Gautama Buddha bersemedi di bawah sebuah pohon bodhi
Disebut hari Trisuci Waisak (Pali: Vesākha) karena yang diperingati pada hari ini tiga kejadian suci sekaligus yang dialami Siddhartha Gautama, yang sebetulnya terpisah-pisah, tidak pada hari, tanggal dan bulan yang sama, yakni kelahiran, pencerahan budi (samma sambuddha), dan kematian (parinibbana). Keputusan untuk menyatukan tiga peristiwa penting yang dialami Siddhartha Gautama diambil para rahib Buddhis saat mereka bertemu di Sri Langka tahun 1950.
Kelahiran dan kematian setiap orang menjadi penting bukan karena hal-hal lain tetapi karena karya-karya mereka dalam masa kehidupan mereka. Apa yang dicapai pada masa kehidupan seseorang, menjadikan hari lahirnya dan hari kematiannya sebagai hari-hari yang juga penting. Itulah juga yang terjadi pada Siddhartha Gautama. Karena itu penting pada setiap peringatan Trisuci Waisak kita mengenang kembali prestasi-prestasi terpenting Gautama Buddha semasa kehidupannya.
Menurut legenda, saat Siddhartha Gautama baru dilahirkan di taman Lumbini (berlokasi di Nepal Selatan), sang bayi langsung saja berjalan, dan pada setiap pijakannya langsung tumbuh sebuah bunga teratai yang menjadi alas kakinya, demikian terus berlangsung sampai di langkahnya yang ketujuh yang juga disambut oleh bunga teratai. Saat berpijak pada teratai yang ketujuh ini, dengan ajaib sang bayi ini bersabda bahwa ini adalah kelahirannya yang terakhir dan dia akan menjadi orang terbesar dan teragung dalam dunia ini. Menurut legenda juga, bulan purnama bersinar terang di angkasa saat Siddhartha Gautama dilahirkan, begitu juga saat dia menerima pencerahan dan wafat. Tentu saja ada sejumlah orang besar lainnya dalam dunia kuno, yang pada saat dilahirkan, saat menerima visi-visi besar, dan saat kematian, kejadian-kejadian ajaib juga dituturkan terjadi pada mereka masing-masing.
Bayi Gautama berjalan tujuh langkah. . .
Konon pertanyaan yang paling mengganggu pangeran Siddhartha Gautama dewasa adalah mengapa ada dukkha dan bagaimana keluar dari dukkha. Kata “dukkha” (Pali/Sanskrit) harfiah berarti rasa sakit luar biasa yang dirasakan ketika tulang yang patah di dalam daging mencucuk. Kata ini dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai duka, azab, kesengsaraan, penderitaan, kesakitan, kepedihan, dan kemalangan.
Konon Siddhartha Gautama terganggu oleh pertanyaan kenapa ada dukkha, karena dia, di luar istana, melihat orang sakit, orang tua, lalu orang mati--tiga kondisi yang dia tidak pernah lihat selama dipingit dalam istana. Sakit, uzur, dan mati, adalah tiga hal eksistensial yang harus dialami oleh semua makhluk, dan sangat mengganggu semua makhluk yang berkesadaran. Dukkha dialami saat orang harus menghadapi fakta bahwa dari eksistensi mereka akhirnya, lambat laun sejalan dengan gerak panah waktu, akan menjadi non-eksistensi, dari ada menjadi tidak ada.
Akhirnya, Siddhartha berjumpa dengan seorang rahib yang pembawaannya sangat bersahaja, berwajah tampak damai dan teduh, tak punya benda apapun yang berharga. Untuk bisa hidup, sehari-hari, makan dan minum diperoleh sang rahib dari kebaikan orang lain. Gautama bertanya-tanya kenapa sang rahib ini bisa menjalani kehidupan yang berbahagia seperti itu dalam kemiskinan di tengah kenyataan adanya dukkha di mana-mana dalam kehidupan ini.
Para rahib dengan sengaja dan ikhlas menempuh jalan kehidupan yang sangat bersahaja; mereka miskin harta bukan karena ketidakadilan sosioekonomi yang sistemik. Mereka sengaja miskin harta dunia; kekayaan terbesar mereka adalah kesederhanaan dan kearifan. Harta benda ya tentu mereka masing-masing punya juga: satu karung goni tempat menyimpan pakaian dan kebutuhan jasmani sehari-hari. Jalan kehidupan kerahiban mulai menawan hati Siddhartha Gautama.
Tentu saja kita semua tahu fakta ini juga: hidup dalam kemiskinan yang bersumber dari ketidakadilan sosioekonomi sistemik menimbulkan banyak dukkha, mulai dari duka fisik, duka mental, duka individual, hingga duka sosial lokal dan global. Selain itu, kemiskinan menimbulkan stres mental luar biasa yang berlangsung dan berproses dalam sistem limbik otak manusia. Stres mental ini diteruskan ke lobus prafrontalis yang ada di depan sistem limbik; alhasil lobus yang menjadi pusat neural nalar dan rasionalitas ini kelebihan muatan sehingga tidak dapat leluasa bekerja. Akibatnya sudah jelas: kemiskinan mengubah otak manusia, dengan membuat nalar dan rasionalitas tidak bisa lagi bekerja maksimal.
Akhirnya, pada umur 29 tahun, Siddhartha meninggalkan istana, mengosongkan diri dari kekuasaan dunia, dengan tujuan mencari jawab mengapa ada dukkha dan menemukan cara-cara membebaskan diri dari dukkha. Pada masanya, pertanyaan-pertanyaan yang kurang lebih serupa juga mengganggu para asket yang mendorong mereka bertapa mencari pencerahan. Semula, Siddhartha juga menempuh cara asketis yang sama, bertapa dan menyiksa diri, untuk mencapai pencerahan budi.
Konon, ketika sedang menempuh kehidupan asketis yang keras, dia, pada suatu kesempatan, mendengar seorang pemain kecapi bersenandung. Kata pemain kecapi itu: Jangan setel dawai-dawai kecapi terlalu kencang, karena dawai-dawai ini akan putus. Juga jangan setel dawai-dawainya kendur karena dawai-dawai ini akan mengeluarkan suara yang sember.
Senandung si pemain kecapi memberi sebuah inspirasi pada Siddhartha: untuk orang menemukan pencerahan, jalannya haruslah Jalan Tengah.
Pada masanya, ada dua jalan kehidupan yang keduanya sama-sama ekstrim: memanjakan diri (di istana) atau menyiksa diri (di hutan-hutan dan tempat-tempat sunyi, atau di tepi-tepi sungai). Sidhartha menolak dua jalan esktrim ini, lalu menempuh Jalan Tengah: tidak memanjakan diri dan juga tidak menyiksa diri.
Sejak itu, Siddhartha mulai meninggalkan cara-cara meditatifnya yang semula, sehingga dia dianggap rekan-rekannya telah kehilangan komitmen terhadap asketisisme yang keras.
Dengan prinsip Jalan Tengah, Siddhartha meneruskan pencariannya, dan konon pada umur 35 tahun di bawah sebuah pohon Bodhi, dia mendapatkan pencerahan.
Pada usia 35 tahun, setelah 6 tahun mencari, Siddhartha mencapai kebuddhaan, yakni pencerahan budi dengan sempurna. Sebutan “Buddha” berarti “orang yang telah tercerahkan” atau “orang yang telah memiliki kesadaran sempurna”.
Dia menghabiskan 49 hari bersemedi di bawah sebuah pohon Bodhi, di Both Gaya, India, sampai akhirnya dia mendapatkan pencerahan budi. Di ujung hari ke-49 itu, Siddhartha menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaannya mengapa ada dukkha dan bagaimana mengatasi dukkha.
Konon, setelah tercerahkan, Siddhartha bangun dari semedinya, lalu berdiri di depan pohon Bodhi itu, memandangnya dengan rasa terima kasih dan tanpa berkedip selama 7 hari 7 malam.
Isi kebijaksanaan yang telah mencerahkannya disebut Empat Kebenaran Agung, yakni adanya dukkha, keinginan sebagai sumber dukkha, akhir dari dukkha (dinamakan nirwana); nirwana dapat dicapai dalam dunia ini atau di dunia yang akan datang. Jalan-jalan untuk mencapai nirwana dinamakan Jalan Mulia Delapan Rangkap, yang mencakup: berpandangan benar, bersikap benar, berbicara benar, bertindak benar, hidup benar, berusaha dengan benar, berpikiran benar, berkonsentrasi dengan benar.
Kondisi kehidupan ketika orang berhasil memahami Empat Kebenaran Mulia dan berhasil menjalankan Jalan Mulia Delapan Rangkap, disebut nirwana. Kata nirwana juga menunjuk suatu kondisi adikodrati ketika orang telah terbebaskan dari siklus kematian dan reinkarnasi.
Pertanyaan mengapa ada dukkha dan bagaimana membebaskan diri dari dukkha adalah sebuah pertanyaan eksistensial yang universal dan tampaknya akan abadi.
Kalau Gautama di India bergumul dengan pertanyaan itu di abad ke-4/ke-5 SM, para sastrawan Yahwis di istana Raja Daud/Salomo di Timur Tengah kuno pada abad 10 SM juga bergumul dengan pertanyaan yang sama.
Untuk menjawab pertanyaan mengapa ada sakit-penyakit, dukkha, azab, dan kematian, para sastrawan Yahwis itu menyusun kisah etiologis Taman Eden. Dibandingkan jawaban yang diberikan Siddhartha Gautama, para sastrawan Yahwis itu memberi jawaban yang bagi saya tidak memuaskan.
Bagi para pujangga penulis kisah skriptural Taman Eden (Kejadian 2-3), penyebab semua bentuk dukkha adalah ketidaktaatan Adam dan Hawa terhadap larangan Allah. Bagaimana mungkin, penderitaan lebih dari 7 milyar manusia di abad 21 disebabkan oleh pelanggaran Adam dan Hawa yang kisahnya ditulis pada abad ke-10 SM di sebuah negara di Timur Tengah kuno?
Selain itu, para pujangga Yahwis itu di abad 10 SM sama sekali tidak memberi jalan keluar untuk manusia bisa luput dari dukkha. Para pujangga kerajaan itu dengan nada sangat sendu dan submisif hanya menegaskan bahwa Allah menghukum Adam dan Hawa (dan semua manusia), dengan hukuman terberat berupa kematian, karena ketidaktaatan mereka pada larangan Allah.
Para penulis kisah Taman Eden di abad 10 SM hanya memberi etiologi (kisah asal-usul) yang simplistik atas adanya fakta dukkha, dan juga teleologi yang suram: di ujung kehidupan manusia hanya tersedia kematian. Tetapi para penulis kisah Taman Eden itu tidak memberi soteriologi, doktrin tentang bagaimana manusia bisa mengatasi dukkha.
Hemat saya, Siddhartha Buddha Gautama jauh lebih realistik dan jauh lebih bijak dibandingkan para sastrawan penulis kisah skriptural Taman Eden. Tapi mari kita berpaling ke jagat raya kita. Jawaban lebih jauh ada di situ.
Dalam jagat raya, yang memiliki kemampuan mendatangkan kehidupan lewat debu-debu bintang, keberadaan selalu diikuti kemusnahan, something selalu diikuti nothing, dan kepunahan selalu disusul keberadaan, nothing selalu disusul oleh something. Dalam jagat raya kita, galaksi-galaksi tua lenyap, diganti galaksi-galaksi baru. Segala sesuatu ada, tapi juga tidak permanen. Dalam jagat raya, kehidupan tercipta secara alamiah (jika tersedia energi, kimia organik dan non-organik juga, air, dan oksigen), tapi kematian juga menyusul. Kemunculan dan kepunahan, eksistensi dan non-eksistensi, kehidupan dan kebinasaan, sudah berlangsung sejak jagat raya terbentuk dan berevolusi, dimulai 13,8 milyar tahun lalu lewat big bang, hingga kini dan seterusnya dalam waktu yang masih sangat panjang ke depan, bermilyar-milyar tahun dari sekarang. Manusia yang baru muncul 300.000 hingga 400.000 tahun lalu di Afrika juga adalah bagian dari evolusi kosmik yang sudah berlangsung sangat panjang sebelumnya. Sebelum ada manusia, kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, lalu kemerosotan, uzur yang disusul kematian dan kepunahan, sudah berlangsung lama dalam jagat raya kita.
Dalam dunia sains dikenal Hukum Kedua Thermodinamika yang di dalamnya dikenal apa yang dinamakan entropi, yang dinamakan juga the Arrow of Time, yakni kondisi tidak tertata dan kacau yang makin lama, sejalan dengan gerak maju sang waktu, makin menguat dalam semua sistem, termasuk sistem biologis organisme apapun, yang akhirnya bermuara dalam kehancuran dan kepunahan sistem ini. Entropi juga berlangsung dalam jagat raya, yang akhirnya juga akan mengalami kondisi tidak tertata lagi lalu punah, yang selanjutnya akan memulai evolusi kosmik baru. Jika sistem biologis tubuh kita mengalami kondisi degeneratif, mula-mula muda dan kuat lalu lama kelamaan menua dan akhirnya renta dan tidak berdaya, lalu mati, ini semua juga terjadi karena entropi. Entropi integral dalam semua sistem, juga dalam struktur dan kodrat jagat raya.
Kelahiran dan kematian, permanensi dan impermanensi, adalah unsur-unsur integratif dari struktur keseluruhan jagat raya kita, dan manusia tidak bisa luput dari kondisi-kondisi ini. Tapi bagi manusia sebagai organisme yang memiliki indra dan berkesadaran, sentient being, kondisi-kondisi ini menimbulkan banyak pergumulan batin, ratap tangis dan kedukaan. Pada hakikatnya dukkha yang dialami manusia itu memang menjadi bagian tidak terpisah dari bangunan jagat raya kita sendiri yang terus berevolusi. Entropi pada sisi buruknya menimbulkan penderitaan; tapi pada sisi baiknya, adalah suatu mekanisme alamiah yang membantu manusia terlepas dari rasa sakit, uzur, dan azab yang berat, di dalam kematian.
Hidup yang sangat panjang berlarut-larut, yang pasti tidak bisa lepas dari keluhan dan sakit-penyakit, tanpa berujung pada kematian, juga adalah penderitaan. Kecuali jika proses penuaan yang bermuara pada kematian dapat diatasi, dengan memeranginya sebagai suatu penyakit yang dapat disembuhkan dan dikalahkan sekali untuk selamanya; alhasil manusia bisa hidup 1000 tahun sehat bahkan mungkin juga abadi tanpa duka. Gerontolog biomedis kebangsaan Inggris, Aubrey David de Grey (lahir 20 April 1963), adalah ilmuwan garis depan yang melihat proses penuaan sebagai suatu penyakit yang akan dapat disembuhkan; kini Aubrey aktif membeberkan the roadmap to end aging.
Bukan hanya manusia, tapi juga hewan-hewan lain non-manusia, dan tetumbuhan, datang dan pergi, muncul dan lenyap, secara natural. Hanya organisme yang memiliki pancaindera dan kesadaran dan kemampuan mental, melihat sakit-penyakit, dukkha dan kematian sebagai suatu problem besar. Bagi ikan, singa dan harimau, misalnya, rasa sakit dan kematian dan pembunuhan, adalah hal-hal natural tanpa nilai-nilai moral apapun di dalamnya, dan mereka tampak tidak perduli dengan semua kondisi ini. Bagi primata atau kera-kera besar, juga bagi lumba-lumba dan ikan paus, yang juga dalam batas-batas tertentu memiliki kemampuan moral bahkan kesadaran, dukkha dan kematian juga menyedihkan mereka.
Jadi, pada satu pihak, kelahiran dan kematian, kedukaan dan penderitaan, adalah natural, bagian esensial dari struktur jagat raya sendiri. Tapi, pada lain pihak, kematian dan semua bentuk kedukaan adalah problem besar bagi sentient beings seperti manusia.
Sebagai organisme yang berkesadaran dan memiliki berbagai kapasitas mental, yang mampu membangun peradaban, manusia merasa tidak berbahagia dengan adanya dukkha, dan manusia berjuang untuk mengatasinya. Dulu teknologi untuk menolak bala dan menangkal bencana masih belum berkembang, kalaupun ada masih sangat primitif. Karena itu juga, manusia berpaling ke penjelasan-penjelasan lain tentang apa itu dukkha dan bagaimana cara mengalahkannya, dan agama-agama disusun untuk memenuhi kebutuhan ini. Ada agama yang memberi penjelasan supernatural, dan ada juga yang mengajukan penjelasan natural, terhadap pertanyaan-pertanyaan mengapa ada dukkha dalam kehidupan manusia.
Buddhisme tampil memberi penjelasan-penjelasan natural tentang sebab-sebab dukkha dan menawarkan jalan-jalan mengalahkan dukkha.
Gautama Buddha betul saat dia menemukan bahwa semua sumber kedukaan ada dalam dunia natural, dan karena itu juga kedukaan dapat diatasi lewat jalan-jalan natural.
Pada masa kini, berbagai disiplin sains sangat membantu manusia mencari tahu akar-akar dari dukkha, dan juga menolong mereka mengatasinya dalam banyak jalan dan cara.
Sains tampak memberi jawaban-jawaban yang lebih memuaskan ketika orang bergumul di sekitar masalah-masalah kedukaan dan kesengsaraan manusia, baik sains yang mengkaji dunia fisik maupun sains yang mengkaji dunia mental manusia. Dengan menerima berbagai penjelasan dan petunjuk sains mengenai sebab-musabab dukkha dan jalan-jalan mengatasinya, setiap orang akan dapat lebih cerdas beragama.
Kalau agama-agama betul bertujuan untuk memberi manusia petunjuk-petunjuk menuju kehidupan yang sehat dan membahagiakan, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk seluruh umat manusia lewat berbagai macam jalan yang baik dan benar, sainstek modern dikembangkan juga untuk tujuan yang sama lewat metode-metode keilmuwan.
Selamat hari Trisuci Waisak
25 Mei 2013 (2557)
11 Mei 2017 (2561)
Salam,
ioanes rakhmat