“Suatu kehidupan yang tidak dikaji bukanlah kehidupan yang patut dijalani bagi seorang manusia” (Sokrates)
“... ho de aneksetastos bios ou biōtos anthrōpōi” (Sokrates)
Yuup, Sokrates harus minum racun di sebuah penjara negara di Athena sebagai hukuman mati baginya, pada tahun 399 SM.
Ada beberapa sumber yang memuat catatan tentang tuduhan kepada Sokrates yang menurut juri terbukti, sehingga dia divonis hukuman mati. Tuduhan-tuduhan itu adalah: Sokrates telah merusak kaum muda Athena, melanggar ortodoksi religius Athena, dan mendemitologisasi alam.
Tuduhan merusak kaum muda Athena bisa berarti Sokrates telah mengadakan hubungan homoseksual dengan murid-muridnya atau kaum muda lainnya; tapi homoseksualitas normal saja di Athena zaman Sokrates.
Tuduhan Sokrates telah melanggar ortodoksi religius Athena diajukan bisa jadi karena dia memang menolak mengakui dewa-dewa Yunani, dan percaya kepada dewa yang lain.
Misalnya, semua orang Yunani percaya bahwa Bulan adalah Dewa yang harus disembah; tapi Sokrates, juga banyak filsuf naturalis lainnya, bilang, Bulan hanyalah bebatuan dan karang.
Selain itu, dalam menyebut dewa yang dipercayainya, Sokrates memakai kata benda tunggal ho theos, Allah, dan bukan kata benda jamak hoi theoi, dewa-dewa Athena.
Sokrates juga kerap kali menyatakan bahwa dia memiliki Dewa lain, daimonion, yang kerap membantunya mengatasi persoalan lewat bisikan batin.
Tapi, karena agama Athena bercorak politeistik dan orang Athena sangat toleran, maka orang boleh menyembah dewa apapun, tanpa dilarang dan dihambat. Jadi tuduhan Sokrates melanggar ortodoksi Athena tampak tak masuk akal.
Jika semua tuduhan resmi itu tak masuk akal, dicari-cari, apa penyebab sebenarnya sampai Sokrates dijatuhi hukuman mati?
Penyebab sebenarnya vonis mati atas diri Sokrates ditemukan dalam sikap, pergaulan dan pandangan politik Sokrates yang tak diterima para penguasa Athena.
Kalau kita telurusi dengan cermat dokumen-dokumen yang berkisah tentang Sokrates, nyatalah bahwa si filsuf ini anti-demokrasi Athena.
Sokrates menolak jika Athena diperintah oleh rakyat biasa yang tak memiliki keahlian dan pengetahuan khusus ketatanegaraan. Menurut Sokrates, negara harus dikelola bukan oleh rakyat biasa, tapi harus oleh para ahli dan para pakar macam-macam bidang.
Bagi semua orang Yunani, pemilihan para pejabat negara dari antara rakyat lewat undian adalah prosedur paling demokratis, sekaligus religius (karena menyerahkan hasil undian pada kehendak para dewa Athena). Tapi Sokrates sangat menentang cara undian ini; dan dia menghendaki pendidikan politik dan kaderisasi dijalankan untuk mendapatkan para pemimpin.
Selain itu, dari antara banyak teman dan famili dekat Sokrates, terdapat sekian orang yang dikenal sebagai pembela oligarki bahkan para tiran. Sokrates diketahui menjadi salah seorang dari 3.000 warganegara yang dipilih dan dipuji Tiga Puluh Tiran yang sempat berkuasa selama satu tahun pada 404 SM.
Setelah kekalahan Athena dalam Perang Peloponnesus (431-404 SM), kota ini sedang berjuang menghidupkan kembali demokrasinya, tapi Sokrates menentang.
Karena Sokrates sangat tak mendukung para penguasa kota Athena yang dipilih secara demokratis lewat undian, si filsuf ini sangat sinis pada banyak politikus yang sedang berkuasa. Banyak politikus dibongkar kelemahannya oleh Sokrates di depan umum, lewat metode berfilsafatnya, dengan didengar kaum muda Athena. Gawat ’kan!?
Cara Sokrates berfilsafat di muka umum memang menarik tapi juga sangat menyinggung banyak orang terkemuka, karena lewat filsafat dia menelanjangi borok-borok mereka.
Lewat Plato, kita tahu bagi Sokrates “suatu kehidupan yang tak dikaji bukanlah kehidupan yang patut dijalani bagi seorang manusia.”
Nah, supaya kehidupan layak dijalani, Sokrates membedah dan mengkaji klaim-klaim banyak orang terkemuka yang mengaku diri cerdas dan berpengetahuan.
Sokrates memakai metode penyelidikan filsafat yang disebut “dialogizomai” atau “eksetazō” atau “ekselegkhō”, yakni : mewawancarai dan melakukan penyelidikan silang terhadap objek sampai si objek ini terpojok, tak bisa berbicara lagi, dan dipermalukan.
Sokrates selalu mengambil posisi awal tidak mempercayai semua klaim, sehingga dia harus menguji silang klaim apapun, lewat tanyajawab dan pembuktian silang dengan melibatkan orang-orang lain.
Yang dipentingkan Sokrates adalah adu argumen (ho logos) dan adu nalar (logismos) yang sangat konsisten dalam setiap verifikasi klaim apapun.
Dia memandang klaim apapun sebagai sebuah hipotesis yang masih belum terbukti kebenarannya, karena itu harus diuji silang dengan menghimpun banyak bukti dan pendapat dari banyak orang lain.
Cara atau metode induktif Sokrates ini adalah sumbangan terpentingnya dalam epistemologi saintifik yang kemudian diterima dalam sains modern.
Dalam memeriksa seseorang di muka umum, dan menghimpun bukti-bukti dan pendapat-pendapat orang lain, Sokrates kerap mempermalukan dan menyakiti banyak orang penting.
Hal eksentrik dalam diri Sokrates adalah dia selalu memandang orang yang mengaku cerdas dan terpelajar sebagai orang yang penuh kebohongan. Dia menyatakan, lebih percaya pada orang sederhana, kecil, dan tampak bodoh, ketimbang pada politikus dan kaum cendekiawan.
Dia tak melihat dirinya cerdas, berpengetahuan, atau seorang cendekiawan; tapi hanya sebagai seorang pencari dan penyelidik filsafat, tugas yang dipandangnya diamanatkan oleh Allah yang dipercayainya, yang membuatnya mengabaikan pekerjaan lain bahkan rumahtangganya sendiri.
Pemikiran-pemikiran filosofis Sokrates berkembang dan menjadi matang justru lewat aktivitasnya menguji banyak klaim dari banyak orang dengan konsisten dan keras. Tetapi metode berfilsafatnya ini jelas menimbulkan kebencian banyak orang terhadapnya, tetapi sangat memukau kaum muda zamannya.
Jadi, selain karena Sokrates anti-demokratis, metode berfilsafatnya ini makin menumpukkan kebencian pada dirinya, yang akhirnya membinasakannya.
Tapi apakah Sokrates menyesali seluruh jalan kehidupannya dan caranya berfilsafat yang menggiringnya ke pengadilan negara di Athena? Sama sekali tidak!!!
Ketika dia diadili di hadapan 500 orang juri, Sokrates sama sekali tak menyesali semua yang sudah terjadi, bahkan dengan angkuh dia membela dirinya!
Bahkan ketika vonis mati sudah dijatuhkan, dia masih sempat mengutuk sebagian juri yang menjatuhinya hukuman mati (360 suara), dan memberkati mereka yang menginginkan dia dibebaskan (140 suara).
Banyak orang mendesak Sokrates untuk mengerahkan anak, istri dan familinya supaya mereka semua menangis di depan 500 orang juri untuk melunakkan hati mereka dan karenanya mau membebaskan Sokrates. Tapi desakan ini ditampiknya dengan tegas.
Murid-muridnya memintanya untuk membayar denda 30 mina supaya dirinya dibebaskan, tapi Sokrates hanya mau 1 mina, yang tentu dinilai sebagai contempt of court, pelecehan pengadilan.
Memang Sokrates adalah seorang filsuf keras kepala! Teguh memegang keyakinannya dan mengabdikan dirinya penuh-penuh pada filsafat.
Ketika saatnya tiba untuk dia meminum racun (sempat tertunda 30 hari), dia memerintahkan istrinya (yang sedang menggendong anaknya) dibawa pulang karena sang istri menangis terus meskipun dia menghargai sikap-sikap Sokrates. Pada detik-detik menjelang minum racun dengan dilihat murid-muridnya, kecuali Plato yang sedang sakit di rumahnya, semua murid bahkan petugas penjara menangis pilu.
Sokrates tak membenarkan sikap mereka yang sangat lemah bak perempuan (kata Sokrates); seorang filsuf katanya harus tough di depan kematian!
Sokrates memandang kematian sebagai keuntungan, sebab dia nanti akan bisa berjumpa dengan semua orang baik yang menjadi korban perlakuan tidak adil, dan para hakim yang adil di Hades, “dunia tak kasat mata” yang pada era Sokrates dipercaya ada di bawah permukaan Bumi.
Ketika saatnya tak bisa ditunda lagi untuk dia mereguk racun dalam cawan, dengan wajah berseri dan hati gembira dia meminumnya, tapi murid-murid meratap keras tak tertahan.
Sokrates mati dengan cheerful, happy and calm. The death worth remembering.
Beberapa detik sebelum nafasnya berakhir, Sokrates melihat lewat mata batinnya Plato telah sembuh, dan dia menyempatkan diri berpesan agar murid-muridnya atas namanya, atas nama komunitas filosofis, dan atas nama Plato, mempersembahkan seekor ayam jantan yang disembelih kepada Dewa Asklepius, dewa penyembuh dan pembangkit orang mati sebagai sebuah ucapan syukur menurut adat-istiadat ritual Athena.
Menurut sebuah tafsiran, penglihatan Sokrates bahwa Plato telah sembuh dan perintahnya untuk memberikan ayam jantan kurban syukur kepada Dewa Asklepius tak lain merupakan sebuah tanda alegoris bahwa Sokrates mempercayakan tugas melestarikan mazhab filosofis Sokrates pada Plato, yang harus memelihara dan mengembangkan filsafat sang guru.
Dan terbukti bahwa Plato memenuhi pengharapan dan penugasan sang gurunya. Lewat terutama tulisan-tulisan Plato, kita mengenal pikiran Sokrates.
Begitu saja dulu kisah tentang Sokrates. Untuk uraian lengkap, baca buku saya, Sokrates dalam Tetralogi Plato: Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks (Gramedia Pustaka Utama, 2009).