The Tree of Life, usia lebih dari 2.000 tahun
Pohon pada foto di atas sangat besar, dinamakan The Tree of Life, Pohon Kehidupan, oleh
penduduk setempat di suatu desa di Afrika Selatan. Lingkaran batangnya bergaris
tengah bermeter-meter. Sayang, kita tidak bisa melihatnya utuh sampai ke
puncaknya.
Anda tahu berapa usianya? Sudah 2000 tahun. Sekarang masih sehat dan kelihatan tumbuh terus. Mengherankan, bukan? Mustinya masuk ke salah satu keajaiban dunia ya. Tentu masih ada pohon-pohon lain yang mungkin lebih tua, lebih besar dan lebih tinggi./*/ Yang ini saja sudah luar biasa, bukan? (Klik fotonya untuk dapat ukuran lebih besar.)
Anda tahu berapa usianya? Sudah 2000 tahun. Sekarang masih sehat dan kelihatan tumbuh terus. Mengherankan, bukan? Mustinya masuk ke salah satu keajaiban dunia ya. Tentu masih ada pohon-pohon lain yang mungkin lebih tua, lebih besar dan lebih tinggi./*/ Yang ini saja sudah luar biasa, bukan? (Klik fotonya untuk dapat ukuran lebih besar.)
Pengalaman “mistik” pertama, saya alami saat saya melihat
dengan mata kepala sendiri pohon-pohon besar dan tinggi di hutan alam Redwood,
California, USA. Waktu itu, beberapa pohon saya dekati, lalu saya ajak bicara.
Kedua tangan saya terlalu pendek untuk bisa merangkul mereka. Sambil
menempelkan erat-erat tapak tangan-tangan saya kepada mereka, saya minta supaya
mereka menyalurkan energi kehidupan mereka ke tubuh saya.Tentu mereka tidak
bisa membalas kata-kata saya. Saya juga tidak tahu, apakah mereka bisa
mendengar dan memahami ucapan-ucapan saya. Saya juga tidak tahu apakah energi
mereka tersalur ke tubuh saya.
Yang saya tahu pasti, karena sudah banyak dikaji, setiap pohon itu sebagai organisme punya mekanisme biologis (mungkin bekerja secara refleks) untuk memberi reaksi terhadap berbagai rangsangan, entah rangsangan yang menyakitkan, atau rangsangan yang melegakan. Tetumbuhan jelas tidak punya organ otak, tapi sudah pasti mereka punya semacam “perasaan”.
Nah, bisa jadi perasaan mereka dapat kita sentuh lewat perasaaan kita juga. Mungkin saja di masa depan, kita bisa membangun sebuah sistem teknologis untuk membantu kita bisa bicara komunikatif dua arah dengan organisme-organisme lain non-manusia.
Note
/*/ Pohon “old Tjikko”, misalnya, yang tumbuh di Gunung Fulufjaellet, provinsi Dalarna, Swedia, berdasarkan metode Carbon-14 dating, ditemukan usia akarnya yang paling tua 9.550 tahun. Tinggi pohon ini 5 meter. Info tentang si pohon tua “old Tjikko” ini, lihat di http://en.m.wikipedia.org/wiki/Old_Tjikko.
Yang saya tahu pasti, karena sudah banyak dikaji, setiap pohon itu sebagai organisme punya mekanisme biologis (mungkin bekerja secara refleks) untuk memberi reaksi terhadap berbagai rangsangan, entah rangsangan yang menyakitkan, atau rangsangan yang melegakan. Tetumbuhan jelas tidak punya organ otak, tapi sudah pasti mereka punya semacam “perasaan”.
Nah, bisa jadi perasaan mereka dapat kita sentuh lewat perasaaan kita juga. Mungkin saja di masa depan, kita bisa membangun sebuah sistem teknologis untuk membantu kita bisa bicara komunikatif dua arah dengan organisme-organisme lain non-manusia.
Saya selalu terdorong untuk mengajak bicara pohon-pohon
besar yang sangat langka, kalau bertemu dengan mereka di manapun dan kapanpun.
Saya tahu, saya terikat mata rantai kehidupan dengan semua organisme, termasuk
dengan pepohonan, apalagi dengan hewan-hewan. Tumbuh-tumbuhan yang kecil ada
sangat banyak di sekitar kita, di mana-mana. Saya pikir, tetumbuhan kecil juga
perlu diajak bicara. Tetapi saya tidak mau melakukannya, karena kalau saya
melakukannya, saya akan sering dan tidak terputus melakukannya.
Nah, anda akan tahu sendiri, orang banyak bisa jadi akan menilai saya tidak waras kalau setiap detik, menit dan jam, saya bercakap-cakap dengan tetumbuhan kecil di banyak tempat. Berbicara dengan toge, misalnya, ini ‘kan silly bahkan mad?!
Nah, anda akan tahu sendiri, orang banyak bisa jadi akan menilai saya tidak waras kalau setiap detik, menit dan jam, saya bercakap-cakap dengan tetumbuhan kecil di banyak tempat. Berbicara dengan toge, misalnya, ini ‘kan silly bahkan mad?!
Suatu saat, jika sempat, saya akan datangi desa di Afsel
itu, untuk melihat langsung pohon besar pada foto ini. Dan... tentu mau saya
ajak dia bicara, dan merangkulnya sebisa mungkin. Energi sangat besar ada pada
pohon ini. Dari persamaan Einstein E=mc^2, tahulah kita bahwa makin besar bobot
(massa) suatu materi, semakin besar energi yang dihasilkannya. Oh ya, jika saya
jadi berwisata ke sana, anda mau ikut?
Yang menjadi pertanyaan buat saya sekarang adalah mengapa
penduduk desa di Afsel itu tidak menjadikan pohon ini pohon keramat dan
bertuah, padahal pola pikir mereka kebanyakan masih mitologis.
Misalnya, di sekelilingnya dibangun tembok rendah, ada pintu masuk ke pohon, dan ada tempat-tempat menaruh sesajen, juga dilengkapi beberapa tempat untuk sembahyang. Lalu wisatawan yang datang dimintai uang sumbangan. Mustinya ini yang terjadi. Ternyata tidak. Mungkin orang Afrika lebih tertarik untuk memuja hewan-hewan ketimbang tetumbuhan. Ihwal ini saya belum sempat teliti.
Misalnya, di sekelilingnya dibangun tembok rendah, ada pintu masuk ke pohon, dan ada tempat-tempat menaruh sesajen, juga dilengkapi beberapa tempat untuk sembahyang. Lalu wisatawan yang datang dimintai uang sumbangan. Mustinya ini yang terjadi. Ternyata tidak. Mungkin orang Afrika lebih tertarik untuk memuja hewan-hewan ketimbang tetumbuhan. Ihwal ini saya belum sempat teliti.
Note
/*/ Pohon “old Tjikko”, misalnya, yang tumbuh di Gunung Fulufjaellet, provinsi Dalarna, Swedia, berdasarkan metode Carbon-14 dating, ditemukan usia akarnya yang paling tua 9.550 tahun. Tinggi pohon ini 5 meter. Info tentang si pohon tua “old Tjikko” ini, lihat di http://en.m.wikipedia.org/wiki/Old_Tjikko.