Apakah trust bisa berkembang dengan baik atau tidak, bergantung pada kultur keluarga yang membesarkan seseorang, atau kultur komunitas pembelajaran yang di dalamnya seseorang mengalami perkembangan kejiwaan. Trust itu ibarat seekor merpati putih, sang pembawa damai dan berita gembira, sang utusan yang turun dari angkasa.
Ada keluarga atau komunitas pembelajaran di mana orang-orangtua selalu mendidik anak-anak untuk selalu berpikiran positif terhadap orang lain atau untuk selalu percaya pada orang lain, siapapun orang lain itu.
Orangtua yang mendidik anak-anaknya untuk selalu “trust” pada orang lain ini mempertahankan sebuah pandangan ideal bahwa dalam diri manusia selalu ada benih kebaikan atau bahkan benih ilahi yang bila dipupuk akan menjadikan mereka orang baik, sahabat sesama, rekan sekerja yang dapat dipercaya sepenuhnya.
Filsafat moral sosial yang ditanamkan dalam kultur pembelajaran yang humanistik semacam ini adalah “pandanglah sesamamu sebagai rekan-rekanmu yang siap berkorban bagi kebaikanmu”, filsafat “homo homini socius”.
Tetapi ada juga keluarga atau komunitas pembelajaran yang kepada generasi muda selalu menanamkan keharusan mencurigai siapapun orang yang dengannya mereka membangun suatu hubungan, keharusan jangan mempercayai siapapun orang yang mendatangi mereka untuk keperluan apapun. Dalam kultur pembelajaran semacam ini ditanamkan suatu pandangan teologis bahwa siapapun manusia itu, mereka adalah manifestasi pekerjaan setan dalam dunia ini.
Keluarga-keluarga yang bergerak dalam bisnis-bisnis besar yang berhasil (dengan menghalalkan segala cara) banyak yang menanamkan dalam diri generasi muda mereka pandangan untuk selalu mencurigai orang lain manapun ketika mereka sedang membangun hubungan bisnis, atau hubungan apapun.
Yang ditekankan dalam kultur pembelajaran semacam ini ini adalah profesionalisme loba, bukan filantropisme atau altruisme. Anak-anak dididik untuk hanya membangun hubungan profesional tamak dengan siapapun dalam mereka membangun hubungan bisnis, dan sama sekali harus menutup pintu terhadap segala bentuk sifat kedermawanan atau sifat ingin berkorban bagi sesama.
Dalam bentuk yang ekstrim, dalam kultur pembelajaran semacam ini filsafat sosial yang ditanamkan adalah “pandanglah sesamamu manusia sebagai seekor serigala jahat yang mau menyantap dirimu”, atau filsafat “homo homini lupus” (Hobbes)./*/
Dalam suatu negara yang sedang terlibat peperangan dengan negara tetangga, pemerintahnya menjalankan politik pembelajaran “homo homini lupus” kepada setiap warganegaranya.
Mereka dididik untuk selalu mencurigai siapapun orang asing di antara mereka sebagai seekor serigala yang mau menerkam mereka, dan untuk harus selalu siap menerkam lebih dulu sebelum diterkam.
Xenofobia adalah kultur yang mutlak dijalankan dalam suatu negara yang sedang berperang. Tapi bagi suatu negara yang sedang hidup damai dengan semua negara lainnya, xenofobia, jika tumbuh, adalah suatu penyakit mental dan politik massal yang bisa membinasakan negara ini.
Jika anda berkembang dalam kultur pembelajaran yang pertama, yang menanamkan filsafat moral sosial “homo homini socius”, anda akan menjadi orang yang mudah tertipu, anda akan lebih banyak mengeluarkan uang ketimbang menerima uang, pengeluaran yang bahkan bisa sangat useless.
Kalau anda berbisnis kemungkinan besar bisnis anda akan merugi terus dan akhirnya bangkrut. Kalau pun dapat untung, ya dalam batas yang wajar. Ingatlah, ada hukum pasar yang berlaku: untuk barang A yang kualitasnya sama, konsumen akan membeli di toko yang menjualnya termurah, dibandingkan toko yang menjualnya kemahalan jauh.
Namun jika anda dididik dan berkembang dalam kultur pembelajaran yang kedua, yang dengan konsisten menanamkan filsafat moral sosial “homo homini lupus”, anda bisa jadi akan cepat kaya raya, sukses bisnis, tetapi tidak memiliki empati, kasih sayang, sifat dermawan atau kemampuan berkorban buat orang lain apapun alasannya. Kerakusan adalah watak bisnis anda. Demi kerakusan dan haus harta anda terpenuhi, anda tak akan segan memakai jubah bulu domba, meskipun watak asli diri anda adalah serigala buas.
Umumnya yang kerap ditemukan adalah perpaduan kreatif dua kultur pembelajaran yang satu sama lain bertolak belakang itu. Selain itu, dalam dunia bisnis dewasa ini setiap perusahaan pun oleh negara telah diharuskan mengalokasikan keuntungan perusahaan sebagian (2 persen) untuk keperluan sosial, apa yang dinamakan “corporate social responsibility”, CSR.
Lebih jauh, kalau dulu dunia bisnis dipandu oleh sebuah semboyan “Matikanlah pesaing-pesaing anda dengan sekejam mungkin dan dengan bersimbah darah” (red ocean strategy), maka kini semboyan yang berlaku sudah berbeda, sejalan dengan kesadaran global yang sudah tumbuh di seantero planet Bumi, yakni “Bangunlah hubungan kerekanan yang setaraf dengan semua pesaing bisnis anda”, strategi yang dinamakan “blue ocean strategy”.
Jadi, periksalah diri anda, anda besar dalam kultur pembelajaran yang mana. Bebaskan diri anda, bak seekor merpati putih yang terbang riang di angkasa./**/
------------------------
/*/ Saya terpaksa masih memakai ucapan Hobbes ini kendatipun saya tentu saja menyadari penuh serigala adalah juga binatang yang patut kita sayangi, sama halnya dengan ular yang menjadi simbol manifestasi Yang Ilahi dalam kebudayaan Yunani-Romawi kuno dan kebudayaan India masa kini. Sejauh terdokumentasi, pernyataan “homo homini lupus est” (Indonesia: “Manusia adalah serigala bagi sesamanya”) muncul pertama kali dalam karya Plautus, Asinaria (495). Melawan Plautus, Seneca menulis bahwa “manusia adalah suci bagi sesamanya”. Thomas Hobbes di tahun 1651 (dalam karyanya De Cive) merujuk baik kepada Plautus maupun kepada Seneca.
/**/ Tulisan ini lahir sebagai sebuah perenungan atas tertipunya saya oleh toko HP online www.niagashop.com sehingga uang saya sebesar Rp. 2 juta melayang lenyap pada 17 Maret 2012 pagi hari sekitar jam 10. Kawan-kawan, jangan mau berhubungan apapun dengan toko tersebut dan sebarkanlah informasi ini!