“Aku tahu, malaikat-malaikat sedang memperhatikanku dari sisi lain.”
☆ Kanye West
“Jika malaikat terang memimpin akal-budimu, jangan biarkan malaikat kegelapan merebut hatimu.”
☆ Ioanes Rakhmat
Pertanyaan saya pada judul di atas tidak berada dalam koridor teologi gerakan New Age, yang meyakini bahwa tubuh manusia bisa diubah menjadi tubuh malaikat atau “angelic body” lewat ritual-ritual mereka. Dengan kata lain, diubah menjadi tubuh cahaya, “light body”. Saya menilai, mereka hanya yakin saja bahwa mereka, lewat berbagai ritual, telah berubah jadi malaikat, kendatipun dalam realitas tetap masih insan-insan belaka.
Yang ada dalam pikiran saya adalah sains dan teknologi yang bergerak dalam kawasan yang sangat halus, yakni nanoteknologi. Satu nano adalah 10-9, artinya ukuran 1 per 1.000.000.000.
Apa itu nanoteknologi? Jawabnya, nanoteknologi adalah teknologi yang sangat advanced, yang menciptakan materi, peralatan dan sistem-sistem pada skala nanometer, dan memanfaatkan fenomena dan properti baru (fisikal, kimiawi, dan biologis) pada skala itu.
Dibayangkan, di depan ini lewat nanoteknologi, kita dapat mengubah apapun yang material (fisikal, kimiawi, dan biologis) menjadi atom-atom atau molekul-molekul, yang bisa ditransformasi ke bentuk baru apapun yang kita kehendaki.
Anda tentu sudah tahu, cahaya juga memiliki properti partikel yang dinamakan foton. Foton berada pada level dunia sub-atomik.
Nah, saya berpikir, nanoteknologi yang sudah sangat advanced bisa mengubah tubuh kita menjadi partikel-partikel foton. Artinya, lewat nanoteknologi tubuh kita bisa ditransformasi menjadi cahaya.
Alhasil, lewat nanoteknologi nanti kita bisa menjadi organisme cahaya. Saya masih menunggu konfirmasi dari beberapa fisikawan dunia tentang apakah hal ini mungkin.
☆ Kanye West
“Jika malaikat terang memimpin akal-budimu, jangan biarkan malaikat kegelapan merebut hatimu.”
☆ Ioanes Rakhmat
Pertanyaan saya pada judul di atas tidak berada dalam koridor teologi gerakan New Age, yang meyakini bahwa tubuh manusia bisa diubah menjadi tubuh malaikat atau “angelic body” lewat ritual-ritual mereka. Dengan kata lain, diubah menjadi tubuh cahaya, “light body”. Saya menilai, mereka hanya yakin saja bahwa mereka, lewat berbagai ritual, telah berubah jadi malaikat, kendatipun dalam realitas tetap masih insan-insan belaka.
Yang ada dalam pikiran saya adalah sains dan teknologi yang bergerak dalam kawasan yang sangat halus, yakni nanoteknologi. Satu nano adalah 10-9, artinya ukuran 1 per 1.000.000.000.
Apa itu nanoteknologi? Jawabnya, nanoteknologi adalah teknologi yang sangat advanced, yang menciptakan materi, peralatan dan sistem-sistem pada skala nanometer, dan memanfaatkan fenomena dan properti baru (fisikal, kimiawi, dan biologis) pada skala itu.
Dibayangkan, di depan ini lewat nanoteknologi, kita dapat mengubah apapun yang material (fisikal, kimiawi, dan biologis) menjadi atom-atom atau molekul-molekul, yang bisa ditransformasi ke bentuk baru apapun yang kita kehendaki.
Anda tentu sudah tahu, cahaya juga memiliki properti partikel yang dinamakan foton. Foton berada pada level dunia sub-atomik.
Nah, saya berpikir, nanoteknologi yang sudah sangat advanced bisa mengubah tubuh kita menjadi partikel-partikel foton. Artinya, lewat nanoteknologi tubuh kita bisa ditransformasi menjadi cahaya.
Alhasil, lewat nanoteknologi nanti kita bisa menjadi organisme cahaya. Saya masih menunggu konfirmasi dari beberapa fisikawan dunia tentang apakah hal ini mungkin.
Ilustrasi tubuh yang sedang bertransformasi menjadi cahaya
Tapi saya punya sebuah pertimbangan. Partikel foton memiliki massa yang sangat ringan (bahkan yang paling ringan dari semua partikel lain); tetapi kita mengalami cahaya umumnya sebagai gelombang energi.
Cahaya Matahari, misalnya, kita terima sebagai suatu sumber energi. Dari persamaan Einstein E=mc², kita tahu bahwa massa (M) dan energi (E) berbanding lurus, ekuivalen.
Jadi, sebetulnya secara fisikal, adalah mungkin untuk mengubah massa tubuh kita menjadi energi besar partikel-partikel foton.
Saya membaca sebuah reportase di The Guardian, edisi 18 Mei 2014. Diberitakan di situ bahwa hanya dalam jangka 1 tahun ke depan, para saintis akan dapat menciptakan materi dari energi partikel-partikel cahaya (foton) berdasarkan E=mc² dan teori elektrodinamik Quantum (QED). Ini akan disusul dengan mengubah waktu menjadi energi, dan energi menjadi waktu./1/
Saya terpesona terhadap pengetahuan itu. Menurut teman saya di Twitter, Phil Metzger Ph.D., seorang saintis yang mengkaji planet-planet, hal yang sebaliknya juga dapat dilakukan, yakni mengubah materi menjadi cahaya. Caranya? Tulisnya (3 Oktober 2014), “Jika kita menggabung materi dan anti-materi, maka yang akan dihasilkan adalah sinar gamma (partikel-partikel foton).”
Jadi, sains menyatakan bahwa energi dapat dikonversi ke materi, waktu ke energi, dan energi ke waktu, dan juga materi ke energi cahaya.
Jika demikian, saya berani mengajukan sebuah ide fantastis bahwa di masa depan kita juga akan bisa mengonversi tubuh kita (materi) ke cahaya (energi), lebih khusus lagi ke cahaya yang memiliki kesadaran (conscious light).
Yang jadi persoalan kita sekarang adalah bagaimana secara teknis ide fantastis saya ini bisa terwujud; hemat saya, ya lewat nanoteknologi yang sudah sangat maju, atau lewat teknologi lain yang sekarang belum ditemukan yang bisa menggabung materi dan antimateri dari seluruh partikel elementer tubuh kita. Masalah sulit juga muncul dalam mengadakan antimateri tubuh kita yang bisa ada hanya dalam wujud partikel.
Ide saya ini, yakni mengubah tubuh material menjadi energi cahaya lewat nanoteknologi yang sangat maju, alhasil muncul organisme cahaya yang bisa melanglang jagat raya dengan bebas, kelihatan lebih maju jika dibandingkan dengan metode computing yang sudah lama dikenal (tapi belum diujicoba), yakni metode “brain reverse engineering” (BRE).
Lewat metode computing ini, seluruh jalur aktivitas neuron dalam otak kita (yang berlangsung sejak kita dilahirkan hingga dewasa) dibuat petanya, lalu di-copy, dan selanjutnya ditransfer atau di-upload ke dalam sebuah superkomputer yang mengubahnya jadi data digital algoritmis, yang terlepas sama sekali dari raga dan otak biologis kita sendiri.
Data digital ini juga bisa di-upload ke dalam otak mekanik organisme robotik android (artinya, robot yang “menyerupai manusia” dalam segala segi) sebagai surrogate atau avatar kita sendiri, terlepas dari raga dan otak biologis kita sendiri, atau ke tubuh hologram sebagai avatar kita (lihat penjelasannya di bawah).
Data digital algoritmis ini menjadi data jatidiri digital kita, yang bisa dibawa ke mana saja, termasuk dibawa ke galaksi-galaksi yang jauh dengan memakai sinar laser sebagai medianya, lalu setibanya di kawasan-kawasan yang jauh itu (lewat pengaturan oleh sebuah superkomputer) mendapatkan avatar yang akan membuat data digital kita ini fungsional sebagai organisme.
Dalam diri organisme avatar-avatar inilah kita hidup abadi. Alhasil, pikiran (mind) kita bisa abadi dan bergerak ke banyak kawasan dalam jagat raya, tanpa terikat pada tubuh kita lagi.
Dengan kata lain, dari semula organisme ragawi yang dibatasi ruang-waktu, kita berubah menjadi organisme informasi lintas ruang-waktu. Tentu saja metode ini sangat ribet, jika dibandingkan, dalam bayangan saya, dengan metode mengubah tubuh kita (termasuk data neural kita yang tersimpan dalam otak kita) menjadi cahaya lewat nanoteknologi.
Teman-teman saya yang kritis tentu akan langsung bertanya, kenapa seluruh tubuh yang harus diubah ke cahaya? Kenapa tidak mengonversi hanya data digital algoritmis otak kita, langsung menjadi cahaya yang berkesadaran? Bukankah cara yang kedua ini jauh lebih dapat diandalkan secara saintifik?
Kalau metode BRE membutuhkan sinar laser sebagai media yang membawa data digital algoritmis jatidiri kita ke galaksi-galaksi yang jauh, kenapa tidak langsung saja data digital ini kita konversi menjadi sinar laser-nya sendiri, sinar laser yang berkesadaran dan mandiri?
Ya, pertanyaan-pertanyaan itu juga membuat saya terpesona banget. Metode BRE sendiri, yang hingga detik ini belum pernah dijalankan dengan real, memang masih terus diperdebatkan, apakah mungkin ataukah tidak mungkin dilaksanakan. Para ahli menargetkan, dalam tempo 50 tahun ke depan, teknologi BRE sudah akan bisa diterapkan.
Saya sendiri sudah lama banyak bertanya. Apakah tidak akan terjadi sesuatu pada kinerja otak jika otak diceraikan dari tubuh kita seluruhnya? Bukankah mind dan body adalah dua hal yang saling mempengaruhi dan tidak bisa diceraikan? Tanpa pasokan oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh aliran darah ke sel-sel otak, bukankah sel-sel otak sendiri akhirnya akan mati?
Fenomena real psikosomatis juga menunjukkan mind dan body itu tidak terceraikan: apa yang terjadi pada mind berpengaruh pada body, dan juga sebaliknya.
Begitu juga, jika semua data dan info kognitif dalam seluruh neuron dalam otak kita sudah diubah jadi data dan info digital algoritmis, apakah kreativitas masih akan muncul dari data dan info digital jatidiri kita ini? Bukankah kreativitas yang muncul dari dalam otak kita, hanya bisa muncul kalau otak kita hidup, berenergi, bervitalitas, tidak tercerai dari tubuh yang hidup dan mengalami banyak pengalaman?
Apakah data dan info digital kognitif kita, yang sudah dikuantifikasi dan dibuat fixed oleh metode BRE, sulit atau bahkan mustahil akan bisa kreatif, dari dirinya sendiri?
Hanya dengan penambahan atau kombinasi kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang bekerja secara mekanistik saja (seperti kerja PC kita) pada avatar (atau surrogate) kita, data dan info digital algoritmis otak kita mungkin akan masih bisa kreatif. Apakah kita cukup percaya saja bahwa "data digital algoritmis" pada dirinya sendiri adalah entitas yang hidup, dus bisa kreatif dari dirinya sendiri, seperti diperlihatkan PC kita saat kita mengoperasikannya setiap hari?
Masih ada banyak persoalan lagi menyangkut metode BRE ini. Nah, mengingat semua persoalan ini, saya berharap, metode mengonversi seluruh tubuh kita, termasuk otak kita, menjadi partikel-partikel cahaya yang sadar dan mandiri, akan bisa mengatasi banyak persoalan ini.
Ini bukan hantu tante kita yang baru meninggal, tapi ilustrasi tubuh hologram 3D
Dan jangan dilupakan, masih ada satu teknologi lagi yang sudah dikonsep dan diperinci, yakni teknologi membangun tubuh hologram, yakni tubuh laser 3D, yang ke dalam mekanik kecerdasannya data digital algoritmis jatidiri kita bisa ditransfer dan disatupadukan atau dilebur dengan kecerdasan buatan.
Tubuh hologram 3D ini, sebagai avatar kita, akan juga membuat kita hidup abadi kendatipun raga kita sudah lenyap, berubah menjadi berbagai senyawa kimia organik kembali, menyatu dengan Bumi atau mengambil bentuk-bentuk zat hidup lain.
Jika teknologi ini sudah bisa dibangun dan diterapkan, kita akan berubah menjadi organisme cahaya laser yang cerdas, dan kekal. Fantastis, terdengarnya. Ya, tapi itu hanya pada masa kini.
Setengah atau satu abad yang akan datang, tubuh hologram saya kira akan merupakan bagian dari pengalaman rutin sehari-hari kita dalam bermasyarakat. Tidak lagi fantastis. Saat diterapkan, teknologi ini memadukan sinar laser, interferensi, diffraksi, intensitas cahaya, untuk menghasilkan tubuh holografis tiga dimensi./2/
Saya berpikir, atau melamun, alien cerdas di angkasa luar dalam jagat raya kita ataupun dalam jagat-jagat raya lain yang paralel, dengan nanoteknologi mereka yang sudah sangat maju, yang diterapkan bersamaan dengan teknologi BRE dan teknologi tubuh hologram, sudah dapat mengubah tubuh ragawi mereka ke dalam bentuk-bentuk dan wujud-wujud apapun yang mereka kehendaki, termasuk ke dalam wujud cahaya, light, sehingga mereka bertransformasi menjadi organisme cahaya.
Jika bintang Matahari manapun di dalam jagat raya bisa ada secara mandiri sebagai energi besar pada dirinya sendiri, tentu juga bisa ada suatu organisme cahaya pada dirinya sendiri, mandiri, tidak bergantung pada hal lain apapun, sebagai bintang Matahari kecil yang memiliki kesadaran dan kecerdasan. Di dalam diri Matahari kecil ini berlangsung aksi-reaksi fisika, kimia dan biologis yang berbeda dari yang berlangsung dalam bintang-bintang Matahari besar.
Sebagai cahaya, mereka, para alien itu, dapat dengan bebas dan sangat cepat bergerak di seluruh ruang jagat raya, dan dalam waktu sangat pendek bisa pindah-pindah tempat, masuk ke jagat-jagat raya paralel.
Apalagi jika mereka memanfaatkan apa yang kini dinamakan “worm holes”, lubang-lubang serupa terowongan yang menghubungkan jagat-jagat raya yang paralel, yang tercipta karena tiga dimensi ruang-waktu menceruk (warped) atau dilipat. Dulu, jalan pintas lewat “worm holes” ini dinamakan “lorong waktu”, “time tunnel”, dan perjalanannya disebut “time travel”.
Sebagai cahaya, sangat mungkin alien cerdas sebenarnya sudah berada di antara kita, cuma kita tidak bisa mengenali mereka.
Mengingat bahwa cahaya adalah energi, bisa terjadi (ini terdengar fantastis!) alien-alien juga bisa masuk ke dalam sistem mental kita, untuk menambah dan memperkuat berlipatganda energi mental kita, alhasil kita berubah menjadi insan-insan yang luar biasa cerdas atau luar biasa berprestasi dalam banyak bidang kehidupan, jauh melebihi prestasi insan-insan kebanyakan. Dalam hal ini, harap dicatat, saya tidak berpikir tentang fenomena “kerasukan setan” yang diklaim banyak terjadi pada orang-orang yang sedang mengalami masalah mental yang berat. Ini dua hal yang berbeda.
Mungkin sekali organisme cahaya dari angkasa luar berada di sekitar kita!
Nah, kita tinggal menunggu saja dengan sabar tibanya era penerapan berbagai teknologi yang sudah disebut di atas, yang sudah sangat maju, dalam peradaban kita, Homo sapiens. Saat era ini tiba, kita akan dapat berubah menjadi makhluk-makhluk cahaya. Kapan era ini tiba? Bergantung pada percepatan perkembangan sains dan teknologi modern kita.
Dalam beberapa teks agama, organisme cahaya ini diberi nama malaikat. Kita akan menjadi malaikat tetapi tidak lewat agama, melainkan lewat nanoteknologi, teknologi BRE, dan teknologi tubuh hologram.
Jangan-jangan, sosok malaikat dalam teks-teks keagamaan sebetulnya adalah organisme cahaya yang datang dari galaksi-galaksi yang jauh!
Adakah implikasinya buat spiritualitas? Tentu ada.
Perkembangan pesat dalam sains dan teknologi modern menimbulkan banyak pertanyaan serius tentang siapa atau apa yang oleh moyang kita dulu dinamakan Tuhan, malaikat, atau anak-anak Allah.
Adakah yang bisa membantah lewat sains, bahwa adalah mungkin yang sebetulnya mendatangi mereka dari langit, yang lalu mereka sembah, adalah organisme-organisme cahaya yang dihasilkan nanoteknologi, teknologi BRE dan teknologi tubuh hologram yang sudah sangat maju, dari peradaban-peradabaan cerdas di angkasa luar? Tentu tak bisa dibantah, tapi juga tak bisa dibenarkan.
Organisme-organisme cahaya ini sudah jauh melampaui kodrat kita sebagai manusia; mereka superhuman atau higher intelligent beings.
Betulkah bahwa yang menjumpai dan dijumpai moyang kita dulu adalah superhumans atau transhumans?
Saya juga anda tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan pasti. Penuh kebimbangan. Penuh ketakjuban. Penuh rasa heran. Hanya terdiam, bisu sekaligus kagum terhadap alam. Empty but full. Full but empty. Let it be!
Akhirnya, saya merasa bingung dengan semua yang ada, termasuk dengan diri saya sendiri. Pertanyaan yang timbul bukan makin sedikit, tapi makin banyak sementara jawaban-jawaban datang sangat lambat. Teka-teki bertambah lagi. Permainan petak-umpet diperpanjang tanpa batas akhir.
Catatan-catatan
/1/ Ian Sample, “Matter will be created from light within a year, claim scientists”, The Guardian, 18 May 2014, http://www.theguardian.com/science/2014/may/18/matter-light-photons-electrons-positrons?CMP=twt_gu.
/2/ Pada masa kini, lembaga yang diberi nama 2045 Strategic Social Initiative, yang didirikan Dmitry Itskov tahun 2011, fokus pada usaha-usaha untuk merealisasi teknologi tubuh hologram 3D. Situs webnya http://2045.com/news/31799.html.
Baca juga
Apakah aliens cerdas ada di angkasa luar?