Monday, September 22, 2014

Pohon ini tua dan besar banget!




The Tree of Life, usia lebih dari 2.000 tahun


Pohon pada foto di atas sangat besar, dinamakan The Tree of Life, Pohon Kehidupan, oleh penduduk setempat di suatu desa di Afrika Selatan. Lingkaran batangnya bergaris tengah bermeter-meter. Sayang, kita tidak bisa melihatnya utuh sampai ke puncaknya. 

Anda tahu berapa usianya? Sudah 2000 tahun. Sekarang masih sehat dan kelihatan tumbuh terus. Mengherankan, bukan? Mustinya masuk ke salah satu keajaiban dunia ya. Tentu masih ada pohon-pohon lain yang mungkin lebih tua, lebih besar dan lebih tinggi./*/ Yang ini saja sudah luar biasa, bukan? (Klik fotonya untuk dapat ukuran lebih besar.)

Pengalaman “mistik” pertama, saya alami saat saya melihat dengan mata kepala sendiri pohon-pohon besar dan tinggi di hutan alam Redwood, California, USA. Waktu itu, beberapa pohon saya dekati, lalu saya ajak bicara. Kedua tangan saya terlalu pendek untuk bisa merangkul mereka. Sambil menempelkan erat-erat tapak tangan-tangan saya kepada mereka, saya minta supaya mereka menyalurkan energi kehidupan mereka ke tubuh saya.Tentu mereka tidak bisa membalas kata-kata saya. Saya juga tidak tahu, apakah mereka bisa mendengar dan memahami ucapan-ucapan saya. Saya juga tidak tahu apakah energi mereka tersalur ke tubuh saya. 

Yang saya tahu pasti, karena sudah banyak dikaji, setiap pohon itu sebagai organisme punya mekanisme biologis (mungkin bekerja secara refleks) untuk memberi reaksi terhadap berbagai rangsangan, entah rangsangan yang menyakitkan, atau rangsangan yang melegakan. Tetumbuhan jelas tidak punya organ otak, tapi sudah pasti mereka punya semacam “perasaan”. 

Nah, bisa jadi perasaan mereka dapat kita sentuh lewat perasaaan kita juga. Mungkin saja di masa depan, kita bisa membangun sebuah sistem teknologis untuk membantu kita bisa bicara komunikatif dua arah dengan organisme-organisme lain non-manusia. 

Saya selalu terdorong untuk mengajak bicara pohon-pohon besar yang sangat langka, kalau bertemu dengan mereka di manapun dan kapanpun. Saya tahu, saya terikat mata rantai kehidupan dengan semua organisme, termasuk dengan pepohonan, apalagi dengan hewan-hewan. Tumbuh-tumbuhan yang kecil ada sangat banyak di sekitar kita, di mana-mana. Saya pikir, tetumbuhan kecil juga perlu diajak bicara. Tetapi saya tidak mau melakukannya, karena kalau saya melakukannya, saya akan sering dan tidak terputus melakukannya. 

Nah, anda akan tahu sendiri, orang banyak bisa jadi akan menilai saya tidak waras kalau setiap detik, menit dan jam, saya bercakap-cakap dengan tetumbuhan kecil di banyak tempat. Berbicara dengan toge, misalnya, ini ‘kan silly bahkan mad?!

Suatu saat, jika sempat, saya akan datangi desa di Afsel itu, untuk melihat langsung pohon besar pada foto ini. Dan... tentu mau saya ajak dia bicara, dan merangkulnya sebisa mungkin. Energi sangat besar ada pada pohon ini. Dari persamaan Einstein E=mc^2, tahulah kita bahwa makin besar bobot (massa) suatu materi, semakin besar energi yang dihasilkannya. Oh ya, jika saya jadi berwisata ke sana, anda mau ikut?

Yang menjadi pertanyaan buat saya sekarang adalah mengapa penduduk desa di Afsel itu tidak menjadikan pohon ini pohon keramat dan bertuah, padahal pola pikir mereka kebanyakan masih mitologis. 

Misalnya, di sekelilingnya dibangun tembok rendah, ada pintu masuk ke pohon, dan ada tempat-tempat menaruh sesajen, juga dilengkapi beberapa tempat untuk sembahyang. Lalu wisatawan yang datang dimintai uang sumbangan. Mustinya ini yang terjadi. Ternyata tidak. Mungkin orang Afrika lebih tertarik untuk memuja hewan-hewan ketimbang tetumbuhan. Ihwal ini saya belum sempat teliti.


Note

/*/ Pohon “old Tjikko”, misalnya, yang tumbuh di Gunung Fulufjaellet, provinsi Dalarna, Swedia, berdasarkan metode Carbon-14 dating, ditemukan usia akarnya yang paling tua 9.550 tahun. Tinggi pohon ini 5 meter. Info tentang si pohon tua “old Tjikko” ini, lihat di http://en.m.wikipedia.org/wiki/Old_Tjikko.



Sunday, September 21, 2014

Berkayuh ke langit



Aku datang dari langit dan lautan biru
Aku putra langit dan lautan teduh biru
Kubah besar biru lengkung memayungiku
Permadani luas biru terhampar bagiku

Lautan habis harap kuserap
Tak sanggup dia menelan diriku
Aku besar dan tegap
Lautan kecil cukup kupangku

Langit kecil bak payung
Aku besar bak tenda tentara
Aku memayungi sang langit agung
Rebah dia padaku hangat di dada

Saturday, September 20, 2014

Kita semua anak-anak langit!



Pandanglah ke atas, ke langit pagi yang biru menawan. Atau ke langit malam yang hitam, dihiasi bintang-bintang yang terang gemerlap menyapa. Kagumilah. Jangan hanya terpesona, tapi juga pahami pengetahuan yang menakjubkan berikut ini.

Asal-usul kita paling awal adalah langit. Atom-atom tubuh kita berasal dari zat-zat kimia yang disebar bintang-bintang yang meledak (supernovae) ke ruang-ruang hampa di seantero jagat raya tanpa tepi./1/ Unsur-unsur kimia organik pembentuk DNA, atau malah DNA-DNA antariksa sendiri, menyebar di seantero kevakuman jagat raya. Oleh forsa gravitasi planet-planet, kimia organik dan DNA-DNA antariksa lewat bebatuan meteorit menerjang masuk ke planet-planet, salah satunya planet Bumi. Sudah diukur, tubuh kita terdiri atas 53 % air (asal-usul air sendiri adalah angkasa luar) dan 38 % debu-debu bintang (oksigen, carbon, nitrogen, dan calcium). 

Kita adalah putra-putri langit. Hebat, bukan?

Saat kimia organik dari langit mau membentuk DNA, ekologi yang diperlukan pertama-tama adalah laut. Tanpa air tidak akan ada kehidupan, sejauh kita ketahui dari ilmu pengetahuan hingga saat ini. Sangat mungkin, di planet-planet lain di luar tata surya kita dalam berbagai galaksi, syarat-syarat terbentuknya kehidupan tidak sama dengan syarat-syarat yang diperlukan di planet Bumi. Sudah teramati, kimia inorganik (dalam bentuk materi plasma) di angkasa luar mampu membentuk DNA-DNA antariksa./2/

Monday, September 15, 2014

Diam, sunyi dan kosong



"Bunuhlah dirimu, lalu besarkan bayi-bayi, sembuhkan orang sakit, dan hidupkan orang mati."

Ini kata-kata Lao Tzu, yang diterima menjadi ucapan-ucapan Zen: “Semakin anda berdiam diri, semakin anda mampu mendengar”, dan “Kami membentuk sebuah periuk dari tanah liat, tetapi kekosongan yang ada di dalamnya yang memuat apa yang kami inginkan.”

Diam dan kosong, dua hal yang bermakna dan berguna. Mengapa banyak orang tak suka diam dan tak suka kosong, lebih-lebih kalau berkaitan dengan agama? Bukankah Tuhan itu bagian esensial dari hal-hal yang tak terkatakan? Bukankah sorga itu bagian mendasar dari dunia-dunia transenden yang melampaui dunia manapun yang sekarang kita kenal? Mengapa kita terbiasa rewel dan suka sesumbar tentang hal-hal besar ini?

Bukankah kesunyian, kebisuan dan kekosongan mendekatkan kita kepada hal-hal yang tak terkatakan? Bukankah jika kita bertemu dengan hal-hal yang tak terkatakan, kita akan mengambil sikap diam, sunyi dan kosong? Dalam diam, bukankah kita bertemu dengan kata yang tenang? Dalam sunyi, bukankah kita berjumpa keramaian yang teduh? Dalam kosong, bukankah kita bersua dengan isi yang senyap?

Dalam kita diam, sunyi, hening dan kosong, kita menemukan kata-kata, keramaian, dan isi, semuanya dari perspektif yang berbeda, perspektif yang baru, yang lebih menyegarkan, menakjubkan, mengherankan, menggugah, dan yang tidak terduga sebelumnya. Dalam diam, sunyi dan kosong, kita mendengar dan bertemu suara-suara sunyi dan sepi yang menggelegar, membahana, yang riak-riaknya bergelombang sampai ke tepi-tepi alam semesta. Dewa-dewi pun menari gembira. Ruang-ruang kosmik yang kosong pun bergetar, menghasilkan energi dahsyat yang terus menjalar abadi, gelombang demi gelombang, mencari rumah-rumah hati yang mau didiami, yang kosong, senyap, dan hening.

Kata Lao Tzu juga, “Kepada pikiran yang diam dan hening, seluruh jagat raya menundukkan diri.” Sufi yang termasyhur, Jalaluddin Rumi, dengan sangat bagus berkata, “Mengapa anda sangat takut terhadap keheningan? Keheningan adalah akar dari segala sesuatu. Jika anda masuk ke dalam pusaran keheningan, seratus suara akan menggelegarkan pesan-pesan yang sudah lama anda rindukan.”

Mari, mari, mari, kita berlatih diam, sunyi, hening, bisu, dan kosong. Mari, mari, mari, kita terjunkan diri ke dalam pusaran-pusarannya yang dahsyat.

Content needs emptiness
Crowd requires aloneness
Speech needs quietness
Friendship requires loneliness
Movement needs stillness
Voice requires silence
The silence of all silence

Adakah diam dari segala diam? Sunyi dari segala sunyi? Kosong dari segala kosong?


Manusia rata-rata dapat diibaratkan sebagai air terjun yang gemuruh, ruuuuuuuuuuuuhhh, selalu ingin berkata keras sebanyak-banyaknya, menggemuruh, rrrruuuuuhhhhh, memuntahkan jutaan kata setiap hari tanpa bisa direm, jutaan kata yang bisa sembarangan tanpa isi, kosong melompong bak tahu poooooonnnng.

Mengambil sikap diam, sunyi dan kosong sangat sulit. Untuk mencapainya, kita perlu berlatih sangat keras dan tekun, juga dalam kondisi diam, sunyi dan kosong. Kesulitannya jadi berlipatganda. Sekaligus, rasa takjub dan rasa herannya juga meningkat.

Sebaliknya, hanya segelintir manusia yang bisa menjadi gunung tinggi, tiiiiiingggiiiiiiiiiiiii, menjulang mencapai awan-awan tempat para dewa, berdiri tegak, kokoh, kuat, diam, hening, bisu dan sunyi abadi, meskipun magma bergolak dan bermusik rock di dalam perutnya. Penuh misteri, tak terkatakan dan tak terucapkan. Kosong nan agung. Agung yang melambung, dalam kesendirian dan kesunyian. Menggetarkan kalbu dan akal. Menggoncangkan Bumi dan langit. Memanggil halilintar dan menjadikannya diam dan teduh. Kata Lao Tzu, "Keheningan adalah suatu sumber kekuatan besar."

Untuk bisa diam, sunyi dan kosong, pandanglah gunung-gunung tinggi dunia ini. Temani Mahameru. Pergilah ke Nepal. Jelajahi dan tundukan Himalaya. Dekap Mount Everest siang dan malam. Cumbui dia. Daki gunung Mauna Kea di Hawaii. Di Venezuela, gunung Pico Bolivar tengah rindu menunggu anda. Mount Rainier di Seattle lama sudah berahi kepada anda. Mount Savage di perbatasan Pakistan dan China menunggu anda jinakkan lewat ciuman dan pelukan anda. Ras Dashen di Ethiopia sudah lama kepanasan, menunggu anda dalam gelora untuk bercumburayu.

Minta Everest dan Mahameru dan Bolivar mendaki anda. Peluklah mereka semua. Kuat dan erat. Enerjik. Berahi. Lantunkan madah-madah erotik yang hening. Berdansalah bersama mereka. Berpelukkanlah. Bersetubuhlah. Lahirkan anak-anak besar, generasi masa depan, anak-anak gunung akbar, kawasan para dewata.

Masuk ke dalam diam dan sunyi relatif lebih mudah ketimbang masuk ke dalam tahap kosong. Untuk kosong, para dewa dan dewi harus sunyi dan diam lebih dulu. Tanpa sunyi dan diam, kosong tidak ada.

Tahap kosong sangat sulit dicapai, yakni saat kita sudah menemukan diri kita menyatu dengan segala yang ada, tidak ada lagi ego dan individualitas, kita adalah jagat raya sendiri, kita adalah langit, kita adalah dunia, kita adalah orang-orang lain, kita adalah hewan-hewan dan tetumbuhan, kita adalah rerumputan, padi dan gandum, kita adalah belalang, semut, jangkrik, kunang-kunang dan kupu-kupu, kita adalah ruang dan waktu, keberadaan dan ketiadaan, kita adalah sungai dan lelautan, bebatuan dan ikan-ikan, lumba-lumba dan putri duyung, kita adalah masa kini, masa depan dan masa lampau,

Tidak ada lagi aku, Ioanes, Ulil, Selvy, Susy Tam, Gastro Redacid, Cindar, Ginger, Swift Taylor, Rihana, Celine Dion, Saidiman, Sahal, Sarasdewi, Ahok, Vero, Lince, Suzanna, Nathan, Jeanne, Jessy, Elizabeth, Denny, Elza, Dalai Lama, Nelson Mandela, Teresa, Areta, Owena, Munir, Rendra, Gandhi, Chatime, Doraemon, Trump, Donald, Diana, Novri, Minion, Casper, dan alien-alien. Yang ada adalah Entitas Universal. Kita menjadi tidak ada, kosong. Kosong.

Ketika tahap kosong ini dicapai, kita menjadi penuh, kita menjadi isi. Kosong tapi isi, isi tapi kosong. Mencari dan ikhlas menjadi kosong, hasilnya isi. Itulah paradoksnya, dan tentu saja paradoks yang menakjubkan, mengherankan, dan membuat kita terperosok ke dalam sunyi, hening dan diam.

Sayang seribu kali sayang, hanya sedikit orang yang telah mencapai tahap kosong ini. Kebanyakan orang berjuang keras, dengan segala cara, untuk menjadi isi yang penuh sepenuh-penuhnya, menguasai segalanya, tamak habis-habisan, menyimpan deposito USD di seluruh gurun sunyi dan goa hampa di seluruh jagat, padahal, celakanya, mereka kosong sekosong-kosongnya, kere sekere-kerenya, lapar selapar-laparnya, gendut dut dut segendut-gendutnya, didera busung lapar. Mencari dan bernafsu menjadi isi, ujungnya kosong song song.

Ya, mereka isi dan kosong sekaligus, tapi juga isi dan kosong yang bukan isi dan bukan kosong sekaligus. Tak bermakna. Tak eksistensial. Tak autentik. Upps.... kebanyakan kata! Stop!

Saya gembira karena dalam tulisan pendek ini saya berhasil mengungkapkan makna kata “sunyata” dalam Buddhisme dengan gamblang dan menyentuh. “Sunyata” biasanya diterjemahkan sebagai “kosong”, empty. Sunyata sama sekali bukan nihilisme. Hemat saya, kondisi “sunyata” paling jelas diungkap oleh kehidupan kita sendiri: terlepas dari ego individual, lalu menyatu dengan jagat raya, alhasil diri kita lenyap, hilang, empty, kosong.

Tetapi karena ego individual kita lenyap dengan menyatu atau terlebur ke dalam jagat raya, ke dalam langit dan dunia, kekosongan kita sekaligus isi sepenuh-penuhnya diri kita. Dus, kosong tapi isi, isi tapi kosong. Ini paradoks, tetapi memang demikianlah seharusnya kita memahami setiap ide dalam Buddhisme, selalu berada dalam bingkai “non-dualis”, advaita.

Saat kita mencapai kondisi kosong, kita akan menjadi seorang manusia yang penuh kebajikan dan cinta terhadap semua yang ada, organisme dan non-organisme, terhadap Bumi dan dunia yang penuh dipadati bertrilyun-trilyun kunang-kunang, gemerlap.

Saat kita mencapai sunyi, hening dan diam, kita menjadi bagian dari keramaian, hiruk-pikuk dan suara-suara dunia, yang diam-diam berada di antara manusia, meskipun kita datang dari jagat-jagat raya lain, ribuan tahun cahaya jauhnya, dan dari masa-masa yang akan datang, jauh di depan. Kita bak para malaikat, para Boddhisattva, dewa-dewi yang menjadi manusia, diam di antara insan-insan, penuh kasih karunia dan kebenaran.

Tentu saya mengakui akan bisa ada interpretasi lain dari kata “sunyata” dalam Buddhisme, karena kata ini memang sulit dipahami dan sering salah dipahami. Guru Buddhisme Lewis Richmond telah menjelaskan dengan cukup bagus makna kata “sunyata”, terpasang di http://www.huffingtonpost.com/lewis-richmond/emptiness-most-misunderstood-word-in-buddhism_b_2769189.html.

SELAMAT HARI NYEPI
17 MARET 2018 
Tahun Caka 1940

Salamku,

ioanes rakhmat



Tuesday, September 9, 2014

Sang Musafir



My mystical poem

SANG MUSAFIR

Dalam malam kelam yang terus tenggelam
Dalam kesendirian yang dalam dan kelam
Aku merasa dengan kau aku berdua 
Meskipun aku tetap sendiri jua

Engkau dekat tapi juga jauh
Engkau jauh tapi juga dekat
Rindu dan tak rindu bertarung dalam jiwaku luruh
Kapankah aku betul-betul akan rehat?

Sebetulnya aku sudah tak tahan ingin pergi mendekatimu
Tapi engkau yang dekat selalu menjauh ketika kudatangi
Tak pernah terpuaskan rasa rinduku padamu
Akibatnya kumerasa sunyi sendiri dan rindu sendiri

Aku selalu rindu untuk jumpa engkau dan memeluk engkau
Kapan engkau mau bertandang abadi dalam rumah jiwaku?
Tanpa akhir aku terus menunggumu
Sekalipun sampai berjuta-juta windu berlalu

Engkaulah Sang Musafir
Bertandang pernah engkau ke rumah jiwaku cuma hanya sebentar
Lalu engkau meneruskan ziarahmu yang tak pernah berakhir
Membuat batin dan akalku di belakang jejakmu senyap tersihir 

Aku telah sediakan sebuah kendi tanah liat di depan rumahku
Supaya engkau mereguknya saat kau haus dalam perjalananmu
Seraya kuberharap kau mau lagi mampir
Lalu kau memberkatiku supaya aku serba mahir menyihir

Tapi kau hanya menatap tajam sepasang mataku dalam-dalam
Kutangkap pesan-pesanmu yang abadi bagi jiwaku
Sungguh kuingin mendekap engkau
Tapi kau mengelak lalu melangkah terus dengan diam

Aku sungguh tak tahan
Lalu aku mengikutimu dari belakang dengan diam-diam
Sekali-kali kau menoleh ke belakang ke arahku perlahan tertahan
Tapi kau berjalan terus sampai tiba kelam temaram

Saat malam gelap tiba bagi jiwaku
Aku lelah dan mengambil rehat
Tapi engkau yang abadi teguh meneruskan ziarahmu 
Membuat jiwaku sungguh merana, haus dan penat

Kau Sang Musafir abadi sejati
Aku hanyalah kekasihmu yang mengabdi sejati hati
Tak dapat aku menggenggammu sampai aku mati
Bagiku kau serba teka-teki abadi

Dalam kesendirian di malam yang kelam
Aku menatap sunyi menembus dinding
Tapi aku tahu aku berdua denganmu bermalam-malam
Bayang-bayangmu yang hitam terang menutup diriku berkeliling

Aku rindu terhadap rindu
Sampai kapankah aku terpuaskan?
Tidak pernah! Itu abadi! Itu takdirku! 
Kuterima dengan ikhlas dan rela nian!

Sang Malam sunyi sendirian 
Kelam tak berteman
Walau bintang-bintang terang bertaburan
Memantik Nur dalam kalbu tak tertahan

Kau Sang Musafir 
Aku hanya sang penanya yang tak mahir 

by ioanes rakhmat

Jakarta, 9 September 2014