Friday, September 18, 2015

Homo naledi, suatu spesies baru, hominin moyang manusia

Gambar 1, kepala dan wajah Homo naledi

Selama ini spesies-spesies hominin yang dipandang sebagai moyang-moyang terdekat manusia modern (spesies Homo sapiens) adalah:

* Homo erectus (1,6 juta tahun lalu) yang diwakili oleh “Anak laki Turkana” (Turkana Boy), tinggi 5 ft, berat 110-115 lbs. Species ini menggunakan peralatan batu, membuat api, berjalan dan berlari cepat. Ukuran otak dan proporsi anatomis tubuh sangat serupa dengan manusia modern.


* Homo habilis (“Homo yang cekatan”; 1,5-2,8 juta tahun lalu). Nama “homo habilis” diberi oleh Louis Leakey dkk, persisnya oleh Raymond Dart, tahun 1964, karena species ini dianggap mampu membuat peralatan batu yang ditemukan di Olduvai Gorge, Tanzania.


* Australopithecus sediba (2 juta tahun lalu). Fosil-fosilnya ditemukan Lee Berger di Malapa, Afrika Selatan, 2 juta tahun lalu. 


* Australopithecus afarensis (3,2 juta tahun lalu) yang diwakili oleh kerangka yang diberi nama “Lucy”, hominin perempuan dewasa, tinggi 3 ft, berat 60-65 lbs. Sosok ini menyerupai kera, ditemukan di Ethiopia, 1974.

Tetapi baru saja diberitakan, spesies Homo naledi yang ditemukan di goa Bintang Terbit (“Rising Star”), dekat kota Johannesburg, Afrika Selatan, lebih dekat ke Homo erectus ketimbang Homo habilis. Tengkorak dan giginya sekelompok dengan dengan Homo erectus, Neanderthals, dan manusia modern (Homo sapiens).



Gambar 2: Lucy, Turkana Boy, dan Homo naledi

Perhatikan rekonstruksi kepala dan wajah Homo naledi (gambar 1); dan perhatikan juga rekonstruksi postur tubuhnya secara keseluruhan (gambar 2, sosok paling kanan). Homo naledi kelihatan seperti manusia modern, sekaligus juga berbeda. Menurut paleoantropolog Lee Berger, Homo naledi adalah “sejenis hewan yang tampak sudah memiliki kemampuan kognitif untuk mengenali diri sebagai makhluk yang terpisah dari alam”.

Mungkinkah Homo naledi moyang terdekat Homo sapiens? Kita masih menunggu para saintis menentukan kurun kehidupan spesies baru ini. Mungkin sekitar 2-2,5 juta tahun lalu; atau lebih muda. Lihat timeline di bawah ini (gambar 3; klik gambarnya untuk dapat ukuran besar).



Gambar 3: Timeline evolusi hominin

 

Sumber-sumber

Lee R. Berger, John Hawks, et al., “Homo naledi, a new species of the genus Homo from the Dinaledi Chamber, South Africa”, eLIFE, 10 September 2015, pada http://elifesciences.org/content/4/e09560.

Jamie Shreeve, “This Face Changes the Human Story. But How?”, National Geographic, 10 September 2015, pada http://news.nationalgeographic.com/2015/09/150910-human-evolution-change/?rptregcta=reg_free_np&rptregcampaign=2015012_invitation_ro_all.

Thursday, September 17, 2015

Richard Dawkins dkk: Agama itu virus pikiran!
Aah, benarkah?

Kebencian terhadap agama, atau religiofobia, sangat kentara menjajah dan mengendalikan pikiran dan hati semua ateis dalam gerakan New Atheism. Saya melihat akar-akar keadaan mental yang patologis neurotis ini dapat ditemukan mula-mula dalam pendapat pakar biologi evolusioner ateis keras Prof. Richard Dawkins bahwa agama-agama adalah suatu penyakit yang timbul karena “virus-virus mental” telah menyerang pikiran manusia. 


virus menginfeksi...

Virus ini hanya perlu menyebar, menjadi epidemi, dan memperbodoh orang karena membuat mereka tidak memerlukan bukti apapun bagi semua kepercayaan keagamaan mereka. Pendapat Dawkins ini (yang mengambil analogi dari virus-virus komputer di era akhir 1980-an dan di awal 1990-an) yang tidak ditopang oleh kajian ilmiah apapun yang dapat menemukan “virus-virus agama” dalam otak manusia, dituangkan Dawkins dalam artikelnya yang berjudul “Viruses of the Mind”, yang ditulisnya tahun 1991. Katanya, anda sudah tertular virus pikiran ini sejak anda dilahirkan. Tulisnya,
“Jika anda memiliki suatu iman/kepercayaan, secara statistikal sangatlah mungkin bahwa iman anda ini adalah juga iman orangtua anda atau iman kakek dan nenek anda. Tentu katedral-katedral yang menjulang tinggi, musik-musik gereja yang menggugah perasaan, kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan yang menggerakkan hati, sedikit membantu. Tetapi jelaslah bahwa variabel terpenting yang menentukan agama anda adalah peristiwa kelahiran anda. Keyakinan-keyakinan yang dengan bergelora anda percayai akan berbeda dan bertentangan sama sekali seandainya anda dilahirkan di suatu tempat yang berbeda. Jadi, yang ada adalah epidemiologi, bukan bukti-bukti.”/1/
Christopher Hitchens melanjutkan “meme” yang sudah disebar Dawkins, yaitu idenya bahwa agama adalah suatu virus pikiran yang menimbulkan penyakit mental pada manusia. Bagi Hitchens, agama bukan hanya suatu virus, tetapi juga racun. Dalam tayangan pendek di liveleak.com, Hitchens menegaskan bahwa “agama meracuni segala sesuatu” dan “menginfeksi kita sampai ke integritas kita yang paling dasar.” “Bagiku, agama itu jahat” dan “aku bertempur melawan kedunguan yang paling buruk ini!”/2/ 

Dalam bukunya yang berjudul mengerikan God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (terbit 2007), Hitchens dengan gaya jurnalistik yang serba semberono berusaha menunjukkan bahwa semua kebiadaban manusia punya hanya satu sumber, yakni agama. Baginya, agama sedang meracuni segala sesuatu dalam dunia ini. Dalam bab dua bukunya ini yang diberi judul “Religion Kills” (hlm. 15-36), ketika membeberkan sejumlah peristiwa biadab di sejumlah tempat, kota dan negara, dia menyatakan bahwa semua “kebiadaban itu diinspirasi oleh agama.” Lalu katanya dengan yakin bahwa “agama meracuni segala sesuatu. Dan sebagai suatu bahaya juga, agama telah menjadi sebuah ancaman bagi ketahanan kehidupan manusia.”/3/

Dalam seluruh buku God Is Not Great, jelas sekali Hitchens mengumbar habis ketidaksenangan dan kebenciannya terhadap agama. Dia sama sekali tidak bisa toleran terhadap orang-orang beragama. Dia banyak menggambarkan dan menilai agama-agama sesuai dengan ketidaksenangan dan permusuhannya itu. Dia sebetulnya hanya membangun dan mempertahankan Straw Man Fallacy: berperang dengan ide-idenya sendiri tentang agama-agama. Satu contoh saja. Dia menilai kepercayaan keagamaan terhadap sang Pencipta yang telah menciptakan manusia lalu memelihara dan mempedulikan mereka, serta memberi mereka petunjuk-petunjuk tentang bagaimana hidup dengan benar, adalah suatu kepercayaan yang “tidak membuat para penganutnya berbahagia” (hlm. 15-16).  


Dari mana Hitchens tahu hal itu? Tidak ada sebuah survei global tentang ini yang sudah dilakukannya. Sebaliknya, saya puluhan tahun telah melihat dengan mata sendiri bahwa sangat banyak orang yang berbahagia karena beragama, dan menjadi stres ketika menjauh dari agama.

Tentang etika, Hitchens membuat sebuah pernyataan yang kelihatan terlalu besar. Tulisnya,
“Kami [para ateis] percaya dengan pasti bahwa suatu kehidupan yang etis dapat dijalani tanpa agama…. Hal yang lebih penting dari semua hal lainnya, mungkin, adalah bahwa kami para kafir tidak memerlukan mekanisme hadiah atau ganjaran apapun…. Kami para ateis tidak memerlukan para imam, atau hierarki apapun di atas mereka, untuk menjadi para polisi yang akan mengawasi doktrin-doktrin kami. Kami jijik terhadap kurban-kurban dan upacara-upacara keagamaan, begitu juga terhadap relik-relik dan penyembahan terhadap gambar-gambar atau objek-objek apapun (bahkan termasuk … kitab-kitab yang dijilid). Bagi kami tidak ada tempat di muka Bumi yang lebih, atau dapat lebih, ‘suci’ dibandingkan tempat-tempat lainnya.” (hlm. 6) 
Ya, semua orang tahu, etika atau akhlak atau moralitas bersumber tidak hanya pada kitab-kitab suci atau hanya pada ajaran-ajaran agama. Banyak hal dalam alam ini yang bisa memberi manusia petunjuk-petunjuk tentang kearifan moral, termasuk juga ilmu pengetahuan. Tetapi yang saya lihat sebagai suatu persoalan besar pada “etika sekular” yang dianut Hitchens adalah etikanya ini tidak membuatnya menjadi seorang manusia ateis yang toleran. Etika sosial sekular Hitchens sangat anti-toleransi, sama sepenuhnya dengan tuduhannya yang jauh dari kenyataan yang lebih umum bahwa agama-agama tidak akan mungkin membangun “koeksistensi di antara kepercayaan-kepercayaan yang berbeda” (hlm. 17).

Bukunya God Is Not Great dengan jelas juga memperlihatkan bahwa religiofobia yang menjajah dan mengendalikan Hitchens bisa ditemukan akar-akarnya dalam kehidupannya di saat dia remaja, berumur sembilan tahun, ketika sedang bersekolah di Dartmoor, Inggris. Dia waktu itu mempunyai seorang guru perempuan setengah baya, yang mengajar ilmu alam dan juga kitab suci Kristen. Nama sang guru Jean Watts. Tentang Nyonya Watts, meskipun Hitchens mengakuinya penyabar, dengan sangat keras Hichens, pada sisi lain, menulis begini:

“Jika Setan telah memilihnya untuk mencobai aku supaya aku berbuat salah, dia jauh lebih cerdik dibandingkan sang ular yang berakal licik di Taman Eden. Dia tidak pernah membentak keras atau mengancam dengan kekerasan…. Namun, sejujurnya aku merasa jijik dengan apa yang dia telah ajarkan. Sendal kecilku yang bertali, yang mengikat pergelangan kakiku, menjadi tertekuk saat aku dibuat jengkel olehnya.” (hlm.2).
Itukah etika sekular seorang ateis Hitchens, yang sama sekali tidak bisa berterimakasih kepada gurunya yang mendidiknya semasa remaja? Remaja Hitchens melihat dirinya korban indoktrinasi sang guru. Tidak ada hal yang baik apapun pada sang guru, yang olehnya dengan sangat kejam dipandangnya sebagai kaki tangan Setan. Mentalitas sebagai korban inilah yang membuat Hitchens terus membenci dan menyerang agama-agama hingga dia dewasa bahkan hingga dia wafat (15 Desember 2011; lahir 13 April 1949). Buku God Is Not Great sesungguhnya adalah sebuah litani panjang kemarahannya terhadap segala hal yang berkaitan dengan agama-agama. Hitchens memang patut dikasihani, bukan dikagumi.      

Ross Douthat telah menulis sebuah resensi yang bagus atas buku Hitchens ini./4/ Douthat menyatakan bahwa “mungkin orang harus bersyukur ketika Hitchens mengutip pakar-pakar yang otoritatif, berhubung prosanya yang licik terus-menerus terburu-buru bermuara pada ejekan dan menghindari argumen-argumen, dan kadangkala fakta-fakta juga dilewati begitu saja.” Douthat dengan jeli melihat bahwa Hitchens sangat tidak seimbang dalam menafsirkan fakta-fakta. Oleh Hitchens, semua kebiadaban manusia dipandang bersumber hanya pada agama. Douthat menulis,  

“Setiap buku memiliki kesalahan-kesalahan, tentu saja, tetapi sedikit buku sangat tendensius dalam penafsiran atas fakta-fakta yang seyogianya disajikan dengan benar oleh para penulisnya. Seperti seorang Kristen yang sangat fanatik yang mencari hal apapun dalam teks-teks pagan yang dapat ditafsirkan sebagai pertanda kedatangan sang Kristus, Hitchens menjelajahi catatan-catatan tentang tindakan-tindakan biadab manusia hanya untuk menemukan petunjuk apapun bahwa tindakan-tindakan ini telah dimotivasi oleh kesalehan, ramalan kenabian, atau dogma. Jika ada korban-korban, dan jika ada tirani yang mapan, maka semua ini―jika anda percaya pada sejarah kekerasan yang berpusat pada Allah, yang diyakini Hitchens―bagaimanapun juga, menurutnya, berakar pada agama. Jelas, pendapat Hitchens ini sulit diterima, berhubung jika kita membaca sejarah sepintas saja, kita akan menemukan bahwa kesetiaan kepada kaum kerabat seseorang, suku bangsa seseorang, dan negara seseorang―belum lagi kalau berbagai ideologi politis disebut―telah setidaknya menyulut sangat banyak kekerasan, sama banyak dengan yang ditimbulkan oleh perdebatan teologis apapun.”
Pendapat-pendapat Dawkins dan Hitchens (dan juga Daniel Dennett) diambilalih dan dijabarkan dengan lebih terperinci dan programatis oleh Darrel W. Ray, yang telah menulis buku yang berjudul The God Virus: How Religion Infects Our Lives and Culture./5/ Buku ini memperlihatkan bagaimana berbagai jenis agama, sebagai “virus-virus Allah” (“the God viruses”), dengan pas menempati dunia alamiah; bagaimana agama-agama berfungsi di dalam pikiran-pikiran dan kebudayaan-kebudayaan kita; dan betapa serupanya agama-agama dengan kuman-kuman, parasit-parasit, dan virus-virus yang mendiami tubuh manusia (hlm. 13).

Kata Ray, agama-agama sebagai virus-virus Allah, telah “menginfeksi otak manusia dan mengubah kemampuan berpikir kritis. Virus ini masih memberi kemungkinan untuk orang bersikap kritis terhadap agama-agama orang lain, tetapi pemikiran kritis menjadi lumpuh ketika berhadapan dengan agama sendiri.” (hlm. 19). Agama-agama sebagai virus-virus Allah tidak hanya masuk ke dalam kebudayaan-kebudayaan, tetapi juga ke dalam ekonomi dan politik. Ray menyatakan bahwa

“Virus Allah menginfeksi suatu kebudayaan sama seperti virus ini menginfeksi individu-individu. Sementara bukan suatu entitas ekonomi atau suatu entitas politis, virus Allah akan dan dapat menggunakan jaluir-jalur ekonomi dan politik untuk menyebar ke mana-mana…. Politik dan ekonomi hanyalah sarana-sarana untuk virus ini menyebar.” (hlm. 82)
Uuups, jika demikian halnya, maka, hemat saya, bukan hanya para agamawan yang harus dibebaskan dari virus Allah, tetapi semua pelaku kebudayaan, para pegiat ekonomi dan juga para politikus. Para aktivis sekular, dengan demikian, sama sekali tidak berbeda dari para aktivis keagamaan: dalam otak mereka sudah bercokol virus-virus Allah.

Untuk bisa bertahan dan terus tersebar, virus-virus Allah terus bermutasi dan membangun strategi-strategi. Ray menulis,

“Virus Allah membangun strategi-strategi untuk bisa bertahan hidup dan tersebar. Virus-virus yang lebih berkembang memiliki benteng-benteng pertahanan diri yang lebih efektif dibandingkan virus-virus lainnya. Alhasil, virus-virus yang lebih berkembang ini akhirnya menguasai virus-virus lain yang kurang berkembang. Virus-virus Allah selalu bermutasi, dan virus-virus jenis baru keluar, meninggalkan bak penampungan, setiap saat.” (hlm. 56).
Karena semua jenis kuman, parasit dan virus menimbulkan penyakit, begitu juga halnya dengan agama-agama sebagai virus-virus Allah. Untuk hidup sehat, manusia harus hidup bebas dari virus. Virus-virus harus tidak dibiarkan menyerang manusia. Manusia harus hidup terbebas dari virus-virus. Kepada para ateis atau non-teis, Ray menyatakan bahwa “bisnis kita bukanlah mengonversi orang ke dalam suatu agama, tetapi kita sungguh-sungguh ingin hidup bebas dari virus” (hlm. 173).

Oleh Ray, virus-virus Allah juga digambarkan sebagai rantai-rantai yang membelenggu manusia. Tulisnya, “Buku saya ini membahas langkah-langkah yang perlu diambil untuk menghancurkan rantai-rantai itu, lewat penemuan bagaimana agama-agama dengan licik bekerja di dalam kebudayaan-kebudayaan dan pikiran-pikiran kita dan dengan mempelajari cara-cara untuk hidup tanpa rantai-rantai itu.” (hlm. 15).

Sementara para ateis dapat hidup bebas dari virus-virus Allah dan mematahkan belenggu-belenggu virus-virus ini, orang yang beragama, para teis, kata Ray, sama sekali tidak dapat. Tulisnya,

“Orang-orang yang memeluk agama-agama tidak dapat membayangkan hidup bebas dari virus. Teror yang mereka rasakan, telah melumpuhkan mereka sehingga mereka tidak dapat mempertimbangkan  cara-cara lain untuk hidup dan menyatakan keberadaan mereka…. Dunia mereka adalah suatu dunia yang nenakutkan dan berbahaya, yang dihuni setan-setan, roh-roh jahat, dewa-dewi, iblis, Yehova atau Allah yang sedang murka yang menuntut pembalasan, dan yang mengancamkan penghukuman abadi bagi setiap orang yang tidak mengikuti virus yang benar.” (hlm. 206).
Dalam bab sepuluh yang diberi judul “The Journey: Living A Virus-Free Life” (hlm. 197 ff), Ray membeberkan langkah-langkah yang harus dijalankan dalam membebaskan dunia dari virus-virus Allah, dari agama-agama, dari Allah, para dewa dan setan-setan. Etika atau moralitas yang disodorkannya juga moralitas yang bebas virus Allah. Setelah segala bidang kehidupan dapat dibebaskan dari virus-virus agama, dan usaha ini kini masih belum tiba di tujuannya, akhirnya “masa depan manusia adalah masa depan yang tidak subur bagi virus-virus Allah.” (hlm. 222).

Kesimpulannya sudah jelas: karena bagi para pendiri gerakan New Atheism agama-agama adalah virus-virus Allah yang mematikan pikiran manusia, dan terus sedang meracuni dan menginfeksi segala sesuatu dalam kehidupan manusia dan dunia ini, maka, tidak ada pilihan lain, selain agama-agama harus dibenci habis-habisan, dan, jika bisa, perlu dibasmi untuk menghentikan epideminya. Pola pikir kalangan New Atheists ini saya namakan The Dawkins Delusion. Religiofobia lahir dari Delusi Dawkins ini. Dengan demikian, religiofobia memang harus menjadi kodrat mental para New Atheists. Mengerikan!
Ya, mengerikan, karena virus-virus Dawkins dkk dalam gerakan New Atheism juga sedang menginfeksi dan meracuni banyak orang muda dan segala sesuatu dalam dunia ini.

Karena sudah dikondisikan secara kognitif untuk menjadi religiofobik, para Ateis Baru yang mengidap Delusi Dawkins tidak akan bisa lagi melihat agama-agama dari sudut pandang yang lain, bahwa masih ada banyak kebaikan, kesembuhan, dan pembebasan, yang telah, sedang dan akan terus diwujudkan oleh para agamawan dari berbagai agama yang sudah mengalami pencerahan akal, kearifan dan budi pekerti. Agama itu tidak statis, tetapi dinamis, tidak hanya mendiami museum-museum fosil, tetapi juga sedang aktif di dalam banyak laboratorium dalam dunia ini.    

Jakarta, 17 September 2015
Ioanes Rakhmat

Notes:

/1/ Richard Dawkins, “Viruses of the Mind”, 1991, file pdf, tersedia di http://www.inf.fu-berlin.de/lehre/pmo/eng/Dawkins-MindViruses.pdf.

/2/ Lihat http://www.liveleak.com/view?i=232_1264478334.    

/3/ Christopher Hitchens, God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (New York, Boston: Twelve, Hachette Book Group, 2009; terbit pertama kali 2007), hlm. 18, 25.

/4/ Ross Douthat, “Lord Have Mercy: A Review of God Is Not Great: How Religion Poisons Everything”, Claremont Review of Books (Summer, 2007), pada http://www.catholiceducation.org/en/controversy/persecution/lord-have-mercy-a-review-of-god-is-not-great-how-religion-poisons-everything.html.

/5/ Darrel W. Ray, The God Virus: How Religion Infects Our Lives and Culture (Bonner Spring, Kansas: IPC Press, 2009).

Wednesday, September 16, 2015

Belajar dari seekor burung kutilang

Banyak orang sering berkata, “Saya mau hidup tanpa persoalan apapun!”

Tapi, bisakah itu? Mungkinkah? Mustahilkah? Perlukah? Ataukah tidak perlu?

A problem-free life. Is it possible or impossible? Is it necessary or unnecessary? 

Ya, tidak bisa. Tidak ada seorang pun dalam dunia ini, selagi hidup di muka Bumi, yang dapat terbebas sama sekali dari persoalan. Ini realitas. Harus diterima dan dihadapi dengan berani, cerdas, tenang, tegar, dan tetap bersikap positif.

Bahwa setiap orang akhirnya harus mati, ini sebuah persoalan eksistensial yang dihadapi semua orang, sejak dulu hingga seterusnya, apapun kedudukan dan status sosial mereka dalam masyarakat, sejak bayi hingga tua dan lisut....


Bebas dari segala persoalan, ya juga tidak perlu, bahkan tidak menguntungkan. Kok begitu?

Ya, persoalan-persoalan besar atau kecil, yang mendatangi kita, atau yang kita sendiri datangi, kerap menempa kita menjadi manusia yang lebih tangguh, lebih cerdas, lebih sigap, lebih matang, lebih arif, lebih berwawasan, lebih berpengalaman, lebih taktis, lebih strategis, dan lebih maju.

Hal-hal bagus yang diberikan oleh persoalan-persoalan kita kepada diri kita ini menguntungkan bukan hanya kita sendiri, tetapi juga banyak orang lain.

Ketahuilah, persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, dari zaman ke zaman, dari masa ke masa, juga menjadi faktor pendorong kuat bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketika para ilmuwan bertemu dan menghadapi persoalan-persoalan manusia, mereka pun mulai berpikir, mengeksplorasi, menggelar pengkajian-pengkajian, menengok ke teori-teori ilmiah yang ada, mengevaluasi, lalu menyusun hipotesis-hipotesis baru, menguji hipotesis-hipotesis ini lewat berbagai metode ilmiah, mengumpulkan bukti-bukti, melakukan berbagai analisis, lalu menyusun sintesis-sintesis, kemudian menarik kesimpulan-kesimpulan. Dari semua aktivitas keilmuan ini, sains berkembang, sains-sains baru ditemukan, dan teknologi-teknologi baru dihasilkan, untuk digunakan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi.

Jadi, jangan takut terhadap semua persoalan! Sebaliknya, jadikan semua persoalan anda sebagai:

  • sang guru kearifan; 
  • sebuah peluang untuk maju lebih jauh; 
  • sebuah ujian untuk hidup lebih tangguh dan lebih sabar; 
  • sebuah kesempatan untuk mengalami empati dan kasih sayang dari orang-orang lain; 
  • sebuah kesempatan untuk menemukan diri anda sangat kuat dan tegar dan tangguh, di luar perkiraan anda sebelumnya; 
  • sebuah peluang untuk melihat kehidupan dari sudut-sudut pandang lain yang baru dan kreatif; 
  • sebuah kesempatan untuk berterima kasih kepada sang pemberi kehidupan.

Suatu ketika, seekor kutilang dari atas melihat ke bawah, ke sebuah desa terpencil. Dilihatnya di bawah, manusia harus berjalan berputar jauh untuk sampai di tempat sebuah mata air besar satu-satunya untuk seluruh penduduk desa. Mereka harus memutari sebuah bukit batu besar yang menjulang dan terbentang lebar dan panjang. Lalu sang kutilang berpikir, “Aku harus memindahkan bukit batu itu supaya semua penduduk desa itu hanya perlu waktu beberapa menit saja tiba di mata air besar itu. Sekarang mereka sengsara, karena harus menempuh perjalanan memutar selama setengah hari bolak-balik!”

Maka mulailah sang kutilang mematuk bagian-bagian puncak bukit batu itu, secuil demi secuil, lalu butiran batu yang sudah ada di ujung paruhnya dibawanya terbang ke suatu lembah luas yang jauh, dan di sana dia menjatuhkannya. Tahun demi tahun berlalu. Windu demi windu lewat. Terus saja sang kutilang dengan tegar, riang gembira, sabar, optimistik, dan sambil terus bersiul, memindahkan bukit batu besar itu dengan paruhnya yang kecil. Dia memerlukan keabadian untuk dapat menyelesaikan pekerjaannya itu, mengatasi persoalan penduduk desa itu.

Setegar, seriang, sesabar dan seoptimistik sang kutilang kecil itukah anda, ketika anda sedang berada dalam sebuah persoalan berat? Trilililili lili lili trilili....!

Anda jelas lebih besar dari sang kutilang nan baik hati itu.

Jakarta, 16-9-2015
ioanes rakhmat

Wednesday, September 9, 2015

My short letter to the physicist Lawrence M. Krauss (9-9-2015)

     
Dear physicist Lawrence M. Krauss,

Thank you very much for the sharing of your piece titled “All Scientists Should Be Militant Atheists” which appeared online in The New Yorker on 8 September 2015./*/ Interesting enough. Here are my responses to the article.

In my opinion, you are entirely wrong when you say that “science is an atheistic enterprise”. For all the scientists who do not follow militant atheism (currently represented by the New Atheism movement), science is free from any ideologies, including both the ideology of atheism and the ideology of theism. After the next several lines, in the same paragraph, it is extremely weird that you state something which fatally and totally contradicts what you have said previously. You write very clearly that “belief or non-belief in God is irrelevant to our understanding of the workings of nature”. I am not sure about whether you are aware or unaware of this internal contradiction happened in your cognition.

If I am not wrong, it seems that you very weirdly do not understand English, even though it is your mother tongue. You mistakenly equate the act of “ridiculing”, “attacking” and offending with the act of “questioning”. “Ridiculing” is a childish and undignified action intended to insult, mock and underestimate other people who are not in harmony with your points of view. “Attacking” and offendingare done only by your enemies who have no compassion, wisdom and understanding toward yourself. So far as I know, the major characteristic of the New Atheism movement is the barbaric, harsh and uncivilized ridiculing, offending and attacking religious believers and their religions. 

We all agree that one of the most critical functions of scientists all over the world is to question the validity of any established views in the world of science and in any realms of life, including in the world of religions, on the basis of new scientific facts. “Questioning” anything is, therefore, the noble duty of every scientist. But, questioning is fundamentally and practically not the same as ridiculing, offending and attacking. Your obligation as a scientist is, in my opinion, to question, not to ridicule, offend or attack anything. Not only to question, but also to prove whether something is right or wrong. That is your duty, a dignified and great duty.   

Finally, you sadly write that “If that is what causes someone to be called a militant atheist, then no scientist should be ashamed of the label.” This statement, I am totally convinced, will be endorsed happily and victoriously by, for instance, the fundamentalist atheist Prof. Richard Dawkins (I borrow this label for Dawkins from the respected and humble atheist Prof. Peter Higgs whom I love). It looks like that you do not understand what the meaning of the phrase “militant atheist” is. 

For so many people of good conscience in the world, a “militant atheist” is presently the same as a religious radical, though both hold contrasting worldviews. Do you wish yourself to be equated with a religious radical? There is no meeting point at all between a true scientist and a religious radical or a militant atheist. Science and theistic or atheistic fundamentalism cannot meet forever. Both collide. A militant atheist scientist is, unfortunately, an oxymoron. Do you want to live in the world of this oxymoron? I hope you don’t. If you do, you live in the self-contradictory worlds, in a schizophrenic world.

In conclusion: As a true scientist, you cannot ridicule, offend or attack any people and their viewpoints; you can only question them critically and prove them wrong or right scientifically. You can only be a true scientist, and cannot be a militant atheist scientist, for all eternity. Behavioral ethic matters in the world of all scientists.

Jakarta, 9-9-2015

Regards,
ioanes rakhmat 

/*/ Lawrence M. Krauss, “All Scientists Should Be Militant Atheists”, The New Yorker, 8 September 2015, at http://www.newyorker.com/news/news-desk/all-scientists-should-be-militant-atheists.


Thursday, September 3, 2015

Mau menegakkan damai, tapi kok lewat hate speech terhadap Yesus!?


Orang ini menamakan diri dengan gagah The Amazing Atheist. Di akhir videonya (bagi saya, “self-promoting video”), sambil mengacungkan dua jarinya, dia menyatakan bahwa dia “telah datang untuk melenyapkan agama dan menegakkan perdamaian!”

Sejak awal hingga akhir videonya, dia menyampaikan khotbah ateistiknya yang dipenuhi kebencian terhadap Yesus dan aliran Kristen tertentu. Bagaimana dia bisa menegakkan perdamaian dalam dunia ini, jika dalam dirinya kebencian besar pada Yesus dan pada dunia agama-agama sangat besar bernyala dan berkobar? Hate speech yang disampaikannya sudah membuat saya tidak bisa percaya bahwa si Amazing Atheist ini sungguh-sungguh ingin menciptakan perdamaian dalam dunia ini! Dia cuma omong besar dan suka berkoar! 

Bagaimana perdamaian bisa dia tegakkan jika agama-agama, yang juga menjalankan banyak peran positif dalam dunia masa kini (selain peran negatif), mau dia basmi dari dalam dunia ini? Memangnya dunia ini milik nenek moyangnya yang ateis doang? Gegabah sekali dia.

Saya semakin melihat, ateisme itu sebuah ideologi yang penuh kemarahan dan kebencian pada dunia agama. Maka itu, atheism is very stressful! Karena sedang stressed berat, pantaslah kalau para ateis itu umumnya suka marah-marah terus. Bisa jadi, mereka akan banyak terkena serangan jantung dan stroke. Rumah-rumah sakit nantinya akan banyak diisi oleh para ateis.

Pada kolom komentar di bawah video youtube-nya, saya tulis kata-kata saya berikut ini: 
“Hi guy Amazing Atheist, in the end of your preaching you say you love peace. But unfortunately I find out that, from beginning to end of your speech, you extremely hate Jesus and some brands of Christianity. How could I believe that you are disseminating peace around the world, while you in fact are spreading hate speech throughout your self-promoting video? Why are you so stressed? Is atheism stressful? :))”
Tidak bisa paham saya, kenapa Yesus menjadi begitu dibenci si ateis ini. Ya, Yesus memang menuntut kesetiaan total terhadap dirinya. Ini bukan sikap mental otoritarian Yesus, tapi bagian dari strateginya dalam membangun komunitas-komunitas baru di dalam suatu negeri terjajah yang sudah dipecahbelah dengan sistematik oleh penjajah dan kaki tangan Yahudi mereka. 

Si Amazing Atheist ini tidak mengenal Yesus dari Nazareth yang berhasil disingkap oleh kajian-kajian sejarah; tapi dia berbicara terlalu banyak tentang Yesus, dan koar-koarnya ini omong kosong doang jika dievaluasi dari kajian sejarah. Dia membenci Yesus bisa jadi karena dia membenci aliran-aliran Kristen tertentu di Amerika atau mungkin juga karena dia membenci sosok-sosok pemuka gereja-gereja tertentu di Amerika, yang lalu dia proyeksikan ke Yesus yang hidup 2000 tahun lalu di negeri yang jauh dari Amerika. Aneh ya. 

Pasti IQ-nya jeblok! Saya ganti namanya menjadi The Terrorizing Atheist yang bermental tidak berbeda dari para radikalis agama meskipun worldview masing-masing berbeda sangat tajam!

Ikuti videonya di https://youtu.be/yBo7Z_abiLE.

Terima kasih kepada Ritchie Lumban Tobing yang telah meminta saya memberi tanggapan terhadap video si Terrorizing Atheist itu.

Jika anda mau share, silakan, tanpa perlu minta izin lebih dulu.

Jakarta, 3-9-2015

Salam, 
ioanes rakhmat