Tap atau ketuk gambarnya untuk dapat ukuran lebih besar dan jelas terlihat.
Pengkhotbah dalam kebaktian ini adalah Sdr. Christyan Adi Pamungkas. Tema khotbah masih di sekitar kalender masa penantian kedatangan Yesus (atau masa Adventus), yaitu masa penantian antara Natal (atau "kelahiran Yesus" yang sudah terjadi di abad pertama) dan Parousia (atau "kedatangan kembali" Yesus yang masih ditunggu).
Saya tidak bermaksud mengulas isi khotbah yang sudah disampaikan. Fokus saya dalam tulisan ini adalah bagian-bagian tertentu Doa Bapa Kami, lebih spesifik lagi ihwal kerajaan Allah dalam pemahaman Yesus orang Nazareth.
Dalam doa yang diajarkan Yesus kepada murid-murid-Nya, yang dikenal sebagai Doa Bapa Kami, ada bagian awal yang berbunyi "Datanglah kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu di Bumi seperti di sorga." (Matius 6:10; Lukas 11:2)
Dilihat dari tata-bahasanya ("aorist imperfect"), seruan "Datanglah (Yunani: elthatô) ..." adalah seruan untuk kerajaan Allah datang terus-menerus, tidak cuma satu kali lalu selesai di masa lalu, juga bukan untuk baru datang nanti di masa depan yang tak jelas.
Murid Yesus, yaitu gereja, tidak diminta Yesus terbang ke langit naik ke sorga, meninggalkan dan mengabaikan Bumi. Dibetot ke angkasa tinggi, melawan gravitasi, mungkin dengan memakai tenaga jet.
Seruan Yesus untuk kerajaan sorga datang, juga tidak berada dalam bingkai ide sorga yang dibenturkan dengan ide neraka, seperti termuat dalam kitab Daniel 11-12 yang, sebagai satu kitab, ditulis pada abad ke-2 SM dalam konteks perang antara pasukan keluarga Makkabeus dan kerajaan Syria.
Tetapi sebaliknya, Yesus mengajak para pengikut-Nya untuk bersama Tuhan mendatangkan dan mewujudkan kerajaan sorga di Bumi ini dan menjadikan kehendak Tuhan terlaksana di Bumi ini seperti di sorga. Sekarang ini dan seterusnya. Kerajaan yang presentis, di Bumi ini, bukan di akhir sejarah nanti di kawasan lain. Bukan "hereafter" di "akhir zaman", tapi di sini sekarang ini, "here and now".
Bumi adalah tempat gereja berpijak dan melayani, dan mewujudkan serta menjalani kehendak Allah, sang Abba, sekarang ini. Sesudah mati, tidak ada lagi pelayanan dan kegiatan apapun. Di angkasa juga tak ada gereja, komunitas gereja ataupun gedung gereja. Tak ada kegiatan bernyanyi kekal selamanya.
Tetapi, musti jelas dulu, apa yang Yesus maksudkan dengan kerajaan Allah.
Kerajaan Allah
Kerajaan Allah tidak pernah dimaksudkan Yesus sebagai kerajaan alternatif pengganti kekaisaran Romawi. Yesus tidak pernah menggerakkan para murid-Nya untuk angkat senjata, memerangi dan menghancurkan Imperium Romanum yang sedang menjajah negeri Yesus, eretz yisrael.
Yesus tidak pernah membentuk dan melatih angkatan perang. Yesus tidak pernah mengumpulkan senjata, pedang, kelewang dan badik, apalagi pistol dan mortil serta tank, yang akan digunakan untuk berperang melawan kekaisaran Romawi.
Tak ada ajaran dan perintah Yesus untuk para murid-Nya dan para pengikut-Nya berjuang sampai mati di jalan Tuhan dengan berperang dan membunuh. Tak ada bukti apapun untuk mengklaim hal-hal sebaliknya.
Fakta-fakta di atas menjadi kendala kuat terhadap setiap usaha menafsirkan sejumlah teks dalam injil-injil Perjanjian Baru dari sudut politik militeristik, yang bermuara pada suatu kesimpulan yang dipaksakan bahwa Yesus dari Nazareth adalah seorang messias politis militeristik. Teks-teks yang semacam ini memang ada, tak banyak, tetapi bisa dijelaskan berbeda.
Memang sebutan Yesus tentang kerajaan Allah, dan ajaran-ajaran-Nya yang disampaikan lewat perumpamaan-perumpamaan-Nya tentang kerajaan Allah atau kerajaan sorga, yang disampaikan berulang-ulang di banyak wilayah di Galilea, dapat disalahartikan, atau disalahtafsirkan. Bahwa Yesus dari Nazareth sedang menggalang kekuatan rakyat dan menanamkan ideologi alternatif untuk menumbangkan kekaisaran Romawi.
Kerajaan Allah yang diberitakan Yesus dapat disalahpahami sebagai kerajaan Yahudi yang akan menggantikan paksa Imperium Romanum atau kekaisaran Romawi yang sedang menjajah negeri Israel, sebagai kerajaan politik dengan ideologi teokratisme ("Allah sebagai Raja yang memerintah") yang ditarik dari Perjanjian Lama. Kerajaan teokratis Yahudi dengan Yesus sebagai sang Raja. Dus, Yesus jadi dapat dituduh sebagai satu sosok pemberontak.
Dan itulah yang memang telah terjadi. Sejarah tak bisa diubah, tapi bisa dijelaskan dengan lebih bertanggungjawab.
Dakwaan yang salah
Yesus dihukum mati karena dakwaan bahwa Dia telah mengklaim diri sebagai Raja Orang Yahudi, dus sebagai sosok berbahaya yang menentang dan menolak Kaisar Romawi sebagai penguasa yang sah atas tanah jajahan mereka, tanah Israel.
Tuduhan ini real historis, sebagaimana terbaca pada Titulus crucis yang dipantekkan pada kayu salib Yesus. Pada titulus itu ditulis kata-kata "Yesus orang Nazareth. Raja orang Yahudi" dalam tiga bahasa, Ibrani, Yunani dan Latin.
Titulus crucis (dalam tiga bahasa). Atas, konon aslinya. Bawah, tiruannya.
Ya, Yesus telah dihukum mati atas dakwaan yang salah. Salah, lantaran banyak sebab, antara lain karena hasutan para pemuka agama Yahudi di zaman-Nya, atau karena info yang salah yang disampaikan salah satu atau lebih pengikut-Nya (yang mengaitkan Yesus dengan raja Daud sebagai "keturunan" atau "anak" Daud). Atau karena hasutan dan laporan para penguasa Bait Allah di Yerusalem yang di salah satu sisinya, yang dinamakan Stoa Salomo (TB LAI: serambi Salomo), Yesus sempat membuat keributan, berdemo kecil, tetapi sangat riskan di musim Paskah Yahudi.
Juga karena Yesus tidak memahami rumitnya relasi-relasi politik antara Bait Allah dan keamanan serta ketertiban masyarakat yang berlaku di negeri-Nya di masa kolonialisme Romawi, khususnya di musim Paskah Yahudi yang berlangsung dalam 7 hari, yakni musim merayakan dan menapaktilaskan Eksodus atau pembebasan moyang bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Dalam musim ini, ratusan ribu orang memadati kota Yerusalem sehingga kontrol dan pengawasan terhadap kamtibmas meningkat tinggi.
Dakwaan yang salah, karena tidak ada satu pun bukti material bahwa Yesus sedang menggalang pemberontakan dan perang melawan kolonial Romawi. Bahwa Dia sedang bergerak bawah tanah untuk menegakkan teokrasi Israel.
Dakwaan yang salah, lantaran Yesus tidak pernah mengklaim diri-Nya sang Raja Israel pelanjut dinasti Daud. Bagi Yesus, hanya Allah, sang Abba, yang menjadi Raja bagi para pengikut-Nya, bagi bangsa Yahudi. Paling jauh, Yesus melihat diri-Nya anak Allah atau putera sang Abba. Anak tidak pernah bisa menjadi Bapa, dan juga sebaliknya, dalam arti biologis, pun dalam arti hubungan spiritual yang akrab.
Lantas, apa yang sebetulnya dimaksudkan Yesus sebagai "kerajaan Allah" atau "kerajaan sorga" (kata "sorga" dipakai untuk mengganti kata "Allah" berhubung orang Yahudi dilarang keras menyebut nama Allah)?
Yesus memaknai lain
Ide "kerajaan sorga" (Yunani; hē basilea tou ouranou) atau "kerajaan Allah" (Yunani: hē basilea tou theou) dalam injil-injil Perjanjian Baru, dan dalam ajaran Yesus, tentu memiliki latarbelakang pada ide tentang
"malkuth hashamayim" (bahasa Ibrani: מלכת השמים), "kerajaan sorga", dalam kosa kata Ibrani (sebetulnya, terminologi khusus kalangan Farisi).
Tetapi Yesus dengan kreatif menafsirkan kembali atau memberi makna lain terhadap gagasan tentang kerajaan sorga dalam tradisi Yahudi.
Bagi Yesus, kerajaan sorga adalah suatu kesempatan, suatu kairos, dan suatu kawasan, di saat mana dan di mana Tuhan Allah dengan kerahiman dan kerahmanian-Nya, dengan belarasa-Nya, dengan "compassion"-Nya, bukan dengan angkatan perang-Nya, dialami dengan nyata-nyata oleh para murid dan para pengikut-Nya yang terdiri atas orang-orang kecil dan sederhana.
Murid-murid Yesus tidak kenal senjata. Tak pernah dilatih bertempur melawan musuh. Yang mereka sedang perangi adalah rasa lapar, rasa haus, rasa takut akan hari esok, rasa tak berdaya, rasa bodoh tak punya talenta, rasa terasing dari sesama, rasa ditinggalkan Tuhan, Allah mereka, rasa bersalah karena tidak bisa membayar pajak Bait Allah, rasa terbeban karena banyak hutang, rasa kedinginan karena tak punya baju dan jubah, rasa tak terlindungi, rasa rentan.
Allah menjadi Raja karena Allah adalah sang Bapa, sang Abba, yang pengasih dan penyayang, yang memelihara, menjaga, merawat, memulihkan dan mempertahankan kehidupan, kehidupan manusia, kehidupan kanak-kanak, domba-domba, burung-burung, bunga, pepohonan dan tanaman.
Sebagai Raja, sang Abba ini mampu dan berkuasa melindungi dan memberdayakan rakyat kecil, empowering the people, sehingga mereka dapat bertahan hidup, bebas dari ketakutan dan ketidakberdayaan, dari keterhilangan, dari kekerasan, dari penyakit, dari kerentanan, dan tak khawatir lagi dengan hari esok, kendatipun mereka sedang hidup dalam masa penjajahan yang berat dan sangat menyusahkan.
Lewat ajaran dan tindakan Yesus, baik tindakan aktual maupun tindakan simbolik, semua kekuasaan Allah sang Abba sebagai Raja dialami real oleh para pengikut-Nya.
Allah sang Abba sebagai Raja tidak pernah dipikirkan Yesus dalam suatu model militeristik dari dunia Perjanjian Lama, yakni sebagai Allah sang Panglima Perang seperti digambarkan dalam kisah-kisah tentang "perang suci" atau "holy wars" dalam bagian-bagian tertentu Perjanjian Lama, kitab suci Yahudi yang mereka namakan Tenakh.
Kalau pun Yesus melihat diri-Nya diberi tugas dan peran sebagai sang Anak oleh Allah, Bapa-Nya, yang di sorga, tugas dan peran ini bukanlah tugas dan peran Anak sang Bapa sebagai "sang Messias petempur", "a warrior Messiah", yang akan menggerakkan pemberontakan untuk melawan dan mengusir penjajah negeri mereka. Sebutan pertama tentang "Kurios Khristos" sebagai "seorang Messias perang" muncul dalam sebuah karya sastra pseudepigrafis yang ditulis dalam bahasa Yunani antara tahun 63 SM dan tahun 37 SM yang berjudul Mazmur-mazmur Salomo atau Psalmoi Solomontos (Yunani) (17:30 dyb).
Tentu, Yesus yang dalam pimpinan roh Allah sang Abba memberdayakan rakyat, dapat menghimpun rakyat setahap demi setahap sehingga menjadi besar. Lalu, pengikut yang sudah dalam jumlah besar ini, jika Yesus mau, dapat dilatih berperang, dan akhirnya dimobilisasi untuk memberontak terhadap kolonial Roma.
Ya, ada petunjuk-petunjuk dalam kitab-kitab injil, bahwa ada kalangan tertentu yang ingin mengangkat Yesus sebagai raja, dan kalangan lain yang ingin menekan dan mengarahkan Yesus untuk angkat senjata memerangi kekaisaran Romawi. Yesus tentu tahu betul hal ini.
Tapi,... Yesus selalu menolak kemauan mereka. Yesus tetap memilih untuk berada di jalan-Nya sendiri: jalan pemberdayaan rakyat, lewat kuasa Allah sang Abba, tanpa kekerasan fisik dan kekerasan mental.
Jalan tanpa kekerasan
Yesus memilih jalan perjuangan tanpa kekerasan. Perjuangan untuk memperoleh pembebasan dari beban-beban kehidupan yang membuat orang letih dan lesu, untuk dapat hidup lega, untuk dapat langsung mendatangi Allah sang Bapa, untuk dapat langsung mengalami kerahiman Allah sebagai Raja mereka yang selalu peduli. Tentu pilihan Yesus ini diambil setelah melewati suatu proses perenungan yang mendalam dan pergolakan batin yang berat.
Garakan kecil Yesus untuk memihak dan memberdayakan rakyat jelata Yahudi adalah suatu gerakan tanpa kekerasan wacana dan tanpa kekerasan tindakan. A non-violent movement by the non-violent Son of the non-violent God. Mahatma Gandhi menarik banyak inspirasi dari ajaran-ajaran Yesus, khususnya Khotbah di atas Bukit, dan dari gerakan-Nya. Seperti Yesus, Gandhi pun dibunuh.
Tetapi bagaimana dengan perkataan "keras" Yesus dalam Matius 10:34, "Jangan kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa damai (Yunani: hē eirēnē) di atas Bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang (Yunani: hē makhaira)."? Teks alternatifnya berbunyi "... melainkan pertentangan dan pedang (Yunani: hē makhē kai hē makhaira)."
Lukas 12:52 memuat teks paralelnya, "Kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas Bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai melainkan pertentangan (Yunani: diamerismos)."
Kalau dua teks tersebut di atas dipahami dalam konteks sastra perikop masing-masing seutuhnya, jelaslah bahwa "pedang" adalah kiasan untuk "pertentangan", "perselisihan" atau "perpecahan" atau "percekcokan" yang timbul dalam setiap keluarga karena ada anggota-anggotanya yang memutuskan untuk mengikut Yesus.
Pada era penjajahan tanah Israel oleh kekaisaran Romawi dan antek-antek Yahudi mereka, keluarga-keluarga hidup dalam relasi yang tidak seimbang dan tidak setara antar anggota-anggotanya.
Nah, Yesus mau sungguh-sungguh membereskan situasi dominasi pihak yang satu terhadap pihak yang lainnya dalam setiap keluarga Yahudi. Caranya?
Ya dengan menggantikan hierarki dan dominasi dengan kesederajatan dan kesetaraan. Inilah komitmen Yesus, "pedang" Yesus, untuk mewujudkan kehadiran Allah yang rahmani dan rahimi dalam setiap keluarga sebagai miniatur masyarakat kerajaan Allah yang dicita-citakan Yesus. Dalam keluarga-keluarga, relasi hierarkis vertikal sedang diganti Yesus dengan relasi kesetaraan horisontal.
Ingat juga, di taman Getsemani di saat Yesus mau ditangkap, ada seorang pengikut-Nya yang memotong sampai putus telinga seorang hamba Imam Besar. Yesus tidak mendukung tindak kekerasan ini. Kata Yesus, "Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa mengunakan pedang, akan binasa oleh pedang" (Matius 26:52; bdk. Lukas 22:49-51; Markus 14:47; Yohanes 18:10).
Kalaupun Yesus memerlukan pedang, dua bilah pedang yang ada pada murid-murid-Nya dikatakan oleh Yesus "sudah cukup". Dua pedang tentu sangat tidak cukup untuk mengobarkan pemberontakan bersenjata melawan Roma. Oleh penulis Injil Lukas, dua pedang itu dijadikan suatu alasan mengapa Yesus nanti, saat dibunuh di kayu salib, akan "terhitung di antara pemberontak-pemberontak" (Lukas 22:35-38, par. Yesaya 53:12).
Pas jika tuturan tentang tersedianya dua pedang tersebut dilihat sebagai tuturan yang dikarang penulis Injil Lukas dalam suatu skema "nubuat dan pemenuhan".
Alih-alih para murid Yesus akan langsung mulai melakukan perlawanan dan pemberontakan bersenjata ketika Yesus ditangkap di taman Getsemani, malah mereka semua melarikan diri karena ketakutan (Matius 26:56b; Markus 14:50).
Yesus tidak buta politik
Yesus tidak buta politik, tetapi Dia tahu politik itu kerap mengubah orang jadi "serigala", sebutan kepada Herodes Antipas dalam TB LAI Lukas 13:32. Sebetulnya kata benda feminin Yunani hē alôpēks berarti "rubah", tapi oleh Yesus diberi makna negatif dan merendahkan, yakni "anjing betina yang liar" atau sebuah allegori "perempuan jalang".
Atau jadi "legion" (Yunani: legiôn) (satuan besar pasukan Romawi yang terdiri atas pasukan berkuda dan pasukan pejalan kaki, berjumlah 6.000 orang) yang akhirnya hanya pantas mati tenggelam di dalam danau setelah diusir Yesus (Markus 5:9).
Relief seorang personil Legion XI Claudia yang dibentuk Julius Caesar di tahun 58 SM. Credit: Caralo Raddato. Sumber gambar World History Encyclopedia, artikel Donald L. Wasson, 12 Oktober 2021.
Atau jadi "orang kuat" (ho iskhuros) tanpa pamor yang cuma pantas diikat (Markus 3:27). Orang kuat bisa diartikan Beelzebul atau penghulu setan; dan bisa juga simbolik ke pihak penguasa kerajaan religiopolitik yang kuat atau ke petempur yang kuat dalam perang.
Mentor-Nya, Yohanes Pembaptis, Yesus tahu, telah dibunuh atas perintah raja Herodes Antipas yang merasa terancam oleh para pengikut Yohanes Pembaptis yang banyak (ini penjelasan sejarawan Yahudi Flavius Josephus).
Semua persepsi Yesus itu, dan juga pengalaman-Nya sejak kecil hidup di Galilea yang dikuasai Herodes Antipas, membuat Yesus tidak bisa menaruh harapan pada politik dan para politikus untuk menolong rakyat Yahudi. Dia menghindari apa yang sekarang kita sebut "politik praktis". Yesus punya suatu wawasan lain.
Pawai Yesus di saat Dia dan murid-murid-Nya masuk kota Yerusalem di awal musim Paskah berlangsung dengan aman dan semarak. Dibiarkan saja oleh penguasa setempat, meskipun mempunyai makna politis messianik karena oleh pengisah Injil Markus diberi acuan teks messianik ucapan syukur atas kemenangan sang raja dalam perang, yakni Mazmur 118:26, dalam Markus 11:1-10. Juga dalam teks Markus ini ada acuan ke teks Zakharia 9:9-10 yang menyebut sang raja Yerusalem yang menunggang seekor keledai beban yang muda, yang membawa pesan kerendahan hati, perdamaian dan penghentian perang.
Artinya, pawai itu lebih bermakna simbolik ketimbang sebagai unjuk kekuasaan. Tak ada orang besar lain baik dari pemuka Yahudi maupun dari wakil gubernur Pontius Pilatus, penguasa provinsi Yudea, yang bergabung.
Bagi para penguasa, pawai itu cuma acara hura-hura. Acara kerumunan. Sosok yang menunggang seekor keledai dan disanjung-sanjung massa hanyalah sosok kecil dari Galilea yang tak berarti. Tak ada tindak lanjut politis militeristik keras oleh Yesus setelah acara pawai ini. Begitu pawai dilaksanakan, langsung gembos sendiri.
Ketika makin banyak rakyat Yahudi diberdayakan, di provinsi Galilea, maka makin nyata kerajaan Allah sedang datang, sudah dan akan terus berada di antara para pengikut Yesus. Inilah kerajaan Allah yang presentis, sedang hadir, bukan futuris di hari akhir. Kata Yesus kepada orang banyak, "Sesungguhnya kerajaan Allah ada di tengah-tengah kalian!" (Lukas 11:20; 17:21). Tidak ada di atas langit. Tidak ada di dalam lautan. Juga tidak ada di dalam tanah.
Kalau kerajaan Allah ada di angkasa di langit, burung-burung sudah menguasainya lebih dulu. Jika kerajaan Allah ada dalam lautan, ikan-ikan akan lebih dulu mendudukinya. Kalau kerajaan sorga ada di bawah tanah, dalam kuburan, cacing-cacing sudah lebih dulu ada di situ.
Kairos kedatangan sang Abba sebagai Allah yang hadir dan berkarya dan memimpin, sudah tiba, sedang tiba dan akan terus dialami. Kairos yang presentis. Kawasan di mana sang Abba yang rahmani dan rahimi hadir, berkarya dan memerintah dengan kerahiman-Nya, adalah kawasan kehidupan sehari-hari para pengikut-Nya di Bumi, bukan di angkasa di balik langit, bukan di dalam laut atau di bawah tanah, juga bukan di istana dengan takhta megah di dalamnya.
Bebaskan kami dari yang jahat!
Jelaslah, kehidupan di Bumi, yang dibebaskan dari "segala hal yang jahat" (Yunani: ho ponēros), menjadi fokus utama kehidupan Yesus, dus juga menjadi perhatian utama pelayanan gereja.
Jangan abaikan Bumi. Jangan binasakan kehidupan. Jangan biarkan hal yang jahat berkuasa dan merajalela. Kata Yesus dalam doa yang diajarkan-Nya itu, "Jangan biarkan kami jatuh ke dalam pencobaan [TB LAI: "Jangan bawa kami ke dalam pencobaan."]; tapi bebaskan kami dari yang jahat (Yunani: alla rhusai hēmas apo tou ponērou)!"
Hal yang jahat ini bisa mengambil banyak wujud, rupa, bentuk, ide dan tindakan. Bisa hal yang tak terlihat, kuasa jahat yang membuat orang kerasukan. Bisa manusia busuk. Bisa Herodes Antipas. Bisa para penguasa Bait Allah. Bisa sakit-penyakit. Bisa bencana alam. Dan...kekaisaran Romawi juga bisa dilihat sebagai kekuasaan penjajah yang jahat, kekuasaan batil yang sementara.
Kata Yesus terkait dengan "hal yang jahat" dan "kuasa" Allah, "Jika Aku mengusir setan dengan kuasa [harfiah: "jari"; Yunani: ho daktulos] Allah, maka sesungguhnya kerajaan Allah sudah ada di antara kalian!" (Lukas 11:20).
Dalam pemahaman religius Yahudi, setan yang dilawan dan dikalahkan Yesus adalah suatu kuasa anti-Allah yang terus ada dalam pentas dunia insani, berbeda dari kekuasaan Imperium Romanum yang temporer, yang sementara, yang suatu saat akan tumbang dan lenyap.
Jadi, fokus Yesus lebih kepada hal yang jahat yang terus-menerus, sepanjang zaman, merongrong kekuasaan sang Bapa yang tidak sementara, tidak temporer, tetapi yang sekarang ada, besok ada, tetap ada "sampai selama-lamanya". Dalam doa-Nya itu, penutupnya berbunyi ".... karena Engkaulah, Abba, yang mempunyai kerajaan, kekuasaan, dan kemuliaan sampai selama-lamanya (Yunani: tous aionas)".
Mewariskan suatu visi universal
Yesus orang Nazareth tidak memperjuangkan hal-hal yang sementara. Dia ingin mewariskan suatu visi universal dan langgeng tentang pembebasan manusia terus-menerus dari hal-hal yang jahat, yang selalu ada dalam kehidupan manusia, di zaman dan tempat-Nya, dan di zaman-zaman lain dan di kawasan-kawasan lain.
Imperium Romanum akan kandas dan tenggelam. Tetapi "hal yang jahat" selalu mengancam manusia dari zaman ke zaman, di segala tempat. Hanya bersama Allah, sang Abba yang rahmani dan rahimi, hal yang jahat ini dapat ditangkal oleh gereja-Nya sepanjang masa dan di segala tempat.
Pendek kata, yang diperjuangkan Yesus bukan hal-hal yang sementara, yang temporer, tetapi pembebasan manusia dari hal-hal yang terus ada, yang membelenggu dan melemahkan manusia, para murid-Nya, selama Bumi dan kehidupan masih ada. Jadi, memerangi Imperium Romanum, memimpin pemberontakan berdarah, sama sekali jauh dari visi dan tindakan Yesus.
Yesus menjauhkan diri-Nya dari segala kaitan politik praktis lokal temporer yang bisa mengubah manusia jadi "rubah betina yang jalang", jadi "legion" yang cuma pantas terbenam dalam dasar danau, atau jadi "orang kuat" tanpa martabat yang diikat dengan penuh kehinaan.
Politik belarasa Yesus
Tetapi jelas, Yesus bukan seorang sekuler modern yang memisahkan politik dari agama, dan agama dari politik.
Yesus tetap mempunyai wawasan politik, tetapi bukan politik militeristik, bukan politik keras perang melawan Roma secara frontal, bukan politik mati di jalan Tuhan, melainkan politik pemberdayaan rakyat lewat "divine compassion", kerahiman atau belarasa Allah.
Ringkas kata, politik Yesus adalah politik belarasa, politik yang lahir dari sanubari terdalam, dari hati yang peka, hati yang beraura ilahi, bukan dari syahwat kekuasaan dan ketamakan insan-insan kegelapan.
Gambar "the sacred heart of Jesus" yang lazim dikaitkan dengan visi Suster Faustina dari Polandia. Digunakan di sini sebagai ilustrasi Politik Belarasa Yesus, politik yang memancar dari hati suci yang beraura keilahian.
Di dalam masyarakat Yesus, di mana compassion, belarasa, sudah diganti dengan intimidation dan coercion, intimidasi dan ancaman dan tekanan, jelaslah politik belarasa Yesus adalah suatu politik alternatif yang berbahaya, yang merongrong kemapanan dan kenyamanan kalangan penguasa, baik penguasa Yahudi mau pun penguasa Romawi.
Karena belarasa-Nya, Yesus mengundang orang banyak, "Marilah kepada-Ku hai kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan kepadamu." (Matius 11:28).
Ya, kelegaan, seperti orang yang sedang rehat setelah deras berpeluh dan berkeringat, karena mengalami kerahiman dan kerahmanian Allah. Karena mengalami pembebasan dari hal-hal yang jahat oleh kuasa sang Bapa yang berbelarasa, yang ikut merasakan dan mengalami derita dan duka lara setiap insan. Lewat Yesus dan di dalam Yesus kita berjumpa Allah dalam wajah insani. Berjumpa sang Bapa dalam diri sang Anak. Mengalami kuasa sang Bapa lewat tangan sang Anak.
Ingat, membebaskan Bumi dan kehidupan manusia dari segala hal yang jahat, dalam berbagai manifestasinya, adalah tugas dan panggilan yang tak pernah berakhir. Hal yang selalu ada. Hal yang selalu memanggil. Itulah kehendak Allah, sang Bapa. Jangan tunggu sorga nanti. Wujudkan sorga kini di Bumi ini. Datangkan sorga, bukan datangi sorga. Itu kemauan Yesus, visi Yesus, perjuangan Yesus.
Penutup
Sungguh, lewat doa yang diajarkan-Nya, Doa Bapa Kami, Yesus meminta kita melakukan hal yang benar dan perlu, bukan satu atau dua kali saja, tetapi selamanya.
Fokus Yesus adalah kehidupan di Bumi sekarang ini. Menangkan dan bela kehidupan, kalahkan apapun yang jahat, seperti juga Allah sang Bapa berkehendak mencipta, menjaga dan memelihara kehidupan.
Bagi, share, sumber-sumber daya kehidupan, seperti, ujar Yesus, sang Bapa memberi Matahari sumber enerji yang menghidupkan kepada semua orang. Jangan berlaku tamak dan jahat dengan menguasai sumber enerji kehidupan hanya buat diri sendiri.
Kalahkan yang jahat, bebaskan manusia dari yang jahat, dengan memberdayakan diri sendiri dan memberdayakan orang lain. Sementara menjalankan tugas panggilan yang dikehendaki Allah sang Bapa ini, waspadailah politik kotor yang sanggup ubah "manusia domba" menjadi "manusia serigala".
Waspadailah bahwa yang jahat itu, sang "serigala" itu, pertama-tama berdiam dalam diri kita sendiri, dan selalu kita pelihara dan beri makan. Dari kecil hingga besar.
Periksa dulu bagian internal kita, "the self within", pikiran kita, perbendaharaan jiwa kita. Sebab dari situ mengalir ke luar segala sesuatu. Dari buah yang keluar, kamu kenal pohonnya, akarnya. Serigala tak pernah melahirkan anak domba. Sebaliknya juga, domba tak akan melahirkan anak serigala.
Maaf, maaf, kepada hewan serigala yang real. Kalian tidak jahat. Cuma manusia terbiasa memakai gambaran serigala sebagai simbol kejahatan dan keculasan. Saya jadi ikut meminjam simbolik ini. Cuma meminjam. Tapi saya menyayangi hewan serigala. Seperti saya juga suka hewan domba. Kalian berdua adalah hewan yang bersaudara.
ioanes rakhmat
20.12.2020