Aaarrrrggghhhh!
Mereka jelas sekali adalah para ateis fanatik buta, para bigot yang mengaku intelektual.
Saya memahami fakta ini sebagai sebuah fenomena yang kompleks. Tidak sederhana. Keadaannya makin kompleks karena orang ateis sendiri umumnya dengan berang menyangkali fakta ini. Tetapi saya mau menyoroti satu aspeknya saja pada kesempatan ini, yakni dampak psikologis kemarahan, kegeraman, kebencian dan rasa sakit hati mereka kepada dunia agama-agama bagi diri mereka sendiri.
Sebelum ke situ, saya ingin klarifikasi dulu di mana posisi saya. Saya sama sekali tidak mempersoalkan jika seseorang mau menjadi ateis, apapun motif dan latarbelakangnya.
Malah saya ingin menegaskan bahwa sama seperti teisme dapat menjadikan orang baik atau malah jahat, begitu juga halnya dengan ateisme: ateisme bisa menjadikan orang baik atau malah jahat.
Menjadi baik dan bermoral, tidak bergantung absolut pada ihwal beragama atau ihwal tidak beragama, tetapi pada komitmen penuh setiap individu untuk menjadi hanya orang baik. Tanpa komitmen yang sepenuhnya ini, teisme dan ateisme tidak akan membuat siapapun menjadi baik, bajik dan bermoral. Ateisme dan teisme bukanlah magic, tidak bisa bekerja dengan mantra simsalabim!
Breaking News! Baru saja, Rabu, 11 Februari 2015, diberitakan bahwa seorang ateis yang penuh kebencian pada agama-agama, bernama Craig Stephen Hicks (46 tahun), menembak mati tiga orang Muslim usia muda satu keluarga (satu pria dan dua wanita) pada kepala masing-masing, di Chapel Hill, North Carolina, Amerika Serikat.
Si penembak sendiri telah menyerahkan diri kepada polisi dan menyatakan bahwa kemarahannya muncul tak tertahan karena telah terjadi pertengkaran dengan para korban soal tempat parkir. Tetapi diduga juga, pembunuhan ini dilakukan karena Hicks membenci orang-orang yang beragama, termasuk para Muslim./1/
Saya sudah memantau beberapa akun Facebook ateis dan menemukan ada usaha-usaha untuk meringankan perbuatan si pembunuh dengan menyatakan bahwa alasannya hanyalah pertengkaran soal tempat parkir, bukan alasan kebencian kepada orang-orang beragama.
Saya telah menulis sebuah komentar di beberapa Facebook kalangan ateis, bunyinya begini: "If the reason for the killing is only a parking space dispute, ooooh ooooh how poor, foolish, unconscientious and cruel this atheist (Mr Hicks) is. The world is mourning for this foolishness. Where is the moral and rational enlightenment atheists all over the world claim they have?"
Beberapa hari kemudian, di thread lain saya juga memberi sebuah komentar lagi, begini: "Insofar as I can monitor, Mr Hicks was indoctrinated by atheist notions that, for example, religions and religious believers are bad, destructive, irrational and unscientific--- therefore, these notions are among the many factors that had pushed this atheist to kill the three innocent Muslims. Do you want to deny this fact or to explain it away?"
Seseorang (bernama Mohammad Saadi) langsung menanggapi komentar saya itu, tulisnya, "Exactly what's happening, denying and explaining away. I once had respect for Dawkins and his efforts to find out he is on the same superficial level of religious fanatics." Lalu saya tanggapi lagi, begini, "Yes, my friend, he and his pupils seem to be as fanatic as those radical religious believers. Both sides are sworn warriors for their own respective beliefs and rituals."/2/
Jelas anda lihat si ateis Hicks ini adalah sebuah contoh fakta terang-benderang bahwa ateisme yang diagung-agungkan para ateis tidak mujarab untuk menjadikan orang bermoral baik, bahkan juga menjadi sebuah faktor yang mendorongnya membunuh tanpa nurani. Sebuah ideologi kemarahan.
Back to our focus! Saya semula toleran terhadap orang-orang ateis. Saya memandang ateisme juga sebuah ideologi yang berhak hidup dan berkembang di dunia ini. Bahkan saya dulu sempat berpikir untuk menjadi ateis juga.
Tetapi syukurlah, akhirnya saya menemukan ateisme itu bukan sebuah kebebasan berpikir, bukan sebuah pembebasan, tetapi sebuah penjara baru yang mengurung orang dalam kemarahan, kebencian, rasa sakit hati, kata-kata keras dan keji, yang diarahkan ke dunia agama-agama dan Tuhan.
Akibat dari situasi mental yang gawat ini, yang ditimbulkan oleh ideologi kemarahan mereka, umumnya para ateis akhirnya menjadi dangkal dalam berpikir dan dalam memahami realitas yang multidimensional, dan mudah sekali terpancing untuk marah.
Oh ya, saya harus tegaskan juga satu hal ini: meskipun saya tidak mau menjadi ateis, saya juga bukan seorang teis tradisional. Saya diselubungi misteri ketakterbatasan, infinity, yang tak bisa didefinisikan dan tidak mendefinisikan diri sendiri. Saya mengalami kehadiran Ketakterbatasan, suatu pengalaman mental yang tak terkatakan. Pengalaman spiritual yang melampaui teisme, beyond theism.
Nah, sama seperti ateisme, ideologi teisme juga kerap menjadi sebuah penjara. Hanya dengan kecerdasan beragama, dan dengan komitmen penuh untuk menjadi hanya orang baik, teisme masih bisa berguna untuk kehidupan. Saya memilih mengambil sikap saintifik, dan menjadikan kebaikan hati sebagai agama saya.
Anda mau tahu isi agama saya, agama Kebaikan Hati? Boleh, tentu saja. Saya sudah menuangkannya dalam bentuk sebuah puisi gubahan saya sendiri. Dibandingkan prosa, puisi itu lebih mampu mengungkapkan dimensi-dimensi yang transenden. Nikmatilah.
Agamaku sungguh sangat sederhana
Tidak rumit, tidak ribet, namun sakti
Namanya pun sangat melapangkan dada:
Agama Kebaikan Hati
Tanpa doktrin, akidah atau dogma
Tidak ada hierarki dari kepala hingga kaki
Hati nurani jadi pemandu utama
Ilmu pengetahuan menerangi setiap hati
Rumah ibadahku dunia luas terbentang
Tanpa atap, dinding dan tiang-tiang
Ke dalamnya siapapun boleh bertandang
Bahkan boleh tinggal sampai ajal datang
Kitab suciku langit malam luas terbentang
Penuh bintang bercahaya gilang-gemilang
Dikagumi dan dibaca semua insan rupawan
Penuh misteri yang membuat hati tertawan
Ritualku membaca dan menulis buku-buku
Untuk mencerahkan dunia dengan ilmu pengetahuan
Manusia menjadi cerdas dan tinggi berilmu
Serangga, rumput dan burung pun ikut tercerahkan
Syahadatku, “Aku cinta umat manusia dan kehidupan.”
Sederhana, pendek, tidak ribet dan tidak rumit
Namun sangatlah sulit kalau mau dilaksanakan
Tak cukup diikrarkan lewat mulut komat-kamit
Tuhanku sang Cinta Kasih Tanpa Batas
Bukan sebuah nama yang indah-indah dirancang
Atau yang diperebutkan insan-insan terbatas
Tapi sebuah kata kerja yang memacu kerja cemerlang
Nabiku diriku sendiri untuk diriku sendiri
Berdiam tenang dan agung dalam sanubari
Dia perintahkanku, “Kenalilah dirimu sendiri!”
Mengenal diri tanda keagungan diri sendiri
Doaku seluruh gerak kehidupanku hingga mati
Tidak diucapkan keras-keras ke angkasa raya
Tapi dilakoni diam-diam setiap hari dalam sunyi
Menghidupkan diriku sendiri dan seluruh semesta
Nyanyian rohaniku “Imagine” karya John Lennon
Tidak dilantunkan riuh dengan musik bergempita
Tapi ampuh menggerakkan hadirin dan penonton
Untuk menjadikan kedamaian isi jagat semesta
Komunitas keimananku umat manusia sejagat
Tanpa segregasi, alienasi, separasi dan diskriminasi
Hidup bersaudara dan saling mengasihi kuat-kuat
Tidak ada ideologi yang memecah dan menguasai
Ikrarku: mengabdi demi kebaikan dan kasih sayang
Demi kemanusiaan dan persaudaraan
Demi kesehatan dan umur panjang
Demi kecerdasan dan ilmu pengetahuan
Tulis di kolom agama KTP-mu
Agama: Kebaikan Hati
Tak ada yang bisa menolak kebaikan hatimu
Penjahat pun tunduk pada kebaikan hati
Marilah bersamaku bersatu ramai-ramai
Mengubah diri sendiri dan dunia luas tanpa tepi
Lewat agamaku yang sederhana namun membuai:
Agama Kebaikan Hati
Kembali ke topik kita. Kalau dulu saya toleran, kini saya berubah, dari sikap toleran membiarkan, ke sikap aktif kritis terhadap ateisme dan orang-orang ateis. Kenapa?
Karena lewat banyak medsos, saya menemukan orang-orang ateis telah menyebarkan pendapat-pendapat mereka yang nyaris semuanya keliru total tentang dunia agama-agama. Saya sudah mengecap pendidikan formal dalam dunia teologi lebih dari satu dekade (dari S-1 hingga ke S-3 di luar negeri); jadi saya paham betul apa itu teologi dan dunia agama-agama.
Prof. Richard Dawkins, misalnya, yang dikenal sebagai seorang biolog evolusioner dan juga seorang ateis agresif, terus-menerus menyerang dunia agama-agama, padahal dia sendiri tidak pernah dididik dan dilatih formal dalam suatu perguruan tinggi teologi di manapun.
Melihat kenyataan yang tidak bagus ini, akhirnya saya memutuskan untuk masuk ke dalam debat dan diskusi dengan orang-orang ateis para pendukung The New Atheism. Saya pertahankan sikap ilmiah saya dalam debat dan diskusi yang sudah dan sedang berlangsung dengan mereka.
Tapi dilakoni diam-diam setiap hari dalam sunyi
Menghidupkan diriku sendiri dan seluruh semesta
Nyanyian rohaniku “Imagine” karya John Lennon
Tidak dilantunkan riuh dengan musik bergempita
Tapi ampuh menggerakkan hadirin dan penonton
Untuk menjadikan kedamaian isi jagat semesta
Komunitas keimananku umat manusia sejagat
Tanpa segregasi, alienasi, separasi dan diskriminasi
Hidup bersaudara dan saling mengasihi kuat-kuat
Tidak ada ideologi yang memecah dan menguasai
Ikrarku: mengabdi demi kebaikan dan kasih sayang
Demi kemanusiaan dan persaudaraan
Demi kesehatan dan umur panjang
Demi kecerdasan dan ilmu pengetahuan
Tulis di kolom agama KTP-mu
Agama: Kebaikan Hati
Tak ada yang bisa menolak kebaikan hatimu
Penjahat pun tunduk pada kebaikan hati
Marilah bersamaku bersatu ramai-ramai
Mengubah diri sendiri dan dunia luas tanpa tepi
Lewat agamaku yang sederhana namun membuai:
Agama Kebaikan Hati
Kembali ke topik kita. Kalau dulu saya toleran, kini saya berubah, dari sikap toleran membiarkan, ke sikap aktif kritis terhadap ateisme dan orang-orang ateis. Kenapa?
Karena lewat banyak medsos, saya menemukan orang-orang ateis telah menyebarkan pendapat-pendapat mereka yang nyaris semuanya keliru total tentang dunia agama-agama. Saya sudah mengecap pendidikan formal dalam dunia teologi lebih dari satu dekade (dari S-1 hingga ke S-3 di luar negeri); jadi saya paham betul apa itu teologi dan dunia agama-agama.
Prof. Richard Dawkins, misalnya, yang dikenal sebagai seorang biolog evolusioner dan juga seorang ateis agresif, terus-menerus menyerang dunia agama-agama, padahal dia sendiri tidak pernah dididik dan dilatih formal dalam suatu perguruan tinggi teologi di manapun.
Melihat kenyataan yang tidak bagus ini, akhirnya saya memutuskan untuk masuk ke dalam debat dan diskusi dengan orang-orang ateis para pendukung The New Atheism. Saya pertahankan sikap ilmiah saya dalam debat dan diskusi yang sudah dan sedang berlangsung dengan mereka.
Nah, mari sekarang kita masuk ke topik yang sudah saya sebut pada paragraf pertama di atas. Ujilah diri anda dengan mencoba menjalani kehidupan anda dengan setiap hari:
- penuh kemarahan pada Allah dan pada agama-agama;
- mengecam dan menjelek-jelekkan Tuhan dan agama-agama;
- menghambur kata-kata kasar dan keji ("abusive languages") untuk menyerang Tuhan dan orang-orang beragama;
- hidup tanpa kepercayaan dan iman, tanpa "belief, faith and trust", yang terarah kepada sesama manusia dan dalam hubungan dengan semua perkara kehidupan;
- bergantung hanya pada bukti-bukti empiris untuk semua perkara kehidupan, bahkan untuk perkara-perkara kehidupan yang paling lembut, paling intim, dan paling personal;
Anda punya masalah bukan dengan Tuhan manapun, dan Tuhan manapun tidak punya masalah dengan diri anda sendiri, tetapi anda punya masalah dengan diri anda sendiri.
Anda tidak percaya kalau nanti mungkin sekali anda akan bunuh diri? Silakan buktikan sendiri.
Saya juga siap menerima kemungkinan luas bahwa banyak orang dapat hidup puluhan tahun yang seluruhnya diisi dengan caci-maki, rasa sakit hati, kegeraman, kemurkaan, penghinaan, kata-kata kasar dan biadab. Orang ateis yang semacam ini tentu ada, dan mereka sudah kebal sehingga tidak kunjung stres dan depresi, atau lalu bunuh diri.
Saya punya pendapat tentang orang-orang semacam ini (ateis atau bukan): sebagian sel-sel otak mereka yang berfungsi memberi kepekaan nurani dan kebijaksanaan (khususnya bagian struktur anterior cingulate) sudah rusak atau mati; dan yang hidup hanya sel-sel otak yang memampukan mereka berpikir ilmiah atau rasional.
Jadi, sekalipun jasad mereka masih hangat, sebagian otak mereka sudah mati, alhasil mereka merasa tidak bersalah apapun, selama puluhan tahun, kalau mengeluarkan kata-kata keras, cacian, penghinaan, atau terus-menerus menyerang orang-orang lain yang berbeda atau dunia agama-agama.
Orang-orang yang kita katakan sudah mengalami kematian nurani ini atau para psikopat sangat banyak, dan jelas mereka membahayakan umat manusia dan kehidupan yang baik, yang didambakan sebagian terbesar manusia, dan peradaban insani.
Selanjutnya saya ingin garisbawahi hal ini: sains psikologi dan neurosains sudah menemukan, bahwa iman dan kepercayaan yang positif dalam diri seseorang, yang terarah baik kepada Tuhan maupun kepada sesama manusia, berdampak positif pada fisik dan mentalnya, alhasil pada kehidupannya secara menyeluruh.
Anda sudah tahu, betapa buruknya gambaran tentang Tuhan yang murka kepada manusia yang kemudian dibasminya tanpa ampun. Atau gambaran tentang Tuhan yang dalam kemurkaannya, memerintahkan manusia untuk bertindak keras membunuh sesamanya.
Sekarang, anda sedang menyaksikan realitas manusia sedang murka kepada Tuhan. Semua kemurkaan ini sangat buruk untuk kehidupan, lepas dari ihwal apakah Tuhan ada ataukah Tuhan tidak ada.
Haya! Haya! Haya! Ohooo, ohooo, ohoo, ngosss, ngoss!
Tetapi, bagaimana dengan gangguan mental yang dinamakan depresi?
Depresi tidak hanya bersumber dari gangguan mental karena faktor-faktor psikologis dan biologis, tetapi bisa juga karena faktor-faktor ekologis.
Kemauan psiko-biologis bawaan (genetik) dan dampak ekologi dan pergaulan sosial, serta isi pikiran anda, berinteraksi. Rasa stres yang berat yang dialami seorang ibu semasa dia mengandung, juga akan ditularkan ke bayi yang akan dilahirkannya--- ini yang disebut penularan karena faktor-faktor epigenetik.
Selain itu, asal-usul depresi juga bisa ditelusuri sampai ke sejarah evolusi spesies mamalia; artinya: ada faktor-faktor genetik yang juga ikut menimbulkan depresi. Faktor eksternal dan faktor internal berinteraksi, hasilnya memicu depresi.
Penyembuhan depresi juga tidak cukup, atau malah bisa lebih memperburuk kondisi kesehatan, apabila hanya mengandalkan obat-obatan antidepressant. Obat-obatan sangat diperlukan, tapi belum cukup.
Memperbaiki ekologi kehidupan si individu, membereskan hubungan-hubungan sosialnya, membereskan isi pikirannya ("thought management"), bahkan kemauan untuk memanfaatkan momen-momen depresi dengan kreatif, sangat membantu penyembuhan atau peringanan depresi. Bahkan sudah terbukti secara klinis, meditasi "mindfulness" (meditasi keterjagaan atau kemawasdirian) sangat positif untuk ikut menyembuhkan depresi.
Banyak orang memandang gangguan depresi dengan naif, artinya sangat kurang pengetahuan dan ketinggalan zaman. Saya anjurkan anda membaca buku mutakhir yang mengupas depresi dengan pendekatan baru, misalnya buku Jonathan Rottenberg, The Depths: The Evolutionary Origins of the Depression Endemic (Basic Books, 2014). Si penulisnya mengajak anda untuk memanfaatkan energi negatif depresi, dan mengubahnya menjadi energi positif. Ini ibarat perang strategi Sun Tzu: tenaga lawan kita pakai untuk mengalahkan lawan.
Sebaiknya anda jangan hanya terima info-info sains yang sudah ketinggalan zaman, yang disebarkan dalam banyak media sosial ateis. Media semacam ini sudah punya agenda terselubung yang jelas: membelokkan sains hanya untuk mendukung posisi-posisi mereka, atau hanya memanfaatkan sains yang sudah ketinggalan zaman untuk membenarkan posisi mereka.
Saya dukung kalangan ateis kalau mereka mau membuat masyarakat sadar sains--- ini juga tugas saya. Tapi lakukanlah dengan cara-cara yang beradab dan santun.
Sangat mengherankan misalnya dengan, sekali lagi, sosok Prof. Richard Dawkins. Dia biolog evolusioner yang telah menulis sejumlah buku sains di bidangnya, cukup beken, tetapi sayangnya dia dengan agresif kerap menyerang dunia agama-agama, terus menyerang kitab-kitab suci, tanpa pernah belajar ilmu teologi formal.
Ideologi ateisme yang disebarkannya niscaya adalah sebuah ideologi kemarahan dan "abusive languages". Padahal buku-buku biologinya saya juga baca, dan saya menimba banyak pengetahuan dari buku-bukunya itu.
Apakah sudah kodratnya, seorang ateis itu akan akhirnya dipenuhi kemarahan? Padahal kita semua tahu, untuk bisa membuat dunia ini tercerahkan, kita harus mulai dengan pikiran dan suasana batin kita sendiri yang teduh, damai, tenang dan luas.
Jika anda terus-menerus mengumpankan kemarahan, kegeraman, hujat, permusuhan, kedunguan, caci maki, ke dalam otak anda lewat berbagai forum dan memakai banyak media sosial, akhirnya anda akan dilahap habis oleh semua umpan anda ini: anda akan stres, depresi dan akhirnya, jika terlambat diterapi, anda akan bunuh diri.
Jika anda sebagai seorang ateis ingin mencerahkan dunia, tetapi anda memakai "abusive languages", dan anda mengembangbiakkan kedunguan anda sendiri (yaitu terus-menerus menyerang dan mencaci Tuhan yang anda yakini tidak ada), maka hasil yang anda akan peroleh adalah kegelapan diri anda sendiri: anda akan berpikir kacau, stres, depresi lalu mungkin sekali bunuh diri.
Dan sadarilah bahwa kekerasan simbolik lewat kata-kata yang keji dan keras ("abusive languages") yang orang ateis terus-menerus arahkan ke agama-agama dan orang-orang beragama dengan sangat mudah akan dapat bergeser dan berubah ke tindakan-tindakan kekerasan secara fisik kepada orang-orang beragama.
Tentu anda setuju, setelah berkata-kata keras, biasanya orang akan meneruskan dengan tindakan-tindakan biadab. Kata-kata keras dan keji menunjukkan orang yang berkata itu sedang sangat marah. Kita tahu, dalam kondisi luar biasa marah, siapapun juga tidak akan dapat mengontrol tindakan-tindakannya. Jaraknya hanya sejengkal antara kekerasan wacana dan kekerasan fisik.
Saya juga mau share ke anda sebuah hasil studi mutakhir tentang hubungan antara tindakan bunuh diri dan afiliasi dengan komunitas-komunitas keagamaan. Bacalah dengan seksama./3/ Temukan di mana kajian ini benar, dan di mana mungkin kurang benar. Sudah ada beberapa tinjauan atas kajian ini: kalangan ateis menolak mentah-mentah; dan kalangan teis mendukung dengan kuat.
Yang sudah jelas dari studi mutakhir ini adalah fakta adanya hubungan antara bunuh diri dan perilaku keagamaan dan perilaku ketidakberagamaan.
Studi ini menemukan hal yang menarik: Orang-orang yang tidak punya hubungan dengan dunia keagamaan ternyata lebih banyak berusaha untuk bunuh diri dalam sepanjang kehidupan mereka, dibandingkan orang-orang yang membangun hubungan positif dengan komunitas-komunitas keagamaan. Orang-orang yang tidak punya hubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan memiliki alasan lebih sedikit mengapa mereka mau hidup, dan khususnya mereka lebih membuka diri untuk bunuh diri.
Dilihat dari watak-watak klinis, orang-orang yang terasing dari dunia damai keagamaan lebih meledak-ledak, impulsif, agresif, dan pernah atau sedang kecanduan narkotik.
Pada sisi lain, orang-orang yang punya hubungan akrab dengan dunia tenteram keagamaan, sementara mereka sedang terserang depresi, tidak ingin bunuh diri. Mereka jauh lebih banyak yang menolak bunuh diri, dan juga tidak agresif. Kondisi-kondisi ini menjadi faktor-faktor pencegah mereka bunuh diri, bahkan membuat mereka tidak berpikir sedikitpun untuk bunuh diri.
Akhirnya, jika hal yang saya kemukakan dalam tulisan saya ini pernah atau sedang dialami anda, teman-teman saya, yang sedang melibatkan diri dalam arogansi wacana keras kalangan ateis, saya anjurkan anda untuk kembali ke komunitas keagamaan anda semula.
Keterlibatan sosial dll dalam komunitas-komunitas sosial yang memperjuangkan persaudaraan semesta berdampak positif pada kesehatan mental dan fisik; orang akan bisa happy. Bahkan aktivitas-aktivitas sosial terbukti memperpanjang usia.
Sebuah studi mutakhir menyimpulkan bahwa jika anda aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, aktivitas anda ini akan berdampak positif pada kesehatan tubuh dan mental anda. Anda berpeluang terhindar dari serangan stroke, diabet, penyakit-penyakit kronis lain, dan dari keterbatasan-keterbatasan ragawi fungsional lainnya. Anda juga berpeluang besar terhindar dari penyakit kepikunan dini (dementia) dan depresi. Alhasil, umur anda akan lebih panjang. Hidup anda akan lebih happy. Lebih riang. Hidup terasa ringan dan indah./4/
Sebuah kajian mutakhir lintasbudaya yang melibatkan lebih dari 500 partisipan dari Jerman, Turki, India, Hong Kong dan China untuk menemukan dampak mental dan fisik pada orang-orang yang sedang mengalami pengucilan dari komunitas-komunitas sosial mereka, juga perlu anda ketahui pada kesempatan ini.
Individu-individu yang berasal dari kebudayaan individualis yang menekankan keunikan, otonomi dan kemandirian setiap orang (diwakili oleh orang-orang Jerman) ditemukan mengalami tekanan kejiwaan dan gangguan fungsi kardiovaskular saat mengalami pengucilan sosial.
Sedangkan individu-individu yang hidup dalam kebudayaan kolektivis yang mengutamakan harmoni kelompok, relasi-relasi interpersonal dan kesalingbergantungan terlihat hanya sedikit mengalami dampak negatif pada fisik dan mental mereka (diwakili oleh orang-orang Turki, India dan Hongkong) atau malah sama sekali tidak mengalami dampak apapun (diwakili oleh orang China) pada saat mengalami pengucilan sosial.
Jadi, studi ini menunjukkan bahwa orang akan lebih sehat secara fisik dan secara mental jika hidup dalam suatu kebudayaan komunal dibandingkan orang yang hidup dalam suatu kebudayaan individualis, pada saat mereka mengalami keterasingan dan pengucilan dari komunitas-komunitas mereka.
Dengan kata lain, hidup bersama-sama dengan banyak orang dalam masyarakat komunal yang hidup dalam semangat persaudaraan semesta lebih menyehatkan jiwa dan raga ketimbang hidup terasing sendirian sebagai individu./5/ Tanpa didukung data statistikpun, akal sehat kita tentu membenarkan temuan-temuan ini.
Juga sadari dengan lebih dalam bahwa dalam dunia keagamaan, yang ada itu bukan cuma doktrin-doktrin, tapi juga pertemanan, relasi sosial, bahkan juga solidaritas terhadap orang-orang yang sedang menderita.
Lupakanlah doktrin-doktrin jika doktrin-doktrin ini tidak bisa anda terima. Bangunlah pertemanan dan relasi sosial, dan sementara anda melakukan dua hal ini tunjukkan lewat perilaku dan tindakan anda bahwa agama anda bisa melahirkan orang-orang pencinta perdamaian.
Pesan saya selanjutnya kepada anda adalah jadikanlah umat anda makin cerdas beragama, jangan memperbodoh mereka, dan bantu mereka untuk memiliki komitmen untuk menjadi hanya orang baik.
Juga, janganlah anda memandang bahwa diri anda sendirian akan bisa menjadi juruselamat agama anda. Tugas ini terlalu berat dan terlalu besar untuk anda. Lakukan saja hal-hal kecil yang bisa membuat anda dan kekasih-kekasih anda berbahagia. Ingatlah hidup ini cuma sekali. Jangan disia-siakan. Berani hidup, jauh lebih berat ketimbang berani mati.
Jakarta, 10 Februari 2015
oleh ioanes rakhmat
* Dibaca ulang 9 Desember 2023
Catatan-catatan
/1/ Lihat misalnya reportase Adam Whitnall, "Chapel Hill shooting: Three young Muslims gunned downed in North Carolina family home", The Independent, 11 February 2015, pada http://www.independent.co.uk/news/world/americas/chapel-hill-shooting-three-young-muslims-gunned-down-in-north-carolina-at-their-family-home-10037734.html.
/2/ Ini link ke thread di Facebook yang saya komentari, https://www.facebook.com/RichardDawkinsFoundation/posts/10152998416985155?comment_id=10153002781435155¬if_t=share_reply.
/3/ Lihat Kanita Dervic, Maria A. Oquendo, J. John Mann et al., “Religious Affiliation and Suicide Attempt”, The American Journal of Psychiatry, Vol. 161, Issue 12, December 2004, doi: 10.1176/appi.ajp.161.12.2303, hlm. 2303-2308, pada http://ajp.psychiatryonline.org/doi/abs/10.1176/appi.ajp.161.12.2303, atau di sini http://dx.doi.org/10.1176/appi.ajp.161.12.2303.
/4/ Lihat Baycrest Centre for Geriatric Care, "Evidence mounting that older adults who volunteer are happier and healthier", 29-8-2014, pada http://www.psypost.org/2014/08/evidence-mounting-older-adults-volunteer-happier-healthier-27749. Juga Nicole D. Anderson, Thecla Damianakis, et al., "The Benefits Associated with Volunteering among Seniors: A Critical Review and Recommendations for Future Research", Psychological Bulletin vol. 140 (6), November 2014, hlm. 1505-1533, pada http://psycnet.apa.org/?&fa=main.doiLanding&doi=10.1037/a0037610.
/5/ Lihat Michaela Pfundmair, Verena Graupmann, et al., “Exclude Me if You Can: Cultural Effects on the Outcome of Social Exclusion”, Journal of Cross-cultural Psychology, 11 February 2015, doi: 10.1177/0022022115571203, pada http://jcc.sagepub.com/content/early/2015/02/11/0022022115571203. Lihat juga reportase Eric W. Dolan, “Cross-cultural study finds individualists are more stressed out by social exclusion”, PsyPost, 14 Februari 2015, pada http://www.psypost.org/2015/02/cross-cultural-study-finds-individualists-stressed-social-exclusion-31777.