Tuesday, September 30, 2014

Politik balas dendam oligarkhi merah-putih

RUU Pilkada telah disahkan DPR sebagai UU, Jumat, 26 September 2014. Tapi keputusan mengesahkan RUU ini tidak sejalan dengan kehendak rakyat. Artinya: UU ini tidak sah.

Di Senayan, yang bercokol sebetulnya bukan wakil-wakil rakyat, tapi oligarkhi yang antidemokrasi, oligarkhi yang memakai nama koalisi m-p. Mereka tidak akan pernah mau mendengarkan suara rakyat langsung. Yang mereka mau dengarkan dan jalankan hanya isi pikiran dan angan-angan mereka sendiri. Peduli amat dengan suara rakyat. Itu isi hati dan keyakinan mereka, kendatipun mereka sesumbar menyatakan diri para pendukung dan penjaga demokrasi, penjaga dan pendukung ekonomi rakyat, pendukung dan penjaga kedaulatan NKRI. Ketimbang mau menegakkan demokrasi, mereka sudah kelihatan terang benderang, mau mengembalikan NKRI ke sistem pemerintahan represif era Soeharto, bahkan lebih buruk dari itu, mereka ujung-ujungnya khilaf mau menjadikan negara RI sebuah khilafah. 

"Tirani seorang pemimpin sebuah oligarkhi tidaklah sangat berbahaya bagi kesejahteraan masyarakat. Yang jauh lebih berbahaya adalah jika seorang warganegara bersikap apatis terhadap demokrasi."  (Montesquieu)


Jadi, UU Pilkada lewat DPRD adalah produk hukum oligarkhi koalisi m-p, bukan produk hukum wakil-wakil rakyat dalam lembaga legislatif negara. Tidak bisa tidak, UU ini harus kita gugat.

Tentu ada juga yang senang dengan Pilkada lewat DPRD, dengan alasan praktek ini juga praktek demokrasi, maksudnya: demokrasi lewat wakil-wakil rakyat, bukan demokrasi langsung. Tapi saya punya argumentasi lain, berikut ini.

Demokrasi di NKRI sudah sangat nyata dalam pemilihan Presiden dan wakil presiden langsung oleh rakyat. Ini sudah dijalankan di NKRI beberapa kali lewat Pemilu (sejak Pilpres 2004), juga demikian halnya dengan Pilkada. Dus, dengan penyesuaian yang perlu, Pilkada demokratis adalah Pilkada oleh rakyat langsung. Lewat Pilkada langsung inilah Indonesia telah memperoleh mutiara-mutiara berharga dalam diri Pak Jokowi, Pak Basuki (Ahok), dan Pak Ridwan Kamil, dlsb. Kenapa harus dibuat berbelit lagi hanya untuk membela rasa haus kekuasaan seseorang yang tidak akan pernah terpuaskan? 

Dalam NKRI, kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di tangan oligarkhi. NKRI harus terus dibersihkan dari praktek KKN yang terbukti telah mempermiskin negara dan rakyat. Jadi, kenapa harus kita buka pintu lagi bagi maraknya KKN dalam Pilkada lewat DPRD? Ada yang berpendapat (bahkan lewat sebuah disertasi doktor) bahwa Pilkada langsung oleh rakyat, hanya menyuburkan praktek KKN di negeri ini. Hemat saya, ini adalah logika yang sungsang terang-benderang, sebab bagaimana mungkin memangkas matarantai birokrasi pemerintahan lewat Pilkada langsung akan menyuburkan KKN? 

Tentu saja bukan hal yang mengherankan jika para pendukung Pilkada lewat DPRD adalah para pendukung fanatik Prabowo dan oligarkhi koalisi merah-putihnya. Dulu, saat Pilpres 2014, mereka adalah para pendukung fanatik Prabowo cs, yang sangat percaya diri bahwa Prabowo akan menang Pilpres 2014 lalu jadi Presiden RI. Kendatipun fakta-fakta real di lapangan berbicara lain, mereka masih berkhayal bahwa Prabowo pasti menang Pilpres, dan bahkan, kata mereka dengan sangat yakin, MK juga akan memenangkan gugatan Prabowo terhadap hasil Pemilu 2014 yang dijalankan KPU. Semua khayalan mereka faktanya kandas. Khayalan mereka NOL BESAR. Kosong.

Nah, jika mereka sekarang berkhayal lagi bahwa Pilkada lewat DPRD adalah Pilkada yang demokratis dan akan terbebas dari KKN dan biaya yang tinggi, saya yakin, khayalan mereka ini juga NOL BESAR. Kosong.

UU Pilkada yang menolak demokrasi langsung itu hemat saya pada dasarnya mengabaikan dan merampas hak-hak konstitusional rakyat NKRI untuk memilih sendiri pemimpin mereka dan dipilih untuk menjadi pemimpin lewat suatu mekanisme demokrasi yang berpijak pada kedaulatan rakyat. Jika dalam praktek masih ada sejumlah kekurangan dalam mekanisme demokrasi ini, ya marilah mekanisme ini kita perbaiki bersama, bukan menghilangkan demokrasi pada dirinya sendiri.

Politik oligarkhi ini adalah politik kemarahan dan balas dendam terhadap Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla yang telah memenangkan Pilipres 2014. Saya sendiri heran, kenapa mereka dendam dan marah, sementara Pak Jokowi dan Pak JK dan koalisi politik mereka adalah orang-orang yang santun, baik hati dan bersahabat, bukan hanya dalam kehidupan privat mereka tapi juga dalam perilaku politik mereka. Semua perilaku politik oligarkhi m-p ini berakar pada dendam dan kemarahan ini. Mereka tidak akan langgeng. Politics of hate and simmering grudge will eventually attack back to the politicians carrying it out, and finally will deadly destroy them. Politics of love and friendship gives life to the nation as a whole.


Dus, sudah sepatutnya, rakyat berjuang gigih untuk menolak dan membatalkan UU ini. Rakyat saya kira akan bergerak lagi, ramai-ramai, kali ini untuk melawan oligarkhi yang menamakan diri koalisi m-p.

Anda mau tahu apa kata Pak Jokowi tentang koalisi m-p? Katanya, mereka cuma kerikil dalam masa pemerintahannya kelak. Beliau sangat percaya diri, dan sudah pasti bukan sekadar berwacana, karena beliau percaya rakyat dalam jumlah sangat besar ada bersamanya dan beliau ada bersama mereka. Juga kita tidak boleh lupa, bahwa apapun nanti isi sejumlah RUU baru yang akan diajukan oligarkhi m-p yang antidemokrasi, selama Presiden Jokowi nanti tetap berkomitmen mempertahankan demokrasi, semua RUU itu tidak akan pernah bisa disahkan jika Pak Jokowi tidak menyetujuinya. Selain itu, PDIP yang siap menerima apapun keputusan MK nanti terhadap gugatan hukum terhadap UU Pilkada yang baru disahkan ini, dengan percaya diri juga telah menyatakan bahwa mereka sebagai partai pemenang Pemilu sudah mempunyai sejumlah jurus ampuh untuk tetap memenangkan Pilkada lewat DPRD. Para pemimpin kita kelihatan sekali tetap optimistik terhadap masa depan demokrasi di NKRI. Bagaimana dengan anda sebagai rakyat?