N.B. Updated 07 September 2021
Saya berniat menulis nisbah-nisbah yang
ada antara sains, agama dan filsafat, yang akan dituang ke dalam tiga tulisan yang sinambung.
Bagian yang pertama menyoroti titik-titik konflik antara agama dan sains. Yang kedua, akan
fokus pada titik-titik temu atau paralelisme antara sains dan agama. Kemudian,
dalam tulisan yang ketiga, saya akan membuat suatu tinjauan filosofis menyeluruh
atas hubungan-hubungan yang ada antara sains dan agama.
Gautama
Buddha dan Albert Einstein:
Suatu
konvergensi agama dan
sains?
Saya melihat
minimal ada tiga titik konflik antara agama dan sains. Konflik pertama muncul dalam wilayah moral;
konflik kedua, dalam wilayah otoritas sains dan otoritas wahyu; dan titik
konflik ketiga berpusat pada pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai
eksistensi Allah dan hakikat manusia.
Moralitas
Nilai-nilai
altruistik yang umum ditawarkan agama-agama dari zaman kuno, yang mendorong manusia mau
berkorban demi kebaikan manusia lainnya, tentu saja tetap
relevan untuk kehidupan zaman sekarang.
Begitu juga, perintah untuk manusia memakai segenap akal budi mereka dalam mengasihi Tuhan, akan selalu relevan, karena akal budi memang pemberian Tuhan yang manusia perlu gunakan jika mereka ingin maju.
Tetapi ada banyak nilai moral yang
ditawarkan kitab-kitab suci kuno, yang harus kita nilai tak kena lagi untuk zaman sekarang.
Semua kitab suci agama kuno ditulis dalam suatu kebudayaan
patriarkal yang merendahkan kaum perempuan.
Patriarkalisme ini berbenturan
dengan moralitas modern yang membela kemitraan sejajar perempuan dan lelaki
dalam semua aspek kehidupan. Begitu juga, sementara orang modern menerima
kesetaraan kalangan LGBT di semua bidang kehidupan, kalangan skripturalis literalis kebanyakan agama membenci mereka.
Agama-agama teistik kuno membela teokrasi,
yang kalau diterapkan sekarang akan berbenturan dengan banyak nilai moral yang
dibela sistem demokrasi modern.
Dalam banyak kawasan di dunia kuno, genosida dipraktekkan atas
nama suatu allah, sementara kini dipandang sebagai satu musuh bersama umat manusia.
Dalam zaman modern, pemikiran bebas didorong dan dijamin oleh UUD suatu negara,
tapi para agamawan berbagai agama konservatif memakai kitab-kitab suci untuk memberangus
pemikiran kritis yang tak sejalan dengan isi kitab-kitab suci.
Moralitas yang ditarik
dari teks-teks legal dalam kitab-kitab suci kuno banyak bertabrakan dengan
moralitas yang manusia modern susun dengan memperhitungkan konteks
sosio-historis suatu tindakan, alam budaya dan alam pemikiran.
Jika ada banyak nilai moral yang
ditawarkan agama-agama kuno tak bisa lagi dijalankan pada masa kini, maka,
sebagai akibatnya, fungsi agama sebagai satu
sumber terpenting ajaran moral bagi kehidupan modern makin banyak dipertanyakan.
Adakah
pengganti agama-agama untuk manusia dapat membangun suatu sistem moralitas? Ada!
Sebelum landasan-landasan saintifik teoretis dan klinis diberikan
terhadap jawaban positif ini, baiklah kita berpaling sejenak ke kalangan
saintis yang terus melangkah maju untuk mengembangkan sains sebagai sains (pure
science atau science proper atau bona fide science), tanpa mau dikendala oleh moralitas apapun yang dibebankan
agama-agama.
Kalangan saintis semacam ini jelas akan jauh lebih banyak
jumlahnya sebagai para saintis ateis (atau agnostik), ketimbang sebagai para “saintis beragama” (yang kerap malah terpaksa hidup dalam dua dunia yang
terus tegang, atau malah “mempelintir”
sains supaya sejalan dengan agama, dus kehilangan kredibilitas sebagai saintis)
.
Kita bertanya, jikalau para saintis ateis ini tak mau
dipengaruhi atau diatur oleh nilai-nilai moral keagamaan, apakah dengan
demikian mereka menjadi orang-orang yang tidak bermoral, yakni jahat, buruk,
bersalah dan tak memiliki tanggungjawab dalam kehidupan mereka dan khususnya
dalam karir profesional mereka sebagai para saintis? Faktanya sama sekali tak
demikian!
Ambil satu atau dua fakta saja dari karir profesional mereka
sebagai contoh, lalu kita bandingkan fakta-fakta ini dengan apa yang menjadi
pandangan agama-agama.
Agama-agama monoteistik (Yudaisme, Kristen, dan Islam), yang
mempertahankan suatu pandangan sejarah yang linier, mengarahkan semua penganut
mereka ke ujung sejarah, ke ujung waktu, ke zaman yang disebut “akhir zaman”, di saat mana dunia yang mereka
sekarang kenal dipercaya akan lenyap dalam suatu bencana kosmik dan seluruh
umat manusia akan mengalami nasib akhir mereka, dengan sebagian dimasukkan ke
sorga abadi dan sebagian lagi ke neraka abadi, yang keduanya dipercaya ada
dalam dunia adikodrati.
Jalannya sejarah yang linier ini, yang membentuk suatu
garis lurus, yang memiliki awal dan akhir, tak dapat dibatalkan atau diputar
ulang, sehingga dalam pengertian ini kita dapat menyebutnya sebagai suatu
pandangan sejarah yang berujung fatalistik.
Dalam agama-agama yang nonteistik seperti Buddhisme, dan
juga dalam Hinduisme yang politeistik, dan dalam banyak budaya yang bukan Yahudi-Kristen, yang dipertahankan bukanlah pandangan
sejarah yang linier, melainkan sejarah yang siklikal, bersiklus.
Dalam kosmologi mereka (dalam Hinduisme dibangun berdasarkan Veda),
dunia kita ini dipandang senantiasa mengalami zaman-zaman evolusioner yang
menanjak maju, yang lalu niscaya diikuti zaman-zaman lain yang devolusioner,
yang membawa umat manusia dan peradaban mereka ke dalam kemunduran yang
bertambah-tambah sampai tiba kembali ke zaman-zaman yang mulai menanjak, dalam suatu
siklus zaman-zaman yang abadi.
Mereka menyebut zaman-zaman ini Zaman Besi
(Kali), Zaman Perunggu (Dvapara), Zaman Perak (Treta), dan Zaman Emas (Krita),
yang terus datang dan pergi silih berganti dalam suatu siklus abadi.
Manusia
dan peradaban mereka sama sekali tak bisa menghindari keharusan untuk masuk ke
dalam siklus zaman-zaman yang abadi ini, yang terus berputar bak roda pedati,
sementara radiasi dan gelombang elektromagnetik dari pusat galaksi terus terpancar
memasuki sistem Matahari kita dan dipercaya mempengaruhi otak manusia.
Jadi, kalau manusia yang menjadi penganut agama-agama
monoteistik bersikap fatalistik, menunggu akhir zaman yang tak bisa mereka
hindari, yang konon akan terjadi ketika kosmos mengalami bencana menyeluruh,
begitu juga halnya dengan orang-orang yang menganut agama-agama yang
mempertahankan pandangan sejarah yang siklikal.
Golongan yang kedua ini tak mengharapkan peradaban mereka sungguh-sungguh mengalami kemajuan tanpa
akhir dan tanpa batas, sebab setelah zaman kemajuan (Zaman Emas) menyusullah
zaman-zaman kemunduran bertahap yang dimulai dengan Zaman Besi. Kalaupun orang
monoteis bisa membayangkan suatu kemajuan yang terus menanjak, pada akhirnya
mereka harus berhadapan dengan titik ujung, titik akhir waktu dan titik akhir
peradaban mereka.
Bagaimana sikap, perilaku dan pandangan kalangan saintis
yang ateis, terhadap kemajuan peradaban dan nasib akhir manusia dan planet
Bumi?
Sangat jelas, mereka menolak sikap fatalistik, berperilaku progresif dan
terus mengejar kemajuan yang diyakini tak mengenal akhir dan batas, dan terus
memikirkan secara profesional saintifik bagaimana mempertahankan kehidupan
manusia, makhluk cerdas yang dalam istilah Latinnya disebut Homo sapiens,
di planet Bumi ini.
Bahkan mereka juga sudah memikirkan secara profesional
saintifik ihwal bagaimana menyelamatkan planet Bumi jika pada beberapa milyar
tahun dari sekarang planet biru ini terancam musnah ditelan bintang Matahari
yang karena fusi nuklir di dalamnya akan akhirnya berubah menjadi suatu bola
api raksasa yang mengembung yang akan menelan planet kita./1/
Pendek kata,
kalangan saintis yang ateistik ataupun agnostik, juga tentu yang beragama yang tidak mencampuraduk agama-agama mereka dengan sains, tidak mengenal kata “akhir
zaman” atau “kiamat” baik bagi peradaban manusia maupun bagi planet Bumi, pada
masa kapanpun juga.
Seandainya pun planet Bumi nantinya tak bisa diselamatkan
dari bencana kosmik tertelan oleh bintang Matahari yang berubah menjadi bola
api besar dan dahsyat, Red Giant, mereka sudah memikirkan untuk menjadikan sebuah planet
lain di kawasan sistem Matahari kita sebagai planet kedua kita untuk nanti kita
tinggali. Misalnya, planet Mars yang sekarang ini sudah banyak dibicarakan, dikaji
dan dieskplorasi khususnya berkaitan dengan sains yang perlu ditemukan dan
teknologi yang perlu dihasilkan dalam rangka melakukan terraforming terhadap
planet merah ini. Juga bulan terbesar planet Saturnus yang diberi nama Titan.
Sebagaimana banyak saintis telah lihat, di antaranya almarhum
Carl Sagan, dan juga Stephen Hawking, adalah sangat berbahaya bagi spesies
manusia jika mereka hanya menjadi penghuni satu planet yang namanya Bumi; untuk
survival di masa depan, manusia memerlukan planet kedua untuk mereka
nantinya tinggali sebagai rumah kedua./2/
Kita dengan benar harus bertanya, Bagaimana nasib kita
nantinya jika daya dukung planet Bumi sebagai sumber energi telah habis dan sudah tidak bisa didiami?
Telah
banyak saintis memikirkan hal ini, dan masing-masing telah menulis
artikel-artikel dan buku-buku yang isinya futuristik, menyangkut masa depan
peradaban manusia dan nasib spesies cerdas ini.
Michio Kaku, misalnya, telah
menuangkan pemikirannya yang futuristik mengenai topik ini, dan artikelnya
tentang ihwal menjadikan peradaban Bumi sebagai
salah satu peradaban galaktik, telah saya terjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dan telah saya
pasang online./3/
Begitu juga, seorang saintis lainnya, yang sangat
menggantungkan masa depan spesies kita pada teknologi modern, Ray Kurzweil,
telah menulis sebuah buku tebal dan bagus yang isinya sangat futuristik,
berjudul The Singularity Is Near./4/ Kurzweil bahkan mengantipasi minimal
di ujung dua dekade di depan (2029), spesies manusia akan mengalami
transformasi menjadi bionic humans atau transhuman (perpaduan manusia dan mesin robot
yang cerdas), dengan kecerdasan dan daya tahan tubuh meningkat berlipat-lipat
kali tak terbayangkan, lewat apa yang dinamakan recursive improvement.
Nama-nama besar di atas saya sebut di sini hanya sebagai
contoh saja.
Hal selanjutnya yang harus kita lakukan adalah bertanya: Jika para
saintis yang mengembangkan sains demi sains dan demi kemajuan peradaban Homo sapiens, dan tak mau didikte oleh kalangan
agamawan konservatif yang mau menghambat mereka dengan fatalisme dan ajaran-ajaran moral tempo dulu, tetap memiliki kesadaran moral dan panggilan dari dunia sains untuk mempertahankan
spesies manusia dan “mentransformasi” spesies ini ke suatu bentuk kehidupan
yang jauh lebih cerdas dan jauh lebih kuat, dan menyelamatkan planet Bumi, dari
manakah kesadaran moral ini tumbuh dalam diri mereka?
Jawabnya: kesadaran moral
mereka muncul dari gen yang memerintah otak mereka, otak yang menghasilkan ilmu
sekaligus nilai-nilai moral, sementara mereka menjalani kehidupan real dalam
masyarakat yang terus mengalami evolusi dan transformasi sosial dan kosmologis.
Kalau sains
yang dihasilkan dari kerja otak manusia yang memiliki kemampuan sangat plastis
untuk menganalisis segala sesuatu terbukti berfungsi, demikian jugalah
seharusnya nilai-nilai moral yang dihasilkan dari pemikiran para saintis
sekuler, yang sama sekali menolak intervensi agama-agama ke dalam aktivitas
profesional mereka.
Maka selanjutnya kita perlu sedikit membeberkan bagaimana
sains bisa melahirkan nilai-nilai moral, yang selama ini diyakini hanya bisa
diberikan oleh agama sekali untuk selamanya.
Sam Harris, dalam buku terbarunya yang terbit 2010, The
Moral Landscape: How Science Can Determine Human Values,/5/ menunjukkan bahwa sains modern,
khususnya neurosains (= sains tentang sifat, kapasitas dan cara kerja
neuron-neuron yang membentuk organ otak manusia), dapat menjadi satu sumber
nilai-nilai moral yang dibangun berdasarkan suatu kesadaran bahwa semua manusia
membutuhkan well-being, kesejahteraan, bagi dirinya sendiri dan bagi
masyarakatnya.
Karena otak melahirkan sains, dan sains memunculkan teknologi,
dan keduanya digunakan untuk kesejahteraan manusia dan ketahanan semua bentuk
kehidupan, maka otak juga akan sanggup, tanpa agama-agama sekalipun, untuk
menggariskan nilai-nilai moral sekuler, yang mengarahkan tindakan manusia ke
suatu tujuan pamungkas, yakni menghasilkan, mempertahankan dan meningkatkan
kesejahteraan untuk semua insan.
Sebuah buku lainnya yang lebih mutakhir, yang mengulas hal
yang sama, adalah buku Patricia S. Churchland, Braintrust: What Neuroscience
Tells Us about Morality./6/
Churchland menunjukkan bahwa
nilai-nilai moral diproduksi oleh otak manusia (yang disebutnya brain-based
values); karena itu moralitas dapat dibangun secara saintifik lewat
neurosains, sebuah disiplin ilmu yang menempatkan kerja neuron-neuron otak
manusia dalam suatu jejaring yang melibatkan gen dan perilaku manusia.
Dari
jejaring organik dan psikologis ini manusia sanggup melahirkan nilai-nilai
moral seperti kepedulian pada diri sendiri dan pada orang lain, kemampuan
bekerja sama dan mempercayai orang lain sehingga terbentuk kehidupan sosial
yang bermanfaat bagi ketahanan spesies.
Kemampuan kooperatif ini sudah ada dalam gen
manusia jauh sebelum agama-agama muncul dalam dunia ini; dan sejauh agama-agama
makin meningkatkan kemampuan moral ini, agama-agama pasti masih berguna.
Pada pihak
lain, kemampuan bawaan genetik untuk bertahan hidup oleh nenek moyang manusia
dieksternalisasi dan diverbalisasi dalam ajaran-ajaran moral, salah satunya
ajaran moral dalam agama-agama. Jadi,
agama-agama juga dihasilkan oleh gen-gen insani kita.
Perlu
ditekankan bahwa sains modern sudah lama menunjukkan bahwa manusia memiliki
suatu kemampuan genetik untuk mempertahankan kehidupan mereka, baik lewat “selfish
gene” maupun lewat “altruistic gene” (Richard Dawkins) dan lewat suatu mekanisme
sosio-biologis “the struggle for survival” (Charles
Darwin) atau “survival
of the fittest” yang bekerja dalam proses evolusi biologis, sosial dan kosmologis
yang tak pernah selesai.
Altruistic gene mendorong setiap individu
untuk mau berkorban diri demi survival komunitas. Selfish gene mendorong setiap individu untuk mempertahankan
kehidupannya sendiri, yang akhirnya juga mempertahankan komunitasnya.
Jadi,
baik selfish gene maupun altruistic gene mendorong setiap
individu membela dan mempertahankan komunitas, dengan caranya sendiri-sendiri.
Dawkins antara lain menulis,
“Karena itu, supaya suatu pola perilaku, baik yang altruistik maupun yang
tamak, mengalami evolusi dan berkembang, maka suatu gen yang ‘mendukung’
perilaku itu harus bertahan hidup di dalam himpunan gen dengan lebih sukses
ketimbang suatu gen pesaing yang ‘mendukung’ suatu perilaku yang berbeda.”/7/
Bagaimana cara gen
manusia bekerja untuk menghasilkan ketahanan komunitas mereka?
Tak ada cara
lain selain gen insani itu mengatur cara otak manusia bekerja, demi survival
manusia. Gen manusia bekerja sedemikian rupa lewat otak manusia untuk
menghasilkan ketahanan komunitas. Tak ada jalur lain selain lewat otak, untuk gen
kita memerintahkan kita mempertahankan kehidupan komunitas. Gen kita
menghendaki spesies kita bertahan kekal di muka Bumi.
Untuk segala
jenis kelakuan dan sikap mental, ada ruang-ruang neural-nya sendiri dalam organ
otak kita.
Menjadi liberal dalam beragama atau malah menjadi militan
fundamentalis, juga ada ruang-ruang neurologisnya yang menentukan, dalam organ
otak./8/
Demikian juga,
ada ruang-ruang neural dalam organ otak kita yang membuat seseorang bisa
berhaluan politik liberal atau bisa berhaluan politik konservatif, bergantung
pada mana yang paling banyak diberi masukan mental dan pada kondisi fisik
anatomis ruang-ruangnya./9/
Ihwal
apakah seseorang menjadi psikopat (anti-sosial dan tak bisa berempati) juga
ditentukan oleh kondisi kesehatan ruang-ruang neural tertentu dalam organ
otaknya./10/
Dalam diri spesies Homo sapiens, manusia cerdas, yang
memiliki “self-consciousness” (kesadaran diri), dorongan mempertahankan
kehidupan, “the struggle for survival”,
tak lagi bersifat naluriah, melainkan dipikirkan, dirumuskan, diprogram, dan
dievaluasi oleh otak manusia, dan dijalankan dalam tindakan dan perilaku.
Dalam
rangka itulah otak manusia, yang diperintah oleh gen, menunjukkan suatu
kemampuan untuk melahirkan nilai-nilai moral, lewat sains, lewat kesadaran yang
tertanam dalam otak, lewat kemampuan berpikir retroaktif dan antisipatif yang
menembus ruang dan waktu, ke belakang maupun ke depan, dan tentu saja lewat
pengalaman-pengalaman hidup dalam suatu konteks kehidupan masyarakat yang terus mengalami transformasi
dan evolusi sosial.
Untuk memperkokoh argumen bagian ini
bahwa moralitas lahir tidak dari agama, tetapi dari gen, saya perlu mengacu ke
penemuan-penemuan di bidang-bidang lain.
Bukti-bukti
arkeologis menunjukkan bahwa makhluk manusia bertubuh modern Homo sapiens
muncul 300.000 tahun lalu di Afrika/11/, umur yang masih sangat muda
dibandingkan usia planet Bumi sendiri (dan sistem Matahari kita) 4,5 milyar tahun.
Tetapi agama yang oleh antropolog Edward Tylor dinamakan “animisme” baru muncul
12.000 tahun SM, atau 14.000 tahun yang lalu./12/ Jika betul demikian, berarti
selama 300.000 tahun minus 14.000 tahun, Homo sapiens tak mengenal agama
apapun.
Tapi penemuan
arkeologis lebih mutakhir oleh arkeolog Universitas Oslo, Sheila Coulson dan
timnya, mengharuskan kita menyimpulkan lain.
Coulson mendapatkan bukti, ritual
keagamaan naturalis yang sudah berkembang, sudah dipraktekkan orang Basarwa di Ngamiland,
Afrika Selatan, 70.000 tahun lalu./13/ Dalam ritual religius mereka, orang
Basarwa 70.000 tahun lalu menyembah ular Python besar yang dalam mitos
penciptaan mereka dipandang sebagai leluhur yang melahirkan manusia.
Jika
demikian, berarti selama 300.000 tahun minus 70.000 tahun, nenek moyang Homo
sapiens hidup tanpa agama.
Jika selama 230.000 tahun nenek moyang kita tak
mengenal agama, dari manakah mereka mendapatkan moralitas untuk mengatur
kehidupan mereka?
Sudah pasti, tanpa agama apapun, nenek moyang Homo sapiens
bisa merumuskan moralitas (tentu tidak serumit moralitas dalam zaman modern
sekarang ini) untuk ketahanan komunitas mereka. Jadi salah sekali jika kini
kita beranggapan bahwa moralitas hanya bisa didapat dari agama.
Moralitas,
sekali lagi, muncul dari kerja otak kita, yang diperintah gen kita untuk
mengusahakan terus-menerus survival spesies kita dalam suatu proses evolusi
yang tak pernah berhenti; dan gen ini juga yang melahirkan agama-agama yang di
dalamnya moralitas menjadi salah satu unsur bangunannya.
Robert N. Bellah
baru-baru ini telah menunjukkan dengan meyakinkan bahwa agama adalah anak
kandung proses evolusi kosmik, biologis dan sosio-kultural yang masih
berlangsung./14 /
Dan, berkaitan dengan moralitas, “Jika evolusi bukanlah
satu-satunya sumber penilaian-penilaian moral kita”, dan agama-agama juga bukan
sumbernya, maka, kepekaan kita terhadap hal yang baik dan hal yang buruk kita
miliki lewat proses “kita belajar”, demikian tulis Victor J. Stenger dalam buku
terbarunya, God and the Folly of the
Faith: The Incompatibility of Science and Religion./15/
Otoritas Sains
dan Otoritas Wahyu
Skriptural: masing-masing punya wilayah sendiri
Pengetahuan modern dan cara menganalisis objek-objek yang diobservasi secara
saintifik baru muncul abad ke-16
atau abad ke-17
lewat kegiatan penelitian Galileo Galilei (1564-1642), yang kini diakui sebagai bapak sains modern (tetapi dulu ditolak dengan keras oleh gereja, diancam akan
dieksekusi, tapi akhirnya dikenakan status tahanan rumah sampai akhir hayatnya),
dan lewat analisis filosofis rasionalis René Descartes (1596-1650) yang diakui
sebagai bapak filsafat modern dan dikenal luas lewat sebuah pernyataannya
“Cogito, ergo sum”, “Aku berpikir, maka aku ada.”
Karena semua kitab suci ditulis pada masa pramodern, dan prailmiah, ketika
orang belum mampu berpikir, mengobservasi dan menganalisis secara saintifik,
jelas mustahil jika orang mau menemukan sains modern apapun dalam kitab-kitab suci yang muncul jauh di masa lampau. Jika kitab-kitab suci kuno benar memuat sains, mustinya sejak dulu para
ahli kitab suci agama apapun bisa menjadi para penemu sains. Faktanya tak demikian.
Pada sisi lain, tentu saja akan selalu ada orang-orang
jenius dari latarbelakang berbagai agama yang sangat menghormati kitab-kitab suci
mereka tetapi juga menjalani kehidupan profesional sebagai saintis. Meskipun
demikian, fakta tetap menunjukkan bahwa mereka bisa menjadi saintis bukan
karena ilham atau wangist dari kitab-kitab suci mereka atau dari doktrin-doktrin religius mereka, tetapi dari kegiatan-kegiatan
mengobservasi dan menjelaskan berbagai realitas fisik objektif dengan logis dan
dengan memakai teori-teori saintifik yang sudah diterima, dan dari
eksperimen-eksperimen yang disengaja, dari pengalaman-pengalaman
dan kejadian-kejadian tak disengaja yang kemudiian direnungi dan dipikirkan, dan dari bukti-bukti objektif dan autentik yang berhasil dikumpulkan. Karena metode-metode keilmuan yang mereka jalankan, mereka menjadi para ilmuwan.
Pada masa kehidupan Galileo Galilei dan sesudahnya, memang
bermunculan saintis-saintis lain yang tetap setia pada gereja dan tetap
memegang teguh kepercayaan-kepercayaan gereja. Tetapi hal ini bisa terjadi
bukan karena kepercayaan-kepercayaan Kristen sejalan dengan sains modern atau
mendorong penemuan dan perkembangan sains, melainkan karena pada masa-masa itu
hanya dengan tetap bernaung di bawah payung gereja para saintis akan tetap bisa
memperoleh dan menggunakan berbagai fasilitas dan sarana yang mereka perlukan
dalam penyelidikan-penyelidikan saintifik mereka.
Kalaupun ada sumbangan dari
kepercayaan Kristen yang dipegang mereka, sumbangan ini mungkin paling banter
dalam bentuk dorongan kuat dalam diri para saintis untuk mengeksplorasi alam, sejalan
dengan sebuah perintah dalam kitab Kejadian supaya manusia menaklukkan alam,
sebuah perintah skriptural yang (sayangnya!) membuat
manusia tak dapat bersahabat lagi dengan alam. Teologi yang dibangun adalah teologi dominasi atas alam.
Atau perintah Yesus untuk para pengikut-Nya mencari dan mengetuk (dus, mengikuti dorongan rasa ingin tahu atau kuriositas), atau untuk mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi, tentu menjadi suatu landasan skriptural Kristiani untuk setiap orang Kristen tidak dihalangi untuk mengejar ilmu pengetahuan dan memajukan peradaban.
Tetapi secara teknis, hal yang sudah pasti adalah bahwa sains modern lahir bukan
dari kegiatan mengkaji kitab suci apapun, tetapi dari eksperimentasi, dari observasi
atas segala fenomena alam, dan dari kegiatan berpikir yang logis, mendasar,
runtut, analitis, konsisten, dan koheren dengan teori-teori saintifik besar, dan dari bukti-bukti empiris autentik objektif.
Kontras dengan
itu, kitab-kitab suci disusun berdasarkan suatu iman pada keberadaan
makhluk-makhluk adikodrati (Allah, misalnya), tanpa suatu bukti empiris apapun
yang membenarkan klaim imaniah ini.
Tentu, bisa beriman juga suatu kemampuan kognitif yang berproses dalam otak kita. Dan, beriman yang mendorong kemajuan iptek dan peradaban, juga ada. Iman itu tidak cuma satu jenis atau satu warna. Saya beriman, dan menyayangi Yesus, sekaligus juga mencintai ilmu pengetahuan dan terdorong kuat untuk menggalinya terus-menerus.
Bagaimana pun juga, suatu klaim saintifik hanya diterima benar jika ada
bukti-bukti empiris (empirical evidence) yang mendukungnya; ini yang
disebut sebagai epistemologi evidensialis (Latin: evidentia, bukti).
Kitab-kitab suci mengklaim kebenaran
berdasarkan kepercayaan (Latin: fides),
kebenaran imaniah yang berlaku absolut dan diyakini tak bisa salah karena
dipercaya datang sebagai wahyu (Latin: revelationem); ini yang disebut sebagai epistemologi
revelatif fideis, yang berbenturan dengan epistemologi evidensialis dalam
dunia sains.
Sains tak bisa diabsolutkan, tak bisa diilahikan, meskipun tentu
saja ada berbagai posisi saintifik yang sudah teruji dan relatif sudah mapan. Sains
juga tidak bisa diklaim tidak bisa salah, tetapi selalu terbuka pada
falsifikasi saintifik dan reformulasi.
Banyak agamawan dari berbagai agama mengklaim bahwa kebenaran-kebenaran yang
diberitakan dan dipertahankan dalam kitab-kitab suci mereka adalah kebenaran-kebenaran
mutlak yang serba pasti, tak bisa salah dalam segala hal, karena dipercaya
diberitahukan atau diwahyukan oleh Allah yang tak bisa salah, sehingga terjamin
kebenarannya, dan berlaku kekal, tak pernah usang. Klaim ini sebetulnya tak tepat jika terkait dengan objek-objek empiris dalam dunia indrawi kita; lagi pula sangat merugikan.
Mengapa sangat merugikan?
Sebab jika siapapun memperlakukan
agama mereka sebagai kebenaran mutlak satu-satunya yang tak bisa salah, seperti
kebenaran-kebenaran dalam ilmu-ilmu pasti seperti matematika, aritmetika dan fisika, sehingga tak
ada ruang ketidakpastian dan pertanyaan di dalam agama-agama mereka, maka para agamawan ini umumnya cenderung
akan menjadi para agamawan yang bertemperamen keras dan menyukai kekerasan
demi, disadari atau tidak oleh mereka, mempertahankan kepastian mutlak agama mereka. Ini suatu beban psikologis berat yang dapat membuat orang stres setiap hari, ketika mereka harus hidup dengan setiap hari
dibombardir oleh berbagai fakta saintifik yang tidak bisa ditolak, bahkan mereka gunakan untuk hidup.
Para agamawan yang semacam ini mudah terkena stres berat dikarenakan mereka sungguh tahu bahwa ada banyak segi dalam bangunan agama mereka yang kalau
ditelaah secara saintifik, akan terlihat kekeliruan dan kesalahan segi-segi tersebut oleh para
pengamat netral yang mampu berpikir saintifik!
Seorang agamawan yang semula
yakin agamanya memberi kepastian mutlak dalam segala hal, akan merasa Bumi dan
langit di atasnya gonjang-ganjing lalu runtuh menimpanya tanpa ampun ketika
diperlihatkan kepadanya bahwa ada banyak sekali ketidakpastian, kesalahan, ketidaktepatan, fiksi, kisah-kisah teologis tentang dunia lain, the otherworld, dalam bangunan agamanya.
Kajian-kajian historis kritis yang antara lain dikenal
sebagai historical criticism, ketika diterapkan terhadap kitab-kitab
suci kuno, suatu kegiatan akademik yang sudah berlangsung lebih dari dua abad
di Barat, berhasil memperlihatkan bahwa semua kitab suci adalah suatu produk
kebudayaan manusia di dalam suatu konteks sosio-historis tertentu, sehingga
selalu memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu yang serius. Siapapun yang
mengabaikan fakta ini akan dengan mudah tergelincir masuk ke dalam parit
anakronisme (salah zaman) dan etnosentrisme (salah budaya) ketika memaknai teks-teks kitab suci apapun.
Supaya setiap kitab suci tetap berguna di zaman modern, kita perlu memakai ilmu tafsir yang melibatkan berbagai disiplin ilmu lainnya secara interdisipliner. Tak ada jalan lain yang membangun.
Selanjutnya saya ingin menegaskan sejelas-jelasnya bahwa justru
kebenaran-kebenaran yang diwartakan agama-agama adalah kebenaran-kebenaran yang
paling tidak pasti, paling relatif, sebab hal-hal yang diklaim sebagai
kebenaran dalam agama-agama tidak berpijak pada bukti-bukti empiris objektif
autentik yang dapat diobservasi oleh indra atau oleh peralatan teknologis, melainkan
hanya dipercaya saja secara subjektif.
Hanya karena kepentingan-kepentingan sosio-politis (dan ekonomis) kaum agamawan yang tidak visioner progresif sajalah, klaim-klaim keagamaan yang paling tidak pasti dan paling relatif ini diubah (lewat penetapan dogma-dogma, yang diindoktrinasikan ke dalam benak umat) menjadi klaim-klaim yang serbapasti dan serbamutlak.
Sebaliknya, kebenaran-kebenaran saintifik jauh lebih pasti
ketimbang kebenaran-kebenaran yang diberitakan agama-agama, sebab semua
kebenaran sains diklaim benar dengan berdasar bukti-bukti empiris autentik dan objektif
yang bisa diobservasi oleh indra dan instrumen teknologis.
Bahkan ada banyak
kebenaran saintifik yang kebenarannya sudah mencapai status kebenaran-kebenaran besar, grand truths,
sebagai kebenaran-kebenaran saintifik yang sudah relatif mapan, misalnya hukum-hukum
besi fisika dan teori-teori besar, dan berlaku universal, di muka Bumi maupun di
seluruh jagat raya kita.
Jangan menganggap setiap saintis akan bertemperamen keras
dan suka kekerasan berhubung mereka selalu bergelut dalam dunia sains yang eksak,
yang konon bisa membuat mereka stres berat.
Justru sebaliknya, hal-hal yang eksak
lebih membahagiakan hati semua saintis material ketimbang hal-hal yang spekulatif.
Selain itu, umumnya kalangan saintis sangat menyukai the Arts and humor, seni
dan dagelan, sehingga emosi mereka bisa terjaga dalam keseimbangan, antara
hal-hal yang eksak dan hal-hal yang non-eksak, antara sang filsuf perempuan
pemberani Hypatia dan biduanita kondang Celine Dion, antara pengamat bintang Galileo
Galilei dan pelukis tenar Van Gogh, antara fisikawan teoretis Albert Einstein
dan komponis kondang Mozart, antara kosmolog beken Michio Kaku dan penyanyi
kenamaan Kitaro, antara pakar mekanika quantum tersohor Richard Feynman dan pembanyol
Mr. Bean. Tentang interaksi sains, seni dan humor ini, sebagai selingan, tengoklah situs cultureLab
di Internet./16/
Jika the Arts and humor dijumpai semarak dalam dunia para ilmuwan, mengapakah kita juga tidak bisa menjadikan agama-agama sebagai penginspirasi the Arts and humor yang kita perlukan untuk membuat kehidupan kita segar, ceria dan ringan, jauh dari stres, dan jauh dari kekerasan? Dalam hal ini, saya jadi teringat sosok agamawan besar mendiang Gus Dur yang cerdas membangun humor-humor yang menyegarkan, dalam banyak bidang kehidupan.
Pada sisi lain, kita sudah tahu, jika seorang saintis
memakai kekerasan dan kekuasaan politis untuk mempertahankan pandangannya,
bukan memakai argumen saintifik lewat debat terbuka, sejuk dan terhormat, maka
otomatis reputasi dan kredibilitasnya sebagai saintis akan hancur lebur.
Banyak agamawan mengklaim bahwa kitab-kitab suci mereka sejalan
dengan sains modern. Tetapi sebetulnya mereka hanya dengan paksa
mencocok-cocokkan sains modern dengan kitab suci, sehingga lahirlah ngelmu baru yang dinamakan “cocokologi”. Saya sudah menulis tentang ini di sejumlah tulisan lain.
Jika sains yang semula diklaim sejalan dengan suatu kitab suci berubah, mereka,
dengan memakai cocokologi, pasti akan mencari sekian teks skriptural lain untuk
dipaksa sejalan dengan sains modern.
Dengan memakai cocokologi sebenarnya para
agamawan dengan tanpa mereka sadari telah menaklukkan kitab-kitab suci mereka pada
sains dan teknologi modern, sebab ke mana saja sains dan teknologi modern
bergerak, ke arah sanalah teks-teks kitab-kitab suci akan dibawa dan ditaklukkan. Ini
jelas adalah sebuah kegiatan yang sangat merugikan dan juga melelahkan kaum
agamawan.
Selain itu, para praktisi cocokologi (umumnya kaum agamawan konservatif) tampak tidak paham bahwa pandangan-pandangan saintifik tentang hal apapun adalah pandangan-pandangan yang sangat kompleks, yang jika diuraikan akan menghasilkan berjilid-jilid buku tebal, sehingga sama sekali tidak bisa disusutkan atau diredusir menjadi hanya satu atau dua penggal ayat-ayat kitab suci apapun yang dicocok-cocokkan.
Tentu, pandangan-pandangan sains yang kompleks harus bisa dengan simpel dan gamblang dirumuskan, karena dalam dunia sains berlaku kaidah paling hemat kata atau Lex Parsimoniae, yang dikenal sebagai Occam's Razor. Suatu rumusan saintifik harus sesederhana mungkin, meski fenomena yang ada atau dirujuk rumusan itu sangat kompleks, misalnya persamaan matematik Einstein yang sederhana, E = mc2. Untuk menjelaskan persamaan sederhana ini (terdiri atas cuma 5 karakter) dan fenomena yang ditimbulkannya, sudah banyak buku ditulis dan akan terus ditulis.
Nah, para praktisi cocokologi sebetul-betulnya tidak
menemukan sains modern apapun dalam ayat-ayat kitab-kitab suci mereka, tetapi
memakai poin-poin tertentu dari pandangan-pandangan saintifik yang sudah
diketahui mereka sebagai pra-paham atau pra-anggapan (presupposition) yang
menjadi bingkai imajinatif dalam memahami teks-teks kitab suci mereka.
Jadi, imajinasi merekalah, yang bisa sangat liar, yang dengan paksa
menentukan makna teks-teks kitab-kitab suci. Bukan teks-teks kitab suci
sendiri yang berbicara, tetapi kemauan dan imajinasi mereka
mengendalikan apa dan bagaimana isi teks-teks kitab-kitab suci yang mereka
telah pilih-pilih, yang mereka mula-mula anggap paling dekat atau paling
klop dengan pandangan-pandangan saintifik, sementara menyembunyikan
atau menolak teks-teks lain yang tidak klop atau yang malah
bertentangan.
Cara “cherry picking” teks-teks kitab-kitab suci semacam ini
hanya bisa dijalankan jika teks-teks kitab suci dipahami secara literalistik,
dengan sama sekali melepaskan teks-teks ini dari konteks sejarah dan
konteks kebudayaan zaman lampau yang telah memunculkan teks-teks ini.
Padahal kita tahu, untuk memahami teks apapun dengan benar, teks ini
harus ditempatkan dalam konteks sejarah dan konteks kebudayaannya di
zaman lampau. Jika sebuah teks dilepaskan dari konteks sejarah dan
konteks kebudayaannya di zaman lampau, teks ini bisa berbicara apapun sejalan dengan kehendak bebas si penafsirnya.
Kalaupun sejumlah agamawan bisa dengan jujur, tanpa memakai
cocokologi, mempertemukan sains modern dengan keyakinan religius mereka,
ternyata keyakinan religius mereka sudah sangat tidak ortodoks lagi, karena
untuk bisa sejalan dengan sains modern setiap agama memang harus didekonstruksi besar-besaran, lalu direkonstruksi dengan
mamakai parameter-parameter sains sebagai bahan-bahan utama bangunannya─apa yang oleh Robert N. Bellah dinamakan “naturalisme
religius”.
Kini banyak agamawan dari berbagai agama mengklaim bahwa
pemikiran keagamaan mereka, dan khususnya yang terekam dalam kitab-kitab suci
mereka, sejalan dengan fisika quantum sebagai sang primadona sains dewasa ini.
Tetapi fisikawan Victor J. Stenger telah menunjukkan bahwa klaim-klaim semacam
ini diajukan karena para agamawan itu salah memahami berbagai dimensi fisika quantum,
atau dengan bulus memelintirnya; tentang ini, lihat bukunya Quantum Gods:
Creation, Chaos, and the Search for Cosmic Consciousness./17/
Kalaupun para agamawan dapat memasukkan Allah sebagai suatu
faktor dalam sains, Allah semacam ini hanya berfungsi sebagai “god of the
gaps”, Allah pengisi “celah-celah” yang masih belum bisa diisi oleh data dan fakta sains mutakhir.
Ketika celah-celah
ini suatu saat berhasil ditutup oleh data serta bukti saintifik, Allah semacam
ini akan menganggur, tak lagi aktif mengisi celah-celah sains. Tempat Allah
semacam ini dalam dunia ditentukan oleh para agamawan, dan merekalah yang
memberi tugas pada Allah ini, bukan sebaliknya. Aneh juga ada Allah semacam
ini, yang diatur tempat-Nya oleh para praktisi cocokologi dalam dunia sains. Padahal Allah itu merdeka, tak bisa diatur-atur oleh manusia. Saya percaya pada Tuhan yang merdeka, yang tak bisa dikuasai oleh siapapun dan tidak bisa dikantongi siapapun.
Allah sebagai “god of the gaps” paling dibutuhkan para
agamawan ketika mereka berurusan dengan pertanyaan pamungkas tentang asal-usul jagat raya dan kehidupan, yang diyakini mereka tidak akan bisa dijawab
oleh sains, karena Allah dalam pandangan mereka melampaui semua parameter
saintifik yang kini dikenal.
Hugh Ross, misalnya, menyatakan bahwa Tuhan adalah
“suatu hakikat yang melampaui materi, energi, ruang, dan waktu kosmos”, namun juga
menegaskan bahwa Tuhan yang semacam inilah yang juga menjadi “penyebab adanya
kosmos.”/18/
Pandangan ini, yang mengasalkan benda-benda material pada suatu oknum
immaterial, telah terus-menerus membuat para agamawan puas atas segala realitas
natural yang mereka lihat dengan mata kepala sendiri, karena mereka yakin bahwa
semuanya memang sudah diciptakan dan disediakan oleh Allah mereka yang transenden
begitu saja untuk mereka nikmati juga begitu saja dengan rasa syukur yang
besar. Tentu siapa pun boleh kagum pada kemampuan mereka untuk mensyukuri semua
hal yang ada dalam alam dan dalam semua kejadian yang mereka alami atau lihat
sendiri. Hidup dengan bersyukur itu sehat dan perlu.
Tetapi mengasalkan segala sesuatu pada Allah yang dipercaya
sebagai sang pencipta akbar, atau memasukkan Allah ke dalam celah-celah
pengetahuan yang belum bisa diisi dengan data dan bukti saintifik, hanya akan menjadikan kita pemalas yang tetap bodoh atau tetap ketinggalan zaman.
Ya, ketimbang mengobservasi dan mengeskplorasi kosmos dan berusaha keras terus-menerus untuk
menjelaskan berbagai realitas dan misteri kosmik secara saintifik sehingga
sains terus berkembang progresif tanpa batas sehingga makin berguna buat
kehidupan dan peradaban, kemalasan kita itu malah menghentikan progresivitas sains dengan “mantra-mantra” ucapan syukur dan
mengurung semua keingintahuan (curiosity) kita dalam sebuah kotak kokoh
yang dinamakan iman dan ketaatan yang membuta pada dogma-dogma dan pada Tuhan yang dipercaya sebagai sang pencipta segala sesuatu yang tak boleh dijelaskan
tetapi harus dipertahankan terus-menerus sebagai misteri ilahi.
Ketahuilah, sama seperti dalam kisah skriptural Taman Eden, seorang suci
Santo Agustinus (354-430 M), yang dipuja dalam gereja dari abad ke abad, dengan
terbuka mengutuki rasa ingin tahu (kuriositas).
Tulisnya, “Ada satu
bentuk godaan lagi, bahkan lebih berbahaya, yakni penyakit ingin tahu. Rasa
ingin tahu inilah yang selalu mendorong kita untuk mencoba menemukan
rahasia-rahasia alam, rahasia-rahasia yang sebetulnya berada di luar kemampuan
kita untuk memahaminya, yang hanya akan membuahkan kesia-siaan jika dicari,
yang seharusnya manusia tidak ingin pelajari.”/19/
Berlatarbelakang keyakinan bahwa kitab-kitab suci mereka
memuat berbagai penjelasan ilahi yang tak bisa salah atas semua misteri alam
dan realitas kosmik, belakangan ini ada berbagai usaha kaum agamawan untuk
membangun “sains skriptural”, misalnya sains Vedik, sains Quranik, atau sains
Alkitabiah.
Tujuan mereka antara lain bersifat politis, yakni untuk mengunggulkan
kedudukan satu agama dalam suatu negara, dan untuk mengendalikan dan
menjinakkan arah gerak progresif sains lewat kekuasaan agama-agama, dengan akibat seluruh rakyat
negara ini diperbodoh. Padahal agama-agama ada, antara lain untuk membuat manusia menjadi makhluk mulia yang bisa membangun, memelihara dan memajukan kehidupan manusia.
Di kalangan Muslim di negeri-negeri yang jauh, misalnya, ada berbagai usaha untuk
membangun sains Islam, yang dibuat berkonfrontasi dengan apa yang mereka dengan
keliru sebut sains Barat, sains imperialis Amerika! Anehnya, banyak kaum
bangsawan di Saudi Arabia malah menyekolahkan putera-puteri mereka di
universitas-universitas besar di Amerika Serikat, sebuah negara besar modern
yang mereka cap imperialis!
Seperti telah dibentangkan oleh F. A. Hayek dalam buku
klasiknya, The Road to Serfdom, bab 11, pada masa rezim tiran Nazi
berkuasa di Jerman pada era Perang Dunia II, banyak disiplin sains direkayasa
untuk melayani kepentingan agenda politis perjuangan rezim ini, sehingga
lahirlah “ilmu-ilmu sosial Marxis-Leninis”, “ilmu bedah Marxis-Leninis”, “matematika
Nazi”, dan “fisika Jerman”—suatu keadaan yang dibenarkan hanya oleh orang-orang
yang sudah tidak waras./20/
Akhirnya akan pasti tampak bahwa semua “sains skriptural”
ini atau sains ideologis apapun hanyalah pseudo-science (atau malah junk
science, dalam penilaian para saintis tulen Barat) yang tak memiliki bukti
empiris dan dasar teoretis saintifik apapun, sehingga hanya pantas dipandang
sebagai doktrin keagamaan, seperti halnya kreasionisme dan intelligent
design yang diciptakan kekristenan konservatif Amerika.
Karena para agamawan dari berbagai tradisi keagamaan kini sedang membawa agama ke dalam
ranah sains dan ranah politik, tentu saja bisa dimengerti mengapa para saintis
tulen (Barat) kini melakukan banyak pembedahan atas semua klaim keagamaan
dengan memakai pisau-pisau bedah sains.
Rekan-rekan
mereka yang menjadi para pakar sosiologi juga tak mau ketinggalan; mereka juga
melakukan kajian-kajian sosio-saintifik terhadap agama-agama.
Kaum agamawan
sudah selayaknya mengucapkan terima kasih yang tulus kepada para saintis yang
dengan tenang dan kritis mengkaji agama-agama yang mereka anut; dan bukan malah
naik pitam.
Tanpa kritik dan pembaruan, tanpa studi, semua agama, hemat saya, akan binasa pada waktunya di dalam suatu dunia yang
makin saintifik dan makin cepat berubah.
Meskipun pembedahan-pembedahan besar telah banyak dilakukan
kalangan saintis terhadap agama-agama atas nama sains, para agamawan Kristen
tetap saja mengklaim bahwa tanpa kekristenan lahir, tumbuh dan berkembang di
Eropa pada masa kekaisaran Romawi, sains modern tak akan pernah muncul.
Perhatikan dua penyataan berikut ini. Pernyataan yang pertama ditulis oleh
Robert Hutchinson:
“Sebagaimana
suatu generasi baru para sejarawan, sosiolog, filsuf sains telah buktikan,
agama alkitabiah bukanlah musuh sains melainkan matriks intelektual yang
pertama-tama memungkinkan munculnya sains. Tanpa wawasan-wawasan kunci yang
kekristenan jumpai terpelihara dalam Alkitab dan menyebar ke seluruh Eropa,
sains tidak akan pernah ada…. Bukti ini tak dapat diperdebatkan: Ini adalah
teologi rasional baik dari Abad Pertengahan Katolik maupun Reformasi
Protestan—yang diilhami oleh kebenaran-kebenaran implisit dan eksplisit yang
diwahyukan dalam Alkitab Yahudi— yang bermuara pada penemuan-penemuan sains
modern.”/21/
Pernyataan
yang kedua, yang juga sama kelirunya, ditulis oleh Alvin Schmidt, demikian:
“Kepercayaan
pada rasionalitas Allah tidak hanya bermuara pada metode induktif tetapi juga
pada kesimpulan bahwa jagat raya ini diatur secara rasional oleh hukum-hukum
yang dapat ditemukan. Asumsi ini sangat penting dan vital bagi riset saintifik karena
di dalam suatu dunia pagan atau dunia politeistik, yang melihat dewa-dewanya
sering terlibat dalam perilaku yang irasional dan cemburuan di dalam suatu
dunia yang non-rasional, setiap investigasi sistematis atas dunia yang semacam
ini akan tampak sia-sia. Hanya dalam pemikiran Kristen, yang mendalilkan
‘eksistensi suatu Allah tunggal, sang Pencipta dan Pengatur jagat raya, yang
berfungsi dalam suatu cara yang secara normal dan tertata dapat diprediksi,’
adalah mungkin bagi sains untuk ada dan beroperasi.”/22/
Richard Carrier, Ph.D., pakar pengkaji sains dalam dunia
kuno dan kekristenan, telah merontokkan pernyataan-pernyataan di atas yang
memandang kekristenan sebagai satu-satunya pranata keagamaan yang
bertanggungjawab bagi kelahiran sains modern.
Dalam tulisannya yang berjudul “Christianity Was Not Responsible
for Modern Science”/23/,
Carrier menunjukkan bahwa sains modern justru memiliki pijakan yang kuat di
dalam pandangan dunia pagan yang menjadi konteks luas kelahiran kekristenan
perdana, bukan di dalam kekristenan sendiri.
Carrier menulis,
“Kekristenan
menguasai penuh seluruh dunia Barat dari abad kelima sampai abad kelima belas,
namun di dalam jangka waktu seribu tahun itu tidak terjadi Revolusi Saintifik.
Suatu penyebab yang gagal menghasilkan akibat yang diprediksikan, meskipun
terus-menerus aktif selama seribu tahun, biasanya dipandang sebagai penyebab
yang ditolak, bukan dikonfirmasikan.”
Carrier menyimpulkan, antara lain, bahwa “[N]ilai-nilai yang
diperlukan bagi kemajuan sains, yakni merangkul keingintahuan sebagai suatu
kebajikan moral, mengangkat empirisisme ke status otoritas tertinggi di dalam
semua perdebatan tentang fakta, dan menghargai pengejaran kemajuan” dipegang
oleh banyak pagan kuno “dengan sangat kuat dan terus-menerus sehingga mereka
semuanya membuat kemajuan-kemajuan yang sinambung di dalam penemuan-penemuan
dan metode-metode saintifik. Kontras dengan itu, kekristenan untuk waktu yang
lama tidak pernah menghargai nilai-nilai ini, dan malah dalam banyak kasus
mengutuk nilai-nilai ini.”
Tandas Carrier,
“[G]agasan baru ini bahwa
Kekristenan bukan hanya bertanggungjawab tetapi juga diperlukan bagi munculnya
sains modern pastinya adalah sebuah gagasan delusional. Suatu delusi menjadi
patologis ketika kepercayaan ini dipertahankan dengan keyakinan mutlak bahkan
di hadapan bukti yang kuat dan meyakinkan yang menyatakan hal sebaliknya.”
Bahwa kekristenan memusuhi sains sejak abad-abad pertama
kelahirannya, dapat dicontohkan dari kasus pembumihangusan perpustakaan besar
Alexandria di Mesir, dan pembunuhan seorang filsuf perempuan Hypatia, yang juga
astronom dan matematikus, yang dilahirkan di kota ini, dalam suatu amuk massa
Kristen pengikut Cyrillus, uskup kota ini, pada abad 5 M.
Pembunuhan Hypatia
dipicu oleh fitnah Cyrillus bahwa Hypatia adalah seorang ateis yang tak
mempercayai Allah Kristen, dan seorang penyihir.
Sebagaimana dituturkan oleh
penulis skenario film AGORA (produksi 2009), Alejandro Amenabar, dalam film
yang disutradarai Fernando Bovaira ini dikisahkan
ketika Hypatia yang non-Kristen pada saat genting ditanyai apa kepercayaannya,
dia menjawab, “Aku percaya filsafat!”
Kali lain, ketika dalam situasi mendesak
Hypatia diminta seorang pejabat penting di Alexandria untuk juga masuk Kristen,
Hypatia malah bertanya, “Mengapa engkau tak pernah mempertanyakan kepercayaanmu
sendiri?”
Eksistensi Allah dan Hakikat Manusia
Sampai kini, faktanya, tak ada satu bukti empiris apapun
yang membenarkan klaim agama-agama teistik bahwa Allah itu ada. Saya sendiri sudah menulis, Tuhan itu tidak terdefinisikan, undefined, beyond any human definitions. Tuhan itu Hakikat yang transenden, yang terlalu besar, melampaui semua pemahaman dan pengertian manusia.
Tapi, perlu juga kita ketahui bahwa penelitian
fisikawan Victor J. Stenger, misalnya, malah menghasilkan suatu kesimpulan
bahwa Allah itu tidak ada, atau lebih tepat: hipotesis bahwa Allah itu ada, adalah sebuah hipotesis yang tak terbukti benar. Dua buku mutakhirnya perlu dibaca, Has Science
Found God?/24/, dan God: The Failed Hypothesis./25/
Jesse Bering, dalam bukunya, The Belief Instinct, bertanya, “Apakah Allah-allah, jiwa-jiwa,
dan nasib akhir manusia, sebenarnya hanyalah seperangkat ilusi yang mempesona,
ilusi yang dapat dijelaskan asal-usulnya oleh evolusi luar biasa otak manusia?”
Bering sendiri menjawab, “Mempersepsi suatu Oknum supernatural bukanlah magis,
tetapi sesuatu yang jelas-jelas organik, yakni suatu fungsi otak manusia.”/26/
Bahwa berbagai pengalaman keagamaan, pengalaman spiritual,
pengalaman tentang dunia ilahi, tidak mengacu ke dunia adikodrati yang tak
kasat mata, melainkan semuanya diproduksi dalam neuron-neuron otak manusia,/27/ sudah dibeberkan dengan terang
dalam banyak karya bagus kajian-kajian neurosains, di antaranya karya Andrew
Newberg dan Mark Robert Waldman, How God Changes Your Brain/28/, dan karya Andrew Newberg, E. D’Aquili, dan V. Rause, Why God Won’t Go Away./29/ Buku
Michael A. Persinger,
Neuropsychological Bases of God Beliefs, perlu diberi perhatian khusus./30/
Para “saintis skriptural” Barat, dengan topangan dana dari
The John Templeton Foundation, kini sedang fokus pada berbagai penelitian
terhadap mind, pikiran, dengan harapan bahwa mind bisa dibuktikan
sebagai suatu zat spiritual, bukan zat material.
Alasan mereka: Jika pikiran
manusia adalah suatu zat rohani, maka Allah sebagai roh tentu ada. Tapi
pertanyaannya adalah: Mengapa pikiran manusia lenyap ketika otak, lewat aliran
darah, tidak lagi menerima pasokan nutrisi, hormon dan oksigen, ketika tak ada
lagi energi elektrokimiawi neurologis yang mengalir dalam otak manusia, ketika
manusia mati?
Bukankah kalau pikiran manusia itu suatu zat rohani yang
independen, tak terikat pada zat material organ otak, pikiran ini akan tetap
ada kendatipun otak rusak atau manusia si pemilik otak mati, dan manusia akan
dapat tetap hidup hanya dengan roh sekalipun tidak memiliki organ otak?
Karena
manusia pasti mati ketika otaknya mati atau ketika otaknya dicopot, atau
pikiran lenyap ketika otak mati, berarti roh manusia itu tidak ada, dus berarti
juga Allah itu, sebagai suatu zat spiritual yang memberi roh kehidupan kepada
jasad manusia, tidak ada; kecuali jika
Allah itu dipahami sebagai suatu zat immaterial yang hingga sejauh ini tidak atau belum berhasil ditemukan keberadaan-Nya secara objektif empiris.
Sebuah argumen ilustratif analogis telah diajukan kalangan
agamawan untuk menolak kesimpulan dalam alinea di atas, bahwa roh Allah dan roh
manusia itu tidak ada.
Mereka memakai ilustrasi stasiun pemancar gelombang
radio yang menyiarkan gelombang radio ke mana-mana lalu ditangkap oleh sebuah
pesawat radio. Dalam ilustrasi ini, pemancar gelombang radio itu sorga, dan
gelombang radionya adalah roh Allah, dan pesawat penerima gelombang radio
adalah otak manusia, yang berfungsi sebagai antena-antena penangkap “gelombang radio ilahi”.
Kata mereka, kalau pesawat radionya
dimatikan atau rusak, gelombang radionya dan stasiun pemancar gelombang
radionya masih tetap ada, tidak ikut mati atau rusak.
Kepada kalangan agamawan yang berargumentasi demikian, hanya
perlu diajukan satu permintaan: Tunjukkanlah kepada dunia di mana lokasi
geografis stasiun pemancar gelombang radio yang mereka sebut sorga, dan
tunjukkanlah lewat radar atau lewat pesawat penerima gelombang radio, adanya
gelombang radio ilahi yang mereka bayangkan sebagai roh Allah!
Permintaan itu sangat serius, sebab kalau organ lunak berwarna putih, yang memiliki massa (satu
setengah kilogram), yang objektif ada di dalam tempurung kepala kita, yang kita
namakan otak, adalah penerima gelombang radio ilahi, maka gelombang radio ilahi
ini juga harus bisa ditunjukkan keberadaannya secara empiris objektif di layar
radar atau tertangkap oleh pesawat penerima radio yang biasa kita gunakan, dan
lokasi pemancarannya juga harus dapat diidentifikasi—lebih-lebih sekarang ini
teknologi radar dan teknologi pemancaran dan penerimaan gelombang radio sudah
sangat maju!
Saya ajak kalangan agamawan yang percaya bahwa mind,
pikiran, adalah zat rohani yang independen dan memiliki kesadaran sendiri,
untuk menguji apakah kepercayaan mereka benar melalui dua eksperimen berikut.
Eksperimen pertama: Karena pikiran anda menurut anda adalah
zat rohani yang independen sehingga bisa meninggalkan tubuh anda, atau lebih
tepat meninggalkan otak anda, maka silakan pikiran anda keluar dari diri anda
lalu masuk ke dalam otak saya yang sedang berpikir, lalu tangkap atau bacalah
isi pikiran saya. Saya beri waktu 15 detik. Selanjutnya, kembalilah pikiran
anda ke dalam otak anda, lalu beritahu saya apa isi pikiran saya yang anda
telah baca tadi. Hasilnya bisa diprediksi: Nol besar!
Eksperimen kedua: Carilah sepuluh orang yang berasal dari
latarbelakang pendidikan dan kesukuan/kebangsaan yang berbeda, yang diklaim bisa melakukan “OBE”, out-of-body-experience,
yakni keluar dari diri sendiri sebagai roh atau jiwa atau pikiran, lalu pergi
melayang ke mana saja mereka mau.
Kumpulkanlah sepuluh orang ini di sebuah rumah
besar yang mereka belum pernah masuki yang di dalamnya ada sebuah kamar besar
rahasia. Tempatkanlah di tengah ruang kamar besar rahasia ini sebuah benda
lengkap dengan asesoris lain di sekelilingnya.
Lalu di sebuah ruang lain yang jauh dari kamar besar rahasia
ini sepuluh orang itu diminta untuk bermeditasi intens lalu jiwa atau roh atau
pikiran mereka masing-masing diminta meninggalkan tubuh mereka masing-masing,
melayang menuju ruang kamar besar rahasia itu yang mereka harus temukan
sendiri. Setelah sekian waktu berlalu, mintalah jiwa atau roh atau pikiran
mereka masing-masing kembali ke diri mereka.
Selanjutnya mereka masing-masing, dalam keadaan sadar penuh,
diminta menuliskan pada selembar kertas hal-hal apa saja yang mereka
masing-masing telah saksikan pada waktu mereka OBE dan berada di ruang kamar
besar rahasia itu.
Apa hasilnya? Bisa diprediksi: setiap orang yang bisa OBE
itu menulis laporan yang satu sama lain tak sejalan bahkan bertentangan, sebab
mereka semua menulis mengikuti kemauan imajinasi liar masing-masing.
Tak ada OBE; yang ada adalah imajinasi atau malah fantasi dalam
organ otak yang dibiarkan melayang-layang tanpa arah! Begitu juga, tak ada “pengalaman keluar tubuh” menjelang
kematian, lalu “roh” memasuki kembali jasad yang sebelumnya sudah ditinggalkan
karena si pemilik jasad dinyatakan belum saatnya mati, pengalaman yang biasa
disebut “Near-Death Experiences” (NDE).
Di
sinilah tugas para neurosaintis untuk menjelaskan OBE atau NDE yang kerap diklaim sebagai suatu
fenomena paranormal, padahal
sesungguhnya semua pengalaman ini real dirasakan karena semuanya memang
berlangsung dalam organ otak saja, bukan di dalam dunia supernatural./31/
Sebagaimana sudah dilakukan banyak percobaan klinis oleh
neurosaintis Michael A. Persinger, yang sudah dibeberkannya dalam karyanya yang
sudah disebut di atas, Neuropsychological Bases of God Beliefs, berbagai
pengalaman spiritual atau supernatural, antara lain OBE dan perasaan “dihadiri”
oleh suatu wujud spiritual (Tuhan, atau malaikat atau jin misalnya), muncul pada
diri seseorang jika bagian temporal lobes dari otaknya (wilayah neural
yang terletak persis di atas telinga) diberi rangsangan medan elektromagnetik
yang menimbulkan apa yang disebut temporal lobe transients, ketika
terjadi peningkatan dan ketidakstabilan pola-pola penembakan neuron-neuron otak
dalam aktivitas elektrokimiawi pada wilayah temporal lobes ini.
Saya perlu juga menyebut tiga buku lainnya pada kesempatan
ini, yang ketiganya berisi pembedahan saintifik atas banyak kejadian paranormal,
yang dengan kuat memperlihatkan bahwa semua hal yang selama ini dipandang
sebagai fenomena paranormal ternyata adalah hal-hal yang normal saja, karena
semuanya bisa dijelaskan secara ilmiah sebagai kejadian-kejadian yang
ditimbulkan oleh aksi dan reaksi neuron-neuron dalam otak kita.
Buku pertama,
karya Michael Shermer, Why People Believe Weird Things;/32/ buku kedua juga tulisan Michael
Shermer, The Believing Brain,/33/ dan buku ketiga
yang juga luar biasa, karangan Richard Wiseman, Paranormality: Why We See
What Isn't There./34/
Sebagai eksperimen pembanding, selanjutnya masing-masing
orang yang diklaim sebagai praktisi OBE itu dipersilakan dalam keadaan sadar
penuh bergiliran berjalan kaki menuju
ruang kamar besar rahasia itu dengan sebelumnya (tentu saja) satu per satu ditunjukkan
arahnya, lalu mereka masing-masing harus masuk ke dalam dan memeriksa secermat
mungkin ruang besar itu. Setiap praktisi yang sudah kembali diminta langsung
menuliskan laporan pada selembar kertas mengenai hal-hal apa saja yang mereka
telah lihat di dalam ruang kamar besar rahasia itu.
Setelah semuanya melakukan
hal yang sama, kumpulkan dan bandingkan setiap laporan mereka masing-masing.
Apa hasilnya? Bisa diprediksi: 90 persen isi laporan mereka masing-masing boleh
dikata serupa atau bahkan sama!
Kesimpulan dari eksperimen imajiner dengan sepuluh praktisi OBE
ini sangat jelas: roh atau pikiran itu menyatu dengan organ otak; dan hanya
dalam kondisi tak terpisah dari organ otak ini, pikiran baru bisa bekerja atau
berfungsi. Tanpa organ otak, tak ada pikiran. Tanpa organ otak, tak ada roh.
Tulis Shermer dalam bukunya The Believing Brain,
“Pikiran adalah apa
yang dikerjakan otak. Tidak ada apa yang disebut ‘pikiran’ pada dirinya
sendiri, di luar aktivitas otak. Pikiran hanyalah sebuah kata yang kita gunakan
untuk mendeskripsikan aktivitas neurologis dalam otak. Jika otak tak ada,
pikiran juga tak ada. Kita mengetahui ini karena jika suatu bagian dari otak
hancur karena serangan stroke atau kanker atau luka atau pembedahan, apapun yang
bagian otak yang rusak itu sebelumnya lakukan, kini lenyap sama sekali....
[T]anpa koneksi-koneksi neural dalam otak, pikiran tidak ada.”/35/
Jadi, tak ada zat yang dinamakan
roh atau pikiran yang bisa lepas dari tubuh manusia.
Kalangan skripturalis teistik bagaimanapun juga akan
berkeras bahwa manusia adalah suatu ciptaan unik Allah, yang menjadi hidup
karena hembusan roh Allah, dan ada dalam planning Allah sejak awal untuk
menjadikannya mahkota termulia dari semua ciptaan lain, untuk berkuasa atas
jagat raya.
Namun para saintis menegaskan bahwa manusia adalah salah satu
bentuk kehidupan yang pada level fundamental (level partikel) tak berbeda dari semua benda
material lain dalam jagat raya, yang tersusun dari partikel-partikel subatomik u-quark,
d-quark, elektron dan berbagai partikel subatomik lainnya.
Kita sudah tahu bahwa sains evolusi, dengan didukung
bukti-bukti empiris yang makin melimpah, sudah berhasil memperlihatkan bahwa Homo sapiens, makhluk cerdas, yang kita beri nama manusia, adalah makhluk
yang sungguh-sungguh berasal dari alam dan merupakan bagian dari alam, yang
pada awalnya hanya memuat satu bentuk kehidupan bersel tunggal arkhaea.
Buku bagus mutakhir yang
menggambarkan proses evolusi ini dengan bukti-bukti sangat melimpah dan memakai
argumen-argumen kokoh lintasilmu, adalah buku Richard Dawkins, The Greatest
Show on Earth: The Evidence for Evolution./36/ Sebuah buku tentang sains evolusi
yang juga ada di rak buku saya, yang isinya sangat terang dan gamblang, adalah
buku Jerry A. Coyne, Why Evolution Is True./37/
Sains evolusi menunjukkan bahwa manusia muncul di Bumi
sebagai suatu hasil proses evolusi biologis sangat panjang menurut suatu
mekanisme seleksi alamiah, proses evolusi yang terus berlangsung acak, buta,
tak bertujuan, tak terencana dan tak terpandu oleh kekuatan eksternal
adikodrati apapun. Jadi, “the intelligent designer”, sang perancang cerdas,
yang mereka namakan Allah, sama sekali tak ada, tak memberi desain apapun atas
alam ini dan semua bentuk kehidupan di dalamnya, dan khususnya tak merancang
dengan cerdas sekali jadi Homo sapiens dewasa.
Kalaupun ada prinsip yang mengendalikan evolusi, ini
adalah prinsip adaptasi terhadap lingkungan. Dalam menjelaskan asal-muasal
semua bentuk kehidupan, khususnya bentuk kehidupan Homo sapiens,
hipotesis bahwa Allah adalah sumber semua bentuk kehidupan, sama sekali tidak
diperlukan. The supernatural designer is dead, ya karena sains evolusi adalah salah satu sains natural.
Meski banyak orang hingga kini menolak sains evolusi, sains ini justru harus membuat kita takjub dan
terpesona, sebab sudah dibentangkan di hadapan kita bukti-bukti empiris sangat
kuat dan berlimpah bahwa kita, Homo sapiens, adalah bagian tak terpisah
dari semua organisme yang ada dalam alam. Kita semua bersaudara, baik dengan
sesama manusia maupun dengan sesama binatang dan tetumbuhan, dan dengan semua
bentuk kehidupan lainnya.
Sains evolusi dengan demikian mendorong kita untuk
hidup ramah dan bersaudara dengan semua bentuk kehidupan lain, sebagai sesama
saudara—ini juga pesan Buddhisme yang mempesona.
Kitab-kitab suci agama-agama monoteistik, Alkitab, misalnya
malah, ketika ditulis, menempatkan manusia sebagai makhluk tertinggi dan termulia
yang diberi mandat untuk berkuasa atas alam, untuk menaklukkan alam, bukan
untuk membangun harmoni dengan alam. Sains evolusi justru jauh lebih bermoral
dan agung ketimbang teologi dominasi yang dibangun berdasarkan teks kitab Kejadian dalam Alkitab. Sebab sains ini, sekali lagi, menyadarkan kita
sungguh-sungguh bahwa kita bersaudara dengan hewan dan dengan tetumbuhan dan
dengan semua bentuk kehidupan lain, dan karena itu kita harus hidup harmonis
dengan kosmos.
Tentu kita harus terus mengembangkan sains dan teknologi untuk
mengeksplorasi jagat raya, tetapi usaha-usaha saintifik dan teknologis ini kini
dijalankan dengan suatu kesadaran penuh yang makin
diperkuat untuk juga mempertahankan dan
melestarikan daya dukung alam terhadap semua bentuk kehidupan di muka Bumi.
Syukurlah, teologi dominasi manusia atas alam kini sudah ditinggalkan para teolog Kristen, diganti dengan teologi penatalayanan atau teologi stewardship: manusia adalah rekan sekerja alam dalam menatalayani alam.
Ya, validitas sains evolusi kini sudah sangat kokoh karena sains
genetika, sains biologi molekuler, sains anatomi dan fisiologi komparatif,
sains geologi, sains paleontologi, botani, zoologi, biogeografi, kajian fossil,
biologi sintetis, berkonvergensi mendukung kebenaran fakta evolusi spesies.
Charles Darwin, seorang naturalis kebangsaan Inggris (1809-1882), yang pada
1859 menerbitkan karyanya On the Origin of Species, sekarang tidak
berdiri sendiri, tetapi bersanding dengan banyak ilmuwan besar.
Selain itu, dewasa ini aplikasi sains evolusi malah
berkembang sehingga lahirlah psikologi evolusioner, neurosains evolusioner,
kosmologi evolusioner, sains kognitif evolusioner, genetika evolusioner, dan
sebagainya.
Jika para agamawan dari berbagai agama masih ingin menolak sains evolusi karena alasan-alasan
skriptural, mereka harus juga menolak semua disilpin ilmu lainnya ini. Jika ini
mereka lakukan, mereka tak bisa lagi hidup dalam dunia modern, melainkan mungkin harus
pulang ke Taman Eden purbakala yang ada hanya dalam suatu kisah teologis.
Jangan dilupakan, para saintis yang mempelajari angkasa luar
dan isinya kini juga sedang sibuk meneliti dan mengobservasi bulan Titan dan
bulan Enceladus dari antara 53 bulan planet Saturnus yang sudah diberi nama,
lewat foto-foto yang sangat banyak yang dikirim baik oleh wahana antariksa
tanpa awak Voyager 2 di tahun 1980-1981 maupun oleh wahana antariksa tak
berawak Cassini yang pada 30 Juni 2004 masuk ke orbit planet ini.
Bulan Titan memiliki atmosfir padat (sepuluh kali lebih
padat dari atmosfir Bumi) yang berisi banyak materi organik (hidrocarbon) dan
permukaan yang kaya dengan berbagai senyawa kimiawi. Begitu juga, pada
permukaannya bulan Enceladus memiliki banyak senjawa organik, dan juga air di
bawah permukaannya.
Kondisi-kondisi semacam itu di kedua bulan planet Saturnus
ini menyerupai kondisi-kondisi awal di planet Bumi dulu, 3,5 milyar sampai 4,5 milyar tahun
lalu, sebelum munculnya bentuk-bentuk kehidupan bersel tunggal yang kemudian berevolusi ke struktur-struktur biologis yang
makin rumit. Kajian-kajian saintifik mendalam
atas kondisi-kondisi kimiawi kedua bulan ini akan memberi banyak pengetahuan
tambahan sangat penting bagi kita mengenai proses-proses natural kimiawi yang
dapat memunculkan kehidupan dan evolusinya.
Dengan demikian, kajian-kajian astrokimiawi
atas kedua bulan ini akan memberi sumbangan penting bagi sains evolusi dan
biologi yang sudah dikenal di Bumi.
Begitu juga, NASA sendiri dewasa ini sedang menjalankan
sebuah proyek yang mereka beri nama SETG, the
Search for Extra-terrestrial Genomes, proyek pencarian genome/DNA di
antariksa, khususnya di planet Mars./38/
Proyek ini dilandaskan pada sebuah hipotesis tentang adanya keserupaan genomik
antara berbagai DNA yang ada di Bumi dan berbagai DNA yang mungkin ada di planet Mars, berdasarkan sebuah
asumsi bahwa baik DNA di planet Mars maupun DNA di Bumi memiliki nenek moyang
yang sama. Bukti-bukti
yang berhasil dikumpulkan makin bertambah, dan semuanya menunjukkan bahwa
mikroba-mikroba yang dapat bertahan hidup, dapat tertransfer di antara kedua
planet ini, suatu kemungkinan yang sebagian didasarkan pada kalkulasi-kalkulasi
lintasan-lintasan meteor dan kajian-kajian magnetisasi yang mendukung hanya
pemanasan yang moderat pada inti-inti meteor yang memungkinkan bentuk-bentuk
kehidupan bisa bertahan di dalam berbagai meteor.
Sebagai bagian penting dari proyek SETG ini, NASA pada 26
November 2011 telah meluncurkan sebuah wantariksa tanpa awak yang berbentuk
piring cembung dengan tujuan planet Mars. Wantariksa ini membawa sebuah mesin
penjelajah beroda enam seberat 1 ton,
yang diberi nama Curiosity, yang akan melakukan eksplorasi di sekian kawasan di
planet merah ini, setelah didaratkan, menurut rencananya, pada 6 Agustus 2012
di kawasan kawah
Gale di sana (dan pendaratan ini sudah berlangsung
dengan sukses! Selamat buat NASA!).
Salah satu tujuan
penting Curiosity, sebagai Mars Science Laboratory,
adalah melakukan serangkaian pengujian in
situ di planet Mars atas bahan-bahan kimiawi yang membentuk DNA mikroorganisme./39/
Jadi, adalah suatu fakta sains
yang keras jika saya menegaskan bahwa kalangan saintis kini mencari asal-usul
bentuk-bentuk kehidupan di muka Bumi dengan mengarahkan penyelidikan ke
antariksa. Asal-muasal kita, Homo sapiens,
sebagai salah satu bentuk kehidupan di Bumi kini diyakini angkasa luar, bukan
Taman Eden teologis di muka Bumi.
Inilah piring
terbang buatan NASA yang membawa rover Curiosity ke planet Mars, yang telah
menempuh perjalanan terbang selama 8 bulan untuk tiba di planet ini, lalu
mendaratkan rover ini di kawah Gale planet ini!
Tetapi, kalangan agamawan dan “saintis teistik” kini masuk
dari sisi lain.
Mereka berkeras bahwa alam semesta kita ini, dan khususnya
sistem Matahari kita (solar system), telah dengan luar biasa “disetel
dengan pas” (fine-tuned) sehingga menghasilkan suatu zona yang cocok
bagi kemunculan bentuk-bentuk kehidupan dan khususnya spesies manusia di planet
Bumi lewat evolusi.
Zona yang terbentuk oleh fine-tuning ini dinamakan
Goldilocks Zone.
Kalangan ilmuwan juga mengajukan sebuah istilah lain, yakni prinsip
anthropik dalam teori tentang fine-tuning ini. Prinsip ini
menyatakan bahwa karena dalam jagat raya ini kita, manusia (anthropos),
dapat hidup, maka semua hukum fisika dalam jagat raya kita haruslah hukum-hukum
yang bersahabat dengan bentuk-bentuk kehidupan sehingga dapat memunculkan
kehidupan.
Goldilocks Zone dalam sistem Matahari kita menempatkan bintang Matahari dalam jarak yang
sangat pas dengan planet Bumi, tidak terlalu dekat dengan planet Bumi yang
dapat mengakibatkan air di seluruh lautan memanas lalu mendidih
lalu lenyap sebagai uap, atau terlalu jauh yang dapat membuat air di semua
lautan membeku.
Dalam lingkup jagat raya kita, parameter-parameter di
dalamnya tampak dengan sempurna telah “fine tuned”.
Sebagai contoh, seandainya
daya nuklir yang ada dalam kosmos lebih kuat dari yang faktual ada sekarang,
maka bintang Matahari kita betul-betul akan sudah terbakar habis milyaran tahun
lalu; atau seandainya daya ini lebih lemah, maka bintang Matahari kita tidak
akan bernyala untuk menjalankan fungsinya sekarang. Jadi, daya nuklir dalam
kosmos telah disetel pas.
Demikian juga, seandainya daya gravitasi semua materi dalam
kosmos lebih kuat dari ambang batas densitas jagat raya (yang disebut “the
critical density” atau “the density threshold”), maka jagat raya kita yang sedang
makin cepat mengembang (disebabkan oleh daya sentrifugal dentuman big bang,
dan oleh “dark energy”, energi gelap) mungkin sekali pada akhirnya akan
berkontraksi (karena daya gravitasi seluruh materi dan daya gravitasi “dark
matter”, materi gelap) lalu roboh dan saling bertabrakan dan mengerucut
sehingga menghasilkan suatu lubang hitam (black hole) yang super-masif,
super-panas, dan terunifikasi, atau yang disebut singularitas “Big Crunch”
(yang akhirnya juga akan mendentum lagi sebagai “Big Bang” baru dalam suatu
“Big Bounce” dan mengulangi kembali siklus kehidupan jagat raya).
Seandainya
daya gravitasi ini lebih lemah, maka jagat raya akan terus mengembang, lalu
dalam pengembangannya ini segala sesuatu akhirnya akan membeku dalam suatu
entropi (disorder) yang disebut “Suhu
Dingin Besar”, Big Freeze (atau Big Chill).
Jadi, gaya gravitasi dalam kosmos
telah disetel dengan pas (yang membuat kita bisa membayangkan jagat raya ini
“datar”, flat,
[bukan “datar” dalam arti datarnya kueh serabi dua
dimensi, tetapi berdimensi tiga dengan cahaya tetap bergerak lurus di dalamnya]
atau “statis”, tidak mengembang dan juga tidak berkontraksi
sehingga menghasilkan suatu Big Bore, “Kebosanan Besar”).
Salah seorang yang dengan gigih mempertahankan teori tentang
fine-tuning adalah seorang saintis yang berpengaruh, yang bernama
Francis Collins, direktur National Institute of Health di Amerika Serikat.
Collins yang telah berubah haluan dari seorang ateis menjadi seorang teis,
telah menulis sebuah buku laris, The Language of God,/40/ yang di dalamnya si penulisnya
ternyata tetap mempertahankan sains evolusi dan memperlihatkan dengan pas bahwa
kreasionisme adalah omong kosong.
Selain itu, ada sejumlah orang yang melangkah lebih jauh
untuk membela teisme, dengan menyatakan bahwa fine-tuning dan Goldilocks
Zone tak bisa lain selain buah kreasi suatu Oknum cerdas supernatural yang
merancang semua “kondisi awal” yang
tercipta pada saat big bang, yang memungkinkan terciptanya
fine-tuning dan zona istimewa semacam ini; lantas mereka mengklaim bahwa
“sains telah menemukan Allah”.
Tetapi lagi-lagi fisikawan Victor J. Stenger telah menulis
sebuah buku mutakhir yang sangat bagus, yang menyajikan analisis-analisis
saintifik untuk menunjukkan bahwa fine-tuning adalah sebuah konsep yang
salah. Bukunya ini berjudul The Fallacy of Fine-Tuning./41/
Dalam bukunya itu, Stenger (dan banyak fisikawan lain)
menegaskan bahwa jagat raya kita bukanlah satu-satunya jagat raya, melainkan
suatu bagian dari banyak jagat raya yang dalam kosmologi mutakhir disebut
multiverse, yang berisi jagat raya individual yang jumlahnya tak terbatas,
yang membentang ke segala arah tak terbatas dalam ruang tak terbatas, dan untuk
jangka waktu tak terbatas di masa lampau dan di masa depan.
Secara kebetulan
kita hidup dalam suatu jagat raya yang cocok untuk jenis kehidupan kita. Jagat
raya tidak disetel dengan pas untuk mempersiapkan kedatangan manusia di
dalamnya, melainkan kitalah, manusia, yang telah disetel dengan pas oleh
kekuatan-kekuatan alam sehingga kita cocok dengan jagat raya kita khususnya.
Tulis Stenger,
“Parameter-parameter fisika dan kosmologi tidak secara khusus
telah disetel untuk cocok bagi kehidupan, khususnya kehidupan manusia”, dan “jagat
raya akan tampak sebagaimana seharusnya seandainya pun tidak disetel dengan pas
untuk spesies manusia.” Alam pun tidak
peduli apakah manusia akan muncul atau tidak di suatu tempat dalam jagat raya
kita ini di suatu kurun kosmologis.
Tetapi kalangan agamawan teistik, bahkan juga sekian saintis
yang tak beragama, menolak konsep multiverse
yang digunakan untuk menolak fine-tuning, dengan alasan bahwa solusi
multiverse adalah suatu solusi yang “non-saintifik” sebab kita tidak memiliki
suatu cara apapun untuk dapat mengobservasi adanya jagat-jagat raya paralel di
luar jagat raya kita sendiri.
Terhadap penolakan ini, Stenger, dalam bukunya itu, menulis:
“Sesungguhnya suatu multiverse adalah
suatu konsep yang lebih saintifik dan lebih hemat ketimbang menghipotesiskan
adanya suatu roh pencipta yang tak dapat diobservasi dan konsep adanya hanya
satu jagat raya tunggal. Multiverse
adalah suatu hipotesis saintifik yang sah, sebab konsep ini sejalan dengan
pengetahuan terbaik kita”/42/,
salah satunya adalah teori dawai (string theory) yang diajukan antara
lain oleh Leonard Susskind.
Menurut teori dawai, atom-atom fundamental dari jagat raya
bukanlah partikel-partikel nol-dimensi, melainkan dawai-dawai (strings)
satu-dimensi yang bervibrasi.
Menurut teori ini, jagat raya memiliki enam atau
bahkan sebelas dimensi, bukan hanya 4 dimensi ruang dan waktu. Menurut teori
dawai, melalui proses quantum, terbentuk 10500 (10 pangkat 500) jagat raya yang
masing-masing berbeda, dengan parameter-parameter yang berbeda, yang tentunya dari
antaranya tidak hanya ada satu jagat raya yang memiliki parameter seperti
yang terdapat dalam jagat raya kita yang cocok untuk kehidupan.
Ketimbang menerima hipotesis kaum agamawan bahwa alam
semesta ini ada karena telah diciptakan oleh Allah, sains fisika kini
mengargumentasikan bahwa jagat raya ini tercipta sendiri dari ketiadaan, “from
nothing”, karena bekerjanya gaya gravitasi supersimetri, prinsip relativitas,
dan terjadinya fluktuasi quantum dalam suatu titik ruang-waktu yang kosong dan
acak, yang tak memungkinkan adanya ruang kosong apapun yang tak berisi energi.
Fluktuasi
quantum ini bermuara pada suatu inflasi atau eskpansi besar yang selanjutnya
menimbulkan big bang.
Fisikawan besar Stephen Hawking adalah salah
seorang saintis yang berargumentasi demikian itu belakangan ini, dalam bukunya The Grand Design./43/
Bahwa jagat raya tercipta dari ketiadaan, dengan gamblang
dijelaskan antara lain oleh kosmolog Michio Kaku,/44/ seperti berikut.
Dalam teori dawai, kita memiliki suatu multiverse
jagat-jagat raya, salah satu di antaranya adalah jagat raya kita. Anggaplah jagat
raya kita sebagai permukaan suatu gelembung atau balon busa sabun, yang terus
mengembung. Kita hidup pada permukaan kulit balon sabun ini. Dengan teori
dawai, kita dapat memprediksi adanya balon-balon sabun lainnya di luar jagat
raya kita, yang dapat bertabrakan dengan balon-balon sabun lainnya atau bahkan
menumbuhkan cabang atau ranting balon-balon sabun bayi, seperti kita lihat pada
waktu kita mandi dengan busa sabun.
Semua materi dalam jagat raya memiliki energi positif;
tetapi gravitasi memiliki energi negatif. Penjelasan sederhananya demikian:
Misalkan anda menambahkan energi pada Bumi untuk melepaskannya dari daya
gravitasi Matahari sehingga Bumi keluar dari orbitnya. Ketika sudah terlepas
dari sistem Matahari, maka Bumi memiliki energi gravitasi nol. Ini berarti
sistem Matahari orisinalnya memiliki energi negatif.
Jika anda membuat sebuah perhitungan matematis, anda
menemukan bahwa total energi positif materi dalam jagat raya dapat dibatalkan
atau dihilangkan kalau diperhadapkan pada total energi negatif gravitasi, dan
ini akan menghasilkan suatu jagat raya yang memiliki energi materi neto NOL
(atau mendekati nol). Jadi, dalam arti tertentu, jagat-jagat raya ada tanpa
biaya apapun, tak memerlukan energi atau membuang energi. Tidak diperlukan materi
dan energi neto untuk menciptakan seluruh jagat raya. Dengan cara ini, dalam
balon busa sabun mandi, balon-balonnya dapat bertabrakan, menciptakan
balon-balon sabun bayi, atau begitu saja muncul balon baru dari ketiadaan.
Ini, kata Michio Kaku, memberi kita sebuah gambar big
bang yang menakjubkan. Jagat raya kita muncul mungkin dari tabrakan dua
jagat raya (disebut teori tabrakan besar, the big splat theory), atau
muncul sebagai dahan atau cabang dari suatu jagat raya ayah/ibu, atau begitu
saja muncul dari ketiadaan. Dengan demikian, jagat raya terus diciptakan tanpa
henti.
Buku paling mutakhir yang berupaya
menjelaskan terbentuknya jagat raya dari “ketiadaan” (nothing) ditulis oleh
Lawrence M. Krauss, A Universe From
Nothing: Why There Is Something Rather than Nothing (Afterword oleh Richard
Dawkins) (New York, etc.: Free Press, 2012). Buku ini perlu dikaji secara
khusus, di bawah tema jagat raya tercipta dari ketiadaan.
Pada bagian epilog
bukunya ini, Krauss menulis antara lain bahwa
“Kami telah menemukan bahwa semua tanda
memperlihatkan suatu jagat raya yang dapat, dan masuk akal, tercipta dari suatu
ketiadaan yang lebih dalam (“a deeper nothing”), mencakup juga ketiadaan ruang
itu sendiri, dan yang pada suatu hari nanti akan kembali ke ketiadaan lewat proses-proses yang bukan saja dapat dipahami,
tetapi juga proses-proses yang tidak memerlukan kontrol atau tuntunan eksternal
apapun. Dalam arti inilah, sains... tidak menjadikan tidak mungkin untuk
percaya pada Allah, melainkan menjadikan mungkin untuk tidak percaya pada
Allah. Tanpa sains, segala sesuatu menjadi mukjizat. Dengan sains, terbuka
kemungkinan bahwa ketiadaan itu ada. Kepercayaan keagamaan, dalam hal ini,
menjadi makin kurang perlu, dan juga makin kurang relevan.” /45/
Menyangkut terciptanya
kehidupan, sains biologi sintetis di tahun 2010, seperti telah ditunjukkan
oleh The J. Craig Venter Institute di Amerika Serikat, telah berhasil
membuktikan dalam laboratorium bahwa kehidupan cukup dihasilkan dari zat-zat
kimiawi yang mati, yang persenyawaannya dalam sebuah synthesizer
berlangsung menurut suatu informasi genetik yang disusun secara digital oleh
sebuah komputer.
Craig Venter dkk tidak komat-kamit berdoa meminta roh Tuhan menghidupkan senyawa kimiawi yang mati, tetapi otak mereka bekerja keras dan
mata mereka terkonsentrasi pada peralatan teknologis yang sedang bekerja,
ketika mereka melakukan uji-coba penciptaan kehidupan ini, yang bermuara pada
suatu keberhasilan yang revolusioner gilang-gemilang./46/ Sukses ini menghantam kepercayaan keagamaan bahwa manusia (atau makhluk hidup apapun) diciptakan oleh
Allah lewat pemberian nafas/roh kehidupan yang dihembuskan oleh Allah ini.
Banyak orang mengkritik dengan naif, asal kritik, bahwa
bentuk kehidupan yang dihasilkan Craig Venter dkk hanyalah bentuk kehidupan
bersel tunggal, dan bukan makhluk yang namanya manusia, sehingga revolusi
saintifik di dunia biologi sintetis oleh Craig Venter ini ditepis begitu saja.
Para
pengkritik ini jelas tak tahu bahwa dalam alam yang kita kenal, kehidupan juga
diawali oleh mikroorganisme bersel tunggal yang dinamakan arkhaea, yang
setelah melewati proses evolusi biologis natural selama 4,5 milyar tahun memunculkan suatu
bentuk kehidupan yang jauh lebih kompleks dan memiliki kecerdasan dan kesadaran
diri, yang dinamakan Homo sapiens.
Jadi, kita tinggal menunggu waktu
saja sampai para pakar biologi sintetis di masa depan dapat menciptakan
bentuk-bentuk kehidupan yang lebih kompleks, dari senyawa-senyawa kimiawi yang
mati, dengan memakai informasi-informasi genomik yang sudah bisa disusun.
Menutup tulisan ini, ada baiknya sejenak kita tengok Thomas
Aquinas (1225-1274). Filsuf Katolik yang punya nama besar ini, dengan berpijak
pada pandangan Aristoteles, membangun argumen berikut ini: untuk segala sesuatu
yang ada dalam jagat raya ini, pasti ada penyebabnya, dan pada titik paling
awal dari semua hal yang ada pasti ada penyebab yang tidak disebabkan oleh
penyebab sebelumnya, yang olehnya disebut uncaused cause atau prima causa, dan untuk
segala sesuatu yang bergerak dalam jagat raya pasti ada penggeraknya, dan pada
titik paling awal dari semua yang bergerak pasti ada pengerak utama yang tak
digerakkan oleh apapun sebelumnya, yang olehnya disebut unmoved prime mover.
Nah, kata Aquinas, uncaused cause atau unmoved prime mover ini
adalah Tuhan.
Jelas, argumen Aquinas ini bukan sebuah argumen saintifik,
melainkan argumen imaniah. Sebab, kalau orang bergerak dalam jalur argumen
saintifik, dia harus masuk ke dalam cause and effect continuum yang tak
pernah selesai, baik kontinuumnya bergerak ke belakang, atau bergerak ke depan,
maupun bergerak sirkular.
Dilihat dari sudut pandang saintifik, tidak akan ada
sesuatu dalam jagat raya ini (effect) yang tidak disebabkan oleh
penyebab sebelumnya (cause); tidak akan ada uncaused cause atau unmoved
prime mover.
Jadi, bagi orang yang berpikir saintifik, Tuhan juga harus ada
penyebab yang membuatnya ada, jika Tuhan memang dipandang ada.
Tetapi jika Tuhan dipandang ada tanpa penyebab sebelumnya yang menyebabkan Tuhan ini ada,
maka Tuhan ini tidak ada sama sekali, sebab sesuatu apapun dalam
jagat raya ini yang tidak ada penyebabnya, sesuatu ini tidak ada.
Tetapi, itu baru satu sisi dari argumen tandingan yang saya
berhasil pikirkan, yang kini juga sudah menjadi sebuah argumen usang yang
tak diperlukan lagi.
Ada argumen lain yang sangat penting, yang didapat jka
kita memasuki dunia mekanika quantum, yakni dunia partikel-partikel subatomik,
seperti elektron, proton, neutron, quark, dan
lain-lain.
Dalam
dunia quantum ini ditemukan suatu fakta sains yang solid bahwa
partikel-partikel subatomik muncul begitu saja tanpa asal-usul dan juga dengan
cepat menghilang begitu saja ke lokasi yang tak bisa diprediksi, sehingga
partikel-partikel ini tampak berasal “from nothing” lalu menjadi “something”,
kemudian menjadi “nothing” kembali, dengan
interval waktu yang sangat pendek. Partikel-partikel yang semacam ini dinamakan virtual particles.
Jadi, karena jagat raya kita berawal dari the big bang, dan big bang ini tentu memiliki “inti” sendiri yang umumnya disebut
“singularitas” black hole yang sangat
masif terkonsentrasi dan berenergi sangat besar, sudah seharusnya dalam
singularitas inti big bang ini dunia
yang ditemukan adalah dunia quantum. Dan hanya dalam dunia quantum inilah
“something” terbentuk “from nothing”.
Jadi, ditinjau dari dunia mekanika
quantum, jagat raya kita pada awal sekali muncul dari ketiadaan, “from
nothing”, tanpa memerlukan uncaused cause
atau ummoved prime mover.
Jika kaum agamawan dari berbagai agama memandang Tuhan sebagai suatu zat
spiritual yang tak termasuk ke dalam materi, energi dan ruang-waktu yang kita
kenal, maka ditinjau dari sains fisika, Allah semacam ini juga adalah
“nothing”.
Berlebihankah jika saya berpendapat bahwa di dalam “nothingness”
ini, sains fisika dan agama bertemu? Saya berdebar hati atas pertanyaan ini.
Tetapi, saya juga bertanya lebih jauh pada
diri saya sendiri: Jika Tuhan adalah “nothing”, apakah ada manfaat lebih jika
kita menyebut “nothing” sebagai Allah, ataukah kita sebaiknya tetap menyebut
“nothing” sebagai tetap “nothing” tanpa perlu memasukkan teologi ke dalam
sebutan “nothing” ini?
Saya merasa, saya harus menerima pilihan yang kedua ini:
teologi tak perlu dibawa masuk ke dalam fisika. Lagi pula, saya rasa, tak ada orang yang beragama teistik mau menyebut
Allah sebagai “nothing”, mereka maunya menamakan Allah sebagai “something”.
Penutup
Semua orang beragama tentu ingin agama tetap bisa memandu
sains. Kenyataannya, sains bergerak masuk ke wilayah-wilayah yang dulu hanya
dikuasai oleh agama, lalu merebutnya dari tangan para agamawan. Ini fakta yang anda dan saya harus siap menerimanya.
Maka para
agamawan tak pelak lagi harus bekerja keras mencari jalan-jalan lain, dengan
langkah pertamanya adalah memahami sains secara objektif, dan, sebagai langkah
berikutnya, bersedia mengubah dogma dan doktrin keagamaan mereka jika dogma dan
doktrin ini tak memiliki landasan saintifik apapun melainkan hanya diterima begitu saja tanpa bukti.
Banyak
orang akan setuju, jika dinyatakan bahwa mengajarkan dan memberitakan dogma dan
doktrin keagamaan yang tak berpijak pada bukti-bukti objektif dan pandangan- pandangan
saintifik adalah tindakan yang jauh dari kebenaran.
Apa itu kebenaran, mungkin
anda bertanya kepada saya. Bagi saya, truth
is everything that corresponds to authentic and objective proofs!
Tapi, bagaimana dengan Tuhan yang tak terdefinisikan yang sudah saya sebut di atas? Ya, sikap hening dan khusyuk adalah satu-satunya sikap insani di hadapan the undefined.
Kembali ke Albert Einstein yang sudah saya sebut di atas.
Tidak mengejutkan jika fisikawan teoretis termashyur Albert Einstein menyatakan bahwa
“Jika ada agama yang dapat berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan saintifik modern, agama ini adalah Buddhisme.”
Juga katanya,
“Buddhisme, sebagaimana kami telah pelajari dari tulisan-tulisan hebat Schopenhauer, berisi jauh lebih kuat elemen-elemen perasaan keagamaan kosmik.”/47/
Ada tradisi kuat dalam Buddhisme yang memuat ucapan Gautama Buddha (Kalama Sutta AN 3.65) yang menjadi sumber motivasi kalangan Buddhis yang progresif, Dalai Lama XIV misalnya, untuk merangkul sains dan mengakomodasi sains ke dalam pandangan dunia atau worldview Buddhisme.
Kata sang Buddha,
“Jangan percaya hal apapun hanya karena kamu telah mendengarnya. Jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu telah dibicarakan dan digunjingkan oleh banyak orang.
Jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu tertulis dalam kitab-kitab keagamaanmu. Jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu dikatakan berdasarkan otoritas guru-guru dan sesepuh-sesepuhmu.
Jangan percaya tradisi apapun hanya karena tradisi itu telah diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Tetapi setelah kamu observasi dan analisis, maka ketika kamu mendapati hal apapun sejalan dengan akal-budimu dan menolongmu untuk mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi satu dan semua orang, maka terimalah itu dan jalankanlah.”
Apa yang diucapkan Gautama Buddha itu menyadarkan saya makin dalam bahwa kita bisa tetap beragama, beragama dengan cerdas, sekaligus tetap membuka diri seluas mungkin pada sains modern. Ini yang saya suka namakan spiritualitas saintifik. Koridornya begini:
Karena saya mengasihi Tuhan YMTahu, Tuhan yang menjadi sumber segala pengetahuan, maka saya juga mencintai ilmu pengetahuan sebagai jalan agung tanpa ujung menuju Tuhan. Begitu juga, semua ilmuwan adalah sahabat-sahabat Tuhan, yang lewat riset-riset mereka sedang berjalan menuju Tuhan, tanpa pernah tiba di titik ujung. Mereka juga hamba-hamba Tuhan.
oleh ioanes rakhmat
Catatan-catatan
/4/
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology
(New York: Penguin Group, 2006 [paperback]; New York: Viking Press, 2005
[hardcover]).
/5/
Sam Harris, The Moral Landscape: How Science Can Determine Human Values (New
York: Free Press, 2010).
/6/
Patricia S. Churchland, Braintrust: What Neuroscience Tells Us about Morality (Princeton, New Jersey: Princeton
University Press, 2011).
/7/ Lihat khususnya Richard
Dawkins, The Selfish Gene (New York:
Oxford University Press, 1976) hlm.
64.
/8/ Lihat
Andrew Newberg & Mark Robert Waldman, How God Changes Your Brain:
Breakthrough Findings From A Leading Neuroscientist (New York: Ballantine
Books, 2009); Michael Persinger, Neuropsychological Bases of God Beliefs
(New York: Praeger, 1987).
/11/ Lihat L.
Vigilant et al., “African Populations and the Evolution of Human Mitochondrial
DNA”, dalam Science 253, no. 5027 [1991], hlm. 1503-1507.
/12/ Robert
Wright, The Evolution of God (New York, etc.: Little, Brown and Company,
2009) hlm. 17.
/15/ Victor J. Stenger, God and the Folly of the Faith: The
Incompatibility of Science and Religion (Amherst: Prometheus Books, 2012)
hlm. 257-259.
/17/ Victor J. Stenger, Quantum
Gods: Creation, Chaos, and the Search for Cosmic Consciousness
(Amherst, New York: Prometheus Books, 2009).
/18/Hugh Ross, The Creator and the Cosmos: How the Greatest
Scientific Discoveries of the Century Reveal God (Colorado Springs:
NavPress, 1995) hlm. 61.
/19/ Pernyataan Agustinus
ini dikutip dalam Charles Freeman, The Closing of the Western Mind: The Rise
of Faith and the Fall of Reason (London: Heinemann, 2002), hlm. vii.
/20/
Friedrich A. Hayek, The Road
to Serfdom (London & New York: George
Routledge & Sons, 1944; London: Routledge, 2001). Buku Hayek ini sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ioanes Rakhmat, terbit dengan
judul Ancaman Kolektivisme (Jakarta:
Freedom Institute & Friedrich Naumann Stiftung, 2011).
/21/
Robert Hutchinson, “The Biblical Origins of Modern Science”, dalam The
Politically Incorrect Guide to the Bible (Washington, DC: Regnery, 2007)
139.
/22/
Alvin Schmidt, “Science: Its Christian Connections” dalam Under the
Influence: How Christianity Transformed Civilization (Grand Rapids, MI:
Zondervan, 2001) 221.
/23/
Richard Carrier dalam John W. Loftus, ed., The Christian Delusion: Why Faith
Fails (Amherst, New York: Prometheus Books, 2010) 396-419.
/24/
Victor J. Stenger, Has Science Found God? The Latest Results in the Search
for Purpose in the Universe (Amherst, New York: Prometheus Books, 2003).
/25/Victor
J. Stenger, God: The Failed Hypothesis. How Science Shows That God Does Not
Exist (Amherst, New York: Prometheus Books, 2007).
/26/
Jesse Bering, The Belief Instinct: The Psychology of Souls, Destiny, and the
Meaning of Life (New York/London: W.W. Norton and Company, 2011) hlm. 8.
/28/
Andrew Newberg & Mark Robert Waldman, How God Changes Your Brain:
Breakthrough Findings from a Leading Neuroscientist (New York: Ballantine
Books, 2009).
/29/Andrew
Newberg, E. D’Aquili,
dan V. Rause, Why God Won’t
Go Away (New York: Ballantine Books, 2001).
/30/
Michael A. Persinger, Neuropsychological Bases
of God Beliefs (New York: Praeger, 1987).
/31/Lihat
tulisan saya yang sudah dirujuk dalam catatan nomor 27 di atas; lihat juga
Michael Shermer, Why People Believe Weird Things:
Pseudoscience, Superstition, and Other Confusions of Our Time (New
York: Henry Holt and Company, 1997, 2002) hlm. 73-87; Victor
J. Stenger, Has Science Found God?, hlm.
290-299.
/32/ Michael Shermer, Why People
Believe Weird Things: Pseudoscience, Superstition, and Other Confusions of Our
Time (New York: Henry Holt and Company, 1997, 2002).
/33/Michael
Shermer, The Believing Brain: From Ghosts and Gods to Politics and
Conspiracies—How We Construct Beliefs and Reinforce Them as Truths (New
York: Henry Holt and Company, 2011).
/34/
Richard Wiseman, Paranormality: Why We See What Isn't There (MacMillan,
U.K., 2011).
/35/ Michael Shermer, The Believing
Brain, hlm. 111.
/36/ Richard Dawkins, The Greatest
Show on Earth: The Evidence for Evolution (New York: Free Press, 2009).
/37/
Jerry A. Coyne, Why Evolution Is True (Penguin Books, 2009).
/40/
Francis Collins, The Language of God: A Scientist Presents Evidence for
Belief (New York: Free Press, 2007).
/41/Victor
J. Stenger, The Fallacy of Fine-Tuning: Why the Universe Is Not Designed for
Us (New York, Amherst: Prometheus Books, 2011).
/42/
Victor J. Stenger, The Fallacy of
Fine-Tuning, hlm. 22-23.
/43/
Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010).
/45/ Lawrence M. Krauss, A Universe From Nothing: Why There Is
Something Rather than Nothing (Afterword oleh Richard Dawkins) (New York,
etc.: Free Press, 2012) hlm. 183.
/47/ Albert Einstein, “Religion and Science”, New York Times Magazine, 9 November 1930; juga idem, Ideas and Opinions (1954).