Mari, kali ini kita tinggalkan data statistik. Kita telaah saja kemungkinan bunuh diri dalam kehidupan normal sehari-hari di antara kalangan ateis dan kalangan teis dari sudut pandang worldview masing-masing. Ini namanya telaah ideologi dan dampak psikologisnya, bukan telaah statistik./1/ Fokusnya kehidupan sehari-hari di antara orang teis dan orang ateis, bukan kasus-kasus ekstrim patologi atau abnormalitas kejiwaan atau kasus-kasus ekstrim terorisme bom bunuh diri yang dilakukan baik atas nama teisme maupun atas nama ateisme.
Bagi orang ateis,
organisme manusia itu ibarat sebuah mesin diesel saja! Jika sudah tua lalu rusak, tinggal
dibuang saja, tanpa makna transendental!
Orang beragama umumnya melihat hidup ini bukan sekadar hidupnya sebuah mesin biologis yang dinamakan manusia, tetapi hidupnya suatu organisme mulia ciptaan Allah yang punya makna, maksud dan tujuan besar―makna, maksud dan tujuan yang juga transendental, bukan cuma natural.
Hidup bagi mereka tidak hanya di Bumi ini sekarang, tetapi juga nanti di alam lain yang abadi, alam transenden, bersama Tuhan Allah mereka.
Sejalan dengan makna, maksud dan tujuan kehidupan mereka yang mulia dan transendental ini, mereka juga harus berbuat baik sebanyak-banyaknya sementara masih hidup dalam dunia ini, berbuat baik terhadap diri mereka sendiri dan terhadap sesama mereka, bahkan terhadap seisi dunia ini.
Mereka melihat diri sebagai wakil-wakil Allah yang tangguh untuk merawat dunia ini, sebagai para penatalayan ilahi. Pahala besar sedang menunggu mereka di akhirat.
Mereka, dengan demikian, memandang tindakan bunuh diri adalah dosa, karena melawan Allah yang telah memberi kehidupan dan maknanya yang agung, dan melawan kodrat mereka sendiri sebagai insan-insan ciptaan Allah yang mulia dan sebagai wakil-wakil Tuhan di muka Bumi. Bagi mereka, bunuh diri bukanlah pahala, tetapi kutuk dan laknat.
Jadi, sangat dapat dipahami jika orang beragama sangat menghargai kehidupan dan takut atau menghindari bunuh diri.
Mereka menghindari bunuh diri juga karena mereka yakin tindakan ini juga akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan mereka nanti di akhirat, setelah kematian.
Mereka akan berjuang kuat untuk hidup sebaik-baiknya dengan banyak berbuat baik, dan sama sekali tidak boleh bunuh diri kendatipun mereka sedang mengalami banyak kesulitan besar yang menekan jiwa dan raga.
Tentu saja, ada banyak juga orang yang beragama gagal untuk bertahan hidup di tengah azab berat yang mereka sedang tanggung, lalu memilih bunuh diri. Ada manusia berhati baja lewat tempaan dan gemblengan; ada juga manusia berhati tahu yang mudah sekali hancur dan buyar berantakan. Psikologi dan pendidikan serta sosiologi ikut berperan, bukan cuma agama. Harap hal ini diingat dan diperhatikan. Fokus kita sekarang adalah telaah ideologi: sampai sejauh mana agama membuat seseorang dapat tangguh dalam kehidupan mereka yang berat.
Dalam keyakinan orang-orang yang beragama, hanya insan-insan yang tangguh yang patut menerima pahala sorgawi, dan yang dengan bermartabat akan dapat memberi pertanggungjawaban kehidupan mereka di hadapan Allah nanti, setelah kematian, lalu menerima kehidupan kekal. Kata orang beragama, “We live not only for the sake of goodness, but also for our God and eternity!”
Anda, yang ateis, boleh menilai semua keyakinan kaum teis ini bullshit dan tidak ilmiah; tetapi keyakinan-keyakinan mereka ini membentuk pandangan dan sikap mereka tentang kehidupan. Mitos-mitos keagamaan apapun yang tidak ilmiah dan yang kata anda bullshit, punya fungsi-fungsi sosiopsikologis dan politis yang real dalam kehidupan orang beragama sehari-hari, entah fungsi-fungsi ini positif atau negatif bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.
Kata siapa kehidupan ini dibentuk dan berjalan hanya oleh ilmu pengetahuan dan rasionalitas? Apakah orang ateis rasional saat mereka membenci, apalagi membunuh, orang-orang lain hanya karena orang-orang lain ini memeluk agama?
Ateis dan teis sama-sama irasional ketika mereka memutuskan untuk membunuh orang-orang lain yang berbeda keyakinan. Sama-sama fanatik buta. Dunia kita berisi banyak orang semacam ini.
“Suicide bombing” itu strategi para teroris dari keyakinan apapun untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu; jadi, jangan heran jika suatu saat nanti kita juga akan menyaksikan tindakan ini dapat dilakukan para ateis fanatik buta yang bermental teroris atau psikopatik. Tentu, dewasa ini bom bunuh diri umumnya dilakukan para Islamis ekstrimis yang telah menyimpang dari panggilan dan tugas Islami untuk mewujudkan Islam sebagai suatu agama kasih karunia bagi seluruh alam.
Strategi teror bunuh diri semacam ini punya logikanya sendiri yang dapat dipegang oleh siapapun yang mau menjadi teroris. Robert Pape dalam bukunya Dying to Win telah membeberkan logika yang bekerja dalam aksi-aksi teror bunuh diri. Tentu saja, logika ini logika teroris yang menjadi tidak logis bagi manusia lain pencinta kehidupan dan perdamaian dalam dunia ini./2/
Sementara pada satu pihak mengakui bahwa teks-teks kitab-kitab suci dapat menginspirasi orang untuk melakukan tindak kekerasan dan terorisme, namun pada pihak lain William T. Cavanaugh dalam bukunya The Myth of Religious Violence menegaskan bahwa adalah suatu mitos jika kekerasan dan teror hanya diasalkan pada agama-agama. Menurutnya, kekerasan dan terorisme juga dilakukan oleh negara-negara sekular, yang demi patriotisme juga didukung bahkan ikut dilakukan rakyat negara-negara ini./3/
Nah, tentang ihwal bunuh diri, bagaimana dengan orang yang tidak beragama, alias ateis?
Orang ateis sama sekali tidak melibatkan Tuhan dalam kehidupan mereka, bahkan bagi mereka Tuhan itu bullshit doang, omong kosong, tidak ada!
Mereka memandang organisme manusia itu hanyalah mesin-mesin biologis yang tidak punya makna, maksud dan tujuan transendental. Meminjam ungkapan ateis Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene yang dikenakannya pada replikator-replikator DNA, manusia itu pada level makromolekul DNA hanyalah “mesin ketahanan hidup yang dapat dibuang” (“a throwaway survival machine”) begitu saja./4/
Dus, mati, bagi orang ateis, ya hanya kembali menjadi unsur Carbon yang abadi di dalam tanah, tanpa makna transendental, melainkan hanya berubah kembali menjadi pupuk organik, atau, lewat kremasi, berubah kembali menjadi setumpuk debu yang terdiri atas unsur-unsur Calcium. Masa depan abadi mereka ya hanya menjadi setumpuk pupuk organik atau setumpuk debu tulang.
Jika mereka ikhlas untuk menjadi hanya setumpuk pupuk organik atau setumpuk debu tulang, ya mereka bisa tidak stres; tetapi jika mereka tidak rela, ya mereka akan stres terus karena ateisme yang mereka pegang kuat-kuat.
Begitu juga, mereka melihat tujuan kehidupan hanya ada sejauh mereka hidup. Ada ateis yang memberi tujuan kehidupan yang lebih tinggi, dan ada juga ateis yang memberi tujuan kehidupan yang lebih rendah. Bagi mereka, bagaimanapun juga, setelah mati, ya tidak ada apa-apa lagi. Kata mereka, this world is our only true home. Sementara bagi orang Kristen evangelikal, "this world is not my home. I am just passing thru."
Jadi, mereka, para ateis itu, sama sekali tidak melihat kehidupan mereka punya maksud dan tujuan dan makna transendental.
Bunuh diri, bagi mereka, ya tidak berbeda dari matinya seekor anjing yang terlindas roda mobil besar pada kepalanya di jalan raya, tidak mati secara natural. Tidak akan ada permintaan pertanggungjawaban dari pihak manapun nanti di akhirat atas tindakan bunuh diri. Jika Tuhan tidak ada dan anda hidup hanya sekali di Bumi, siapa yang akan menuntut anda untuk bertanggungjawab, dan kapan atau di mana?
Tentu orang ateis juga didorong untuk berbuat baik. Tetapi perbuatan-perbuatan baik mereka tidak diberi makna dan tujuan transendental. Kata mereka, “We live only for the sake of goodness! Nothing else!”
Ibaratnya, mereka hanya perlu berfungsi sebagai mesin-mesin diesel yang bermutu tinggi saja. Sesudah tua lalu rusak, ya mesin-mesin diesel ini cukup dibuang saja, atau logam-logamnya dipreteli untuk didaurulang, untuk dijadikan mesin-mesin lain yang akan difungsikan kembali tanpa punya makna dan tujuan transendental. Tidak ada lagi kehidupan mesin-mesin diesel di dunia lain.
Tapi saya punya sebuah pertanyaan kepada para ateis, ini: Bagaimana halnya dengan mesin-mesin robot android nantinya, yang memiliki kecerdasan buatan, artificial intelligence, dan sifat-sifat lain yang agung yang sekarang ada pada manusia, yang akan terus-menerus makin meningkat tanpa batas dan mereka akan hidup abadi?
Kemampuan yang ada pada robot-robot android yang memiliki AI ini, suatu kemampuan yang dinamakan "recursive self-improvement", pada akhirnya akan membuat mesin-mesin supercerdas ini, untuk hidup abadi, dapat memanfaatkan energi gelap atau "dark energy" yang, karena properti anti-gravitasinya, membuat jagat raya kita mengembang dengan makin cepat. Sudah diketahui, energi gelap merupakan 68% elemen jagat raya kita. Sisanya 4,6% materi baryonik atau materi "normal" yang kasat mata seperti proton, neutron dan elektron, dan materi tak kasat mata yang bekerja sebagai forsa gravitasi yang dinamakan materi gelap atau "dark matter" yang mengisi 27% jagat raya yang tersusun dari partikel-partikel yang lebih eksotik seperti axion dan WIMPS ("Weakly Interacting Massive Particles"). Materi gelap inilah yang membuat jagat raya kita, galaksi-galaksi, bintang-bintang, planet-planet, dan bahkan tubuh kita, terikat sebagai satu kesatuan yang utuh dan kohesif. Bagaimana bisa ada energi gelap yang bekerja sebagai energi yang sangat kuat yang anti-gravitasi, adalah salah satu pertanyaan yang hingga saat ini belum bisa dijawab para ilmuwan. Masih banyak selubung misteri yang menutupi energi gelap.
Tentu saja, setelah "dark energy" bisa dilokalisir saat ditemukan, energi ini dapat digunakan sebagai suatu sumber energi yang luar biasa kuat. Seorang penulis menyatakan bahwa "sebuah wantariksa yang memakai energi gelap sebagai sumber dayanya, akan mampu terbang melebihi kecepatan cahaya. Wantariksa ini sebetulnya tetap tinggal di suatu lokasi sementara ruang-waktu di sekitarnya terpengaruh." Dalam fiksi sains, penerbangan cara ini dikenal sebagai konsep dasar suatu "warp drive"./5/
Nah, kembali pada worldview para ateis. Jika hidup manusia itu serupa dengan hidup sebuah mesin diesel, jauh di bawah peringkat kehidupan robot-robot android yang memiliki super-AI, maka logis dan sangat dapat dipahami jika orang yang tidak beragama, dalam kasus-kasus kehidupan sehari-hari yang sangat menekan jiwa, jauh lebih mudah bunuh diri ketimbang orang yang beragama. Orang yang beragama punya sebuah perisai ideologis yang dapat mencegah mereka bunuh diri; sebaliknya, kalangan ateis tidak punya perisai ini sekalipun mereka, sebagai para antusias sains, juga sangat mencintai kehidupan di dalam dunia ini.
Sebagai para pencinta kehidupan, tentu ada orang-orang ateis yang luar biasa agung, hidup mulia sampai alam akhirnya merenggut kehidupan mereka, kendatipun worldview mereka sekuler dan anti-teis. Tetapi, dunia juga tidak kekurangan orang teis yang sangat agung, kendatipun worldview mereka teis dan tidak sekuler.
Bagaimana pendapat saya sendiri tentang kehidupan sebagai seorang manusia? Apakah kita hidup hanya sebagai sebuah mesin diesel yang bermutu tinggi, ataukah kita akan terus hidup sampai memasuki keabadian beyond our physicality, melampaui kondisi keberagawian kita yang membatasi?
Yang sudah saya ketahui adalah bahwa dalam jagat raya kita ini ada apa yang dinamakan infinitas, infinitum, ketidakterbatasan, atau the undefined atau sesuatu yang tak terdefinisikan, yang tak dapat ditentukan definisi atau batasannya. Dari matematika kita tahu, satu dibagi nol hasilnya adalah infinitas atau ketidakberhinggaan atau the undefined. Dari Teori Dawai dalam fisika dan kosmologi, kita tahu sekarang bahwa dimensi dalam jagat raya ini ada sampai dua puluh enam atau bahkan sampai empat puluh satu yang dinamakan extradimensions dan bahwa jagat raya kita hanyalah salah satu saja dari keseluruhan jagat raya yang ada, yakni 10500 jagat raya, atau tanpa batas.
Sudah kita ketahui, salah satu solusi keluar dari Paradoks Kucing Schrödinger dalam fisika quantum, adalah memandang ada “Kesadaran Kosmik” yang makin besar dan makin besar terus dalam jagat raya ini dan dalam jagat-jagat raya lain.
Memanfaatkan “hukum kekekalan energi” untuk menyatakan bahwa manusia itu memiliki energi yang tidak bisa lenyap setelah kematian tidak tepat sama sekali, sebab tubuh manusia memproduksi energi (fisik dan psikis) hanya apabila ke dalam tubuh mereka dipasok cukup nutrisi (dari makanan dan minuman) dan cukup oksigen (dari dalam udara yang dihirup), yang kemudian semuanya diproses menjadi energi.
Tanpa pasokan nutrisi dan oksigen, tubuh kita tidak akan punya energi apapun. Sekalipun setiap partikel subatomik itu memiliki massa (sangat ringan), yang bisa diekuivalenkan dengan energi (seturut dengan persamaan Einstein E = mc2), ketika unsur-unsur material manusia berubah kembali menjadi partikel-partikel, energi yang ada bukanlah lagi energi kehidupan manusia, tetapi energi-energi partikel saja! Pada level fundamental yang tak berstruktur, kita semua memang partikel subatomik; tetapi manusia yang hidup itu lebih dari sekadar partikel-partikel.
Tetapi bagaimana dengan kesadaran manusia? Kerap kita merasakan, mengalami dan menemukan bahwa kesadaran kita bukan hanya terdiri atas energi fisik dan mental; tetapi ada sesuatu yang lain di dalamnya, yang mentransendir keterbatasan tubuh dan kekuatan mental kita, entah apa. Saya tidak tahu.
Saya tidak tahu, sama seperti saya tidak tahu apa bentuk, isi dan hakikat dimensi-dimensi kelima sampai keduapuluhenam dan seterusnya dalam jagat raya kita. Saya tidak tahu, sama seperti saya tidak tahu apa hakikat, bentuk dan isi jagat-jagat raya lain, mulai dari jagat raya kedua hingga jagat raya ke-10500, dengan kata lain hingga ke jagat-jagat raya yang infinite, tanpa batas.
Saya tidak tahu, sama seperti saya juga tidak tahu konstanta-konstanta fisika apa yang berbeda, yang ada di dalam jagat-jagat raya lain itu. Saya juga tidak tahu, sama seperti saya juga tidak tahu apa isi, bentuk dan hakikat ketidakterbatasan atau infinitas itu.
Tapi, jika harus memberi definisi, infinitas, bagi saya, adalah “scope” atau “room” atau “space” atau “quantity” atau “quality” yang selalu lebih besar dari apapun yang manusia ingin batasi. Dus, infinitas itu undefined. Selalu ada ruang lebih, ruang lebih dan ruang lebih lagi, selalu ada kualitas yang lebih, yang lebih, yang lebih lagi, sesuatu yang selalu “beyond.....” atau “beyond over every beyond”. Terus terang, saya sendiri terperanjat dan terperangah dengan frasa empat kata ini yang saya ciptakan sendiri. Saya tidak tahu apa esensi dan eksistensi beyond over every beyond. Ketidaktahuan saya ini objektif.
Sejak zaman kuno, manusia ingin berkendara masuk ke dalam keabadian!
Nah, berpijak pada pandangan-pandangan sains ini (yang tentu saja juga akan bisa berubah di masa depan), saya memikirkan bahwa kesadaran manusia mungkin akan berubah menjadi bagian dari dimensi-dimensi lain itu dan mungkin juga dapat mengisi jagat-jagat raya lain, entah bagaimana caranya, setelah raga dan otak si pemilik kesadaran punah dari dunia ini.
Yang ada bukan hanya jagat-jagat raya paralel, tetapi juga kesadaran-kesadaran individual paralel, menyebar dari jagat raya yang satu ke jagat-jagat raya yang lain. Tak sedikit para fisikawan yang melihat kemungkinan bahwa setiap kita sebagai individu memiliki individu paralel di dalam jagat raya lain yang tak terbatas jumlahnya. Saya belum bisa membayangkan konsekuensi dari kemungkinan bahwa kita masing-masing memiliki diri paralel di dalam jagat-jagat raya lain yang ditopang oleh hukum-hukum fisika dan kimiawi yang berbeda.
Pendek kata, saya memikirkan ada kemungkinan kesadaran manusia itu abadi, memasuki dimensi infinitas. Jika kesadaran dimungkinkan abadi, maka hemat saya terbuka kemungkinan bagi manusia untuk percaya bahwa mereka hidup tidak hanya sekali dalam bentuk ragawi, tetapi mungkin juga akan berubah menjadi dimensi-dimensi lain yang sekarang kita tidak atau belum ketahui apa bentuk, isi dan hakikatnya. Saya harus tekankan, ini hanya suatu kemungkinan, atau suatu pengharapan saja, bukan suatu kepastian absolut. Saya paling tidak suka dengan segala hal yang diabsolutkan. Infinitas tidak memungkinkan absolutisasi apapun.
Jika begitu, orang beragama yang beriman pada keabadian, pada dunia baka, bukanlah orang yang tolol dan terdelusi. Setidaknya saya sudah menunjukkan bahwa mereka tidak dungu dan tidak sedang terperangkap delusi. Biarlah iman mereka ini membuat mereka menjalani kehidupan dengan bergairah, penuh makna, cinta dan pengabdian.
Karena manusia mungkin akan abadi, sangatlah dangkal dan picik jika mereka hidup hanya untuk tujuan-tujuan jangka pendek, hidup seperti mesin-mesin diesel saja, mekanistik dan deterministik, tanpa kemampuan membentuk sendiri kehidupan dan masa depan mereka dengan bebas, tanpa kemampuan memberi makna-makna transendental bagi kehidupan mereka. Juga sungguh sangat picik dan sia-sia jika mereka hidup hanya untuk memuaskan sifat tamak harta, rakus kekuasaan, hidup serba mewah, dan tidak berperikemanusiaan.
Kalaupun keabadian kesadaran manusia individual itu, di luar yang dapat dicapai lewat metode-metode sains empiris,/6/ tidak mungkin ada secara natural, kepercayaan kepada dunia baka yang membuahkan kehidupan yang bergairah, penuh makna, cinta dan pengabdian saat hidup sekarang ini di muka Bumi, adalah kepercayaan yang akbar dan bermanfaat.
Jika anda beriman dengan bermartabat semacam ini, teruslah beriman. Hidup ini bukan hanya soal sains dan rasionalitas, tetapi juga soal iman, kepercayaan, pengharapan, cinta, dan karya-karya agung, buat sesama manusia, peradaban, kehidupan dan jagat raya.
Berhubung di atas saya telah lebih dari satu kali menyebut "pahala sorgawi", maka satu catatan penting patut saya kemukakan supaya anda tidak salah dalam memahami saya.
Tentu saja, kepercayaan yang akbar dan bermanfaat tersebut akan tereduksi menjadi suatu kepercayaan delusional yang picik dan tidak bermanfaat jika dunia baka dipahami dan dipercaya sebagai dunia kenikmatan atau dunia siksaan. Yakni saat orang yang sudah mati masuk ke sorga untuk bersorak-sorak gembira karena di sorga mereka disajikan berbagai jenis kuliner untuk disantap tanpa pernah habis bersama anggur yang tersedia untuk direguk sampai mabuk tanpa batas dengan ditemani ribuan datang-dayang. Atau saat orang masuk atau dicemplungkan ke dalam neraka untuk selamanya menjerit-jerit kesakitan dan kepanasan karena dibakar dalam api besar abadi tanpa pernah gosong.
Iman yang agung dan bermartabat tidak memerlukan hadiah permen sorga dan juga tidak takut pada rotan api neraka. Iman yang akbar semacam ini hanya menebar cinta dan kasih sayang dan pengetahuan besar, tanpa pamrih, kepada segala makhluk, selamanya.
Jika anda hidup beragama dengan substansi yang agung seperti ini, maka ketika anda mati betul seperti mati tuanya sebuah mesin diesel yang bermutu tinggi, kematian anda meninggalkan keabadian di muka planet Bumi, nama dan kebajikan anda terus diingat dari satu generasi ke generasi berikutnya, bahkan mungkin selamanya. Inilah keabadian yang historis, jauh lebih bermakna ketimbang hidup dalam angan-angan pesta besar di alam baka.
Jakarta, 15 Februari 2015
by ioanes rakhmat
Editing mutakhir 27 Des 2017
Catatan-catatan
/1/ Tentang kajian statistiknya yang memperlihatkan orang tanpa agama lebih mungkin bunuh diri jika dibandingkan orang yang beragama, lihat Kanita Dervic, Maria A. Oquendo, J. John Mann et al., “Religious Affiliation and Suicide Attempt”, The American Journal of Psychiatry, Vol. 161, Issue 12, December 2004, doi: 10.1176/appi.ajp.161.12.2303, hlm. 2303-2308, pada http://ajp.psychiatryonline.org/doi/abs/10.1176/appi.ajp.161.12.2303, atau di sini http://dx.doi.org/10.1176/appi.ajp.161.12.2303.
/2/ Tentang logika yang ada di balik strategi teror bunuh diri, lihat Robert Pape, Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism (New York: Random House, 2005).
/3/ William T. Cavanaugh, The Myth of Religious Violence: Secular Ideology and the Roots of Modern Conflict (Oxford, N.Y.: Oxford University Press, 2009). Pada hlm. 4, Cavanaugh menegaskan bahwa “dalam apa yang disebut masyarakat-masyarakat ‘Barat’, usaha untuk menciptakan suatu konsep transhistoris dan transkultural tentang agama yang pada dasarnya cenderung pada kekerasan adalah salah satu mitos dasariah yang mengabsahkan negara-bangsa yang liberal. Mitos tentang kekerasan keagamaan membantu mengonstruksi dan memarjinalisasi suatu Kelompok Lain religius yang condong fanatik, yang bertolakbelakang dengan subjek sekuler yang rasional dan pencipta perdamaian.”
/4/ Richard Dawkins, The Selfish Gene (Oxford, New York: Oxford University Press, edisi ulangtahun ke-30, 2006; terbit pertama kali 1976), hlm. 234.
/5/ Talal Al-Khatib, "Could we ever tap into dark energy as a power source?", Science, 29 August 2012, https://science.howstuffworks.com/environmental/energy/dark-energy3.htm.
/6/ Tentang metode-metode empiris saintifik untuk mencapai kekekalan, lihat Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), bab 13, hlm. 393-411.