Thursday, March 11, 2021

Problem Teodise: Tuhan Di Manakah Engkau? Mengapa Engkau Membungkam?

Yesus dan langit yang berdiam diri...


Baca juga PROBLEM DOGMA TRITUNGGAL

N.B. Diedit 15 Mei 2022


Pada kesempatan ini, saya mau membebeberkan apa itu teodise dan problem-problemnya serta delapan jalan keluar yang dapat ditemukan, sejauh sudah saya eksplorasi. 

Sudah ada sekian tulisan saya lainnya tentang teodise. Salah satu di antaranya berjudul Penderitaan Adalah Bukti Tidak Adanya Tuhan. Betulkah?, yang mengupas habis Trilema Epikurus. Jangan dilewati, karena ulasannya luas dan mendalam.

Teodise berasal dari kata Inggris theodicy, yang dibentuk dari 2 kata Yunani theos (Allah) dan dikē (keadilan). Arti harfiahnya "keadilan Allah".

Jadi, problem teodise adalah problem tentang "keadilan Allah". Problem ini diformulasikan dengan pertanyaan: Mengapa kekasih-kekasih Allah, orang-orang yang saleh dan hidup benar, menderita dan harus menanggung azab, dan Allah tampak berdiam diri, tidak turun tangan untuk menolong dan membebaskan mereka dari penderitaan? Di mana keadilan Allah? 

Tujuh premis

Teodise menjadi problem lantaran sedikitnya tujuh premis yang mendasarinya. 

1) Allah mahakasih. 2) Allah mahabaik. 3) Allah mahaadil. 4) Allah mahahadir. 5) Allah mahatahu. 6) Allah mahasetia. 7) Allah mahakuasa.

Jadinya, setiap orang yang saleh, beriman, dekat ke Tuhan, hamba Tuhan, anak Tuhan, sahabat Tuhan, mustinya tidak akan dibiarkan atau ditinggalkan Allah, tidak akan mengalami kekejaman, kejahatan, azab, ketidakadilan, kemalangan, keburukan, bencana, kesendirian, ketidakberdayaan, keterlantaran, dst. Mengapa mustinya? 

Karena mereka yakin bahwa mereka akan selalu dijaga, dilindungi, dibela, ditolong, diketahui, dilepaskan oleh Allah dari segala bentuk azab, dan Allah sanggup dan mau melakukan itu semua karena 7 premis di atas.

Tapi, kenyataan berbicara lain. Sangat banyak orang saleh hidup penuh azab, dan Allah berdiam diri saja, membisu, tidak aktif, bersembunyi, tidak hadir, tidak tahu, tidak nampak adil, tidak setia.

Jadi, mana sifat mahakasih, mahaadil, mahabaik, mahahadir, mahatahu, mahasetia dan mahakuasa Allah?

Itulah problem teodise, problem keadilan (dikē) Allah. Harap diingat bahwa problem teodise muncul hanya pada orang yang menganut kepercayaan monoteistik. 

Kekristenan tentu memegang monoteisme, tetapi monoteisme yang sudah "dimodifikasi" ("modified monotheism") dengan menerima adanya pluralitas atau kemajemukan dalam hakikat Allah yang esa. Diversity in unity, atau plurality in oneness.

Alhasil, muncullah doktrin Tritunggal: Allah yang esa memiliki diversitas dalam hakikat diri-Nya, sehingga Allah yang esa ini dapat mengambil tiga cara berada dalam jagat raya dan dalam komunikasi-Nya dengan manusia. Yakni, sebagai sang Bapa, sang Putera, dan sang Roh Kudus atau Roh Kebenaran atau Roh Penghibur (Yunani: ho paraklētos).

Tapi, sebuah pertanyaan muncul: Jika Allah yang esa itu Allah yang mahatakterbatas, mengapakah cara berada atau cara berkomunikasi-Nya harus manusia batasi cuma tiga cara? Bukankah bisa juga sepuluh cara berada, bahkan dapat berada dalam cara-cara yang tak terhitung jumlahnya, infinite modes of being

Itu suatu problem serius, tapi bukan problem teodise, melainkan problem dogma Tritunggal Kristen ortodoks. Biarkan saja. Karena setiap dogma memang memiliki problem masing-masing. Ya, saya sudah tulis, bacalah PROBLEM DOGMA TRITUNGGAL.


Premis Allah mahakaya

Nah, premis teodise bisa ditambah terus tanpa batas, sebab meyakini Tuhan itu tak terbatas berarti juga meyakini sifat "maha" Tuhan yang tanpa batas. Tuhan yang mahasegalanya.

Tapi, tak ada seorang pun yang bisa menemukan tanpa batas, infinite, limitless, segala sifat Tuhan. Bentangan langit tanpa batas, siapa yang bisa menulis habis semua sifat Tuhan di situ? Pakai tinta apa? Berapa panjang pena yang dibutuhkan?

Di kalangan pemuja teologi sukses atau teologi anak Raja atau teologi kemakmuran, ada satu sifat Tuhan yang paling utama buat mereka. Yakni, Tuhan itu mahakaya. Ini premis lainnya bagi teodise, yang telah disalahgunakan oleh mereka yang pada dasarnya tamak dan selalu haus harta.

Bertolak dari premis ini, para penganut teologi kemakmuran dan keberlimpahan harta menyatakan bahwa barangsiapa yang percaya dan menyembah Tuhan sang Raja yang mahakaya, maka sebagai anak-anak Tuhan sang Raja, mereka akan pasti kaya, tak akan pernah miskin, dan hidup mereka akan selalu diberkati Tuhan sehingga akan selalu bertambah sukses material dan akan makin kaya raya.

Tuhan akan malu jika anak-anak-Nya hidup miskin. Itu kata mereka yang sebetulnya tidak tahu malu karena sengaja menutup telinga dan mata mereka terhadap ajaran Yesus yang sebenarnya.

Timbullah problem teodise ketika orang yang mengikut Tuhan sang Raja yang mahakaya, ternyata hidup miskin, atau gagal bisnis, bangkrut, lalu kehilangan kekayaan, selanjutnya hidup melarat dan banyak persoalan berat melanda.

Atau, supaya terbukti Tuhan mereka memberi mereka kekayaan besar, mereka pun hidup tanpa etika lagi, korupsi besar-besaran, menipu dan menilep, dan menghancurkan bisnis semua kompetitor mereka. Akhirnya korupsi mereka ketahuan, diproses hukum, dan mereka bermuara di sel penjara.

Mereka pun meraung-raung, marah besar ke Tuhan. Mengapa aku jatuh miskin? Mengapa Engkau Tuhan yang menjadi Rajaku dan aku anak-Mu, tidak melindungi aku ketika aku korupsi? Mengapa Engkau meninggalkan aku dalam kemelaratan dan kini aku dipenjara?

Sudah bisnis bangkrut, juga ditimpa krisis berat psikoreligius. Hancur berganda-ganda. Menjadi debu selagi masih hidup.

Padahal, kita semua tahu, Yesus meminta para murid-Nya atau orang yang mau ikut Dia untuk menjual harta mereka lalu mengikut Yesus, dan membagikan uang mereka ke orang miskin (Markus 10:21 dan par). Apakah ada orang yang mampu memenuhi permintaan Yesus ini? Ada, cuma langka.

Ada berapa banyakkah penganut teologi kemakmuran, yang meminta bukan Roh Allah, Roh Kebenaran, tetapi kekayaan material? Wah, ada sangat banyak, banyak banget, dan bagian terbesar mereka adalah para rohaniwan. Berapa persisnya? Saya tidak tahu. Hitung sendiri saja.

Tapi, saya juga bisa memakai premis Allah mahakaya dengan positif untuk menjungkalkan teologi keberlimpahan harta atau teologi sukses orang-orang rakus. Really? Absolutely, yes!

Jika Allah mahakaya, maka Allah akan sanggup memakmurkan semua penduduk dunia (sekarang hampir 8 milyar orang) di segala tempat dan di segala waktu. Semua? Ya, semua, tidak ada yang diistimewakan. Tidak pilih bulu.

Allah tidak akan pernah kehabisan sumber-sumber daya dunia, termasuk sumber daya ekonomi dan keuangan, untuk digunakan-Nya bagi kemakmuran semua orang di segala negara dan kawasan. Are you sure? Yes, I am very sure. Bagaimana caranya?

Ya, dengan menggerakkan orang-orang terkaya dan orang-orang kaya dunia, dan negara-negara dan bangsa-bangsa terkaya dunia, untuk menata ulang sistem-sistem ekonomi dunia, pendistribusian kekayaan dunia, dan pemanfaatan segala sumber daya alam dan sumber daya manusia, agar semuanya ini dijalankan dengan adil, setara, merata, empatetis dan kooperatif bagi seluruh populasi dunia.   

Nah, yang pertama-tama perlu Tuhan gerakkan adalah para hamba Tuhan yang menghayati teologi kemakmuran dan, karenanya, haus harta terus-menerus. 

Ya, Allah sedang menggerakkan mereka untuk mempraktekkan dan mewujudkan dalam tindakan mereka bukan teologi kemakmuran individual, melainkan teologi kemakmuran bersama, teologi kemakmuran global, teologi kemakmuran setiap individu sedunia. Apakah bisa? Ya, bisa, sebab Allah mahakaya, dan Allah mau. 

Masalahnya bukan pada Allah, tapi pada manusia-manusia yang diberi Allah power dan kecerdasan dan nurani serta berbagai sumber daya untuk mengubah dunia yang sekarang ini sedang timpang berat, mulai dari para rohaniwan, pengusaha-pengusaha besar dunia hingga ke para pemimpin negara-negara kaya dunia. 

Tapi, maukah mereka? That's the problem, the human problem. Not God's problem.

Selanjutnya, sebuah pertanyaan harus dimunculkan: Bagaimana keluar dari problem teodise?

Delapan jalan keluar

Ada kurang lebih delapan ide yang telah dimunculkan untuk mengatasi problem teodise. Mari kita tengok satu per satu.

Dualisme kosmik

Pertama, semua keburukan dan azab yang dialami orang saleh, bukan ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi oleh "kuasa anti-Tuhan"  yang diberi nama Setan atau Iblis dan nama-nama lain. Ini teologi dualisme kosmik: ada dua kekuatan dalam jagat raya ini, yang berlawanan satu sama lain.

Ya, faktanya begitu, selalu ada antitesis terhadap sebuah tesis. Dalam ilmu fisika, ada "matter", juga ada "antimatter". Dalam filsafat Tiongkok, ada Yin, ya ada Yang. Dalam kepercayaan Yahudi, ada dua roh dalam pikiran manusia yang bertempur satu sama lain terus-menerus, "roh kebaikan" versus "roh kejahatan". Ada utara, berarti ada selatan. Langit suatu saat cerah, terlihat putih dan biru segar; di saat lain mendung dan menghitam.

Tetapi ide jalan keluar di atas membawa orang ke problem teodise yang sama: Mengapa Tuhan kalah kuat dari Setan? Bukankah Tuhan mahakuasa, mahakuat? Mengapa Tuhan membiarkan Setan mendera orang saleh seperti yang dikisahkan dalam kitab Ayub dalam Perjanjian Lama? Mengapa Tuhan begitu tega? Di mana hati-Mu Tuhan? Mengapa harus ada Setan dalam kehidupan manusia? Mengapa Setan bisa menjadi kolaborator Tuhan dengan Tuhan membiarkan Setan menghantam orang saleh? Membiarkan, berarti berkolaborasi, memihak. Tak ada netralitas murni.

Tentu, Setan yang tidak kelihatan, tidak akan terlihat mendera dan menindas manusia kekasih-kekasih Allah. Tapi, Setan bisa real terlihat ada lewat pikiran-pikiran, kata-kata dan perbuatan-perbuatan orang-orang durjana, yang kita namakan "orang-orang yang kesetanan". Lewat orang-orang inilah si Setan mendera dan mendatangkan azab ke diri kekasih-kekasih Tuhan. Di dalam dan dengan kuasa dan kekudusan Tuhan, setan-setan yang mewujud dalam diri manusia-manusia durjana pasti dapat digempur dan dikalahkan, jika anda hidup kudus di jalan Tuhan sebagai para kekasih Tuhan. Ini sungguh-sungguh suatu pertempuran spiritual.

Orang-orang yang memiliki pengalaman iman yang otentik dengan Yesus, boleh yakin bahwa bersama Yesus, sang Putera Allah, mereka akan memenangkan pertempuran spiritual itu, sebab Yesus memiliki kuasa Allah (Yunani: ho daktulos tou Theou; harfiah: jari Allah) untuk mengalahkan setan-setan (Yunani: ta daimonia), dan Iblis pun sudah dikalahkan-Nya (Lukas 11:20; 4:1-13).

Jika diperluas, kedurjanaan setan juga tampak dalam berbagai kesengsaraan, azab dan kematian yang timbul dari berbagai kejadian atau bencana alam yang dahsyat dan mengerikan. 

Dengan satu catatan serius: segala hal buruk dan para pelakunya memang kerap di-"demonisasi", dijadikan atau dilabelkan "Setan", meski bencana alam atau peristiwa alam yang menimbulkan azab pada manusia terjadi karena hukum-hukum alam ("natural laws") yang tidak memihak, entah ke Tuhan atau ke Setan, ke orang baik atau ke orang durjana, ke bayi-bayi atau ke orang dewasa dan orang uzur.

Kita tahu bahwa kita tidak bisa menuntut pertanggungjawaban yang real dari Tuhan jika azab dan kesusahan kita asalkan pada Tuhan (dus, premis Allah mahakasih kita batalkan). Hal yang sama juga terjadi, jika semua kesusahan dan bencana serta azab manusia kita asalkan pada Setan. 

Jika segala keburukan dan penderitaan yang dialami manusia diasalkan pada setan-setan dalam dunia yang tak kasat mata, dunia adikodrati, maka iptek, pengetahuan dan kearifan, dan horison pengalaman dan pembelajaran manusia tidak akan berkembang maju tanpa batas.

Allah mendidik

Kedua, ide jalan keluar lainnya adalah bahwa azab adalah cara Tuhan untuk mendidik dan mendewasakan iman dan kepribadian orang-orang saleh. 

Meminjam kata-kata Ayub, "... seandainya Dia menguji aku, aku akan timbul seperti emas" (Ayub 23:10b). Keren memang. 

Tapi pernyataan Ayub yang sedang tertimpa azab itu adalah bagian dari ucapan-ucapan pemberontakannya kepada Tuhan. Katanya, "Sekarang ini keluh kesahku menjadi pemberontakan" karena "tangan Tuhan menekan aku, sehingga aku mengaduh." (23:2). Dan Ayub tidak bisa melihat kehadiran Allah lagi, di utara, di selatan, di barat dan di timur (23:8-10).

Untuk tujuan mendidik, Tuhan itu ibarat seorang ayah yang menyabet pantat anaknya yang nakal dengan sebilah rotan panjang. Supaya si anak belajar bahwa dia bersalah, lalu kapok karena kesakitan terkena pukulan rotan, dan selanjutnya tumbuh menjadi anak yang makin baik.

Begitu juga, jika Tuhan Allah bermaksud mendidik wakil-wakil umat manusia dengan menghukum mereka, terlalu berat hukuman-hukuman yang dijatuhkan Allah kepada Adam dan Hawa (Kejadian 3:16-19), padahal sebetulnya Hawa, menurut kisah asal-usul yang disusun pada abad ke-10 SM oleh mazhab Yahwis, mengikuti dorongan hatinya yang baik untuk dapat mengetahui hal yang jahat dan hal yang baik dengan memetik, mencoba dan memakan "buah pohon yang ada di tengah-tengah" taman Eden. 

Yang menjadi persoalan serius dalam kisah teologis etiologis Taman Eden dalam kitab Kejadian bukanlah tindakan Hawa yang berani itu, tetapi mengapa Allah menutup jalan dan pintu yang dapat membawa Adam dan Hawa ke dunia pengetahuan, mula-mula pengetahuan moral yang kemudian akan berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang penuh dengan nilai-nilai kehidupan. 

Mengapa Allah yang mahatahu menutup pintu pengetahuan bagi manusia, sepertinya Allah membekap pengetahuan untuk diri-Nya sendiri? Padahal Adam, dalam tuturan yang lain dalam bagian awal kitab Kejadian yang disusun mazhab Priester di masa pembuangan bangsa Israel di Babilonia abad ke-6 SM, diciptakan sebagai "gambar dan rupa" Allah, yang diberi status dan tugas rajani untuk menguasai alam (menurut teologi dominasi), atau untuk menatalayani Bumi dan segenap isinya (menurut teologi penatalayanan).

Jelas, problem teodise tetap tak terselesaikan. Mengapa Tuhan yang mahakasih dan mahatahu tidak memakai cara yang edukatif, persuasif dan lembut, lewat sapaan halus atau lewat dialog yang akrab, atau lewat pelukan hangat, untuk mematangkan jiwa dan pikiran dan kepribadian anak-anak-Nya? 

Jika cara-cara itu yang dipakai, maka betul adanya bahwa persoalan dan kesulitan bahkan penderitaan akan dapat mematangkan jiwa dan kepribadian manusia. Semua pengalaman dan segala kejadian dapat menjadi guru-guru dan pelajaran-pelajaran bagi kita semua sejauh kita masih dapat memikul dan menjalani semuanya, tahap demi tahap.

Masalah lainnya juga adalah bahwa daya tahan raga dan mental setiap orang berbeda-beda ketika mereka sedang menanggung kesukaran dan azab. 

Ada yang bisa tahan hingga azab reda, dengan meninggalkan luka batin atau luka jiwa yang ringan. Ada yang langsung patah semangat dan kehilangan kekuatan, lalu putus asa, meski kesengsaraan yang sedang dipikul ringan saja, atau sedang-sedang saja. 

Jadi, memang ada persoalan fisik dan psikis berat kalau orang mau dimatangkan dan didewasakan lewat kesukaran dan penderitaan, apalagi lewat azab yang didatangkan Tuhan bertubi-tubi.

Kenapa Tuhan harus memakai cara-cara yang keras dan mendera bertubi-tubi kekasih-kekasih-Nya? Cara-cara yang keras dan keji, kita tahu, kerap berakhir dengan tindakan bunuh diri karena orang yang didera Tuhan sudah tidak tahan lagi, di puncak krisis mental. Ketimbang makin matang dalam kepribadian, mereka malah bunuh diri.

Ilmu pendidikan modern melarang edukasi para pelajar yang dilakukan lewat cara-cara kekerasan dalam berbagai bentuk, kekerasan ucapan maupun kekerasan tindakan.

Memukul dengan rotan terus-menerus hanya akan merusak jiwa si anak korban KDRT. Atau membuat si anak makin nakal dan makin melawan si ayah, mula-mula dalam hati, dan akhirnya terang-terangan dengan kekuatan fisik si anak. Ayah dan anak akhirnya bisa gebuk-gebukan.

Deraan Tuhan lewat penyakit berat, misalnya, yang dimaksudkan Tuhan untuk menghasilkan kebaikan pada diri orang saleh, faktanya, sering berakhir dengan kematian mengenaskan mereka. Dokter-dokter tak berhasil menolong mereka.

Nah, bukankah dokter-dokter, lewat ilmu kedokteran dan berbagai instrumen medik, berjuang semaksimal mungkin untuk menyembuhkan para pasien, yang saleh atau yang tidak saleh? Loh, mengapa Tuhan malah justru menimpakan penyakit berat kepada para penyembah-Nya yang saleh?

Bukankah, jika begitu, kekejaman ada pada Tuhan sendiri, meski Tuhan bermaksud mengedukasi? Bukankah Tuhan dibuat menjustifikasi segala cara untuk mencapai tujuan edukasi-Nya? 

Tuhan, dus, mempraktekkan pepatah "the end justifies the means", padahal seharusnya Tuhan yang mahaadil dan mahabijaksana akan bertindak adil dan arif, bahkan dalam mendidik manusia. Ini sebuah ironi teologis.

Supaya nama Allah dimuliakan

Ketiga, jalan keluar selanjutnya berupa ide bahwa azab dialami orang saleh karena lewat azab mereka, Tuhan mau nama-Nya dimuliakan dan diri-Nya dihormati dan ditakuti.

Jadi, menurut ide ini, si saleh yang sedang ditimpa persoalan dan penderitaan berat seharusnya bersyukur karena mereka dipakai Tuhan dengan sengaja untuk memuliakan dan menghormati Tuhan.

Tetapi tetap muncul problem teodise. Bukankah semakin sewenang-wenang tindakan seorang penguasa, semakin dia dibenci dan dijauhi rakyatnya? Jadi, Tuhan yang suka menimpakan azab sesuai kehendak Tuhan sendiri, tidak akan membuat nama-Nya dimuliakan. Sebaliknya, Tuhan semacam ini akan makin dibenci, lalu akan ditinggalkan.

Sebaliknya, semakin seorang penguasa memperhatikan dan mempedulikan rakyatnya, dan membangun kesejahteraan mereka, semakin si penguasa ini dihormati, disegani, ditaati, disanjung dan dimashyurkan. Begitu juga Tuhan seharusnya.

Jika Tuhan ingin dihormati dan disanjung lewat cara menggertak, mendera, menakut-nakuti, dan menimpakan kesengsaraan dan sakit-penyakit kepada umat-Nya, bukankah Tuhan menjadi Tuhan yang otokratis, otoriter dan tiranis? Jadi, di mana kasih Tuhan? Di mana kebaikan Tuhan? Di mana keagungan Tuhan? Di mana keadilan Tuhan, bahkan terhadap diri Tuhan sendiri? Problem teodise tetap tak terpecahkan.

Patut dijawab, dengan cara bagaimana penderitaan dan azab yang menimpa kekasih-kekasih Tuhan dapat mempermuliakan Tuhan, dapat menyingkapkan karya-karya Tuhan yang agung?

Biasanya dijawab, ya... lewat mukjizat-mukjizat yang dibuat Tuhan untuk membebaskan orang-orang saleh dari penderitaan dan kesusahan berat mereka.

Lazimnya sosok Ayub dalam kitab Ayub dipakai sebagai sebuah contoh tentang problem teodise yang terpecahkan lewat tindakan "pemulihan" (Ayub 42:10) yang Allah lakukan terhadap Ayub yang saleh dan hidup benar. Sebelumnya, semua azab Ayub ditimpakan Iblis kepadanya dengan izin Tuhan.

Lewat tindakan restorasi Allah, semua penyakit berat Ayub diangkat. Semua harta miliknya yang telah lenyap dikembalikan Allah dua kali lipat dari sebelumnya. Tujuh putera dan tiga puteri Ayub yang telah mati, diganti dengan tujuh putera dan tiga puteri juga. Saya tak tahu, apa cara yang dipakai Allah, dalam kisah Ayub, untuk bisa seketika menggantikan sepuluh anaknya yang telah mati dengan sepuluh anak lagi. Rupanya, bagi si penulis kisah (atau oleh seorang editor belakangan) hal itu tidak penting sama sekali untuk dikisahkan.

Kisah dalam Injil Yohanes 9 juga umum dipakai untuk mendukung hal yang sama, bahwa lewat mukjizat-Nya, orang saleh disembuhkan dari penyakit mereka. Alhasil, nama Tuhan dipuji dan kemuliaan-Nya dinyatakan. Dus, problem teodise terpecahkan. Apa ya?

Kisah dalam Yohanes 9 itu bertujuan untuk membuktikan kebenaran ucapan figuratif Yesus bahwa Dialah "terang dunia" (Yunani: to phōs tou kosmou) (ayat 5). Caranya? Ya dengan Yesus membuat suatu "tanda" (Yunani: sēmeion. TB LAI memakai kata "mukjizat") mencelikkan mata seorang pengemis dewasa yang dilahirkan buta. Kita tak diberitahu, apakah si pengemis buta ini seorang yang saleh. Tampaknya tidak. 

Ketika bertemu si pengemis buta ini, murid-murid Yesus bertanya kepada-Nya, "Rabbi, siapakah yang telah berbuat dosa, orang itu sendiri atau orangtuanya, sehingga Dia dilahirkan buta?" Lalu Yesus menjawab, "Bukan dia dan juga bukan orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah (Yunani: ta erga tou theou, "karya-karya Allah") harus dinyatakan di dalam dia." (9:2-3). Karya-karya Allah yang diperlihatkan Yesus membuat nama Allah dan diri Yesus sendiri dimuliakan, sekaligus, dalam kasus si pengemis ini, malah menimbulkan perbantahan dan silang-sengketa.

Tapi masalahnya, apakah azab kekasih-kekasih Allah dalam dunia nyata lenyap semuanya dengan mudah lewat intervensi Allah yang mengadakan mukjizat-mukjizat? Jujur saja, umumnya tidak.

Kalau pun ada kesaksian-kesaksian tentang mukjizat Allah di zaman kita kini, semua kesaksian itu harus diverifikasi lewat ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk kebenaran atau kebohongannya terlihat dan terbuktikan. Di zaman sangat kuno PL dan PB, verifikasi tidak diadakan, tentu saja.

Kalau lewat intervensi Allah yang memakai mediator-mediator para penginjil modern yang giat menjalankan kebaktian "penyembuhan ilahi" ("divine healing") di stadion-stadion dan ruang-ruang gereja megah dan modern banyak orang sakit disembuhkan, ya syukurlah. Tapi, verifikasi harus dijalankan. Allah yang mahatahu dan mahakuasa tidak takut diverifikasi. Orang-orang yang mengaku bisa membuat atau mendatangkan mukjizat lazimnya takut pada verifikasi.

Selanjutnya, mari kita langsung ajak para penginjil penyembuh itu untuk mengunjungi rumah-rumah sakit BPJS dan rumah-rumah sakit rujukan COVID-19 yang sekarang penuh pasien, untuk mereka melakukan penyembuhan ilahi bagi semua pasien, apapun penyakit mereka, apapun tingkat keparahan penyakit mereka, tanpa ada yang dikecualikan.

Allah yang tunduk pada hukum-hukum alam

Keempat, ide jalan keluar lainnya yang diajukan adalah azab dan kemalangan berat menimpa orang saleh karena Tuhan memang tidak mampu, tidak berdaya, dan tidak punya kekuatan dan kuasa, untuk meniadakan azab, kesengsaraan, sakit-penyakit, bencana alam dan keburukan yang dialami orang saleh dan manusia pada umumnya.

Segala keburukan dan kemerosotan dan degenerasi dan kematian dalam dunia ini sebetulnya adalah bagian terpadu dari "struktur alam" atau "struktur kosmologis" yang berlaku selamanya sesuai dengan jalannya hukum-hukum alam ("natural laws") yang tidak bisa diintervensi oleh Allah meski Dia jugalah yang, dipercaya, menciptakan dan menetapkan hukum-hukum alam lalu membiarkan hukum-hukum ini selanjutnya berjalan sendiri.

Problem teodise tetap muncul, sejauh kepercayaan pada adanya Allah sang Pencipta yang mahakuasa dipertahankan dan dibenturkan dengan hukum-hukum alam.

Jika itu jalan keluarnya, maka Tuhan yang mahakuasa diubah menjadi Tuhan yang tidak mahakuasa, Tuhan yang powerless, tak memiliki daya dan keperkasaan, Tuhan yang lemah. Jarang sekali ada orang yang mau percaya pada Tuhan yang lemah dan tak memiliki kuasa. 

Tapi ada juga yang memegang jalan keluar ini, dengan akibat mereka dapat menerima azab mereka sementara tetap percaya pada Allah yang kuasa-Nya terbatas, Allah yang tidak sempurna, Allah yang membuat sebuah lingkaran yang belum penuh, baru setengah lingkaran. 

Ide bahwa ketidaksempurnaan Allah membuat Allah menjadi sempurna, adalah sebuah oxymoron: gabungan dua kata atau dua ungkapan yang bertentangan, tidak ada dalam realitas tapi dapat digunakan untuk menimbulkan efek-efek retoris dan politis. Misalnya, lingkaran segitiga, es yang panas, duka yang membahagiakan, raja bengis yang baik hati, sungai yang mengalir ke puncak gunung, si pandir yang cerdas.

Ya, dengan jalan keluar itu, Tuhan diubah, menjadi Tuhan yang tunduk atau disingkirkan oleh hukum-hukum alam yang dibangun-Nya sendiri, lalu berjalan sendiri tanpa campur tangan Tuhan lagi.

Pemecahan cara ini sering dianalogikan dengan relasi jam tangan ("watch") dan si pembuatnya ("watchmaker"). Sekali sebuah jam tangan jadi, si pembuat jam tangan tidak ikut campur tangan lagi dengan jam yang dibuatnya. Jam itu akan bekerja sendiri lewat sistem mekanik dan/atau elektrik rumit yang sudah dirancang dengan cerdas oleh si pembuatnya.

Jalan keluar ini diterima dengan baik oleh kalangan penganut deisme, sebuah sistem kepercayaan pada Allah sebagai "a watchmaker", "seorang pembuat jam tangan".

Baruch de Spinoza dan Albert Einstein, antara lain, menerima pemecahan problem teodise dengan metafora relasi "watch" dan "watchmaker".

Sebab, bagi dua sosok ternama ini, Allah adalah "natural laws" sendiri. Allah tidak berada di luar, tetapi di dalam, dan bekerja lewat  hukum-hukum alam yang netral, yang bekerja bagi dan di dalam jagat raya dan segenap isinya. Hukum-hukum alam (yang dipandang sebagai kehendak dan pikiran Allah yang paling jelas) tetap bekerja baik bagi orang yang saleh beragama maupun bagi orang yang tidak beragama. Tidak pilih buluh. Tidak memihak. Tidak berhatinurani.

Terkait semua organisme biologis, termasuk manusia, misalnya, adalah hal yang alamiah kalau semua organisme bisa sakit, bahwa sistem biologis manusia akan makin merosot dan rapuh sejalan dengan gerak "panah waktu" atau gerak "the arrow of time" (istilah fisika-nya entropi) yang akan bermuara pada kondisi sistem yang tidak tertata lagi, tidak sinkron, tidak seimbang, akhirnya kacau lalu runtuh. 

Dari kondisi kuat, gesit dan enerjik sewaktu berusia muda, lambat-laun, karena entropi bekerja, semua orang akan masuk ke usia lanjut, tubuh makin melemah, tenaga berkurang, letoi, kulit mengeriput, lalu sering jatuh sakit, dan sistem biologis mulai terganggu tahap demi tahap, lalu tidak terkoordinasi, akhirnya macet, kacau dan runtuh alias mati. 

Terkait alam, kita tahu gempa Bumi, Tsunami serta badai besar, misalnya, melanda siapa saja dan kawasan apapun, tanpa pertimbangan moral. Gravitasi juga berlaku bagi semua orang dan segala benda. Jadi, sama sekali tidak ada problem teodise.

Hukum-hukum alam tidak bisa kita tiadakan atau batalkan, tetapi kendala-kendala yang ditimbulkan hukum-hukum alam dapat kita atasi atau lampaui lewat teknologi. Gravitasi, misalnya, tidak dapat kita batalkan, tetapi teknologi jet sebagai daya pendorong membuat kita dapat terbang melesat ke atas, melawan gaya gravitasi.

Jika untuk mengadakan mukjizat, Tuhan membatalkan kerja hukum-hukum alam tertentu, maka pembatalan ini juga harus lewat hukum-hukum alam yang baru yang akan terus berlaku selamanya di manapun. Nyatanya tokh tidak.

Ya, dalam jalan keluar yang keempat ini, Allah sebagai hukum-hukum alam, dibuat menjadi Allah yang "impersonal". Alhasil, "watchmaker" disamakan dengan "watch". Bagi kalangan yang percaya pada Allah yang "personal", Allah yang memiliki kasih sayang, rasa keadilan, pertimbangan, kepedulian, sifat mahapenolong, problem teodise muncul lagi.

Ya, problem teodise tidak dihadapi juga oleh orang yang tidak memerlukan agama dalam kehidupan mereka. Krisis psikologis tentu mereka dapat alami juga, tapi bukan karena problem teodise. Mereka tentu pernah kecewa berkali-kali tetapi bukan kecewa terhadap Tuhan.

Ketika mereka sedang menghadapi persoalan-persoalan berat dalam kehidupan mereka, sebagai kalangan yang "areligius" atau "nonreligius", mereka tidak mengalami berbagai krisis psikologis yang dipicu oleh kepercayaan teologis yang tak terpenuhi atau gagal dan meleset. Ini yang dinamakan krisis psikologis "disonansi kognitif".

Mereka tentu tidak bisa memarahi Allah atau merasa ditelantarkan Allah. Mereka mencari jalan-jalan natural untuk keluar dari masalah-masalah yang menghimpit kehidupan mereka. Misalnya, dengan memeriksa dan memantau isi pikiran mereka sendiri (ini yang dinamakan "metakognisi", yakni "thinking about your own thinking"), dengan berkonsultasi ke para ahli pemecahan masalah, atau dengan mendatangi para pekerja profesional medik, atau dengan terlibat kegiatan sosial lebih banyak, dll.

Teologi naturalis

Kelima, jalan keluar berikutnya dari problem teodise adalah berpegang pada "natural theology" atau teologi naturalis sementara krisis-krisis berat kehidupan dijalani dan dipikul oleh orang-orang saleh yang ikhlas, tanpa mereka kehilangan iman dan kepercayaan mereka pada Allah.

Dalam "teologi naturalis", segala hal yang alamiah, yang kodrati, yang berjalan menurut hukum-hukum alam atau "natural laws", diterima dengan bersyukur apa adanya, dan dilihat bahwa kasih karunia (Latin: gratia) atau kebaikan (Latin: benignitas atau beneficium) Allah tidak merusak atau menghancurkan hukum-hukum alam yang kodrati, tetapi menyempurnakan atau menggenapkan hukum-hukum alam.

Thomas Aquinas (1224-1274) dengan ringkas mengungkapkan inti teologi naturalis begini: "Gratia non tollit naturam, sed perficit" (Summa Theologiae, I, I, 8 ad 2). Ungkapan yang serupa berbunyi "Gratia non destruit sed supponit et perficit naturam". Artinya, anugerah (Allah) tidak menghancurkan atau membinasakan alam, tapi menyempurnakan atau menggenapkan segala potensinya.

Para penganut teologi naturalis mengkombinasi, tidak membenturkan, kepercayaan pada kasih karunia Allah dengan dunia alam termasuk hukum-hukum alam yang membuat "mesin jagat raya" tetap berjalan, sejak big bang (13,8 milyar tahun lalu) hingga bermilyar-milyar tahun yang akan datang (entah sampai kapan), dan berbagai bentuk kehidupan telah dan terus tercipta dan menyebar.

Yang menakjubkan saya adalah ketika saya mengetahui bahwa astronom Amerika yang beken, Carl Sagan, juga mengulas teologi naturalis. Baginya, teologi naturalis adalah rekan dialog sains modern. 



 Carl Sagan, The Varieties of Scientific Experience: A Personal View of the Search for God (2006)


Dalam bukunya yang berjudul The Varieties of Scientific Experience: A Personal View of the Search for God (diedit oleh Ann Druyan. New York: Penguin Press, 2006), Sagan menyatakan bahwa dalam teologi naturalis "pengetahuan teologis dibangun oleh nalar dan pengalaman dan eksperimen saja. Bukan oleh wahyu, bukan oleh pengalaman mistikal, tapi hanya oleh nalar", "oleh bukti". Pendek kata, baginya teologi naturalis "adalah segala sesuatu tentang dunia ini yang tidak disediakan oleh wahyu." (hlm. 147, 152-153, xvii). Dalam jalur pemikiran Sagan ini, ya Allah bertransformasi menjadi Allah yang berilmu, sang Ilmuwan Besar yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan insani.

Dalam teologi naturalis yang dibangun para teolog Katolik, ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian dari dunia alam, yang dihasilkan lewat kerja keras dan kerja cerdas otak Homo sapiens, organisme cerdas, tidak dilihat berkonflik dengan kepercayaan pada anugerah ("gratia") Allah. Sebaliknya, karunia Allah dipandang bersinergi dengan iptek, dan makin menyempurnakan iptek. Posisi yang keren banget, bukan?

Jadi, ketika menghadapi berbagai kesulitan dan kesengsaraan, serta azab, mereka tidak mempertanyakan Tuhan apalagi mempersalahkan dan memurkai lalu meninggalkan Tuhan. Tak ada krisis psikologis karena problem teodise, dalam diri mereka.

Mereka melihat semua kesusahan itu, baik yang sifatnya natural seperti bencana alam atau pandemi yang dahsyat, maupun yang sifatnya biologis, antropologis, individual dan sosial yang juga bekerja menurut hukum-hukum dunia kodrati, bukan Allah yang timpakan atau timbulkan. Tetapi semuanya muncul dari hukum-hukum alam yang luas, yang bekerja baik dalam "dunia" partikel-partikel quantum maupun dalam seluruh jagat raya yang terus bergerak mengembang dengan makin cepat, ibarat sebuah balon raksasa yang sedang ditiup. 

Tak ada yang salah dan buruk pada hukum-hukum alam kodrati. Alam ini dinamis, bergerak, berfungsi, dan beroperasi, menurut hukum-hukumnya sendiri, dan semua dipandang Allah "baik" adanya. Langit penuh misteri yang "menceritakan kemuliaan Allah" (Mazmur 19:2). Carilah itu, maka kamu akan menemukan. Ketuk gerbang-gerbang jagat raya, maka gerbang akan dibukakan. Ikuti kuriositas atau rasa haus pengetahuan anda.

Tapi, menurut teologi naturalis, alam kodrati belum sempurna, karena jagat raya belum selesai (dan tak pernah selesai) diciptakan atau menciptakan diri. Inilah ide "creatio continuata", atau "continuous creation" yang memiliki basis keilmuan. Alhasil, dunia alam tetap memerlukan "gratia" atau "karunia" Allah untuk terus-menerus diangkat ke kesempurnaan, ke potensi-potensinya yang makin kuat, lengkap, agung dan penuh.

Karena Allah juga memberi kehendak bebas, freewill, maka, bukan cuma manusia, hukum-hukum alam yang sudah dibuat berjalan sendiri dengan bebas tentu juga memiliki kehendak bebas untuk nyelonong keluar dari relnya. 

Jika demikian, berarti selalu terbuka kemungkinan muncul hukum-hukum alam yang baru yang belum ditemukan ilmu pengetahuan. Catat: pernyataan ini tak terkait dengan klaim-klaim keagamaan tentang mukjizat.

Akibatnya positif: para ilmuwan tidak akan pernah selesai dalam mempelajari berbagai fenomena alam dan hukum-hukum alam yang bekerja di dalam fenomena-fenomena alam itu. Fisika-fisika baru akan terus dilahirkan, tentu dengan tidak mudah dan tidak dalam sekejap mata. Dan, ini semua adalah bagian dari karya gratia Allah yang menyempurnakan dunia kodrati terus-menerus.

Dalam sistem biologis tubuh manusia, kehendak bebas dari hukum-hukum biologis yang sudah tertata dan bekerja pada rel-rel yang benar, dapat menimbulkan hal-hal yang abnormal, yang tidak bisa disembuhkan, mulai dari molekul-molekul, sel-sel tubuh, jejaring, hingga ke organ-organ dan anggota-anggota tubuh. Untuk mengatasi abnormalitas ini, sistem biologis tubuh dan jejaringnya perlu diedit, disetel ulang, disempurnakan lagi lewat berbagai cara.

Dalam rangka "penyempurnaan" alam kodrati itulah, ilmu pengetahuan dan teknologi dikaruniakan Allah, tanpa pernah habis, untuk manusia dapat makin luas dan makin mampu memahami jagat raya dan segala fenomena dan potensi yang ada di dalamnya, juga segala misteri jagat raya. 

Juga, supaya manusia makin mampu mengelola alam atau menatalayani alam dengan bertanggungjawab untuk mendatangkan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan bagi kehidupan umat manusia, jiwa dan raga, di segala bidang dalam alam ini.

Dengan demikian, penderitaan dan kesukaran berat dalam kehidupan orang-orang yang menjadi kekasih-kekasih Allah dapat dipikul dengan tabah, ikhlas dan berpengharapan, sebagai hal-hal yang natural, yang dapat berfungsi positif jika dapat selesai terpikul. Bukan didatangkan Allah sebagai pencobaan-pencobaan. "Allah tidak mencobai", itu bagian dari keyakinan penganut teologi naturalis.

Mereka yakin, penderitaan manusia adalah jalan alam yang oleh Allah yang penuh kasih karunia akan ditingkatkan atau disempurnakan menjadi jalan yang akan bermuara pada kualitas kehidupan manusia yang lebih baik, lebih lengkap dan makin sempurna. Jalan alam yang edukatif lewat karunia Allah, lewat kekuatan dan kecerdasan yang Allah berikan.

Apakah problem teodise terpecahkan lewat jalan keluar teologi naturalis? Ya, tapi tidak sepenuhnya.

Dalam teologi, ya ini suatu pemecahan teologis yang bagus. Tapi dalam kenyataan kehidupan, penderitaan dari alam dan hukum-hukum alam banyak kali tidak mendatangkan kesempurnaan bagi manusia lewat karunia Allah, melainkan menghancurkan manusia dan alam itu sendiri. Kita semua tidak sanggup untuk memandang kehidupan yang kandas dan hancur sebagai karunia Allah.

Tentu, perspektif teologi naturalis juga benar, sebab banyak orang yang menderita, yang tidak mempersalahkan Tuhan tapi memandang semua azab mereka timbul dari alam, bisa tetap tenang dalam kehidupan mereka, tetap berpengharapan kepada Tuhan, dan tabah luar biasa. 

Ya, ketabahan dan ketenangan di saat kita sedang menanggung penderitaan berat dapat dialami jika kita tidak melekatkan diri kita kepada azab yang sedang kita pikul. Kita mengambil jarak. Dalam Buddhisme, prinsip "tidak melekatkan diri" atau prinsip "nekkhamma" adalah salah satu prinsip utama dalam orang menjalani dan melakoni kehidupan. 

Jalan kesengsaraan, bagi para penganut teologi naturalis, akan dielevasi, diangkat dan disempurnakan Allah, menjadi jalan keselamatan, jalan kebangkitan, jalan memperoleh tubuh dan kehidupan yang makin dikuatkan dan disempurnakan. Kesempurnaan kehidupan sebagai pemberian Allah memerlukan lebih dulu jalan-jalan penderitaan dan ketabahan.

Garis takdir

Keenam, problem teodise disarankan diatasi dengan ide tentang garis takdir atau garis pradestinasi secara menyeluruh, mencakup seluruh kehidupan setiap manusia dan jagat raya.

Ada banyak orang yang berkeyakinan bahwa "jalan kehidupan" setiap orang, entah jalan yang baik dan membahagiakan, atau jalan yang buruk dan menyengsarakan, sudah digariskan atau dibuat skenario finalnya lebih dulu atau sejak sebelum dunia ini ada oleh Tuhan yang tidak bisa diubah lagi oleh manusia. 

Semua orang tinggal menjalani dan pasrah menerima garis atau skenario ilahi ini, dan segala usaha untuk mengubah atau mengedit garis pradestinasi atau garis takdir ("destiny" atau "fate"; Latin: fatumini akan sia-sia. Takdir atau "fate" tidak dapat diubah. Inilah yang dinamakan fatalisme atau takdirisme.

Setiap manusia, jadinya, cuma robot-robot buatan Tuhan Allah yang "jalan kehidupan" bahkan "watak dan kepribadian" mereka masing-masing sudah fixed diprogram oleh Tuhan sebelum mereka dilahirkan. Tidak ada daya dan kehendak bebas yang diberikan oleh Allah untuk setiap insan melakukan reprogramming jalan-jalan kehidupan mereka masing-masing. 

Bahkan adanya jagat raya, semua bentuk kehidupan di dalamnya, semua kejadian dalam alam, ihwal kapan jagat raya akan binasa total, dan jalan-jalan hukum-hukum alam, bukan hanya jalan kehidupan setiap insan sejak dalam rahim, sudah digariskan oleh Allah dalam satu desain besar ilahi yang tak bisa diubah lagi. Semaju apapun iptek, tidak akan bisa mengubah takdir kosmologis dan takdir antropologis yang sudah digariskan dari "atas".

Tapi, pada sisi lain, manusia malah lebih maju dari suatu sosok adikodrati yang menetapkan garis takdir. Kita telah dan sedang menciptakan robot-robot "android" atau "humanoid" (artinya: "seperti manusia") yang memiliki kecerdasan buatan atau "artificial intelligence" (AI) yang, sedemikian rupa, mandiri, mampu makin melipatgandakan berbagai kecerdasan mereka terus-menerus, tanpa batas, dan besar-besaran, dalam waktu yang makin cepat. Kemampuan ini dinamakan "recursive self-improvement". 

Mereka memang robot, tetapi robot yang bebas. Tidak dibuatkan garis takdir untuk mereka oleh manusia yang menciptakan mereka.

Bidang AI memang suatu bidang yang rumit yang melibatkan banyak bidang keilmuan lain, dan tentu akan dapat mendatangkan risiko-risiko berbahaya yang serius bagi ketahanan kehidupan Homo sapiens sendiri di masa depan. Mereka bisa---oleh karena suatu perkembangan berantai dalam kecerdasan mereka--- berbalik menyerang dan memusnahkan kehidupan manusia. Ketakutan negatif semacam inilah yang dinamakan Robokalipsis atau "Apokalipsis robot", dan lebih khusus lagi ketakutan ini ditujukan terhadap AI yang nanti akan mencapai level Super-AI.

Ancaman itu sudah dilihat dan dipahami betul; dus, pengembangan AI dan robot-robot cerdas humanoid terus dilakukan supaya mesin-mesin yang memiliki AI yang otonom nantinya juga memiliki kemampuan-kemampuan dan kecakapan-kecakapan mental yang ada pada manusia, yang kini dinamakan "soft skills", seperti emosi, cinta kasih, empati, kecerdasan artistik, kecerdasan eksistensial, kecerdasan sosial, kecakapan metakognitif, dll. 

Salah satu cara yang sedang dikaji dan dikembangkan adalah menggabung, merging, antara manusia biologis organik dengan mesin-mesin mekanik cerdas yang bertubuh logam dan silikon. Organisme gabungan yang terdiri atas bagian-bagian tubuh biologis organik dan bagian-bagian tubuh mekanik (atau "biomekatronik") dinamakan cybernetic organism atau cyborg oleh Manfred Clynes dan Nathan S. Kline di tahun 1960.

Nah, kita kembali ke ide takdir. Dengan ide garis takdir, kata pendukung ide ini, problem teodise tidak akan muncul karena manusia cukup tunduk, pasrah dan menerima garis takdir atau skenario pradestinasi ilahi ini, sejak sebagai janin hingga mati. Tak usah protes ke Tuhan atau tak usah mengalami guncangan religiopsikologis. Tak usah memohon kekuatan karena percuma. Dus, ya tak usah berdoa atau bersembahyang. Tak usah juga mencari pertolongan dalam bentuk apapun. Teorinya atau doktrinnya begitu. Tapi, apakah ada manusia yang sampai bersikap dan berpendirian fatalistik ekstrim seperti itu? Tidak ada!

Doktrin garis takdir menimbulkan banyak masalah, termasuk masalah teodise. 

Doktrin ini tidak mendorong orang untuk bekerja keras dan bekerja cerdas untuk mengubah jalan kehidupan mereka dan membuat mereka jadi lebih baik, lebih berbahagia, lebih membahagiakan, lebih berdayatahan, dan lebih maju. 

Orang juga jadi tidak mau menarik pelajaran dan hikmah dari setiap kejadian berat dan buruk yang telah menimpa mereka, untuk membuat jalan kehidupan di depan mereka lebih baik, lebih maju dan lebih laju. 

Kemiskinan akan dibiarkan. Bencana alam tak diusahakan dicegah sebelumnya dan ditanggulangi. Orang tidak terdorong untuk menemukan dan mengembangkan iptek tanpa akhir. Kuriositas atau dorongan ingin tahu dikekang dan dibinasakan. Kelaparan dan kekurangan gizi dipandang sudah digariskan dari "atas". Pandemi dipandang tak perlu dilawan dan diatasi. Anehnya, para pemegang doktrin garis takdir tetap melihat ke kiri dan ke kanan jalan raya sebelum mereka menyeberang. Kenapa tidak tutup mata saja?

Lalu, mengapa para penganut takdirisme atau doktrin pradestinasi global tidak bisa dan tidak mau mengakui bahwa orang-orang juga dapat ditadirkan untuk melawan dan mengubah garis takdir mereka masing-masing? Juga mengapa mereka tidak mau dan tidak bisa melihat sebagai takdir bahwa iptek harus dilahirkan dan terus berkembang tanpa batas? Berhubung garis takdir tidak ada cetak birunya, tidak dicetak hitam di atas putih, mengapa mereka yakin bahwa garis takdir mereka tidak bisa diubah? Dari mana mereka tahu hal ini?

Jika anda penganut keras takdirisme, bukankah anda masih punya kebebasan untuk berkata, "Aku ditakdirkan untuk melawan dan mengubah garis takdirku sendiri!" Ya, bukan? Nah, katakanlah itu dengan lantang dan jelas, dan laksanakan dengan yakin.

Selain itu, doktrin garis takdir atau garis pradestinasi menampilkan suatu sosok Tuhan yang tidak adil karena menggariskan jalan kehidupan satu orang sebagai jalan keberuntungan, keberhasilan dan kebahagiaan, sedangkan untuk orang yang lain sosok Tuhan yang sama, yang esa, menggariskan jalan kehidupan yang penuh kemalangan, kegagalan dan azab. Di mana keadilan Tuhan? 

Mengapa Tuhan pilih bulu? Tuhan jadinya diibaratkan sebagai sosok orangtua yang pilih kasih terhadap anak-anak mereka. Ada yang menjadi anak kesayangan, dan ada yang menjadi anak kebencian. Sedih ya.

Celakanya, ketika disodorkan ihwal sosok Allah yang pilih kasih dan pilih bulu, para penganut doktrin pradestinasi atau takdirisme memberi reaksi defensif keras di saat mereka menjawab dan membela Allah bahwa pilih kasih itu ada sepenuhnya dalam kedaulatan absolut Allah. 

Bagi saya, kedaulatan absolut Allah ini makin mengabsolutkan ketidakadilan dan ketidakseimbangan Allah. Saya tidak bisa jatuh cinta pada Allah yang seperti ini, yang serba diabsolutkan oleh manusia. Tentu, ada banyak hal pada Tuhan Allah yang absolut, misalnya bahwa Allah adalah cinta kasih semesta, bahwa Allah itu menyelamatkan, bahwa Allah itu mahasuci, bahwa Allah itu transenden sekaligus imanen.

Patut diingat, Yahweh Elohim dikisahkan dalam Tenakh Yahudi bukan cuma memiliki hal-hal yang absolut, tapi juga hal-hal yang dinamis, luwes, lentur, fleksibel, dan mengalir berliku. Yahweh Elohim terlibat tawar-menawar dengan Abraham terkait dengan penduduk kota Sodom (Kejadian 18:16-33), bahkan bertarung dengan Yakub di Pniel, dekat sungai Yabok, dengan kemenangan dialami Yakub (Kejadian 32:22-32). Bahkan karena tergerak oleh belas kasih, dan karena hal-hal lain, Yahweh digambarkan berubah pikiran (NRSV: change the mind. TB LAI: menyesal. Ibrani: nākhêm) (Keluaran 32:12-14; 2 Samuel 24:16; Yeremia 18:8; 26:3, 13, 19; Amos 7:1-6; Yunus 3:9-4:2).

Allah yang bersembunyi

Ketujuh, problem teodise diatasi dengan ide bahwa Allah itu tetap mahahadir dan mahatahu dan mahamendengar, tetapi tidak jarang Dia sengaja menyembunyikan diri, menjadi "the hidden God", ketika orang-orang yang menjadi kekasih-kekasih Allah sedang dilanda kesusahan berat dan azab.

Dalam kitab suci Ibrani, ada sebuah ucapan kenabian dalam kitab (Deutero-) Yesaya (ditulis sebelum kejatuhan Babilonia ke tangan pasukan Koresh, raja Persia, 29 Oktober 539 SM) tentang Allah yang bersembunyi. Bunyinya berikut ini:

"Sungguh, Engkau Allah yang menyembunyikan diri, Allah Israel, sang Juruselamat." (Yesaya 45:15)

Ucapan kenabian itu muncul setelah sebelumnya ada pengakuan dari bangsa-bangsa lain bahwa Allah, satu-satunya Allah, hanya ada di tengah-tengah bangsa Israel. Ini tampak seperti sebuah ironi. Kelihatannya, terhadap bangsa-bangsa yang bukan pilihan Allah Israel, Allah menyembunyikan diri. Allah bebas memilih, kepada siapa Dia akan terlihat, dan kepada siapa Dia akan tersembunyi. Tetapi, kebebasan itu tidak terpisah dari tanggungjawab dan kebajikan.

Dalam Mazmur 89:47, dikatakan bahwa jika TUHAN sedang murka besar, bernyala-nyala, Dia bersembunyi terus-menerus. Pemazmur bertanya, "Berapa lama lagi, ya TUHAN, Engkau bersembunyi  terus-menerus? Berapa lama lagi, murka-Mu berkobar-kobar laksana api?"

Jadi, gagasan bahwa Allah menyembunyikan diri bukan gagasan yang asing bagi bangsa Israel kuno.

Tentu, orang yang percaya pada Tuhan dan menjalani kehidupan sebagai kekasih-kekasih Tuhan, masih dapat menerima jika Tuhan betul-betul menyembunyikan diri dari orang-orang biadab dan durjana, yang mengaku beragama. Seruan doa mereka yang keji ini tidak terdengar oleh Tuhan yang bersembunyi. Wajah dan kemuliaan Tuhan tak terlihat oleh mereka. Sebaliknya, di tempat persembunyian-Nya Tuhan murka dengan bernyala-nyala terhadap mereka. Murka yang masih disembunyikan. Itulah yang ada dalam pikiran si penulis Mazmur 89:47.

Tetapi, jika di tengah azab yang sedang dialami sendiri oleh orang-orang saleh dan benar, Allah menyembunyikan diri, tidak mau terang-terangan mendatangi dan menolong mereka, problem teodise tetap tak terpecahkan. Ini juga problem teodise yang dikisahkan penulis Injil Markus dihadapi Yesus ketika Dia disalibkan, sedang sekarat, dan tidak melihat Allah, Bapa-Nya, hadir dan menolong-Nya. Allah menyembunyikan diri ataukah Allah menyatu dengan Yesus yang sedang sengsara berat?

Adakah seorang ayah atau seorang bunda yang lari bersembunyi ketika anak-anak mereka sedang terancam bahaya besar atau sedang tertimpa azab? Mungkin sekali tidak ada. Jika ada, dunia yang beradab akan pasti marah kepada si ayah atau ke si bunda itu, dan menilai mereka sebagai orangtua yang sangat tega dan tidak bertanggungjawab dan tidak menyayangi anak-anak mereka.

Begitu juga halnya dengan Tuhan, jika Tuhan malah menyembunyikan diri ketika anak-anak-Nya sedang menanggung kesengsaraan besar. Problem teodise tidak terselesaikan lewat ide Allah yang bersembunyi dengan sengaja.

Orangtua yang sejati akan bertindak sebagai tameng pelindung jika anak-anak mereka sedang terancam bahaya besar. Jika Allah adalah sang Bapa atau sang Bunda sejati, Allah juga tidak akan pernah bersembunyi jika anak-anak-Nya sedang memikul penderitaan dan duka lara yang berat. Allah akan membela, melindungi dan menyelamatkan mereka.



"Puisi" ratapan Yesus terhadap kota Yerusalem dan penduduknya


Ketika berada di Bukit Zaitun dan memandang kota Yerusalem, Yesus peduli pada kota ini dan penduduknya, hati-Nya menjadi gundah, lalu Dia "meratapi" kota ini dengan menggambarkan diri-Nya lewat sebuah metafora feminin sebagai seekor induk ayam yang dengan sayap-sayapnya yang dibentangkan melindungi dan memperisai anak-anaknya. 

Kata Yesus, "Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti seekor induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau." (Matius 23:37-39; Lukas 13:34-35).

Ya, dalam "puisi" ratapan itu, Yesus memandang diri sebagai "seorang bunda" yang mau menjadi tameng buat warga Yerusalem, meskipun mereka dikenal sebagai penolak dan perajam nabi-nabi. 

Tapi, kenyataannya memang kerap Allah tampak tidak hadir, bersembunyi, ketika orang-orang saleh dan benar sedang terancam bahaya atau sedang menanggung penderitaan.

Allah kerap menjadi sebuah teka-teki.  Di manakah kini Allah, yang mahahadir, berada sementara Dia memang tidak hadir? Apakah Dia dengan misterius hadir dalam ketidakhadiran-Nya? Presence in absence? Fullness in emptiness? Voice in silence? Everywhere in nowhere? Sebuah teka-teki besar. A big conundrum. Tanpa teka-teki, tanpa pertanyaan, tanpa mulut terkatup dalam keheningan, Allah kehilangan keallahan-Nya.

Tapi, jika Allah sedang bersembunyi karena Dia sedang main petak umpet dengan kita, umat-Nya, dan kita mencari-cari-Nya dengan gembira dan penuh semangat, saatnya akan tiba bahwa kita akan menemukan-Nya lalu merangkul-Nya dengan senang. Mungkin kita akan temukan Dia sedang sembunyi di balik sebuah pohon besar. Datangilah. Berlarilah ke pohon besar itu. Lalu bermain petak umpet dari awal lagi. 

Ya, kita akan makin akrab dan makin kenal lebih dalam dan dalam banyak segi siapa dan bagaimana Allah itu lewat bermain petak umpet dengan-Nya. 

Ketersembunyian Allah dalam suatu permainan petak umpet, kita perlu alami, sebab dengan adanya jarak antara Allah dan kita, dengan tak terlihatnya Allah oleh kita yang sedang mencari-Nya, kita mendapatkan kesempatan untuk merenungi Allah dengan lebih dalam, luas dan jauh lagi. Alhasil, kita akan bisa menjumpai dimensi-dimensi lain dari diri dan karya Allah yang sebelumnya kita tidak lihat.

Allah suka bermain dan bergembira bersama kita. Ya, bermainlah. Otak bertambah pintar lewat banyak kegiatan bermain. Perasaan dan emosi menjadi tenang teduh. Kecerdasan sosial berkembang 

Allah yang berempati

Kedelapan, problem teodise diatasi dengan ide bahwa dalam penderitaan berat yang menimpa orang-orang yang saleh dan benar, Allah berempati dengan mereka. Allah menempatkan diri pada mereka. Ikut merasakan sedalam-dalamnya azab mereka sebagai Allah yang berbelarasa, yang "ikut menderita", "the compassionate God".

Bahkan Allah menanggung kesengsaraan mereka dengan Allah menyatu dengan diri mereka. Allah tidak berada di luar mereka ("God without"), tetapi berada dan bersatupadu dengan mereka ("God within"). Memakai frasa dari Injil Yohanes, Allah "berdiam dalam" (Yunani: menein ev) diri manusia, umat-Nya, dan umat-Nya "berdiam dalam" diri Allah.

Manusia menderita, ya Allah menderita juga. Allah tidak kebal dari penderitaan. Allah sengaja masuk dalam kemalangan manusia dan merasakannya. Jika dilihat dari sudut ini, ya kemalangan dan duka tidak berasal dari Allah.

Pemecahan problem teodise ini diinspirasi oleh teologi Immanuel, yakni keyakinan atau pengakuan bahwa "Allah ada bersama kita", manusia.

Kekristenan melihat wujud sang Immanuel ada pada diri Yesus orang Nazareth, sang Tuhan dan sang Kristus ("Messias") gereja.

Dalam seluruh jalan kehidupan Yesus---sejak Dia berada bersama-sama murid-murid-Nya dan rakyat jelata Yahudi, mengajar mereka, menolong mereka, memberdayakan mereka, lalu mengalami masa-masa kesengsaraan, dan berakhir pada kematian-Nya di kayu salib---sang Immanuel kudus berada di antara manusia, ikut mengalami pergumulan dan kesusahan manusia dengan real. Sang Immanuel yang setiawan. Kawan sejati seperjalanan. Kawan yang tidak meninggalkan kita ketika kita sedang susah. Kawan yang tak akan pernah berkhianat.

Jalan keluar kedelapan dari problem teodise ini juga diilhami oleh teologi "pengosongan diri" (Yunani: kenosis) yang dikembangkan dari Filipi 2:5-11. 

Yakni keyakinan atau doktrin bahwa Yesus Kristus sebagai "rupa Allah" (Yunani: morfē theou) dengan segala kemuliaan ilahi, telah mengosongkan diri-Nya sendiri (Yunani: ekenōsen heauton), meniadakan kepentingan-Nya sendiri, menyangkal keakuan diri, dengan masuk ke dalam sikon serendah-rendah dan sesusah-susahnya manusia. Yakni, dengan "menjadi sama dengan manusia" (Yunani: en homoiōmati anthrōpōn genomenos) dalam status terendah sebagai "seorang budak" (Yunani: doulos) yang rentan didera azab, ketidakadilan, kekerasan, kesewenang-wenangan, kemalangan, dan kematian.

Teologi kenosis paralel dengan teologi inkarnasi (Latin: incarnatio, dari dua kata in dan caro, artinya "dalam daging", "in the flesh", "in-carne") atau teologi "penjelmaan" yang dirumuskan singkat padat oleh penulis Injil Yohanes (1:14a) dalam kalimat "Sang Firman itu telah menjadi daging" (Yunani: ho logos sarks egeneto). Memakai terjemahan LAI, "Firman itu telah menjadi manusia".

Sang Firman, dengan menjadi "daging", menjadi biologi manusia, yakni Yesus Kristus, sungguh-sungguh telah mengecap dan mengalami sampai ke akar-akarnya suka dan duka, azab dan sengsara, dalam kehidupan real manusia. 

Tuhan tidak tinggal berdiam di suatu menara gading yang tinggi jauh di atas Bumi, tetapi membangun "tempat tinggal di antara kita" (Yohanes 1:14b. Yunani: eskēnōsen en hēmin). 

Di dalam diri Yesus, Allah yang transenden berada di dunia bawah, bersama kita, manusia di Bumi, sebagai kita, manusia, yang memiliki darah, daging, organ-organ, tulang dan otot, dan nafas. Satu sosok manusia senyata-nyatanya yang dapat dipersepsi lewat lima indra.

Jadi, kemahakuasaan dan kemuliaan dan kasih Allah tidak disangkal meski orang-orang yang saleh, benar dan suci kerap menanggung azab dan kesusahan berat.

Dengan jalan keluar ini, setiap kekasih Allah yang sedang menderita, yang ada dalam sikon kehidupan yang paling susah dan berat, yang masuk ke situasi terendah dalam kehidupan mereka, bahkan diserang keraguan dan dibanjiri pertanyaan di manakah Tuhan berada, apakah Dia masih setia--- mereka dibuat tetap tabah, ikhlas, kuat, dan tetap tak kehilangan pengharapan. Karena dalam azab mereka, seolah Tuhan telah menjauh, mereka tetap menemukan dan mengalami Allah tetap bersama mereka, bahkan ikut menderita di dalam diri mereka. Allah tidak bersembunyi, tetapi menyatu dengan manusia. Ya, Allah bersembunyi dalam diri kita, dengan menjadi satu dengan diri kita.

Kalau dalam kesusahan kita, ada orang yang mau peduli, yang berempati pada kita, yang merangkul kita, niscaya kita akan merasa ditemani, menemukan orang yang mau ikut menanggung penderitaan kita, mendapatkan kawan yang setia. Alhasil, kita akan dikuatkan, diberi tenaga baru, diberi ketabahan dan daya tahan, meski kesusahan dan penderitaan masih kita tanggung.



Teriak Yesus, "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Tapi langit tertutup awan gelap. Allah membisu.


Seandainya pun orang-orang saleh terjungkal ke dalam perasaan gundah yang besar dan dalam, yang membuat mereka, tanpa tertahan, berteriak putus asa "Ya Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?", mereka akan segera ingat dan memandang Yesus yang juga pernah mengalami sikon keputusasaan religiopsikologis yang sama berat.

Di saat Yesus terpancang di kayu salib, sekarat dan menjelang ajal, penulis kisah Injil Markus mencantumkan suatu ucapan putus asa Yesus, "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?" (Markus 15:34). Teriakan Yesus itu juga teriakan komunitas penulis Injil Markus di tahun 70 ketika kota Yerusalem sudah dibumihanguskan dan Bait Allah sudah dihancurkan menjadi puing-puing dalam Perang Yahudi Pertama. Penulis Injil Markus mengutipnya dari Mazmur 22:2 (oh ya, keseluruhan Mazmur 22 dapat kita pandang sebagai "miniatur kitab Ayub"). Teriakan Yesus itu juga teriakan kita. Dan... teriakan kita adalah juga teriakan Yesus.

Apakah Allah, sang Bapa, telah meninggalkan-Mu, Yesus? Bersembunyi dari-Mu, Yesus? Oh tidak, Yesus. Allah, Bapa-Mu, telah menyatupadu dengan diri-Mu di saat Engkau sengsara sangat berat di kayu salib. Putera menderita, Bapa juga menderita. Jeritan Putera, derita Bapa.

Temukan Allah sebagai Allah yang menderita di saat anda sedang menderita. Seperti anda, Allah juga tidak kebal dari penderitaan. Anda tidak sendirian di saat anda sengsara. God is within you in your agony! Anda ditemani, anda dirasakan, anda dikecap, oleh Allah, oleh Tuhan Yesus.

Masih ada sebuah gambaran simbolik lainnya. Di saat itu, ketika Yesus sedang kesakitan dan berteriak di kayu salib, "kegelapan menyelimuti seluruh daerah itu"-- suatu ungkapan simbolik langit tertutup, Allah di sorga tak terlihat dan tak bersuara, berdiam diri, senyap dan lenyap. Yesus, kata pengisah Injil Markus, pernah mengalami keadaan ini, ditinggalkan Allah, sang Abba, yang membuat-Nya makin berat menanggung azab.

Jika kita terperosok ke dalam problem teodise, dan kita bertanya di mana Allah, mengapa Allah membungkam, Yesus sudah mengalaminya. Kita tidak sendirian. Kita dirasakan oleh Yesus.

Di saat kita disadarkan dan diingatkan lagi tentang apa yang pernah menimpa Yesus di ujung jalan kehidupan-Nya, kita pun menemukan kawan yang setia, Tuhan yang tahu apa artinya kesengsaraan berat, tahu apa yang terjadi dalam batin kita di saat kita merasakan Tuhan sang Bapa telah menghilang, pergi, atau mungkin tersembunyi di balik awan-awan gelap yang menutup angkasa. 

Orang pun menjadi tabah. Tak kecewa pada Tuhan. Tak marah pada sang Bapa. Sekalipun akhirnya mereka mati dalam penderitaan mereka, seperti Yesus. Kematian kekasih-kekasih Yesus dirasakan oleh Yesus. What a privilege!

Ya, ketabahan dan keikhlasan menjauhkan kita dari problem teodise yang dapat menguras banyak tenaga kita, fisik dan mental. Pengharapan pun terbangun, karena kita ditemani Tuhan, dirasakan Tuhan. Karena lewat kesengsaraan dan kematian-Nya, Tuhan kita, Yesus Kristus, mengalahkan kesengsaraan dan kematian. Fajar pagi yang merekah akan datang juga. Kabar gembira dan kemenangan akan kita dengar dan alami. Be hopeful. Be brave. Be tough. Be strong.

Penutup

Baiklah, itu delapan jalan keluar yang dapat dipikirkan, jika kita mau memecahkan problem teodise. Selanjutnya, adalah tugas anda untuk memilah-milah, jalan keluar yang mana yang paling kena di hati anda dan masuk dalam pemikiran teologis anda.

Sekali lagi ingatlah bahwa problem teodise muncul manakala seseorang yang percaya pada Allah yang esa, yang hidup benar dan sungguh-sungguh menjauhkan diri dari pikiran dan tindakan yang berdosa, mengaitkan kemalangan dan penderitaan yang dialaminya kepada Allah yang dipercayainya, dari mana pun penderitaannya berasal.

Si orang yang saleh dan hidup benar ini tentu tahu bahwa penderitaan bisa dialaminya karena kesalahannya sendiri dalam memakai kebebasannya untuk memutuskan sesuatu atau untuk bertindak. Atau karena kejahatan orang lain yang kesetanan. Atau karena sistem-sistem dalam penataan masyarakat tidak adil. Atau karena tindakannya sendiri yang ceroboh, atau tidak disengaja. Atau karena kecelakaan yang tak diduga atau karena bencana alam, dan karena kerja hukum-hukum alam. Dan masih banyak lagi. 

Apa pun sumber dan penyebab azab yang menimpa orang yang menjadi kekasih-kekasih Tuhan, problem teodise muncul jika, sekali lagi, azab mereka dikaitkan ke Tuhan yang dipercaya mereka sebagai sang Tuhan pelindung, penjaga, pemelihara, yang memiliki segala kuasa untuk selalu mengayomi dan menolong mereka.

Hemat saya, jalan keluar kedelapan di atas, mengakhiri segala problem teodise.

Akhir kata, selamat bermain petak umpet dengan Tuhan. Saya suka bermain dengan Tuhan, bermain petak umpet, bermain adu lari cepat dan adu hening. Be happy. 

11 Maret 2021
ioanes rakhmat

N.B. edited 22 Desember 2021


Monday, March 8, 2021

Aksi Yesus di Bait Allah menurut Injil Yohanes (2:13-22)


Serambi Salomo atau Stoa/Portiko Salomo atau Portiko Rajani, lokasi Yesus melakukan aksi-Nya yang menggegerkan di Bait Allah....


Kemarin pagi, mulai pukul 09:20 WIB, Minggu, 7 Maret 2021, saya ikut ibadah online GKI Kepa Duri. Pengkhotbahnya Pdt. Engeline Chandra, dengan teks khotbah diambil dari Yohanes 2:13-22. Teks ini mengisahkan aksi Yesus di Bait Allah kota Yerusalem. Khotbah Ibu Engeline saya dengarkan dengan cermat.

Penatua yang bertugas dua orang: Pnt. Cindar Prawijaya dan Pnt. Indahwati Wibowo.

Dalam khotbahnya, Pdt. Engeline Chandra menyatakan bahwa Yesus beraksi dalam kemarahan di Bait Allah--yakni dengan menggunakan anyaman cambuk tali mengusir semua pedagang hewan kurban bersama semua hewan yang mau mereka jual dan memporakporandakan meja-meja penukaran uang bersama semua uang yang ada-- karena Yesus menilai harga jual hewan-hewan kemahalan sehingga para penjual untung besar. Ini "pasar yang sangat jelek", kata Pdt. Engeline. 

Tidak disebut oleh Ibu Engeline, apakah nilai kurs mata uang kerendahan sehingga para pemilik "money changer" di Bait Allah itu untung besar juga.

Pada kesempatan ini, mari ikuti telaah pendalaman teks khotbah tersebut dengan cermat.

Baiklah, perlu disebut dulu suatu lokasi di dalam Bait Allah yang dinamakan "serambi Salomo" (TB LAI). Orang Ibrani menamakan serambi ini Ha-stav ha-Mal'ḥuti, הסטיו המלכות; orang Yunani menyebutnya hē stoa tou Solomônos. Lihat Yohanes 10:23; juga KPR 3:11; 5:12. Teks NRSV menyebut lokasi ini "portico of Solomon". Juga dapat diterjemahkan "stoa Salomo".

Nah, aksi Yesus yang bikin geger itu berlangsung di serambi Salomo. Dalam aksi itu, Yesus, dalam Injil Yohanes yang ditulis tahun 95, berkata "Rombak Bait Allah ini,..." (Yohanes 2:19). 

TB LAI menerjemahkan kata Yunani lusate pada Yohanes 2:19 dengan "Rombak"; tapi sebetulnya lebih tepat diterjemahkan "Robohkan" atau "Hancurkan" (NRSV dengan tepat memakai kata "destroy"). Karena kata kerja lusate pada ayat itu bermodus imperatif permisif, terjemahannya yang pas adalah "Silakan kalian robohkan Bait Allah ini,..." 


Komplek luas Bait Allah (sebelum tahun 70) yang membentang di kawasan yang dinamakan Gunung Bait atau "Temple Mount"

Selanjutnya kita perlu menjalankan tafsiran ("eksegese") intertekstual, dengan menyertakan teks-teks lain di luar Injil Yohanes.

Kalau pasal 15:29 (dan par.) dalam Injil Markus yang ditulis pada tahun 70 ketika Bait Allah baru saja dihancurkan oleh pasukan Romawi, kita perhatikan, maka kita dapat simpulkan bahwa maksud Yesus sebetulnya adalah Yesus sendirilah yang mau merobohkan atau menghancurkan Bait Allah di Yerusalem. 

Dalam teks Markus 15:29 dan par yang dipakai kata sinonim kataluein dengan subjeknya Yesus. Teks ini memuat perkataan orang-orang yang lewat di lokasi penyaliban Yesus sambil mengejek-Nya. Kata mereka, "Hai Engkau yang mau merobohkan (Yunani: kataluôn) Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, turunlah dari salib itu dan selamatkan diri-Mu!"

Bagi komunitas-komunitas Kristen awal yang sudah berdiri sebelum tahun 70, dan sempat menyaksikan (atau mendengar berita) kejatuhan kota Yerusalem dan penghancuran Bait Allah di tahun 70 oleh pasukan Romawi yang dipimpin Jenderal Titus, ucapan Yesus itu harfiah dipenuhi oleh Kekaisaran Romawi. Bukan oleh Yesus.

Peredaksian subjek dan modus kata kerja luein pada teks Yohanes 2:19 memungkinkan si pengisah Injil ini mengaitkan aksi Yesus di Bait Allah itu dengan "tubuh" Yesus (to sômatos autou) yang nanti akan "dirobohkan" lewat penyaliban, yang akan disusul dengan kebangkitan-Nya pada hari yang ketiga (Yohanes 2:19, 21). Peredaksian dan pengaitan ini harus dilakukan lantaran Bait Allah sudah dirobohkan dan dihancurkan oleh pasukan Romawi pada tahun 70, sementara komunitas Kristen Yohanes menulis Injil Yohanes di tahun 95.

Dengan mengacu ke tubuh-Nya sendiri yang akan "dirobohkan", Yesus, dalam kisah Injil Yohanes pasal 2, dipentaskan sudah mengetahui apa konsekuensi tindakan-Nya yang menimbulkan keributan yang disertai ucapan-Nya yang keras di serambi Salomo (atau Portiko Rajani) Bait Allah: hukuman mati. Risiko ini juga yang membuat Yesus dan murid-murid-Nya di senja hari "keluar lagi dari kota Yerusalem", kembali ke Betania, untuk mengamankan diri (dalam kisah Markus 11:19, 12).

Ya, barangsiapa menyerang Bait Allah, apalagi di musim Paskah Yahudi (perayaan mengenang kembali pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir) yang rawan pemberontakan dan keributan (lihat Markus 14:2 dan par.), orang itu menyerang langsung Kekaisaran Romawi yang menjadi penguasa de jure Bait Allah. Si penyerang akan ditangkap lalu dieksekusi. Gerakannya langsung dipadamkan sebelum berkobar membesar.

Berbeda dari Injil-injil Sinoptik (Markus, Matius, Lukas) yang menempatkan kisah aksi Yesus di Bait Allah di bagian-bagian belakang masing-masing Injil (Matius 21:12-17; Markus 11:15-19; Lukas 19:45-48), penulis Injil Yohanes memuat kisah tersebut pada bagian awal Injil, Yohanes 2:13-21, bersisian dengan kisah Yesus mengubah air dalam enam tempayan ritual pembasuhan (yang sudah diisi penuh atas permintaan Yesus sendiri) menjadi anggur dalam suatu perjamuan kawin di Kana (Yohanes 2:1-11). Peristiwa di Kana ini disebut sebagai "tanda (Yunani: semeion) yang pertama" dari semua "tanda-tanda" (Yunani: semeia) yang diperlihatkan atau dibuat Yesus. 

Dengan demikian, penyusun Injil Yohanes menempatkan aksi Yesus di Bait Allah dalam suatu latar atau konteks teologis yang mendorong "orang-orang Yahudi" (Yunani: hoi Ioudaioi, suatu terma khas dalam Injil Yohanes yang mengacu ke lawan-lawan abadi Yesus yang terus muncul dalam keseluruhan Injil ini) untuk menantang Yesus memberi "tanda" bahwa Yesus berhak melakukan aksi keributan di Bait Allah itu (ayat 18). 

Terhadap tantangan itu, Yesus menyebut sebuah "tanda" lain, yakni diri-Nya ("tubuh-Nya") yang akan "dirobohkan", atau disalibkan, lalu "bangkit pada hari ketiga" (ayat-ayat 19, 21-22). 

Selanjutnya, dengan programatis penulis Injil Yohanes menuntun para pembaca injil ini dari satu kejadian ke kejadian lain dalam jalan kehidupan Yesus, sampai tiba di puncaknya atau di penggenapannya atau di garis finish ketika Yesus di kayu salib, saat Dia "dirobohkan", berkata "Sudah selesai" (Yunani: tetelestai; Yohanes 19:30. Terjemahan NRSV: "It is finished."). 

Dalam Injil Yohanes, di kayu salib Yesus tampil gagah, yakin dan tenang hingga ajal-Nya, beda sekali dari Yesus di saat Dia meregang nyawa dan merasa ditinggalkan Allah dalam tuturan penulis Injil Markus (15:34). Kristologi yang berbeda melahirkan kisah-kisah tentang Yesus yang berbeda.

Jangan dilupakan, bagi penyusun Injil Yohanes, lewat salib, ketika Yesus "dirobohkan" oleh "orang-orang Yahudi", malah oleh Allah Dia "ditinggikan" (Yohanes 12:32-33; Yunani: hupsoein) atau "diangkat" kembali dalam "kemuliaan" ke kawasan dari mana Dia telah datang, kawasan sang Bapa (antara lain, Yohanes 16:28). Sebuah paradoks, ya jelas. Tapi, inilah "tanda" yang paling agung dan mulia, yang membuat penuh lingkaran kehidupan Yesus: Dia datang dari "atas", Dia juga kembali ke "atas", lewat penyaliban.

Jadi, jelaslah, bahwa tindakan historis Yesus di Bait Allah itu bukan suatu tindakan simbolik (sebagaimana belakangan ditafsirkan dalam kitab-kitab Injil PB sebagai "penyucian Bait Allah", atau mengacu ke "tubuh-Nya sendiri"), tetapi, dalam realita sejarahnya, adalah tindakan perlawanan dan penolakan kuat Yesus terhadap sistem imamat yang dijalankan dalam ritual-ritual di Bait Allah. 

Ada 4 teks mandiri yang memuat ucapan Yesus bahwa Dia mau merobohkan Bait Allah (Markus 11:15-18; juga 15:29-30 dan 13:1-4 dan paralelnya dalam Matius dan Lukas; lalu Yohanes 2:13-22; KPR 6:12-14; dan Injil Thomas 71). 

Dari empat teks independen ini, versi yang "paling orisinal" ada pada Injil Thomas 71. Saya berikan terjemahannya (terjemahan makna):

"Aku akan menghancurkan rumah ini sampai menjadi puing-puing sehingga tidak ada seorang pun yang akan dapat membangunnya kembali." 

Dengan memakai kriterion "multiple independent attestations", adanya empat sumber mandiri tersebut memastikan bahwa ucapan Yesus bahwa Dia mau merobohkan Bait Allah adalah ucapan langsung dari Yesus sendiri. Ucapan ini belakangan, karena konteks kehidupan yang berbeda, ditafsir lebih luas dalam Injil-injil PB, menjadi ucapan dan tindakan simbolik atau dihubungkan dengan kisah kesengsaraan Yesus dan kebangkitan-Nya.

Nah, sekarang bagaimana halnya dengan kegiatan komersial di Bait Allah? 

Kegiatan penukaran uang (dari uang besar ke uang receh, atau dari mata uang Romawi ke mata uang yang digunakan di Bait Allah) dan penjualan hewan-hewan kurban dibutuhkan untuk ritual-ritual ini dapat berjalan, dan sudah berjalan sangat lama sampai Bait Allah dihancurkan tahun 70. 

Jadi, pada dirinya sendiri, tidak ada yang salah dengan semua aktivitas komersial ini, aktivitas berjualan, plus aktivitas fiskal. Tidak ada yang merampok, dan juga tidak ada yang dirampok. Yesus sama sekali bukan seorang penafsir harga pasaran atas semua barang yang diperjualbelikan atau penilai kurs mata uang. 

Jika begitu, mengapa Yesus sampai melakukan aksi keributan terhadap semua aktivitas komersial di serambi Salomo Bait Allah itu?

Yesus melihat Allah "dari bawah" ("from below"), dari rakyat jelata, "doing theology from below". Sedangkan para penguasa Bait Allah yang elitis melihat Allah "dari atas" ("from above"), yakni dari posisi tinggi mereka yang mengelola Bait Allah menurut aturan-aturan sistem imamat yang harus ditaati mutlak oleh rakyat Yahudi, yakni "theology from above".

Sistem imamat ini membuat jalan masuk ke Allah dikuasai dan dimonopoli segelintir orang, yang berbenturan dengan keyakinan dan ajaran-ajaran Yesus bahwa Allah dialami kehadiran-Nya dan karya kerahiman-Nya sebagai Raja langsung oleh rakyat Yahudi, tanpa perlu diperantarai sistem imamat. Kata Yesus berulangkali kepada murid-murid-Nya dan orang banyak, "Kerajaan Allah telah datang (Yunani: phthanein) kepada kalian" (Lukas 11:20 dan par.), atau "Kerajaan Allah ada di antara/di tengah kalian" (Yunani: hē basileia tou theou entos humôn estin; Lukas 17:21), tanpa perlu mediator sistem imamat.

Benturan atau konflik teologi "dari bawah" yang dihayati Yesus dengan teologi "dari atas" kalangan penguasa Bait Allah akhirnya mendorong Yesus untuk melakukan aksi di serambi Salomo yang diperkeras lagi oleh ucapan-ucapan-Nya ketika Dia berkunjung ke Yerusalem. Di saat itu, tentu emosi Yesus naik. 

Dengan latar teologi Yesus itu, yang dibangun-Nya dari perspektif "kalangan bawah", pantas juga jika para manajer religiopolitik, ekonomi dan fiskal yang menjalankan sistem imamat disebut dalam Injil-injil Sinoptik sebagai para "penyamun" (Yunani: lēstēs; yang juga berarti "bandit" atau "penjahat") yang bersarang di Bait Allah (Markus 11:17; Matius 21:13; Lukas 19:46). Kalangan elitis Bait Allah mengambil dari rakyat, sedangkan Allah, sang Bapa, memberi kemurahan kepada rakyat Yahudi. Tentu kita ingat ucapan Yesus (Matius 5:7; bdk. Lukas 6:36), "Berbahagialah mereka yang murah hati, karena mereka akan beroleh kemurahan (dari Allah)."

Dalam tuturan Injil Yohanes 2:13-22, kita tidak temukan kata "penyamun", beda dari tuturan Injil-injil Sinoptik. Yang muncul dalam Injil Yohanes adalah perintah Yesus kepada semua pedagang burung merpati, "Ambil semua ini dari sini; jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku tempat berjualan (Yunani: emporion)."

Mengapa Yesus dalam kisah Injil Yohanes ini tidak mengizinkan orang berdagang di serambi Salomo? Bukankah Yesus tahu, bahwa semua aktivitas komersial ini diperlukan untuk ritual-ritual kurban dan persembahan dalam Bait Allah, serta kegiatan fiskal, dapat berjalan menurut sistem imamat?

Ya, kembali ke hal yang sudah ditulis di atas. Jika Yesus dapat mencegah dan menghentikan selamanya aktivitas komersial, finansial dan fiskal yang sebetulnya dibutuhkan dalam sistem imamat atau sistem Bait, maka, dalam keyakinan Yesus, sistem ini akan lumpuh, akan mati. Alhasil, rakyat dapat berjumpa Allah langsung, tanpa lewat broker sistem imamat. Allah didesentralisasi ke tengah-tengah rakyat, langsung, tidak perlu lagi tersentralisasi di Bait Allah.

Dan... Yesus tahu konsekuensi dari aksi keributan-Nya itu di serambi Salomo Bait Allah. Yesus akan dihukum mati lewat penyaliban, seperti sudah dikemukakan di atas.

Ya, murid-murid Yesus, termasuk komunitas penulis Injil Yohanes, tentu bergumul, apa yang mendorong Yesus sampai Dia menciptakan aksi keributan, disertai ucapan-Nya yang keras, di Bait Allah, meski Yesus sudah tahu apa yang akan jadi akibatnya. Mereka tidak melihat bentrokan antara "teologi dari bawah" yang dihayati Yesus dengan "teologi dari atas" yang termanifestasi dalam sistem imamat, sebagai penyebab aksi Yesus itu.

Mereka mencari teks dari Alkitab Ibrani, lalu melakukan kegiatan penafsiran (metode "pesher") untuk bisa menjelaskan mengapa Yesus bertindak dan berkata keras dalam Bait Allah. 

Nah, penulis Injil Yohanes menemukan teks Mazmur 69:10, dan dilihatnya teks ini dapat menjelaskan, atau dipenuhi oleh, tindakan dan perkataan keras Yesus itu. Perilaku keras Yesus itu muncul karena (mengutip TB LAI) "cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku."

Tapi kata "cinta" (Yunani: agapē) tidak muncul dalam kutipan Yohanes atas teks Mazmur tersebut. Yang dipakai dalam Yohanes 2:17 adalah kata Yunani zēlos (lengkapnya: ho zēlos tou oikou sou). Teks NRSV menerjemahkan ho zēlos dengan "zeal", dapat juga "passion". Teks NRSV Mazmur 69:10 (atau ayat 9) juga memakai kata "zeal".

Kata zēlos (dari kata ini muncul kata zēlôtēs) atau "zeal" sebaiknya diterjemahkan "emosi yang membara" atau "antusiasme yang berkobar" atau "gairah yang bergelora" atau "semangat yang menggebu", atau satu kata saja: fanatisme. Jika mau diterjemahkan "cinta", ya artinya "cinta buta", atau "cinta yang menyala-nyala".

Nah, "zeal" atau fanatisme Yesus terhadap "rumah Allah" atau Bait Allah, menurut penulis Injil Yohanes, adalah pendorong sangat kuat untuk Yesus melakukan aksi penolakan terhadap aktivitas komersial di serambi Salomo. Akibatnya sudah diketahui Yesus, bahwa Dia akan "dirobohkan", "dihanguskan".

Tapi ada sebuah paradoks terlihat: Bagaimana mungkin Bait Allah bisa ada dan berfungsi jika sistem imamat dengan ritual-ritualnya serta aktivitas perdagangan dan fiskal di dalamnya tidak dikehendaki Yesus? Bukankah kalau Yesus "cinta buta" terhadap Bait Allah, Dia harus terima Bait Allah dan sistem imamat apa adanya, dan menjaga keduanya untuk tetap ada dan berfungsi?

Karena melihat paradoks ini, penulis Injil Yohanes akhirnya mengalegorikan (yakni, memberi arti lain yang bukan arti harfiah) Bait Allah atau rumah Allah sebagai "tubuh" Yesus sendiri yang akan "dirobohkan" lewat penyaliban.

Tetapi sebuah paradoks lain muncul: Jika Yesus luar biasa mencintai tubuh-Nya, mengapa Yesus mempersilakan "orang-orang Yahudi", lawan-lawan-Nya yang paling keras, untuk "merobohkan" atau "menghancurkan"-nya?

Jawabannya, ya karena memang Yesus yang datang "dari atas" harus kembali "ke atas" lewat penyaliban tubuh-Nya yang dilakukan orang-orang Yahudi, pada saat mana Dia menyerahkan atau melepaskan "nyawa-Nya" (Yohanes 19:30b). Ke mana? Kembali ke sang Bapa, ke kawasan "Pada mulanya" (en arkhē) (Yohanes 1:1), kawasan adikodrati. Dengan sadar, Yesus mau menjalani drama "turun" dari lalu "naik" kembali ke sorga ini.

Jadi, sudah di awal Injil Yohanes, pasal 2, "jalan kehidupan Yesus" sudah diprogram oleh pengisahnya, yang selanjutnya dipentaskan dari satu adegan ke adegan lainnya hingga "sudah selesai" di kayu salib. 

8 Maret 2021
ioanes rakhmat



Sunday, March 7, 2021

"Monster Virus" di Amerika



Pemerintah Amerika Serikat menginjeksi lebih dari 1,4 juta warganya per hari dengan dosis tunggal vaksin-vaksin unggulan (vaksin-vaksin mRNA Pfizer dan Moderna, plus vaksin adenovirus Johnson&Johnson).

Dengan "vaccination rate" yang tinggi itu, dalam 2-3 bulan terakhir ini, sudah ada 86 juta penduduk Amerika yang sudah divaksinasi dosis pertama, yang akan disusul dengan dosis kedua (untuk vaksin mRNA yang ada). Sedangkan untuk vaksin adenovirus Johnson&Johnson, lengkap cukup 1 dosis saja.

Dengan kecepatan vaksinasi yang luar biasa tinggi itu, optimisme kembali ke kehidupan normal sedang berkembang di Amerika dalam memasuki musim semi dan musim panas mendatang.

Tetapi para pakar dan lembaga-lembaga kesehatan Amerika mengingatkan bahwa "herd immunity" masih jauh untuk dicapai bagi negara yang berpenduduk 332.915.073 orang per hari ini di 2021. Bulatkan saja, jadi 333 juta orang.

Jika "herd immunity" atau "kekebalan populasi" dapat dicapai dengan menciptakan kekebalan atau imunitas pada 75% dari total populasi suatu negara atau kawasan, itu berarti Amerika harus sudah mengvaksinasi dosis ganda lengkap 249.750.000 penduduknya. Bulatkan jadi 250 juta orang.

Sekarang ini, yang sudah divaksinasi dosis tunggal baru 86 juta orang, dalam kurang lebih 2,5 bulan terakhir. Baru Juni 2021, 86 juta orang ini akan sudah divaksinasi dosis lengkap.

Jika dalam 6 bulan Amerika bisa mengvaksinasi dosis lengkap 86 juta warganya, maka dibutuhkan waktu 18 bulan untuk mencapai angka 75% warganya. Itu berarti, awal fase "herd immunity" Amerika baru akan tercapai sekitar bulan Juli atau Agustus 2022 yang akan datang.

Jadi, "ancaman" si virus masih serius buat warga Amerika dalam 1,5 tahun ke depan, meski Amerika kini menjadi salah satu negara dari 10 negara kaya yang memborong vaksin-vaksin unggulan yang ada.

Belum lagi kalau mutasi-mutasi besar virus diperhitungkan dengan serius. Mutasi-mutasi besar akan membuat vaksin-vaksin tidak efektif lagi, dan orang-orang yang sebelumnya sudah divaksinasi akan tidak imun lagi. Dus, vaksinasi akan jadi perlu dilakukan berkala (6 bulan atau 12 bulan sekali), dan vaksin-vaksin yang sudah ada juga perlu disetel ulang atau di-"adjust" berkala juga. Ini bukan cuma pandemi, tapi sekaligus juga endemi global.

Nah, sekarang ini di banyak lokasi dan negara bagian Amerika, protokol kesehatan ("precautions") 4-5 M sudah mulai dilonggarkan atau malah diangkat sepenuhnya. Sementara, kasus-kasus terinfeksi oleh mutan-mutan virus makin meningkat, dari semula 1-2%, menjadi 20-30% dari keseluruhan kasus positif. Angka ini akan makin meningkat drastis jika yang menginfeksi adalah "mixed mutant" seperti mutan virus Portland, Oregon.

Tak heran, diperhadapkan pada fakta-fakta di atas, dan pada watak hidup ingin bebas orang Amerika, seorang pakar penyakit infeksius Amerika mengingatkan bahwa kini penduduk Amerika "sedang berjalan masuk ke mulut si monster virus".

Ya, mutan virus Portland adalah salah satu monster yang sudah terdeteksi, dengan baru satu kasus. Tapi tak bisa disepelekan.

Mutan virus SARS-CoV-2 yang terdeteksi di Portland, Oregon, Amerika, ternyata adalah suatu "mixed mutant" yang telah bermutasi gabungan, menyerap sekaligus mutasi-mutasi yang telah ditemukan pada mutan-mutan Afrika Selatan, Inggris, Brazil, dan kota New York.

Si "mixed mutant" Portland ini jauh lebih cepat menular dan lebih mematikan. Diperkirakan juga akan membuat vaksin-vaksin unggulan yang telah ada tidak akan bekerja efektif lagi.

Kasus-kasus terinfeksi di masa-masa yang akan datang di Amerika dilihat akan jauh lebih banyak kasus terinfeksi "mixed mutant" Portland ini.

Berabe ya. Ruwet. Jangan tidak peduli.

Virus-virus mau hidup terus dalam tubuh inang manusia, tapi orang yang imun sudah makin banyak lewat kesembuhan, dan segera lewat vaksinasi jika vaksin-vaksin akan efektif untuk jangka panjang. Lantas?

Ya si virus memutasi diri, begitu rupa, besar-besaran, tak terkontrol, bahkan menggabung mutasi-mutasi yang sudah terjadi sebelumnya di seluruh dunia.

Prinsip "survival of the fittest" dalam fakta evolusi memang real. Mutasi virus adalah bagian dari evolusi virus. Untuk bertahan hidup, virus SARS-CoV-2 mengadaptasi diri dengan dunia yang makin kuat melawan dan menggempurnya. Adaptasi ya lewat mutasi-mutasi, dalam tubuh manusia di saat mereka mereplikasi diri.

Sekarang, ya.... adu pintar dan adu cepat antara si virus yang bermutasi terus dan makin kuat, dan makin "deadly", dengan para ilmuwan dan perusahaan-perusahaan farmasi pengembang vaksin-vaksin.

Kabarnya, Pfizer-BioNTech telah "menyetel ulang" atau "meng-adjust" vaksin mRNA mereka sebagai respons terhadap mutan-mutan virus corona. Sekarang, mereka sedang menguji "kehebatan" vaksin mRNA generasi kedua dalam memerangi mutan-mutan.

Tak terdengar berita apakah vaksin yang sedang dipakai di Indonesia, vaksin SinoVac, juga perlu di-"adjust", sementara kita tahu vaksin ini dikembangkan berdasarkan sekuens genetik SARS-CoV-2 yang dideteksi di Wuhan, China, Desember 2019.

Mereka yang mengerti dipenuhi pertanyaan. Jawaban yang tersedia masih sedikit, atau tidak ada sama sekali. Mungkin semua orang di dunia berharap, alam segera mengulurkan tangan untuk melenyapkan semua virus penyebab penyakit Covid-19. Tapi para pakar epidemiologi bertanya, apakah alam bisa.


Minggu, 7 Maret 2021
ioanes rakhmat


https://www.cnn.com/2021/03/06/health/us-coronavirus-saturday/index.html

https://www.usnews.com/news/health-news/articles/2021-03-05/scientists-discover-mutation-of-uk-coronavirus-strain-in-oregon

Sunday, February 28, 2021

Teologi Salib versus Teologi Kemuliaan dalam Teks Markus 8:31-38


"Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!" Apakah ini sebuah pengakuan kebenaran, atau sebuah satir?


N.B. editing mutakhir 26 November 2021


Di pagi yang cerah tadi, Mulai pk. 9:20 WIB, Minggu, 28 Februari 2021, saya ikut ibadah online GKI Kepa Duri. Ada 2 penatua yang bertugas: Pnt. Elinne Ratnasari dan Pnt. Simon Tobing.

TPG Christian Siregar tampil sebagai pemberita firman. Khotbahnya keren dan otoritatif; saya mendengarkannya dengan penuh minat. Teks khotbah diambil dari Markus 8:31-38.

Terima kasih kepada Majelis Jemaat GKI Kepa Duri dan semua pihak yang berperan, yang memungkinkan ibadah online berjalan dengan baik setiap hari Minggu.

Pada kesempatan ini saya mau jauh lebih memperdalam telaah atas teks khotbah tersebut. Supaya para pelayan gereja dapat menyusun sebuah khotbah yang berbeda, yang tidak biasa, yang tidak usang, tidak klise, jika teks skriptural yang sama dipakai lagi.

Teks Markus 8:31-38 mengisahkan kali pertama ihwal Yesus memberitahukan kepada "murid-murid-Nya" dan "orang banyak" bahwa jalan yang akan ditempuh-Nya adalah jalan sengsara (Latin: via dolorosa) atau jalan salib (Latin: via crucis) (ay. 31, 34).

Kita sebut, teologi yang dihayati Yesus adalah theologia crucis (Latin) atau teologi salib (Yunani: staurotheologos). Frasa Inggrisnya "theology of the cross". Orang Jerman seperti Martin Luther menyebutnya Kreuzestheologie.

Tetapi Petrus tidak mendukung teologi salib Yesus. Dengan nekad, sang rasul kepala ini menarik Yesus ke samping dan "menegur" atau "memarahi" atau "memperingatkan" (Yunani: epitimaein) Yesus. Akibatnya, Yesus langsung di depan murid-murid-Nya "memarahi" balik Petrus, "menegur" sang rasul ini dengan sangat keras. Hardik Yesus:

"Enyahlah Iblis (Yunani: satana), sebab engkau (Petrus) bukan memikirkan (Yunani: fronein) apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." (ay. 33). 

Dalam Alkitab versi NRSV kata Yunani fronein diterjemahkan "on the side of", "memihak kepada": memihak kepada Allah, atau memihak kepada manusia. Jadi, Yesus melihat diri-Nya memihak ke Allah, sedangkan Petrus ke manusia yang sedang dikuasai Iblis. Tapi, terjemahan "memikirkan", hemat saya lebih tepat, lantaran kisah Markus ini adalah kisah bentrokan atau konflik dua ide teologis.

Ya, jelas ada konflik pandangan tentang siapa Yesus antara Yesus dan rasul Petrus. Bagi Yesus sudah jelas, teologi-Nya atau "pikiran Allah" adalah teologi salib. Lalu, apa teologi Petrus yang oleh Yesus disebut "pikiran manusia" yang dikehendaki Iblis

Kuncinya terdapat pada ucapan pengajaran pemuridan yang disampaikan Yesus pada ayat 36, "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia (Yunani: kerdainein ton kosmon holon), tetapi dia kehilangan nyawanya?"

Frasa "memperoleh seluruh dunia" mengingatkan kita pada kisah-kisah injil tentang Yesus dicobai Iblis/Setan. Penulis Injil Markus tidak mengisahkan terinci pencobaan (Yunani: peirasmos) apa saja yang dialami Yesus (Markus 1:12-13). Matius dan Lukas memuat kisah pencobaan ini dengan terinci (Matius 4:1-11, par. Lukas 4:1-13).

Salah satu tawaran Iblis kepada Yesus ketika Yesus dicobai adalah "semua kerajaan dunia" dengan "segala kuasa,  kemuliaan dan kemegahannya" akan diberikan Iblis kepada Yesus jika Yesus mau menyembah Iblis yang sedang mencobai-Nya (Matius 4:8-9; Lukas 4:5-7).

Tawaran si Iblis itulah yang ada dalam pikiran Petrus, yakni Yesus harus menguasai dunia, kerajaan dunia dengan segala yang ada di dalamnya: kuasa, kemegahan, dan kemuliaan (Yunani: doksa; Latin: gloria). Dus, jalan ke situ adalah Yesus harus menjadi raja Yahudi yang penuh kemuliaan. Inilah teologi kemuliaan, theology of glory, theologia gloriae.

Dalam bingkai teologi kemuliaan yang dipegang para murid Yesus dan orang Yahudi umumnya dalam masa kehidupan Yesus, mereka menantikan Zaman Mesianik tiba, dan seorang Messias raja muncul untuk meremukkan kekuasaan Kekaisaran Romawi yang sedang menjajah negeri Israel (sejak 63 SM), lalu kerajaan Daud yang agung dan mulia akan berdiri kembali. 

Oh ya, kata "Messias" dialihkan dari kata Ibrani Massiakh (Yunani: Khristos, Indonesia: Kristus), artinya "orang yang diurapi" atau "dilantik (atas nama Allah)" lewat suatu ritual peminyakan Yahudi untuk menjalankan tugas-tugas ilahi. Raja-raja Yahudi kuno, di samping jabatan-jabatan suci lainnya, dilantik lewat ritual ini menjadi Messias.

Nah, langsung setelah Yesus dikisahkan menyampaikan ajaran teologi salib untuk kali ketiga (Markus 10:32-34), dalam Markus 10:35-45 dengan jelas Markus menggambarkan bahwa dua orang murid Yesus lainnya, yakni Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, memegang teologi kemuliaan. Mereka meminta kepada Yesus kedudukan yang mulia nanti, ketika saatnya tiba, saat Yesus duduk di takhta mulia kerajaan messianik, yang melanjutkan dinasti Daud.

Kata mereka kepada Yesus, 

"Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang di sebelah kanan-Mu, dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu." (ay. 37). 

Seperti Petrus yang dimarahi Yesus, dua murid tersebut, setelah dituntun oleh Yesus ke pemahaman yang berbeda, juga dimarahi, tetapi bukan oleh Yesus, melainkan oleh sepuluh murid lainnya (ay. 41).

Ya, Markus 8:31-38 mengisahkan benturan antara teologi salib yang dipegang Yesus dan teologi kemuliaan yang digenggam erat oleh para murid Yesus dan orang banyak. 

Kalau menurut Yesus adalah suatu "keharusan ilahi" (Yunani: dei, Markus 8:31) bagi-Nya untuk menjalani jalan kesengsaraan, tidak demikian halnya menurut para murid-Nya dan orang banyak.

Tak ada ide teologis tentang sang Messias yang sengsara, yang memikul salib, lalu mati dibunuh di kayu salib, dalam pikiran orang Yahudi. Sebaliknya, setidaknya sejak Jenderal Romawi Pompey menaklukkan dan menguasai Palestina (63 SM), bangsa Yahudi menunggu kemunculan seorang Messias petempur, seorang Messias perang, "a warrior messiah", yang akan memerdekakan dan menyucikan kembali negeri mereka.

Juga, dalam ide messianik Yahudi, tak ada sang Messias yang menyerang Bait Allah di Yerusalem, seperti yang telah dilakukan Yesus (Markus 11:15-19; par. Matius 21:12-13; Lukas 19:45-48; Yohanes 2:13-16). Dalam ideologi messianisme Yahudi, seorang Messias sejati akan menjaga dan melindungi kota Yerusalem di mana Bait Allah berada (sebagai pusat kekuasaan religiopolitik dan pusat ekonomi), bukan menyerangnya.

Dalam karya pseudepigrafis yang ditulis dalam bahasa Yunani dalam kurun antara 63 SM dan 37 SM, yang diberi judul Mazmur-mazmur Salomo (Yunani: Psalmoi Solomontos, Inggris: Psalms of Solomon), kita temukan ungkapan eksplisit Yahudi pertama tentang pengharapan kedatangan seorang Messias keturunan Daud yang diberi gelar "Tuhan Kristus" (Yunani: Kurios Khristos) (17:32). Sang Messias ini digambarkan akan memulihkan dan mempertahankan kesucian kota Yerusalem yang di dalamnya Bait Allah berada (17:30). Dalam teks-teks gulungan dari Laut Mati, Dead Sea Scrolls, ditemukan juga pengharapan akan kedatangan seorang Messias keturunan Daud yang akan memerintah dengan adil dan berperang mempertahankan dan membela negeri Israel (4Q161; 4Q285; 4Q252; 4Q174).

Pendek kata, tidak ada tradisi Yahudi dalam Alkitab Ibrani, Pseudepigrafa, dan Apokrifa, tentang seorang Messias yang terang-terangan menolak dan menyerang Bait Allah.

Nah, terkait dengan aksi-Nya di salah satu bagian Bait Allah yang dinamakan Serambi Salomo (TB LAI. Ibrani: Ha-stav ha-Mal'ḥuti, הסטיו המלכות; Yunani: tē stoa tou Solomônos. Lihat Yohanes 10:23; juga KPR 3:11; 5:12), Yesus, dalam Injil Yohanes (ditulis tahun 95), berkata "Rombak Bait Allah ini,..." (Yohanes 2:19). 

TB LAI menerjemahkan kata Yunani lusate pada Yohanes 2:19 dengan "Rombak"; tapi sebetulnya lebih tepat diterjemahkan "Robohkan" atau "Hancurkan" (NRSV dengan tepat memakai kata "destroy"). Karena kata kerja lusate pada ayat itu bermodus imperatif permisif, terjemahannya yang pas adalah "Silakan kalian robohkan Bait Allah ini,..." 

Kalau pasal 15:29 (dan par.) dalam Injil Markus yang ditulis pada tahun 70 ketika Bait Allah baru saja dihancurkan oleh pasukan Romawi, kita perhatikan, maka kita dapat simpulkan bahwa maksud Yesus sebetulnya adalah Yesus sendirilah yang mau merobohkan atau menghancurkan Bait Allah di Yerusalem. 

Dalam teks Markus 15:29 dan par yang dipakai adalah kata sinonimnya kataluein dengan subjeknya Yesus. Teks ini memuat perkataan orang-orang yang lewat di lokasi penyaliban Yesus dan mengejek-Nya. Kata mereka, "Hai Engkau yang mau merobohkan (Yunani: kataluôn) Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, turunlah dari salib itu dan selamatkan diri-Mu!"

Bagi komunitas-komunitas Kristen awal yang sudah berdiri sebelum tahun 70, dan sempat menyaksikan (atau mendengar berita) kejatuhan kota Yerusalem dan penghancuran Bait Allah di tahun 70 oleh pasukan Romawi yang dipimpin Jenderal Titus, ucapan Yesus itu harfiah dipenuhi oleh Kekaisaran Romawi.

Peredaksian subjek dan modus kata kerja luein pada teks Yohanes 2:19 memungkinkan si pengisahnya mengaitkan aksi Yesus di Bait Allah itu dengan "tubuh" Yesus (to sômatos autou) yang nanti akan dirobohkan lewat penyaliban, yang akan disusul dengan kebangkitan-Nya pada hari yang ketiga (Yohanes 2:19, 21). Peredaksian dan pengaitan ini harus dilakukan lantaran Bait Allah sudah dirobohkan dan dihancurkan oleh pasukan Romawi pada tahun 70, sementara komunitas Kristen Yohanes menulis Injil Yohanes di tahun 95.

Dengan mengacu ke tubuh-Nya sendiri, Yesus, dalam kisah Injil Yohanes pasal 2, dipentaskan sudah mengetahui apa konsekuensi tindakan-Nya yang menimbulkan keributan di serambi Salomo (atau Portiko Rajani) Bait Allah: hukuman mati. Risiko ini juga yang membuat Yesus dan murid-murid-Nya di senja hari "keluar lagi dari kota Yerusalem", kembali ke Betania, untuk mengamankan diri (Markus 11:19, 12).

Ya, barangsiapa menyerang Bait Allah, apalagi di musim Paskah Yahudi yang rawan pemberontakan dan keributan (lihat Markus 14:2 dan par.), orang itu menyerang langsung Kekaisaran Romawi yang menjadi penguasa de jure Bait Allah. Si penyerang akan dieksekusi. Gerakannya langsung dipadamkan sebelum berkobar membesar.

Berbeda dari Injil-injil Sinoptik (Markus, Matius, Lukas) yang menempatkan kisah aksi Yesus di Bait Allah di bagian-bagian belakang masing-masing Injil (Matius 21:12-17; Markus 11:15-19; Lukas 19:45-48), penulis Injil Yohanes memuat kisah tersebut pada bagian awal Injil, Yohanes 2:13-21, bersisian dengan kisah Yesus mengubah air dalam tempayan ritual pembasuhan menjadi anggur dalam suatu perjamuan kawin di Kana (Yohanes 2:1-11). Peristiwa di Kana ini disebut sebagai "tanda (Yunani: semeion) yang pertama" dari semua "tanda-tanda" (Yunani: semeia) yang diperlihatkan Yesus. 

Dengan demikian, penyusun Injil Yohanes menempatkan aksi Yesus di Bait Allah dalam suatu latar atau konteks teologis yang mendorong "orang-orang Yahudi" untuk menantang Yesus memberi "tanda" bahwa Yesus berhak melakukan aksi keributan di Bait Allah itu (ayat 18). Patut diingat, "orang-orang Yahudi" (Yunani: hoi Ioudaioi) adalah suatu terma khas dalam Injil Yohanes yang mengacu ke lawan-lawan abadi Yesus yang terus-menerus muncul dalam keseluruhan Injil ini. 

Terhadap tantangan itu, Yesus menyebut sebuah "tanda" lain, yakni diri-Nya ("tubuh-Nya") yang akan "dirobohkan", atau disalibkan, lalu "bangkit pada hari ketiga" (ayat-ayat 19, 21-22). 

Selanjutnya, dengan programatis penulis Injil Yohanes menuntun para pembaca injil ini dari satu kejadian ke kejadian lain dalam jalan kehidupan Yesus, sampai tiba di puncaknya atau di penggenapannya atau di garis finish ketika Yesus di kayu salib berkata "Sudah selesai" (Yunani: tetelestai; Yohanes 19:30. Terjemahan NRSV: "It is finished."). 

Lewat salib, Yesus "ditinggikan" (12:32-33; Yunani: hupsoein) atau "diangkat" kembali dalam "kemuliaan" ke kawasan dari mana Dia telah datang, kawasan sang Bapa (antara lain, Yohanes 16:28). Inilah "tanda" yang paling agung dan mulia, yang membuat penuh lingkaran kehidupan Yesus: Dia datang dari "atas", Dia juga kembali ke "atas", lewat penyaliban.

Jadi, jelaslah, bahwa tindakan historis Yesus di Bait Allah itu bukan suatu tindakan simbolik (sebagaimana ditafsirkan dalam kitab-kitab Injil PB sebagai "penyucian Bait Allah", atau mengacu ke "tubuh-Nya sendiri"), tetapi, dalam realita sejarahnya, adalah tindakan perlawanan dan penolakan kuat Yesus terhadap sistem imamat yang dijalankan dalam ritual-ritual di Bait Allah. 

Kegiatan penukaran uang dan penjualan hewan-hewan kurban dibutuhkan untuk ritual-ritual ini dapat berjalan. Jadi, pada dirinya sendiri, tidak ada yang salah dengan semua aktivitas komersial ini, aktivitas berjualan. Tidak ada yang merampok, dan juga tidak ada yang dirampok. Yesus sama sekali bukan seorang penafsir harga pasaran atas semua barang yang diperjualbelikan atau penilai kurs mata uang. Jika begitu, mengapa Yesus sampai melakukan aksi keributan terhadap semua aktivitas komersial di serambi Salomo Bait Allah itu?

Yesus melihat Allah "dari bawah" ("from below"), dari rakyat jelata, "doing theology from below". Sedangkan para penguasa Bait Allah yang elitis melihat Allah "dari atas" ("from above"), yakni dari posisi tinggi mereka yang mengelola Bait Allah menurut aturan-aturan sistem imamat yang harus ditaati mutlak oleh rakyat Yahudi, yakni "theology from above".

Sistem imamat ini membuat jalan masuk ke Allah dikuasai dan dimonopoli segelintir orang, yang berbenturan dengan keyakinan dan ajaran-ajaran Yesus bahwa Allah dialami kehadiran-Nya dan karya kerahiman-Nya sebagai Raja langsung oleh rakyat Yahudi, tanpa perlu diperantarai sistem imamat. Kata Yesus berulangkali kepada murid-murid-Nya dan orang banyak, "Kerajaan Allah telah datang (Yunani: phthanein) kepada kalian" (Lukas 11:20 dan par.), atau "Kerajaan Allah ada di antara/di tengah kalian" (Yunani: hē basileia tou theou entos humôn estin; Lukas 17:21), tanpa perlu mediator sistem imamat.

Dengan latar teologi Yesus itu, yang dibangun-Nya dari perspektif "kalangan bawah", pantaslah jika para manajer religiopolitik dan ekonomi yang menjalankan sistem imamat disebut-Nya sebagai para "penyamun" (Yunani: lēstēs; yang juga berarti "bandit" atau "penjahat") yang bersarang di Bait Allah (Markus 11:17; Matius 21:13; Lukas 19:46). Kalangan elitis Bait Allah mengambil dari rakyat, sedangkan Allah, sang Bapa, memberi kemurahan kepada mereka. 

Jelas, memang ada konflik tajam antara Yesus dan Bait Allah. Dalam musim perayaan Paskah Yahudi yang berlangsung 7 hari, dengan sangat banyak orang (ratusan ribu) terhimpun di kota Yerusalem, Yesus menyerang Bait Allah, mau menghancurkannya. 

Tentu, sekali lagi, ada risiko berat bagi setiap orang yang melawan dan mau menghancurkan Bait Allah, meski perlawanan dan penyerangan yang kecil saja. Melawan dan menyerang Bait Allah berarti melawan dan menyerang pusat kekuasaan religiopolitik Yahudi dan pusat ekonomi yang semuanya, pada dasarnya, ada dalam genggaman Kekaisaran Romawi.

Selanjutnya, dalam konsep messianik Yahudi menjelang dan pada abad 1 M, seperti ditemukan dalam sastra pseudepigrafis Mazmur-mazmur Salomo yang sudah disebut diatassang Messias yang akan datang haruslah satu sosok agung, mulia dan kuat yang dengan gagah berani akan mengobarkan perang untuk mengusir penjajah tanah mereka. "A warrior messiah", itulah yang dinanti orang Yahudi, juga di masa kehidupan Yesus.

Yesus tak pernah diakui sebagai sang Messias oleh orang Yahudi yang beragama Yahudi hingga saat ini. Lantaran dua kriteria messianik minimal tersebut (menjaga dan melindungi Bait Allah, dan menjadi Messias perang) tak terpenuhi dalam jalan kehidupan Yesus.

Ya, Yesus menempuh jalan lain, via dolorosa, yang akhirnya memberi signifikansi universal, bukan nasional Yahudi. Ketimbang menyayangi bangsa Yahudi saja, Yesus menjadi wujud aktif kasih Allah bagi seisi dunia. 

Makna kehidupan Yesus yang berhorison universal ini ditemukan, misalnya, oleh penulis Injil Yohanes (3:16a). Jika wujud aktif kasih Allah terhadap dunia ini dipercaya, maksudnya: diaktualisasi, oleh seseorang atau oleh gereja, maka orang itu, atau gereja, menjalankan suatu kehidupan sekualitas kehidupan Allah, yakni kehidupan kekal, dalam dunia sekarang ini. 

Di era kekristenan awal, adakah sosok Yahudi yang tampil sebagai seorang messias perang? Ada. 

Dalam Pemberontakan Yahudi Kedua (132-135 M), Simon bar Kokhba mengambil peran sebagai sang Messias Yahudi, yang menjadi panglima perang. 

Dalam beberapa bagian tulisan para rabbi Yahudi, nama Simon bar Kokhba (atau Simon bar Kosevah/Kosibah) muncul, digambarkan sebagai panglima perang atau nasi ("pangeran") yang berkarakter keras, gigih dan sangat percaya diri (Talmud Yerusalem, Ta'anit 4:5; Ratapan Rabbah 2:5).

Perang Yahudi Pertama (66-73 M) berakhir dengan kekalahan bangsa Yahudi, kota Yerusalem dibumihanguskan, dan Bait Allah dihancurkan (tahun 70 M). 

Dalam perang kedua yang dipimpin Messias Simon bar Kokhba ("bar Kokhba" artinya "si anak bintang", suatu simbol messianik), akhirnya, setelah 3 tahun bangsa Yahudi berhasil menjadi kerajaan yang merdeka, Roma berhasil mengalahkan Simon bar Kokhba dan pasukannya (200.000 orang Yahudi) setelah benteng pertahanan mereka di kota kecil Betar dikepung lalu jatuh ke tangan pasukan Romawi. Sang Messias Simon bar Kokhba ditawan dan dibawa ke Roma, dan di sana kepalanya dipenggal.

Sebagai tindak lanjut kemenangan Romawi, pada tahun 135 Kaisar Hadrianus mengeluarkan Dekrit Hadrianus yang melarang orang Yahudi mendiami tanah Israel kembali, dan nama kota Yerusalem diubah menjadi Aelia Capitolina (dari salah satu nama Hadrianus, Aelius).

Selain itu, Hadrianus juga mengkonsolidasi 3 provinsi lama negeri Israel (Yudea, Samaria dan Galilea), menjadi satu provinsi negara baru Palestina Syria.

Langkah-langkah strategis Hadrianus ini menutup kemungkinan orang Yahudi mengklaim kembali Palestina sebagai negara mereka dan Yerusalem sebagai kota suci negara mereka. Begitulah, Messianisme nasionalis Yahudi gagal total.

Jadi, bisa dipahami, meski ditolak tegas oleh Yesus, jika para murid-Nya dan orang banyak Yahudi mengharapkan Yesus berjuang keras untuk meraih posisi yang mulia sebagai sang raja Yahudi yang akan melanjutkan keagungan dinasti raja Daud, dengan mengalahkan Kekaisaran Romawi yang sedang menguasai negeri mereka. 

Bagaimana pun juga, teologi salib Yesus berkonflik dengan teologi kemuliaan Yahudi. Benturan dua teologi ini paling keras terjadi ketika Yesus akhirnya dibunuh lewat penyaliban. Para penganut teologi kemuliaan, termasuk para pemimpin religiopolitik Yahudi, dan orang-orang lain, menghujat, mengejek dan memperolok Yesus pada peristiwa penyaliban (Markus 15:29-32).

Namun, bagi penulis Injil Markus, teologi salib yang dihayati Yesus akhirnya bermuara juga pada pengakuan akan kemuliaan Yesus, bukan berupa duduknya Yesus di takhta kerajaan dinasti Daud, melainkan ketika Dia diakui sebagai "Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!" oleh kepala pasukan Romawi yang berdiri berhadapan dengan Yesus saat Yesus mati di kayu salib dan melihat cara kematian Yesus (Markus 15:39). Kemuliaan jenis ini tak bisa masuk ke dalam ide Messianisme Yahudi. Paradoks kemuliaan Yesus!

Bagi penulis Injil Markus, takhta mulia Yesus sebagai sang Messias, Anak Allah, bukan takhta emas kerajaan dunia, tapi kayu salib, dan mahkota Yesus adalah anyaman duri (Markus 15:17). 

Dalam dunia pagan Greko-Romawi, sosok-sosok besar yang dipandang adiinsani, superhuman, tidak ada yang berakhir di kayu salib. Sosok-sosok besar di kawasan luas ini diberi status atau dipercaya sebagai demigod atau semideus (Latin) atau hēmitheos (Yunani) atau theios anēr (Yunani), atau sosok setengah dewa atau manusia ilahi. Dilihat dari sudut ini, ada dasar untuk menafsirkan pernyataan sang kepala pasukan Romawi tentang siapa Yesus sebagai sebuah satir, bukan suatu pengakuan seorang pagan yang sungguh-sungguh. Roma pun ikut mengejek Yesus, mengejek Yerusalem.



Paradoks mahkota kemuliaan Yesus

Apakah ada pesan simbolik dari mahkota anyaman duri ini? Tampaknya ada. Pada Kejadian 3:18, ditulis bahwa salah satu hukuman Allah kepada Adam, wakil umat manusia, adalah tanah yang sudah dikutuk Allah akan cuma "menghasilkan semak duri dan rumput duri" untuk Adam. Maksudnya: hidup menjadi sangat berat bagi Adam. Bumi tak menghasilkan hal-hal yang berguna untuk Adam. 

Jadi, mahkota anyaman duri pada kepala Yesus membawa ingatan pembaca pada akhir kisah Taman Eden dan penghukuman yang harus ditanggung Adam. Ketika disalibkan, Yesus, dus, memakai ide Paulus (1 Korintus 15:47), menjadi "Adam kedua". 

Sebagai Adam kedua, Yesus menanggung kerja dan kesukaran berat dan kesia-siaan yang harus dijalani Adam primordial yang telah menjadi seperti Allah, tetapi, ironisnya, harus diusir dari Taman Eden dan, selanjutnya, harus berpeluh dan berkeringat ketika mengusahakan tanah yang hanya menghasilkan rumput duri dan semak duri. 

Adam pertama, sebagai representasi manusia universal bersama Hawa, sangat menderita di dunia real, bukan di taman impian. Adam kedua yang disalibkan berempati pada Adam pertama, wakil umat manusia. Yesus memakai mahkota duri pedih Adam pada kepala-Nya. Yesus yang tersalib memikirkan umat manusia yang harus hidup dengan sangat berat. Pada Markus 10:45, tercantum ucapan Yesus bahwa Dia datang "untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."

Tapi, Markus mengisahkan lebih lanjut. Ada sebuah krisis batin berat yang dialami Yesus di saat Dia sedang sekarat di kayu salib.

Di kayu salib, Yesus memanggil-manggil Allah, sang Bapa-Nya, karena Yesus melihat diri-Nya ditelantarkan dan ditinggalkan Allah. Teriak Yesus, "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?" Artinya, "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Markus 15:34). Tetapi Allah tidak menjawab, "God in silence". Allah tidak bertindak, Allah tidak hadir. "God in absence". "God is unseen". Langit tertutup oleh "kegelapan yang meliputi seluruh daerah itu" (Markus 15:33). Tak ada suara dari langit yang tertutup, suatu kontras dengan "langit yang terbuka/terkoyak" lalu Allah "berbicara" dalam kisah Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis (Markus 1:9-11). Dalam peristiwa penyaliban, Allah membungkam, diam seribu basa. Silent. Still. Quiet. Empty. Unseen.

Teriakan ngenes Yesus di kayu salib dapat ditafsirkan sebagai suatu problem teodise (problem tentang keadilan atau dikē Allah) yang Yesus tak bisa pahami: Engkau, sang Bapa, yang menyayangi-Ku, Anak-Mu (Markus 1:11), mengapa Engkau tidak peduli dan tidak menolong-Ku di saat Aku sedang sengsara? Di mana keadilan-Mu? Mengapa Engkau menghilang?

Ya, PROBLEM TEODISE dialami banyak orang yang saleh dan benar di seluruh dunia dan di segala zaman. Problem ini dapat memakan banyak energi biologis siapapun, menimbulkan stres religiopsikologis. Syukurlah, ada banyak jalan keluarnya. Salah satunya, berikut ini.

"Ketiadaan Allah" atau "Allah yang hening, membungkam" juga bisa ditafsirkan sebagai menyatunya Allah dalam kesengsaraan berat yang sedang dialami Yesus ketika Dia disalibkan. Allah sang Bapa ikut menderita, ber-compassion, berbelarasa, berempati, bergabung dan berpadu dalam diri Yesus yang sedang berada di ujung dan puncak jalan salib-Nya. 

Allah sang Bapa tidak meninggalkan-Mu, Yesus. Sang Bapa ada begitu dekat dengan-Mu, menyatupadu dengan diri-Mu yang sedang sengsara berat di kayu salib. Teologi salib yang Engkau yakini sebagai "pikiran Allah" sedang menuju puncaknya, di saat Engkau sedang sekarat. 

Yesus,... yakinlah bahwa Allah sang Bapa tidak membatalkan "pikiran"-Nya ketika Engkau tersalib. Allah sang Bapa konsekuen dengan pikiran-Nya. Di kayu salib itu, Allah ada dalam diri-Mu, bahkan menyelubungi diri-Mu. Derita-Mu sebagai Anak Allah juga derita Allah, sang Bapa. Di saat sang Anak menderita, sang Bapa juga menderita dalam keheningan yang dalam. Tak ada problem teodise, Yesus. Gantilah teriakan-Mu dengan keheningan sang Bapa.

Ya, cobalah terbenam dan hanyut dalam kontemplasi ketidakhadiran Allah atau kebisuan Allah. Pada puncaknya, paradoksnya, kita, dalam penderitaan kita, akan menemukan kehadiran Allah dan suara-Nya yang hening. "Presence in absence". "Voice in silence". "Fullness in emptiness".

Akhirnya, tertinggal pertanyaan-pertanyaan ini: Dalam Perjanjian Baru siapa yang awalnya menyebut teologi salib, atau berita tentang salib (Yunani: to kerugma/ho logos tou staurou)? Bukan penulis Injil Markus di tahun 70, tetapi lebih awal lagi, yakni rasul Paulus (lihat 1 Korintus 1:18, 23). Lalu, selanjutnya Martin Luther di abad ke-16 juga membenturkan theologia crucis dan theologia gloriae. Apa yang dimaksud Luther dengan dua teologi yang tidak dapat bertemu ini? Hal-hal ini akan diurai lain kali.


28 Februari 2021
ioanes rakhmat

Thursday, February 25, 2021

Yakinkah anda pandemi Covid-19 bisa cepat diakhiri lewat vaksinasi?

Elang terbang tinggi sendirian, hening, tangguh, menembus awan-awan. Bebek membentuk kawanan, bersuara ribut, mengekor sang pemimpin. Elang tak akan pernah menjadi bebek. Begitu juga, bebek tak akan pernah menjadi elang.


YAKINKAH ANDA PANDEMI COVID-19 BISA CEPAT DIAKHIRI LEWAT VAKSINASI?

Seharusnya kita yakin. Tapi mewujudkan keyakinan ini dalam waktu cepat SANGAT SULIT. 

Program Covax Facility WHO yang menjanjikan akan dengan adil mendistribusikan vaksin-vaksin top dalam harga murah, nyatanya tersendat-sendat, nyaris tak jalan. PBB juga terlihat tak begitu dihiraukan negara-negara kaya yang kini, sejumlah 10 negara, menguasai 75% vaksin-vaksin top (yang memperlihatkan "effectivity rate" 95%). 

Amerika Serikat, sebagai salah satu negara terkaya dunia, menyuntik dosis tunggal 1,4 juta warganya per hari dengan vaksin mRNA Pfizer (dosis lengkap 2 shot), vaksin mRNA Moderna (dosis lengkap 2 shot), dan segera dengan vaksin adenovirus Johnson&Johnson (yang ini cukup dan lengkap dengan dosis 1 kali shot saja). Sebagai pembanding yang jomplang, Indonesia sementara waktu berjalan ini hanya mampu menginjeksi dosis tunggal vaksin SinoVac (dengan "effectivity rate" 60%) sejumlah 60.000-an orang per hari. 

Summer mendatang di USA diharapkan akan menyenangkan, selanjutnya di musim autumn segalanya diinginkan kembali normal. Hebat, bukan?

Untuk meningkatkan "vaccination rate", jauh di atas 1,4 juta per hari, para pekerja kesehatan Amerika akan juga melakukan vaksinasi dari pintu ke pintu, dari blok ke blok, tidak cuma dilakukan di sentra-sentra vaksinasi. Biaya operasional vaksinasi nasional tentu jadi akan naik, tapi akan tertutup oleh keuntungan-keuntungan lain kalau pandemi di Amerika dapat ditekan lalu diakhiri dengan jauh lebih cepat.

Pada sisi lain, kini ada 130 negara yang belum menerima satu pun dosis tunggal. Di 32 negara yang tidak stabil, sarat dengan konflik dan perang, seperti Yemen, Suriah, Sudan Selatan, Somalia, dan Ethiopia, baru 1% saja dari vaksin-vaksin yang ada yang telah masuk. 

Bagaimana pun juga, WHO dan mitra-mitranya, serta PBB dan mitra-mitranya, adalah tumpuan harapan kita satu-satunya untuk vaksin-vaksin Covid-19 dapat didistribusikan dengan adil dan merata ke negara-negara miskin dan terbelakang. 

Dirjen WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyatakan bahwa "kita tidak akan dapat mengakhiri pandemi di mana pun jika kita tidak mengakhirinya di segala tempat." 

Covax Facility menargetkan akan mengirim 2 milyar dosis vaksin-vaksin dalam tahun 2021, ke negara-negara yang berpartisipasi dalam program Covax, untuk kalangan yang paling membutuhkan.

Sejauh ini, Covax baru berhasil mengirim 600.000 dosis vaksin Oxford-AstraZeneca (vaksin termurah, 4 USD per dosis) ke Ghana pada 23 Februari 2021. 

Bisakah suatu negara kaya, Amerika misalnya, aman sendiri jika seluruh penduduknya sudah divaksinasi, tanpa peduli pada negara-negara lain? Ya tidak bisa. 

Globalisasi dan lalu-lintas mobilitas warga dunia yang sangat tinggi, penyeberangan lewat perbatasan-perbatasan negara-negara yang relatif mudah, hubungan internasional yang aktif, adalah beberapa faktor penentu yang tidak memungkinkan negara-negara kaya "mengisolasi diri" dengan penduduk di dalam negara-negara ini sudah divaksinasi semua atau 85% dari jumlah populasi masing-masing. 

Tentu, di zaman modern ini, tak ada negara kaya mana pun yang cerdas yang mau mengisolasi diri. Pengisolasian diri oleh negara mana pun hanya akan menimbulkan keterbelakangan, kemunduran, kemiskinan, kualitas kehidupan yang buruk, dan kekuatan oligarkhi yang merepresi rakyat sendiri.

Untuk mencapai "global herd immunity", harus dalam waktu cepat (2 atau 3 tahun ke depan) 85% penduduk dunia HARUS SUDAH divaksinasi dengan vaksin-vaksin top dunia (katakanlah ada 10 vaksin top, dengan vaksin Pfizer dan vaksin Moderna menduduki dua posisi teratas, yang akan disusul oleh vaksin Johnson&Johnson). Inilah hal yang justru mungkin sekali sangat sulit dicapai.

Ketimpangan berat pendistribusian vaksin-vaksin top Covid-19 ADALAH BAGIAN DARI KETIMPANGAN EKONOMI DUNIA sekarang ini. 

Bayangkan, ini faktanya: 

Sekarang ini (sejak 2015) segelintir orang, yakni orang terkaya dunia yang merupakan 1% penduduk dunia, menguasai kekayaan jauh lebih banyak dibandingkan total kekayaan yang dimiliki 99% penduduk dunia lainnya. Data 2017 menunjukkan bahwa total kekayaan yang dipunyai 8 orang superkaya dunia sama dengan total kekayaan yang dimiliki separuh penduduk termiskin dunia. 

Orang-orang terkaya ("the super-riches") dunia tidak mungkin tidak memanfaatkan masa berat pandemi untuk makin memperkaya diri lewat bisnis vaksin-vaksin paling top dunia. Ada tangan-tangan mereka di dalam proses pengembangan vaksin-vaksin top dunia. "Invisible hands", tentunya. 

Kok tega ya mereka? Ya, ketegaan mereka itulah yang telah menjadikan mereka kalangan superkaya dunia, tahun demi tahun. 

Dengan kondisi ketimpangan yang kesetanan seperti itu, susah sekali pandemi Covid-19 dapat diakhiri dengan cepat. 

Mari yuuk, kita ubah dunia yang timpang kesetanan seperti saat ini dengan sebuah nyanyian baru bagi Tuhan. Mari kita ciptakan sebuah nyanyian baru. Nyanyian adalah kekuatan. Songs are power.

Baik, selanjutnya, saya mau cerita sedikit.

Tadi sore, saat mendung, saya duduk sendirian di wuwungan genteng rumah, menatap ke awan-awan hitam yang sedang bergerak jauh di atas kepala saya. 

Tiba-tiba, di antara awan-awan hitam itu, saya melihat seekor elang hitam besar sedang terbang sendirian dengan begitu gagah dan mempesona. Terbang melingkar, meliuk, lurus, bolak-balik, jauh di atas awan-awan, selama sepuluh menit. Kadang hilang di balik awan, tapi segera si elang terlihat lagi. Sayapnya begitu lebar terkembang, gagah, indah dan mistikal.

Saya merasa, si elang ini sedang menyampaikan pesan-pesan "dari atas" ke saya. Tapi pesan apa? 

Di saat itu saya lantas teringat pada kisah Yesus melihat langit terbuka dan (sosok seperti) seekor burung merpati turun dan hinggap pada-Nya, ketika Dia baru dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis. Dan terdengar suara dari awan-awan, dari angkasa, dari langit, dari sorga. 

Di saat saya sedang "terhanyut" dengan "kegaiban" si elang itu, tiba-tiba di angkasa sebelah kiri saya sebuah helikopter lewat dengan suara bising. 

Saya menemukan kontras: si helikopter itu terbang rendah, jauh di bawah awan-awan hitam dan bersuara ribut. Sebaliknya, si elang itu terbang tinggi jauh di atas awan-awan gelap, sendirian, tanpa suara, hening, keheningan dan keperkasaan yang gaib.

Sungguh, seumur hidup saya, baru tadi sore itu saya sungguh-sungguh tersedot hanyut dalam pengalaman seperti masuk ke alam lain yang terasa begitu memukau dan misterius serta sarat pesan. 

Setelah terbang berputar-putar, keluar masuk awan-awan, selama 10 menit, si elang itu menghilang. Kenapa tak muncul lagi? Ada rasa sedih di hati saya. Saat itu, saya masih terus menunggu. Tapi sang kawan elang itu telah terbang ke lokasi lain di angkasa tinggi. Kapan engkau akan memperlihatkan diri lagi ke aku? Hujan pun turun, makin deras. Aku basah kuyup. 

Kenapa saya menceritakan pengalaman saya dengan si elang itu? 

Di masa pandemi Covid-19 sekarang ini, ketika tatap-muka langsung, "face to face", "person to person", dengan banyak teman dan anggota keluarga lain, sudah makin jarang, atau bahkan sudah terhenti, dan ketika kita tidak yakin bahwa pandemi ini akan cepat berlalu, dan di saat ibadah "in-person" sudah berubah menjadi ibadah "online", kita semua makin merasa hidup seperti sendirian. "Alone". Mungkin juga "lonely". Tentu kita tahu, "aloneness" beda dari "loneliness".

Jangan takut dengan "aloneness". Si elang gaib yang saya lihat tadi sore terbang jauh di angkasa, di antara awan-awan mendung, betul-betul "alone", sendirian. 

Elang bukan bebek. Elang sendirian, terbang tinggi, hening, kokoh dan tangguh. Bebek membentuk kawanan, berkoek-koek ramai, melenggok mengikuti si pemimpin mereka. Tak ada keheningan. 

Ya, sendirian. Tapi si elang itu begitu perkasa, tidak gentar dengan awan-awan gelap yang bergerak cepat di hadapannya dan yang mengepungnya. Ada kekuatan besar dalam diri si elang yang "alone". Kekuatan langit.

Sayap-sayapnya yang dibentangkan dan dikembangkan, dan dikepak-kepakkan, dengan begitu indah dan memukau, terlihat seperti layar sebuah kapal laut yang terkembang yang sedang mengarungi lautan yang bergelora besar. Sepasang layar terkembang si elang, membuatnya dapat terbang dengan kencang, menantang dan menembus dan mengalahkan awan-awan gelap, yang akan menjadi hujan. 

Nah, sekalipun banyak di antara kita yang merasa sendirian, sunyi, dan sepertinya Covid-19 adalah awan-awan hitam yang sangat menakutkan dan tak pernah hilang, marilah kita terus terbang tinggi dengan tangguh, tanpa takut. 

Fly, fly, fly, up up to the sky, come, come, nearer and nearer, to Jesus, in aloneness, in strength, in silence. 

Ingatlah dan imajinasikanlah bahwa kita adalah si elang misterius yang saya lihat tadi sore, dalam kesendirian dan keheningan, dan ketangguhan.  

25 Februari 2021
ioanes rakhmat

https://www.oxfam.org/en/research/economy-99

https://www.aljazeera.com/news/2021/2/17/un-chief-urges-global-plan-to-reverse-unfair-vaccine-access

https://www.nytimes.com/2021/02/26/opinion/vaccine-covid-coronavirus.html

https://www.who.int/news/item/24-02-2021-covid-19-vaccine-doses-shipped-by-the-covax-facility-head-to-ghana-marking-beginning-of-global-rollout