penyakit biasa atau penyakit kritis. Kelemahan tubuh dan banyak masalah kesehatan mendera mereka juga dalam kurun yang panjang.
Masa pandemi Covid-19 memang masa yang berat bagi penduduk dunia. Berat!
Sekali lagi, jika test swab anda positif, tetaplah berpengharapan. Tetaplah tenang, rileks, tidak stres. Tetaplah rasakan kemerdekaan. Anda akan sembuh dan selanjutnya memiliki antibodi. Be happy. Stay strong. Keep smiling. Be hopeful, always. Ever.
Dekatkan diri lewat doa dan nyanyian ke Yesus Kristus, sang Immanuel kudus, sang pemelihara dan penyembuh.
☆ ioanes rakhmat
8 Nov 2020
N.B. Jika uraian pendek di atas dirasakan bermanfaaf buat lebih banyak orang, silakan share tanpa perlu minta izin ke penulisnya. Thx.
Nah, ada sisi lain.
Jika hasil test swab ditemukan positif, artinya: si pasien terinfeksi virus, kiamatkah dunia ini? Oh tentu tidak. Tidak sama sekali!
Dalam peringkat yang signifikan, ada jauh lebih banyak orang yang sembuh dibandingkan orang yang tidak sembuh, ketika terjangkit Covid-19.
Ratio sembuh dan tak sembuh atau "recovery rate" kasus Covid-19 di Indonesia Oktober 2020 adalah 80,51%. Artinya, jumlah orang yang sembuh 4 kali lipat orang yang tak sembuh. Perhatikan kutipan berikut.
"Jumlah kasus sembuh dari Covid-19 dan pasien yang selesai isolasi di Indonesia mencapai 317.672 orang, dengan tingkat kesembuhan ["recovery rate"] 80,51 persen. Rasio tersebut diklaim jauh di atas angka dunia [73,60%]."
https://kabar24.bisnis.com/read/20201026/15/1310014/rasio-kesembuhan-dari-covid-19-di-indonesia-kian-jauhi-angka-global
Tentu, pasien dengan gejala berat, dan ada dalam kondisi sakit berat dan kritis (dikenakan ventilator dan berbagai instrumen medik lain untuk menggantikan fungsi paru yang sudah rusak berat atau fungsi jantung pada pasien yang punya penyakit ikutan), jauh berisiko tinggi untuk tidak bisa sembuh. Penderita berat dan kritis tidak bisa lakukan isolasi mandiri. Mereka memerlukan perawatan intensif di rumah-rumah sakit yang dapat diandalkan.
Nah, ketika hasil test swab PCR positif, dan pasien memperlihatkan gejala ringan (hingga sedang), lalu selanjutnya menjalankan isolasi mandiri di rumah dan minum obat-obatan (seperti kapsul China LIAN HUA QINGWEN) dan vitamin sebagai suplemen (seperti vitamin D3) serta madu hutan hitam pahit, peluang mereka sembuh sangat besar.
Berpengharapanlah! Be hopeful!
Nah, ketika mereka sudah melewati masa 14 hari isolasi mandiri (masa inkubasi virus corona), ditambah 10 hingga 15 hari lagi untuk memberi waktu yang cukup ke sistem imun tubuh untuk bekerja, mereka yang positif terinfeksi (diketahui dari test swab) akan sembuh, dan sistem imun mereka akan menghasilkan antibodi IgG (yang akan bertahan lama) dan IgM (yang akan lenyap setelah dua atau tiga bulan sejak terinfeksi). Keberadaan antibodi ini diperlihatkan lewat rapid test atau test serologi yang memakai serum darah pasien, yang diambil dari pembuluh vena. Jika ditemukan antibodi, maka hasil test ini disebut reaktif. Jika antibodi tidak terdeteksi, hasil test dikatakan non-reaktif.
Antibodi IgG inilah yang selanjutnya akan melindungi orang yang telah sembuh dari serangan virus SARS-CoV-2 berikutnya.
Sementara vaksin yang aman, efektif, dan terjamin belum ada hingga saat ini, ya beruntunglah orang yang telah memiliki antibodi IgG dalam tubuh mereka ketika sudah sembuh dari Covid-19.
Dilihat dari satu sudut, orang yang telah positif tertular, dan telah sembuh, dan sudah memiliki antibodi, lebih santai dalam menjalani kehidupan dibandingkan orang yang belum pernah terpapar virus, di masa pandemi Covid-19 yang kita sama sekali tidak ketahui kapan akan berakhir. Bisa lima tahun di depan lagi, atau malah 10 tahun lagi. Devastating indeed!
Tentu, mereka yang telah memiliki antibodi, harus tetap menjalankan protokol kesehatan, yakni: menghindari kerumunan atau tempat banyak orang berkumpul, tetap memakai masker di ruang publik (bisa juga di rumah sendiri jika ada anggota keluarga yang terinfeksi dan sedang dirawat di rumah), menjalankan "physical distancing", mencuci tangan dengan sabun, mendisinfektan dengan teratur ruang dan permukaan benda-benda dalam rumah.
Mereka yang telah sembuh, dan memiliki antibodi, tapi belum menerima vaksin yang aman dan efektif, tetap tidak akan bisa 100 % dan selamanya terlindung penuh dari efek-efek jangka panjang penyakit Covid-19 yang pernah menjangkit mereka.
Kini makin disadari, bahwa orang yang telah sembuh, masih belum terbebas penuh dari long covid. Sebab masih mungkin virus SARS-CoV-2 dalam muatan ("viral load") yang besar dalam tubuh, tidak terbunuh semua dalam tubuh mereka, tetapi berhasil sembunyi dalam sistem imun mereka lewat cara-cara yang belum diketahui.
Kondisi itulah yang membuat orang yang sudah sembuh ("recovered") masih mungkin dalam jangka lama yang berkepanjangan ("long") ke depan tetap didera dengan berbagai kelemahan tubuh dan gangguan kesehatan.
https://www.newscientist.com/article/mg24833064-100-long-covid-why-are-some-people-sick-months-after-catching-the-virus/
Kondisi seperti "long covid" sebetulnya dapat muncul juga pada orang yang menderita berbagai penyakit lain, penyakit biasa atau penyakit kritis. Kelemahan tubuh dan banyak masalah kesehatan mendera mereka juga dalam kurun yang panjang.
Masa pandemi Covid-19 memang masa yang berat bagi penduduk dunia. Berat!
Sekali lagi, jika test swab anda positif, tetaplah berpengharapan. Tetaplah tenang, rileks, tidak stres. Tetaplah rasakan kemerdekaan. Anda akan sembuh dan selanjutnya memiliki antibodi. Be happy. Stay strong. Keep smiling. Be hopeful, always. Ever.
Dekatkan diri lewat doa dan nyanyian ke Yesus Kristus, sang Immanuel kudus, sang pemelihara dan penyembuh.
☆ ioanes rakhmat
8 Nov 2020
N.B. Jika uraian pendek di atas dirasakan bermanfaaf buat lebih banyak orang, silakan share tanpa perlu minta izin ke penulisnya. Thx.