Updated 20 Mei 2018.

Anda tahu, persis di atas ini gambar wajah siapa? Dewa Zeus! Oh bukan. Itu adalah wajah Allah menurut pelukis Michelangelo Buonarroti (1475-1564), dilukis pada langit-langit Kapel Sistine, Kota Vatikan (“Penciptaan sang Mentari dan sang Rembulan”), 1508-1512. Tentu saja, wajah Allah yang antropomorfis personal patriarkis ini hanya ada dalam khayalan Michelangelo.
Baiklah kita mulai perjalanan panjang kita. Orang yang mengaku ateis dengan sangat yakin meyakini bahwa Tuhan itu tidak ada. Ateisme berarti ideologi atau paham yang menyatakan Allah itu tidak ada: “A-Theos” (Yunani), artinya “tidak ada Allah”. A-theos plus “isme” menjadi ateisme, yang dalam bahasa Yunani menjadi “atheismos”.
Jika teisme adalah sebuah kepercayaan ideologis bahwa Allah itu ada, maka ateisme, sebagai lawannya, adalah sebuah kepercayaan ideologis bahwa Allah itu tidak ada. Inilah definisi paling mendasar dari paham ateisme. Tidak usah dibuat rumit dan menjelimet. Tidak usah juga disangkal.
Ya, saya tahu orang ateis tidak ingin ateisme mereka disebut sebagai ideologi. Mereka tampaknya tidak tahu bahwa dilihat dari perspektif studi-studi sosial, setiap gagasan atau ide besar digolongkan sebagai ideologi (harfiah berarti “pengetahuan atau logika tentang ide-ide”), termasuk ide-ide keagamaan, dan juga ide-ide nonkeagamaan (ateisme atau sekularisme misalnya). Dalam Oxford Concise Dictionary of Politics, edisi ketiga 2009, ideologi dijelaskan sebagai
“sejumlah ide yang komprehensif dan konsisten satu sama lain, yang dengannya suatu kelompok sosial memaknai dunia ini. Suatu ideologi perlu memberikan penjelasan-penjelasan tentang bagaimana segala sesuatu ada sebagaimana adanya, petunjuk-petunjuk ke arah mana kelompok sosial ini sedang bergerak (untuk menjadi suatu panduan bertindak), kriteria untuk membedakan kebenaran dari kesalahan, argumen-argumen yang valid dari argumen-argumen yang tidak valid, dan kepercayaan-kepercayaan utama dan terpenting entah terhadap Allah, Providentia, atau terhadap Sejarah, yang dapat dijadikan rujukan terakhir oleh para penganutnya jika mereka ditantang.”/1/
Teman-teman yang ateis saya persilakan untuk memeriksa sendiri, apakah definisi tentang ideologi yang saya telah kutip ini berlaku atau tidak berlaku pada ateisme. Kalau anda cerdas dan tidak melarikan diri dari kenyataan, dan tidak hidup “in denial”, anda pasti akan sepakat sekarang bahwa ateisme juga sebuah ideologi.
Pada sisi lain, jika ateisme itu bukan sebuah ideologi seperti anda dengan keras kepala selalu pertahankan, ya alternatifnya adalah ateisme itu sebuah iman, faith, sebuah kepercayaan, belief.
Ini sama persis dengan, misalnya, kekristenan. Orang Kristen tidak ingin teisme mereka dipandang sebagai sebuah ideologi; mereka ingin teisme mereka dipandang sebagai sebuah iman, sebuah kepercayaan, yang kata mereka jauh melampaui ideologi insani apapun, karena berasal dari wahyu Allah di sorga yang hanya bisa diterima dan diaminkan oleh iman atau oleh kepercayaan. Bagi saya ya jelas, yang sudah pasti ada adalah iman atau kepercayaan para teis yang mereka percayai. Mereka percaya pada kepercayaan mereka atau pada sistem kepercayaan mereka bahwa Allah itu ada.
Dus, apakah ateisme juga sebuah wahyu ilahi? Ini sebuah pertanyaan yang abnormal, bukan? Tetapi, bisa jadi benar bahwa ateisme juga sebuah wahyu dari sorga. Celakanya, ide semacam ini tentang ateisme juga sebuah ideologi. Atau, bisa jadi, dengan makin tidak bernalar, para ateis ingin ateisme mereka dipandang sebagai sebuah sains! Is atheism a science? If so, what kind of science is atheism? An absurdity! A crazy mind!
Mereka, teman-teman ateis saya, belakangan ini suka bertanya kepada saya, apakah Allah itu ada. Mereka berharap saya berada di kubu mereka sebagai kaum ateis. Tapi sayangnya, saya sejujurnya menemukan diri saya (pikiran dan batin saya) tidak bisa ateis.
Saya tidak ingin memenjarakan diri saya ke dalam satu ideologi atau paham keyakinan keagamaan atau non-keagamaan apapun. Saya ingin tetap menjadi seekor burung merpati putih yang terbang bebas di angkasa, tanpa kurungan. Once a freethinker, forever a freethinker./2/ Telah saya lihat dan alami di banyak kesempatan dan tempat, ateisme kini, sebaliknya, sedang menjadi sebuah penjara baru, yang di dalamnya kemarahan dan kebencian pada agama-agama, alias religiofobia, diumbar mati-matian tanpa kontrol.

Wahai kau burung di luar sangkar....!
Saya sungguh senang karena tidak menjadi seekor burung yang terkurung dalam sangkar sempit, sebagaimana kondisinya digambarkan dengan sangat pedih dalam madah “Burung dalam Sangkar”, ciptaan May Sumarna (atau orang lain?) yang dilantunkan oleh Emilia Contessa yang dijuluki sebagai “sang Singa Panggung Asia” oleh majalah Asia Week (1975)./3/ Siapapun yang dimaksudkan dengan “burung dalam sangkar” dalam lagu ini, lirik lengkap lagu duka ini sangat memedihkan jiwa dan mengusik akal, berikut ini.
Wahai kau burung dalam sangkar
sungguh nasibmu malang benar
tak seorangpun ambil tahu
duka dan lara dihatimu
Reff:
Wahai kau burung dalam sangkar
dapatkah kau menahan siksa
dari kekejaman dunia
yang tak tahu menimbang rasa
Batinmu nangis hati patah
riwayat tertulis penuh dengan
tetesan air mata
Sungguh ini satu ujian
tetapi hendaklah kau bersabar
jujurlah kepada Tuhan
Meskipun saya memilih untuk tetap menjadi seorang bebas, saya tetap membutuhkan spiritualitas, karena sampai saat ini sistem-sistem neurologis dalam otak kita masih memerlukan input spiritual dan mengeluarkan output spiritual./4/ Kebutuhan spiritual ini menjadi bagian dari evolusi biologis otak kita. Bisa saja, sekian ribu tahun yang akan datang, evolusi alamiah akan membuang sama sekali spiritualitas dari sistem-sistem neural otak manusia.
Atau, dengan kecanggihan teknik rekayasa genetik kita nanti, kita bisa mendesain sendiri ke mana evolusi kita akan berjalan (“self-designed evolution”), dengan mengubah atau menyempurnakan DNA kita sendiri lewat teknik “DNA-editing”. Bisa juga, lewat teknologi bedah saraf yang canggih sistem neurologis dalam otak kita yang bertanggungjawab bagi spiritualitas akan suatu saat dapat dibuang sama sekali tanpa efek samping apapun (tapi saya sangat meragukan bahwa hal ini akan dimungkinkan!), alhasil kita jadi tidak membutuhkan spiritualitas sama sekali.
Atau, sebagaimana sudah dihipotesiskan oleh sejumlah saintis, dan sudah diujicoba di lab dengan tikus-tikus, memori-memori bisa dihapus (teknik “memory erasure”), tentu termasuk memori-memori keagamaan, hanya dengan meminum sebuah pil yang berisi enzym tertentu setelah sebelumnya memori-memori yang mau dihapus diingat kuat-kuat atau diucapkan keras-keras berulangkali./5/ Jika era ini tiba, ateisme akan jadi ideologi terbesar dunia, mungkin saja.
Tapi sekarang dalam abad ke-21 ini kebutuhan spiritualitas masih menjadi bagian dari sistem-sistem neural otak kita.
Saya tetap ingin punya spiritualitas dan memberi spiritualitas. Ini yang alamiah. Apa yang dikatakan oleh Rinzai Gigen ini membuat saya bersukacita, “Ketika lapar, aku menyantap makananku. Ketika ngantuk, kupejamkan mataku. Orang dungu menertawakanku. Orang bijak memahamiku.”
Tetapi sebagaimana kehendak pikiran, atau kehendak otak, atau berbagai kehendak perasaan kita, bisa kita lawan, begitu juga kebutuhan spiritual yang diminta otak kita untuk kita penuhi dapat dengan sadar kita lawan atau kita tidak penuhi, lalu kita mencari sesuatu yang lain untuk menjadi penggantinya.
Seseorang dapat tidak beragama atau menjadi ateis atau tidak tertarik pada hal-hal spiritual jika struktur anterior cingulate, striatum, dan lobus frontalis (keduanya pusat agama ramah) dan amygdala dalam sistim limbik (pusat agama amarah) dalam otaknya tetap dibiarkan tidak aktif ketika kepadanya diajukan soal-soal spiritual. Ada berbagai metode untuk mencapai kondisi aspiritual ini.
Kalau ditanyakan ke saya, apakah Tuhan itu ada, does god exist, berikut ini jawaban saya.
Oleh agama-agama teistik, Tuhan itu dipercaya ada dalam dunia supernatural, atau dunia transenden, dunia yang melampaui dunia kita, bukan dalam dunia empiris natural. Kepercayaan ini, atau sebut saja ide ini, dikenal sebagai teisme atau supernaturalisme. Ada banyak ide besar dalam dunia ini, misalnya kapitalisme, komunisme, Marxisme, liberalisme, eksistensialisme, naturalisme, sekularisme, rasionalisme, empirisisme, evidensialisme, pragmatisme, modernisme, dan tentu saja dinamisme, animisme, teisme, panteisme, non-teisme, ateisme, agnostisisme, dan lain-lain.
Mari sekarang kita fokus pada teisme atau supernaturalisme, berhadap-hadapan dengan ateisme atau naturalisme. Kita bertanya, apakah supernaturalisme itu benar, dalam arti apakah dunia supernatural itu ada, dus Allah sebagai bagian dari dunia supernatural juga ada? Karena melawan teisme, maka ateisme juga harus memberi bukti bahwa perlawanannya benar, tidak bisa main ajukan klaim tandingan saja tanpa dasar.
Jadi, pertanyaan yang sama juga kita harus ajukan ke ateisme sebagai lawan teisme: Apakah ateisme itu benar, dalam arti apakah tidak ada Allah dalam dunia supernatural? Jika ateisme mempertahankan bahwa Allah itu tidak ada, apakah dengan begitu dunia supernatural juga tidak ada?
“The burden of proof”
Nah, kalau kita mau memastikan dengan
kuat apakah sesuatu itu fakta atau bukan fakta, apakah sesuatu itu ada atau tidak
ada, sains adalah metode yang paling tepat untuk mengujinya. Jika kita mau
berargumen secara saintifik dan memang seharusnya demikian, maka bukan hanya
teisme (sebagai tesis), tapi juga ateisme (sebagai anti-tesis), harus
membuktikan keyakinan masing-masing.
The
burden of proof atau beban pembuktian
dipikul baik oleh teisme maupun oleh ateisme yang menolak teisme. Jika teisme
tidak bisa memberi bukti empiris keberadaan Tuhan, maka teisme menjadi sebuah
kepercayaan, sebuah agama. Begitu juga halnya dengan ateisme: jika ateisme
tidak bisa memberi bukti empiris ketidakberadaan Tuhan, bukti untuk menolak
teisme, maka ateisme juga sebuah kepercayaan, sebuah agama, persisnya sebuah
agama yang menolak Tuhan transenden, agama tanpa Tuhan.
Meminta baik kalangan teis maupun
kalangan ateis untuk memberi bukti-bukti bagi semua klaim mereka, adalah suatu
prosedur normal yang wajib dijalankan dalam dunia ilmu pengetahuan, apalagi
selama ini orang ateis sangat ingin dihargai sebagai orang yang berpikir
ilmiah. Kedua pihak harus membuktikan klaim masing-masing tidak cukup hanya
lewat pernyataan-pernyataan filosofis atau lewat pernyataan-pernyataan logis,
tetapi juga harus secara saintifik, yakni dengan mengajukan bukti-bukti
empiris.
Kita tahu, orang ateis selalu mengulang-ulang mantra mereka bahwa
beban pembuktian dipikul hanya oleh orang beragama, sedangkan orang ateis tidak
memiliki tanggungjawab untuk membuktikan keyakinan mereka bahwa Tuhan itu tidak
ada. Ya, ini hanyalah sebuah mantra ateistik, bukan sebuah pernyataan ilmiah.
Di saat inilah relevan jika saya sebut
apa yang dinamakan “the argument from ignorance” (Latin: argumentum ad
ignorantiam). Ini sebuah “fallacy”, sebuah argumen yang salah, cacat atau tidak valid. Intinya, argumen
ini menyatakan bahwa selama sesuatu itu belum dibuktikan salah, maka sesuatu
itu benar. Juga kebalikannya: selama sesuatu itu belum dibuktikan benar, maka
sesuatu itu salah.
Lebih mudah ditangkap, jika fallacy ini diungkap demikian:
selama A belum terbukti benar, maka non-A itu benar. Kebalikannya: selama Non-A
belum terbukti benar, maka A itu benar. Nah, jika diterapkan pada Allah,
argumen yang salah ini jadi berbunyi demikian: Jika Allah belum terbukti ada,
maka Allah tidak ada. Kebalikannya: Jika tidak-ada-Allah belum terbukti benar,
maka Allah ada. Dua proposisi ini salah. Inilah yang dinamakan “Argumentum ad
ignorantiam”.
Nah, baik ateis maupun teis sama-sama
memakai argumen yang salah ini. Kalangan ateis menyatakan bahwa selama
eksistensi Allah belum terbukti, maka Allah tidak ada. Kalangan teis, sebaliknya,
juga dalam argumen yang sama yang salah, menegaskan bahwa selama non-eksistensi
Allah belum terbukti, maka Allah ada. Jelas, baik ateis maupun teis keduanya
sama-sama salah dalam mengajukan klaim-klaim masing-masing yang
bertolakbelakang. Keduanya memakai “the argument from ignorance” untuk dua
klaim yang bertentangan, yang false, yang salah.
Jelas, ini adalah dua buah
klaim, yang salah, yang satu sama lain bertolakbelakang. Ateis mengklaim Allah
tidak ada, karena keberadaan Allah tidak terbukti. Teis mengklaim, Allah ada
karena ketidakberadaan Allah belum dibuktikan oleh para ateis. Keduanya klaim
tentang keyakinan masing-masing, keyakinan yang salah, tidak valid. Salah, atau tidak valid, karena kedua
klaim ini belum terbukti benar lewat pembuktian empiris.
Supaya klaim-klaim ateistik dan teistik
itu tidak salah, jalan satu-satunya adalah memakai pendekatan keilmuwan yang
dinamakan epistemologi evidensialis: setiap klaim apapun, hanya valid sebagai
pengetahuan yang benar, kalau didukung bukti-bukti empiris (selain itu, juga memiliki koherensi logis dan sejalan dengan teori-teori besar yang ada). Jadi, adalah
kewajiban keilmuwan para ateis untuk memberi bukti-bukti bagi ketidakberadaan
Allah. Juga, adalah kewajiban keilmuwan para teis untuk memberi bukti-bukti
bagi keberadaan Allah.
Selama kedua pihak yang bertentangan ini belum
memberikan bukti-bukti empiris bagi klaim masing-masing, maka posisi
masing-masing bukan posisi ilmiah, tetapi baru sebatas klaim-klaim kepercayaan
saja. Baru berada di tahap “belief”, belum masuk ke tahap saintifik.
Istilah lainnya yang lebih keren,
keduanya baru mengajukan hipotesis saja, bukan hipotesis yang sudah terbukti
(entah terfalsifikasi, atau terverifikasi): God hypothesis melawan No-God
hypothesis. Kata Yunani “theismos” (Indonesia: theisme) memiliki lawannya dalam
kata Yunani “atheismos” (Indonesia: atheisme). Keduanya adalah “isme”, ideologi.
Beban pembuktian (“the burden of proof”), perlu ditekankan sekali lagi, dipikul
kedua belah pihak sama berat.
Orang ateis suka sekali mengulang-ulang mantra
sihir mereka bahwa beban pembuktian hanya dipikul para teis. Ya, begitulah, itu
cuma sebuah mantra sihir, bukan sebuah pernyataan ilmiah―jadi, ya singkirkan
saja. Buat apa main ilmu sihir di era sains modern.
Selanjutnya, saya mau ingatkan bahwa ada kalangan ateis yang karena sadar bahwa jika ateisme dipandang sebagai antitesis terhadap teisme, maka mereka memikul tanggungjawab beban pembuktian atas kebenaran antitesis ini. Kesadaran ini mendorong banyak ateis untuk tidak menyebut ideologi atau paham mereka sebagai ateisme, tapi sebagai naturalisme.
Bagaimana pun juga, isunya tetap sama. Naturalisme itu antitesis terhadap supernaturalisme.
Sebagaimana sang naturalis besar Charles Darwin telah lakukan untuk membangun teori evolusi, naturalisme sebagai suatu terma lain dari ateisme berdiri dan bertahan hanya jika didukung bukti-bukti empiris yang harus dicari dan dihimpun lalu dikategorisasi dan diklasifikasi. Dalam hal ini, naturalisme jauh lebih mudah dibandingkan ateisme, tentu saja. Tapi masih ada soal yang mereka harus masuki juga, yakni membuktikan supernaturalisme itu salah atau bahwa hal-hal yang supernatural tidak ada.
Dimensi-dimensi
transenden
Kita tahu, sains hanya bisa menganalisis
dan menjelaskan fenomena yang ada dalam dunia empiris natural. Sains tidak bisa
masuk ke dalam dunia supernatural. Jika dunia supernatural ada, sains tidak
bisa masuk ke dalam dunia ini untuk memastikan apakah Allah ada atau apakah
Allah tidak ada. Berkaitan dengan keyakinan dalam ateisme bahwa Allah, dus
dunia supernatural, tidak ada, sains juga tidak bisa memastikan apakah dunia
supernatural tidak ada.
Kita semua juga tahu bahwa pikiran kita
kadangkala gagal mengenali suatu realitas karena persepsi kita yang salah dan
terbatas, atau karena kita kurang memiliki pengetahuan. Maka bisa terjadi bahwa
kita dengan keliru mempersepsi sesuatu yang sebetulnya ada sebagai sesuatu yang
tidak ada, dan sebaliknya.
Itu berarti bahwa dunia supernatural yang secara
empiris kita persepsi sebagai sesuatu yang tidak ada mungkin dapat ada dan kita
akan dapat mengonfirmasi keberadaannya jika pikiran kita memiliki jauh lebih
banyak kekuatan dan kapasitas untuk mempersepsi apapun dengan lebih luas dan
lebih dalam dan berbagai sains kita telah berkembang dan mencapai kemajuan jauh
melampaui keadaannya sekarang.
Perkembangan dan kemajuan belakangan ini
dalam fisika quantum membawa kita ke pengetahuan ilmiah yang sebelumnya kita
tidak punya. Berkat sumbangan, antara lain, Max Planck, David Bohm, Niels Bohr,
Erwin Schroedinger, Werner Heisenberg, dll, kini kita tahu bahwa
partikel-partikel dalam dunia quantum memiliki baik “proto-kesadaran” atau
“kehendak bebas” (sebagai aspek gelombang dari partikel) maupun materi (sebagai
aspek materi dari partikel). Aspek gelombang dari partikel-partikel ini meluas
sampai mencakup semua bentuk kehidupan. Memakai kata-kata Albert Einstein,
“Schroedinger telah menemukan formula matematis untuk fakta bahwa semua
kehidupan bergerak dalam gelombang-gelombang.”/6/
Fakta-fakta sains ini
haruslah membuat kita makin menyadari bahwa, sebagaimana benda material otak
(“body”) dan benda nonmaterial pikiran (“mind”) tidak terpisah, maka materi dan
nonmateri bercampur dalam dunia subatomik, dan meluas ke dunia tanpa batas.
Jadi, ada dimensi nonmateri dalam semua bentuk kehidupan, dimulai dari
partikel-partikel subatomik, yang tidak perlu diasalkan pada dunia supernatural
atau dunia gaib sebagaimana dipandang agama-agama selama ini. Ini pandangan
lama; tidak baru sama sekali.
Setelah sekian waktu merenungi
pengetahuan ini, saya akhirnya melihat ada kemungkinan suatu saat di masa depan
sains akan juga menemukan bahwa apa yang selama ini dipandang sebagai dunia
supernatural atau dunia transenden sebetulnya adalah dimensi nonmateri yang
sangat luas dalam jagat raya sendiri, yang nanti akan bisa ditemukan oleh sains.
Selanjutnya, saya dengan penuh
pertimbangan tidak memakai frasa “dunia supernatural” lagi, tetapi menggantinya
dengan dimensi-dimensi transenden. Kata “dimensi” adalah kata dalam dunia
sains, bukan kata dalam dunia agama. Dalam kamus Inggris yang ada di rak buku
saya, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, edisi keenam, tahun 2000, sesuatu
yang “transcendent” dijelaskan sebagai sesuatu yang “going beyond the usual
limits; extremely great”, yakni sesuatu “yang melampaui batas-batas yang
biasa”; sesuatu yang “luarbiasa besar”.
Jagat raya kita akan masih ada milyaran
tahun dari sekarang. Sains kita akan terus maju tanpa batas. Generasi-generasi
para saintis yang tidak terhitung banyaknya mungkin sekali di masa depan akan
dapat membuka “gerbang-gerbang dunia-dunia transenden” yang sekarang ini tampak
masih tertutup, lalu melongok ke dalamnya dan menemukan pengetahuan-pengetahuan
ilmiah baru yang sangat menakjubkan.
Jangan anda terpaku mati pada ide bahwa
jagat raya ini hanya terdiri atas empat dimensi, yakni tiga dimensi ruang dan
satu dimensi waktu; atau ditulis ringkas: dimensi ruangwaktu (spacetime
dimension). Sekarang ini, ada yang menggolongkan cahaya sebagai dimensi kelima. Nah, kita sekarang belum tahu ada apa “beyond the dimensions of space, time and light.”
Menurut teori dawai (string theory atau
superstring theory), dalam jagat raya ini ada sepuluh atau sebelas atau bahkan
dua puluh enam dimensi, atau bahkan empatpuluh satu dimensi, suatu kawasan
multidimensional yang disebut sebagai hyperspace. Kawasan hyperspace ini berada
dalam jagat raya kita sendiri; dan juga mengisi ruang-ruang kevakuman kosmik
yang terdapat di antara jagat-jagat raya paralel, yang sebetulnya tidak
sungguh-sungguh paralel sebab ada interpenetrasi antara jagat raya yang satu
dan jagat raya yang lain, yang bukti-buktinya sudah ditemukan beberapa waktu
lalu./7/
Menurut teori dawai juga, jagat raya ada bukan hanya satu (jagat raya
kita), tetapi mencapai jumlah fantastis 10 pangkat 500 (= 10500 ) jagat raya.
Ketimbang bingung dengan bilangan yang besarnya fantastis ini, lebih simpel jika
anda memandang jagat-jagat raya lain ada dalam jumlah tanpa batas, infinite.
Konsep universe sudah ketinggalan; kini diganti dengan konsep multiverse.

Di atas ini adalah sebuah ilustrasi imajinatif yang menggambarkan gelembung-gelembung jagat raya yang terus bermunculan dari busa dimensi ruangwaktu, hingga
mencapai jumlah tanpa batas, infinite multiverse. Di dalam masing-masing jagat raya ini,
hukum-hukum fisika dan konstanta-konstanta fisika yang berlaku tidak sama. Jagat raya kita cuma salah satu isi dari multiverse yang tanpa batas. Jika begitu, apa signifikansi planet Bumi di dalam multiverse yang tak berhingga? Entahlah.
Infinitas
atau “the undefined”
Dalam aritmetika atau dalam matematika,
kita memperhitungkan “ketidakterbatasan” atau “infinitas” sebagai sebuah
variabel. Saya meminta anda, para ateis, untuk menyebutkan sebuah bilangan
terbesar terakhir dalam jagat raya. Bisakah anda? Tentu saja anda tidak akan
bisa.
Kita juga sudah tahu, satu dibagi nol menghasilkan infinitas atau
ketidakberhinggaan yang tentu saja tidak mempunyai bilangan, melampaui semua kategori bilangan, bahkan melampaui kategori apapun.
Anda juga boleh menyatakan bahwa satu dibagi nol hasilnya
adalah “the undefined”, sesuatu yang tidak terdefinisikan, tidak bisa diberi
batas-batas, tidak bisa dikurung dalam kategori apapun, juga kategori bilangan, atau, dengan kata lain:
tidak terbatas. Beberapa agama Timur bahkan juga menggambarkan Realitas Paling
Asasi, yang juga disebut Tuhan, sebagai “the undefined”, sebagai suatu hakikat
yang “bukan ini dan juga bukan itu”, tidak terdefinisikan.
Permintaan saya cuma
satu: tunjukkan lewat operasi matematis bahwa satu dibagi nol hasilnya “the
undefined”.
Jelas, saya masih perlu mendemonstrasikan
secara aritmetis ke anda, para ateis, bahwa satu dibagi nol menghasilkan
infinitas. Saya tahu, anda sebagai ateis sangat mustahil menerima adanya
infinitas, keadaan tanpa batas, ketidakberhinggaan, meskipun saya sudah beberkan bahwa infinitas itu
ada, bahkan menjadi sebuah faktor dalam aritmetika. Sekali lagi, saya minta
anda menyebutkan sebuah angka terbesar dalam jagat raya. Bisakah anda?
Nah,
sekarang saya perlihatkan kepada anda aritmetika bahwa satu dibagi nol
menghasilkan infinitas. Perlu otak matematis untuk memahaminya.
1:0,1 = 10
1:0,001 = 1000
1:0,0001 = 10000
1:0,0000001 = 10000000
Maka, jawablah saya:
1:0,000000000000000000000001 =?
1:0,000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000001
=?
1:0,00000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000001
=?
1:0,0000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000.........
ad infinitum ......1 =? Hasilnya adalah infinitas. Tidak ada keraguan tentang
ini.
Karena 0 jauh lebih kecil dari
0,00000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000....
ad infinitum....1, maka 1:0 = infinitas mutlak.
Perhatikan grafik di atas. Baik di kuadran sumbu x positif dan sumbu y positif maupun di kuadran sumbu x negatif dan sumbu y negatif, infinitas atau ketakberhinggaan itu ada, tentu saja tak memiliki bilangan.
Lihat baik-baik grafik di atas. Baik di kuadran sumbu x positif dan sumbu y positif maupun di kuadran sumbu x negatif dan sumbu y positif, infinitas ada meski bilangannya tidak ada.
Ada banyak orang yang memberi respons begini:
Ah, itu hanya matematika, hitung-hitungan doang! Lalu mereka kekeh berpendapat
bahwa infinitas itu tidak ada.
Tentu saja jika mau ditulis bilangannya, ya infinitas pasti tidak punya bilangan. Dalam arti itulah infinitas DNE, “does not exist”. Dalam tulisannya yang memuat dua grafik matematika di atas, Jeff Cruzan menyatakan, “hindarilah menulis bahwa sesuatu itu ‘sama’ dengan infinitas. Infinitas tidak bisa disamakan dengan apapun.”/8/
Nah, pada kesempatan ini saya perlu dengan ringkas saja
menjelaskan apa itu matematika. Pada hakikatnya matematika adalah suatu studi
atas pola-pola (patterns),
hubungan-hubungan (relationships) dan
abstraksi-abstraksi (abstractions)
yang ditarik dari berbagai fenomena objektif dalam jagat raya.
Cara terbaik
mempraktekkan matematika adalah dengan mengobservasi dunia ini untuk menemukan
pola-pola yang muncul dalam segala keadaan yang beranekaragam, melihat
hubungan-hubungan yang ada, lalu menyusun abstraksi-abstraksinya. Pola-pola
yang sudah ditemukan digunakan untuk menemukan pola-pola yang baru yang terlalu
rumit untuk ditemukan secara langsung. Sebagaimana dikatakan seorang
matematikawan, “Pada dasarnya, matematika bukanlah untuk merumitkan hal-hal yang
sederhana, tapi sebaliknya untuk menyederhanakan hal-hal yang rumit.” (S. Gudder)
Persamaan Einstein E=mc²
apa adanya simpel, terdiri hanya 5 karakter. Tetapi fenomena fisika yang digambarkan dalam persamaan matematika ini sangat tidak simpel. Darinya dihasilkan antara lain energi nuklir yang sangat dahsyat. Begitu juga, dibutuhkan proses yang tidak sederhana untuk dari suatu massa dihasilkan energi, atau dari energi tercipta massa.
Perhatikan apa yang ditulis Ethan Siegel dalam artikelnya “The Three Meanings of E=mc²
, Einstein’s Most Famous Equation” bahwa:
"Persamaan paling agung Einstein, E=mc
2, adalah suatu kemenangan kekuatan dan kesederhanaan fisika fundamental. Materi memiliki sejumlah energi bawaan bagi materi itu sendiri; massa dapat dikonversi (di bawah kondisi-kondisi yang tepat) ke energi murni [yaitu energi tanpa massa]; dan energi dapat digunakan untuk menciptakan objek-objek massif yang sebelumnya tidak ada. Jika masalah-masalah dipikirkan lewat cara ini, maka kita dimungkinkan untuk menemukan partikel-partikel fundamental yang membentuk jagat raya kita, untuk menginvensi daya nuklir dan senjata-senjata nuklir, dan untuk menemukan teori gravitasi yang mendeskripsikan bagaimana setiap objek dalam jagat raya berinteraksi....”/9/
Serupa dengan pendapat Siegel, dalam artikelnya yang berjudul “E=mc²
: Einstein’s equation that gave birth to the atom bomb” Alok Jha menyatakan bahwa
"Pada satu segi, persamaan Einstein sangat mengesankan sekali sederhana. Namun seperti semua persamaan yang bagus, kesederhanaannya adalah sebuah lubang kelinci untuk masuk ke sesuatu yang sangat dalam dan luas tentang alam ini: energi dan massa bukan cuma berhubungan secara matematis, tapi keduanya adalah cara-cara yang berbeda untuk mengukur satu hal yang sama.”
Selanjutnya Alok Jha menegaskan hal berikut ini:
“Dalam dunia baru Einstein, massa menjadi suatu cara untuk mengukur total energi yang ada dalam setiap objek, bahkan ketika objek ini sedang tidak dipanaskan, tidak digerakkan atau diradiasi, atau tidak diapa-apakan dengan cara apapun lainnya. Massa sesungguhnya adalah suatu bentuk energi yang terkonsentrasi dan, tambahan pula, keduanya dapat saling dialihkan atau diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya....
Pembangkit energi nuklir memanfaatkan sepenuhnya ide ini di dalam reaktor-reaktornya di mana partikel-partikel subatomik neutron ditembakkan ke nukleus-nukleus atom-atom uranium yang mengakibatkan atom-atom uranium ini pecah menjadi atom-atom yang lebih kecil. Proses fissi ini melepaskan energi dan neutron-neutron lanjutan yang dapat berlangsung terus untuk memecah atom-atom uranium lebih banyak lagi.
Jika anda mengukur dengan sangat persis semua partikel sebelum dan sesudah proses fissi itu, anda akan menemukan bahwa total massa sesudah proses berkurang sangat sedikit jika dibandingkan sebelum proses. Selisih yang sangat kecil ini dinamakan ‘massa yang hilang’ (‘mass defect’), yang terkonversi menjadi energi, yang besarnya dapat anda kalkulasi dengan menggunakan persamaan Einstein.
Meski ada selisih sangat kecil dalam massa antara atom-atom uranium dan produk-produknya, jumlah energi yang dilepaskan sangat besar. Mengapa? Jawabannya jelas jika anda melihat ke konstan c² dalam persamaan Einstein itu. Kecepatan cahaya adalah suatu bilangan yang besar pada dirinya sendiri, apalagi jika c dikuadratkan.”/10/
Kembali ke infinitas. Pakar matematika
dari Universitas Warwick, Inggris, Prof. Ian Stewart, menyatakan bahwa “ketika
sesuatu itu tidak berhingga, maka akan selalu ada ruang lebih di sekitarnya
untuk menaruh barang-barang di dalamnya.” Dalam matematika, karena infinitas
itu ada, maka setiap anda menghitung, hitungan anda ini tidak akan pernah
berakhir. Saat anda menyebut sebuah bilangan, misalnya, 501, maka ada bilangan
selanjutnya, yakni 502, dan seterusnya tanpa batas. Saat anda menyebut satu
trilyun, maka muncul bilangan selanjutnya yang lebih besar, satu trilyun satu,
dan seterusnya tak berhingga.
Jika anda dengan aneh menyatakan bahwa bilangan
terbesar dan terakhir dalam jagat raya adalah X, maka akan selalu ada bilangan
yang lebih besar dan lebih besar terus, yakni X+1+2+3+4.... ad infinitum....!
Jadi, tidak ada bilangan yang terbesar, final dan mentok dalam jagat raya ini./11/ Mungkin
anda para ateis akan masih ngotot dan keras kepala mengatakan bahwa di ujung
terjauh deretan angka, ada angka terbesar yang tidak bisa ditambah lagi dengan
angka lain! Oh ya? Ok, jika ada, maka bilangan terbesar anda ini akan saya
tambah lagi dengan bilangan terkecil sebelum nol, yaitu 0,000000......... ad
infinitum.....1!
Pikirkanlah seimajinatif mungkin, apakah
dalam gerak pengembangannya yang makin cepat (karena bekerjanya forsa
anti-gravitasi dari apa yang dinamakan energi gelap, yang memenuhi seluruh
kevakuman kosmik), jagat raya kita, yang dibayangkan secara metaforis sebagai
sebuah balon raksasa yang terus mengembung, akan akhirnya tiba di titik
terjenuh atau titik terjauh dari pengembangannya?
Jika dihipotesiskan ya betul
bahwa jagat raya kita akan akhirnya berhenti pada titik jenuh atau titik
terjauh pengembangannya, bisakah anda membayangkan di mana lokasi titik jenuh
atau titik terjauh itu, atau di mana letak tepi-tepi balon jagat raya kita yang
sekarang masih terus mengembang? Saya tidak bisa membayangkannya.
Seandainya pun saya bisa, saya masih
terheran-heran lagi dan akhirnya terdiam bisu berhubung saya masih harus
membayangkan lagi ada ruang-ruang apa lagi di luar tepi-tepi jagat raya kita.
Kita akhirnya sesungguhnya berhadapan juga dengan infinitas,
ketidakberhinggaan. Ketidakberhinggaan ini menyelubungi kehidupan kita setiap
detik.
Ketahuilah bahwa dalam kosmologi modern, skenario jagat raya yang “flat”
mengharuskan jagat raya terus mengembang tanpa akhir; karena itu, ruang dan waktu,
dalam skenario ini, tidak berhingga, infinite. Data satelit WMAP menunjukkan
bahwa jika parameter Omega (parameter densitas rata-rata materi dalam jagat
raya) ditambah parameter Lambda (parameter energi yang terkait dengan ruang
vakum jagat raya atau dengan energi gelap), hasilnya angka 1; ini berarti jagat
raya “flat”. Fakta ini juga konsisten dengan teori inflasionari jagat raya.
Poin pentingnya ini: Apakah kita dapat
yakin mutlak bahwa dari dua puluh enam dimensi itu atau dari empatpuluhan lebih
dimensi yang membentuk hyperspace atau dari antara jagat-jagat raya lain yang
jumlahnya tidak terbatas itu, tidak ada yang kena-mengena dengan dunia-dunia
transenden dalam cara-cara tertentu yang kini belum sanggup kita pahami? Apa
hakikat dari dimensi keempatpuluhsatu itu? Sains masa kini sama sekali tidak
bisa menjawabnya. Selain itu, kita juga sekarang ini belum sanggup memahami
secara saintifik apa artinya infinitas atau ketidakberhinggaan!
Atau, anda yang
ateis sudah paham apa arti infinitas? Walaupun kita belum paham apa hakikat
infinitas, setidaknya infinitas membuat kita dengan rendah hati mengakui bahwa
pandangan-pandangan saintifik kita tentang realitas sekarang ini masih jauh
dari memadai, atau bahkan tidak akan pernah memadai. Sunyi.
Tentang infinitas, dengan bagus diungkap
oleh Albert Einstein dengan memakai metafora seekor singa dan ekornya,
demikian: “Alam menunjukkan hanya ekor sang singa. Aku tidak ragu sedikitpun
dalam pikiranku bahwa sang singa ada bersama ekornya ini kendatipun sang singa
ini tidak dapat menyatakan dirinya sendiri serentak kepada semua mata karena
dimensinya yang terlalu besar.”/12/
Jadi, dari keseluruhan infinitas sang singa,
kita, manusia, baru melihat dan tahu hanya ekornya! Kita sama sekali tidak atau
belum dapat melihat kepala sang singa dan otak yang ada di dalamnya dan apa
saja isi kognitif otaknya ini! Berhadapan dengan pandangan-pandangan dan
fakta-fakta sains ini dan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia, pikiran yang
terbuka adalah satu-satunya respons yang benar terhadap masa depan yang
menggairahkan dan menakjubkan.
Memang bukti-bukti empiris objektif yang
substansial tentang keberadaan dunia-dunia transenden belum kita punya hingga
saat ini. Begitu juga, pengalaman-pengalaman spiritual yang dialami sangat
banyak orang sejak dulu hingga kini dalam berbagai bentuk dan isi, tidak bisa
kita pandang sebagai bukti-bukti empiris objektif keberadaan dunia transenden
dan Tuhan, sebab semua pengalaman ini juga bisa dilihat sebagai
kejadian-kejadian neurologis belaka yang berlangsung hanya dalam otak./13/
Tetapi, apa yang sudah saya kemukakan dalam banyak alinea di atas, haruslah
membuat kita tidak boleh gegabah dan mutlak-mutlakan menyatakan bahwa dunia
transenden sama sekali tidak ada. Indikasi-indikasi bahwa dunia transenden ada,
jelas tersedia, walaupun masih sangat samar. Kita masih harus menunggu
temuan-temuan sains lebih jauh di masa depan.
Bagaimana pun juga, ketika saya
berhadapan dengan apa yang dinamakan infinitas, yang menyelubungi kehidupan
kita semua dan jagat-jagat raya, saya mengalami suatu perasaan bahwa saya
sedang berhadapan dengan misteri-misteri besar yang melampaui semua imajinasi
paling liar sekalipun yang bisa kita bayangkan.
Rudolf Otto (1863-1937) dalam bukunya Das Heilige (1917) menyebut “Hakikat transenden” atau Misteri besar itu sebagai Mysterium tremendum et fascinans (Latin) atau Misteri yand dahsyat, menakutkan, sekaligus rahimi, menimbulkan pesona. Dalam bahasa Jerman, dia menamakannya schauervolles und faszinierendes Geheimnis atau Ganz Andere atau “Wholly Other”, sang Lain yang sepenuhnya asing, yang Serba Lain./14/
Berbeda dari para agamawan yang diindoktrinasi dan dibiasakan untuk gentar, takut dan gemetar terhadap sang Serba Lain, para saintis malah terpesona dan takjub terhadap misteri-misteri besar jagat raya dan termotivasi kuat untuk menginvestigasi misteri-misteri ini. Sains itu mempesona, menggembirakan hati, samasekali tidak menakutkan.
“Sang
Sunyi”, the Silent
Kita baru lihat dan tahu "ujung ekor" sang Singa Besar jagat semesta.
Sang misteri ini tidak bisa saya kenakan
pada satu sosok personal yang orang beragama namakan Tuhan (atau sejumlah nama
lain). Sang misteri ini sangat terlalu besar untuk dapat ditangkap penuh oleh
manusia, oleh ilmu pengetahuan, dan juga oleh agama apapun. Sang misteri ini
adalah infinitas itu sendiri. Kata Einstein, kita baru tahu "ekornya", itupun, saya tambahkan, ujung ekornya.
Saya mencoba memakai ungkapan puitis Sang Sunyi
atau The Quiet atau The Silent atau The Still untuk misteri mahabesar infinitas. Misteri infinitas ini membuat
kita hanya bisa terdiam, tidak bisa bicara, bisu, sunyi, di hadapannya. Sang
Sunyi Mahasunyi! Tak terdefinisikan, juga tak mendefinisikan dirinya sendiri. Hanya berdiam diri, tak bicara, hanya sunyi saja, sunyi tanpa awal dan tanpa akhir. Awal tanpa batas dan akhir tanpa batas.
Keadaan kognitif di saat berhadapan dengan infinitas yang tak
terpahami ini saya namakan spiritualitas saintifik. Saya merayakan
spiritualitas ini dengan happy, bergairah, gentar, takjub, dan dengan
terus-menerus mempertahankan posisi yang selalu membuka diri terhadap berbagai
kemungkinan baru di masa depan, everlastingly
open-minded.
Pendek kata, spiritualitas saintifik itu koridornya begini: karena aku cinta Allah yang MahaTahu, maka aku juga cinta ilmu pengetahuan (dan terapannya: teknologi); sebab lewat iptek yang terus berkembang kumulatif, partisipatif, dialektis dan progresif, Allah tahap demi tahap mengungkapkan dan memberikan kemahatahuannya kepada umat manusia, khususnya lewat para ilmuwan dan para pemikir besar dunia, dari zaman ke zaman, dari tempat ke tempat, tanpa pernah berakhir.
Lazimnya, para ilmuwan dan pemikir agung dunia memiliki satu kawan sejati yang selalu lebih besar dari yang mereka dapat kenali dan akrabi, yaitu Sang Sunyi.
Sejumlah teman bertanya kepada saya,
apakah yang saya maksudkan dengan Sang Sunyi. Mereka meminta uraian lebih detail. OK. Berikut ini sebuah puisi sebagai jawaban saya. Ya, bisa dijawab hanya lewat sebuah puisi.
SANG SUNYI
Sang Sunyi
Melampaui bahasa insani
Tak dapat diungkap itu ini
Semua kata berhenti
Segala bunyi hilang sepi
Cuma bisa dimasuki
Diselami direnangi
Bak seekor ikan kecil lari-lari
Kiri kanan, kanan kiri
Belok sana belok sini
Laju ke depan berlari
Tak bisa sang ikan ini memahami
Tak pernah juga dia habis menyelami
Samudera luas tanpa tepi
Segala sesuatu diselubungi
Tanpa sisi tanpa pantai
Di dalamnya dia berenang kian kemari
Kedalamannya tanpa dasar
Luasnya tanpa pinggir
Geraknya abadi berpusar berputar
Berdentum riuh hingar
Keras debar menggelegar
Mengembang melebar
Bergelombang tersiar
Gaungnya terhantar
Abadi terlontar
Tak makin samar
Menutupi muka planet Bumi
Lautan besar tak terperi
Bergelombang jauh lari
Jauh jauh jauh lestari
Meninggalkan semua bahari
Masuk ke samudera abadi
Maha dalam maha misteri
Bergelombang menjauh meluas
Memenuhi vakum jagat raya
Lelautan raya tanpa batas
Bergerak jauh tak terkira
Memenuhi ruang maha luas
Tak terbatas tak terkata
Tak tertulis oleh tinta
Tak terjangkau semua indra
Ilmu pengetahuan tak setara
Agama hanya sehasta
Seberkas kilatan cahya semesta
Di hadapan jagat-jagat semesta
Mahabesar tak terkira
Namanya tak tertera
Tak terbatas
Kreativitas
Progresivitas
Infinitas
Sang Sunyi ya sunyi saja
Misteri abadi baka
Tanpa rupa
Tanpa citra
Tanpa suara
Tanpa kata
Tanpa nama
Tanpa angka
Tanpa bahasa
Senyap saja
Diam saja
Hening saja
Bisu saja
Tapi ramai tak terkira
Bersama trilyunan kartika
Tak terbilang oleh angka
Semua bermandi cahaya
Cahaya megabuana raya
Energi yang tak pernah sirna
Pengembang alam semesta
Di dalam selubungnya
Indra tumpul terasa
Mulut tak bisa dibuka
Hanya terkatup baka!
Sunyi tak terkata
Senyap tak terutara
Hanya hening disua
Kosong tanpa udara
Hanya ada:
AAA….!
Alpha Alpha Alpha
Tanpa omega
Tak terhingga
Alpha Alpha Alpha
Alpha tanpa awal
Omega tanpa final
Awal tanpa batas
Akhir tanpa tuntas
AAA ada yang datang!
Buat perahumu kosong!
Segera! Sekarang!
Jagat raya melolong!

Sunyi, hening, sepi dan kosong... AAA ada yang datang!
Ok, kita semua tahu, bahwa sains itu bisa
terus maju karena sifatnya yang partisipatif kumulatif. Hasil-hasil kajian saintifik para
saintis sebelumnya menjadi landasan berpikir, berteori, berhipotesis dan
bereksperimen baru, untuk menghasilkan pandangan-pandangan baru tentang
realitas oleh saintis-saintis lain yang sezaman atau di zaman-zaman dan di
tempat-tempat yang lain.
Dalam dunia sains, dialektika tesis-antitesis-sintesis (yang menjadi tesis baru) akan terus berlangsung, tak akan pernah berhenti, yang di dalamnya sangat
banyak saintis dari segala zaman dan segala tempat ambil bagian dengan aktif,
kreatif dan agung. Proses kumulatif progresif sains ini membuat sains tidak
pernah berhenti untuk berkembang dan berubah, dan, pada sisi lain, akan makin
integratif. Alhasil, kita dapat menyatakan bahwa kemampuan berpikir ilmiah
manusia tidak memiliki batas, kemampuan yang infinite. Dalam dunia sains, sudah
saya ingatkan, infinitas juga diperhitungkan sebagai sebuah faktor, sebuah
realitas.
Tetapi, kita juga tahu sebagai insan
individual, kita semua fana, terbatas, finite, baik dalam wujud jasmaniah kita
(hingga ke partikel-partikel yang menyusun jasad kita) maupun dalam mental kita
(yang dihasilkan dari aktivitas fisika dan kimiawi dalam organ otak kita).
Berapapun panjang usia manusia yang nanti
bisa dipertahankan sains dan teknologi modern, yang akan menggabung biologi
dengan mesin-mesin, dan berapa kuatpun kebugaran tubuh yang dapat sains dan
teknologi hasilkan, tetap saja pada akhirnya, karena entropi (atau “the arrow of time”) dalam Hukum Kedua Thermodinamika
bekerja dalam semua sistem, insan-insan individual, bahkan yang sudah menjadi
insan bionik, akan suatu saat lenyap, dan data neural digital atau data neural
quantum otak kita semua akhirnya juga usang, dan menjadi tua, taktertata, masuk ke kondisi
chaotic lalu collapse.
Karena kita semua ini finite, fana, terbatas, maka
terbuka sebuah pertanyaan, Akan mampukah kita memahami sepenuhnya apa itu
infinitas dan bisakah kita berada selamanya dalam infinitas sementara sekarang
ini kita berada dalam finitas, keterbatasan? Saya tidak bisa menjawab
pertanyaan ini, setidaknya sekarang ini. Kondisi ini membuat saya hanya bisa
bersikap rendah hati di hadapan infinitas itu sendiri. Diam. Sunyi. Kosong. Teduh.
Tetapi, demi konsistensi bernalar, saya
juga harus menyatakan bahwa karena kefanaan atau finitas atau impermanensi itu
ada dalam jagat raya ini, maka atas nama kefanaan, kefanaan juga harus dapat
diubah menjadi ketidakfanaan, infinitas, keabadian, permanensi.
Maka, energi destruktif entropi bermetamorfosa menjadi energi anti-entropi yang konstruktif kreatif di saat setiap sistem berakhir. Mungkin, ini kunci mencapai eternity lewat fisika, nanti.
Terkait dengan diri kita yang kini kita temukan fana, finite, saya mau
memprediksi bahwa nanti di masa depan pikiran (mind) dan kesadaran (consciousness)
kita juga akan dapat dibuat menjadi abadi, infinite, kendatipun tubuh biologis
protoplasmik kita sudah punah (dan yang akan tertinggal untuk terus mengalami
daur ulang adalah berbagai senyawa unsur Carbon raga kita yang memainkan fungsi kehidupan jenis lain).
Kalau sekarang sains-tek modern baru
punya teori-teori dan konsep-konsep yang masih embrionik tentang ihwal menjadikan
Homo sapiens organisme yang abadi dalam jagat raya lewat teknologi (menjadi organisme "transhuman"), nanti di
masa depan semua teori dan konsep ini akan dapat diwujudkan dengan real. Iptek yang sudah ada di tangan kita sekarang adalah mewujudkan keabadian digital pikiran dan kesadaran diri manusia. Reinkarnasi yang real adalah reinkarnasi digital.
Jadi,
dimensi-dimensi transenden yang abadi, yang infinite, mustinya memang ada.
Hitchens’
Razor
Dengan memperhitungkan semua hal yang
baru saja saya kemukakan, maka, hemat saya, pernyataan Christopher Hitchens
(dikenal sebagai Hitchens’ Razor) bahwa “apa yang dapat dinyatakan benar dengan
tanpa bukti, juga dapat diabaikan begitu saja tanpa bukti” (“what can be
asserted without evidence can also be dismissed without evidence”),/15/
tidaklah benar. Kalau pernyataan ini dikenakan pada keberadaan dunia
transenden, maka harus ditegaskan, sekali lagi, bahwa bukti-bukti empirisnya
memang belum objektif tersedia, tetapi indikasi-indikasinya yang datang dari
dunia ilmu pengetahuan sendiri sudah tersedia. Jadi, keyakinan orang teis bahwa
dunia transenden, ada, tidak bisa begitu saja diabaikan dengan tanpa bukti.
Orang ateis, dus, masih harus membuktikan keyakinan mereka bahwa dunia
transenden tidak ada.
Dalam banyak hal lain, prinsip
epistemologis Hitchens ini kelihatan juga keliru. Ada banyak hal dalam dunia
ini dengan serius diterima benar kendatipun tanpa bukti, khususnya hal-hal yang
menyangkut nilai-nilai dan moralitas.
Kita semua, siapapun kita, umumnya
menerima begitu saja sebagai benar keyakinan bahwa semua manusia diciptakan
sederajat. Umumnya semua suami/istri percaya begitu saja, dan menerima sebagai
fakta, bahwa pasangan mereka setia, sehingga mereka tidak perlu menyewa seorang
detektif untuk mengikuti dan memantau semua kegiatan pasangan mereka 24 jam
sehari selamanya.
Dalam berbagai kegiatan bisnis,
kepercayaan-kepercayaan tanpa bukti kepada mitra-mitra bisnis juga kerap
diperlukan jika kita mau bisnis kita dapat berjalan dengan lancar dan
berkembang dan jaringan bisnis kita makin meluas ke mana-mana.
Begitu juga, telpon-telpon gelap tanpa
bukti tentang adanya bom di suatu tempat akan ditanggapi dengan serius oleh
para penjaga keamanan, yang dengan sigap langsung memeriksa dengan teliti
setiap jengkal dan setiap sudut semua ruangan dalam bangunan.
Meskipun tanpa ada bukti sebelumnya di
hari ini, kita semua percaya begitu saja bahwa besok pagi sang Mentari masih
akan terbit dan masih akan terbenam pada senja hari.
Begitu juga, karena anda percaya tulus
begitu saja kepada sang istri cantik anda, atau kepada sang istri muda anda
yang bahenol, maka anda tidak menyewa seorang detektif untuk mengikutinya pergi
ke manapun, atau tidak memaksanya untuk memakai sehelai celana dalam besi baja
yang anda gembok.
Demikian juga, jika anda tidak percaya
begitu saja bahwa anda akan masih hidup di sepanjang tahun 2016, anda sekarang
tidak akan membuat janji-janji apapun untuk bertemu dengan orang-orang tertentu
di waktu-waktu tertentu dalam tahun 2016.
Sebagai suami dan ayah, kita semua
percaya begitu saja hingga kita wafat bahwa semua putra dan putri yang sudah
dilahirkan istri kita, yang kini sudah besar-besar, adalah betul-betul
keturunan murni kita sendiri, betul-betul darah-daging kita sendiri, tanpa
perlu kita buktikan lewat tes DNA.
Jadi, Hitchens’ Razor itu kelihatan tidak
realistik! Ternyata, supaya kehidupan kita berjalan dengan baik dan normal,
kita tidak hanya memerlukan bukti-bukti, tetapi juga seringkali kita hanya
perlu percaya saja. Hemat saya, tanpa kepercayaan dan iman sama sekali,
kehidupan kita tidak akan berjalan dengan sehat, lancar dan membahagiakan.
Dunia kita ini sangat luas; di dalamnya bukan hanya berdiri
laboratorium-laboratorium sains, tetapi juga Dunia Fantasi, Disneyland, Six
Flags, juga Rumah Hantu.
Tentu saja, sejauh menyangkut
posisi-posisi saintifik dalam dunia sains, prinsip Hitchens ini berlaku. Dalam
dunia sains empiris, klaim-klaim yang dibangun tanpa bukti-bukti, dapat
diabaikan begitu saja juga dengan tanpa bukti. Sudah jelas, kehidupan kita ini
kompleks dan multidimensional, bukan hanya perkara ilmu pengetahuan. Saya
percaya, dalam rak-rak buku mereka, para saintis sejati juga menaruh buku-buku
dan novel-novel fiksi yang sudah dan sedang mereka baca dengan bergairah dan
membahagiakan, bahkan juga kitab-kitab suci.
Kita juga hidup dari fiksi-fiksi,
dari metafora-metafora, dari mitos-mitos, kuno maupun modern, bukan hanya dari
bukti-bukti empiris. Sejak usia prasekolah hingga dewasa dan selanjutnya, kita umumnya menyukai kisah-kisah, baik yang fiksional imajinatif maupun yang faktual.
Untuk berkembang, otak kita, sejak kita
kanak-kanak, juga membutuhkan fiksi-fiksi sebagai bagian dari produk dunia
senibudaya.
Tentu saja, ada fiksi yang membangun kecerdasan dan peradaban, dan
ada juga fiksi yang merusak dan menghancurkan kecerdasan dan peradaban.
Pilih-pilihlah dengan bijaksana dan dengan wawasan yang luas.
Epistemologi
Carl Sagan
Marcello Truzzi (1935-2003) dikenal lewat
sebuah prinsip epistemologis yang diajukannya, yang menyatakan bahwa “suatu
klaim yang luar biasa memerlukan bukti yang luar biasa.”/16/ Prinsip ini
dipopulerkan oleh Carl Sagan (1934-1996), ketika sang kosmolog dan astronom
Amerika ini menyatakan bahwa “klaim-klaim yang luar biasa memerlukan bukti yang
luar biasa” (“extraordinary claims require extraordinary evidence”) dalam
episode 12 film dokumenter Cosmos./17/
Prinsip epistemologis Carl Sagan ini
sangat kuat kebenarannya dan validitas logisnya, jauh melampaui Hitchens’
Razor. Pada satu sisi, keyakinan adanya dunia transenden sekarang ini masih
tergolong klaim yang luar biasa berhubung belum ada bukti-bukti empiris yang
solid, yang mendasari keyakinan ini; jadi para agamawan atau semua orang yang
percaya dunia transenden itu ada berkewajiban untuk mengumpulkan bukti-bukti
kuat untuk mendukung kepercayaan mereka ini. Saya percaya, sejalan dengan
perkembangan sains di depan ini, bukti-bukti saintifik yang dibutuhkan akan makin
bertambah.
Tetapi pada sisi lain, prinsip
epistemologis Carl Sagan ini juga mengharuskan para ateis memberi bukti-bukti
kuat bagi klaim mereka bahwa dunia transenden, tidak ada, berhubung dari dunia
sains sendiri sudah muncul indikasi-indikasi yang masih samar bahwa dunia
transenden ini bisa ada.
Selain itu, orang ateis harus membuktikan bahwa
realitas itu hanya terdiri atas empat dimensi saja (dimensi ruangwaktu) dan
bahwa jagat raya itu ada hanya satu, yakni jagat raya kita sendiri, jika mereka
menolak pandangan-pandangan saintifik tentang hyperspace, multiverse dan adanya
ketidakberhinggaan atau infinitas, yang mengindikasikan dengan samar bahwa
dunia transenden, apapun juga ini, dapat ada.
Orang ateis sesungguhnya
mengambil sebuah posisi yang luar biasa jika mereka mengklaim bahwa
pandangan-pandangan saintifik tersebut salah; dus, mereka juga harus mengajukan
bukti-bukti yang luar biasa bagi klaim mereka ini.
Kembali ke soal keberadaan Allah.
Sudahlah jelas bahwa untuk bisa melakukan verifikasi atau falsifikasi
keberadaan Allah dalam dunia transenden, sains pertama-tama harus bisa masuk ke
dalam dunia ini untuk memeriksa, sesuatu yang justru sains tidak bisa lakukan,
hingga saat ini.
Argumen ilmiahnya ada: hingga saat ini sains belum bisa masuk
ke hyperspace, suatu kawasan yang terstruktur oleh dimensi-dimensi kelima
hingga keduapuluhenam bahkan lebih dari itu; juga belum bisa masuk ke
jagat-jagat raya lain yang paralel yang jumlahnya tidak terbatas dengan hyperspace menjadi ruang-ruang vakum di antara jagat-jagat raya paralel ini, dan juga ke
kawasan-kawasan yang dinamakan infinitas. Teori dawai dalam fisika bukan
sekumpulan doktrin agama, begitu juga halnya dengan matematika atau aritmetika.
Jadi, kalau sains diminta untuk
memastikan apakah Tuhan itu ada atau tidak ada, sains pada masa kini sama
sekali tidak bisa menjawab, tidak bisa memastikan. Kesimpulannya: science
cannot prove or disprove the existence of god.
Posisi
agnostik
Dengan demikian, posisi yang paling kuat
sehubungan dengan keberadaan Tuhan, adalah jika kita menyatakan bahwa kita sama
sekali, sekarang ini, tidak bisa tahu apakah Tuhan itu ada ataukah tidak ada.
Inilah posisi yang dikenal sebagai posisi agnostik.
Kosmolog dan astronom yang
terkenal, almarhum Carl Sagan, menolak ateisme dan juga teisme, dan memilih
menjadi agnostik. Dengan jelas Sagan mengungkapkan alasannya mengapa dia
mengambil posisi agnostik. Dalam bukunya Broca’s
Brain, dia menulis demikian:
“Seorang ateis adalah seorang yang yakin
bahwa Allah tidak ada, seorang yang (mengklaim) memiliki bukti-bukti yang kuat
dan meyakinkan bahwa Allah tidak ada. Tapi saya sesungguhnya tidak menemukan
bukti yang kuat dan meyakinkan semacam ini. Karena Allah bisa dipindahkan ke
zaman-zaman dan tempat-tempat yang jauh dan ke sebab-musabab yang paling
mendasar, maka dapat dibayangkan bahwa kita harus tahu jauh lebih banyak hal
mengenai jagat raya ketimbang yang kita ketahui sekarang untuk bisa yakin bahwa
Allah yang semacam ini tidak ada.
Merasa pasti mengenai keberadaan Allah dan
merasa pasti mengenai ketidakberadaan Allah tampak bagiku adalah
pilihan-pilihan keyakinan yang ekstrim tentang suatu subjek yang dipenuhi
dengan keraguan dan ketidakpastian, yang sesungguhnya hanya bisa menimbulkan
sedikit keyakinan saja. Yang dimungkinkan adalah beranekaragam posisi tengah.
Mengingat subjek ini telah menghabiskan sangat besar energi emosional, maka
sarana yang esensial untuk mempersempit berbagai pilihan yang tersedia dari
ketidaktahuan kolektif kita mengenai subjek keberadaan Allah, tampaknya adalah
keberanian untuk terus bertanya, meragukan, dan berpikiran terbuka.”/18/
Banyak orang ateis beranggapan bahwa
Albert Einstein adalah ateis, alhasil sang saintis ini sering mereka kutip
untuk mendukung ateisme. Begitu juga, banyak agamawan suka mengacu ke sang
saintis ini juga dengan tujuan untuk membenarkan posisi keagamaan mereka.
Sayangnya, Einstein itu bukan ateis dan juga tidak menganut monoteisme meskipun
dia seorang Yahudi. Albert Einstein sesungguhnya seorang agnostik.
Sebagai
respons atas pertanyaan apakah Einstein percaya atau tidak percaya pada Allah,
dalam sebuah wawancara yang diterbitkan 1930 dalam buku G. S. Viereck yang
berjudul Glimpses of the Great,
Einstein menyatakan hal berikut ini:
“Pertanyaan anda [tentang Allah] adalah
pertanyaan yang paling sulit dalam dunia ini. Ini bukanlah sebuah pertanyaan
yang saya dapat jawab dengan ya atau tidak. Saya bukan seorang ateis. Saya juga
tidak tahu apakah saya dapat mendefinisikan diri saya sebagai seorang panteis.
Masalah yang terkandung dalam pertanyaan ini terlalu luas untuk pikiran-pikiran
kita yang terbatas.
Bolehkah saya menjawabnya dengan sebuah perumpamaan?
Pikiran manusia itu, betapapun tingginya telah dilatih, tidak dapat memahami
jagat raya. Kita berada dalam posisi sebagai seorang anak kecil yang memasuki
sebuah perpustakaan besar yang dinding-dindingnya tertutup sampai ke
langit-langit oleh buku-buku yang ditulis dalam banyak bahasa yang berbeda.
Sang anak ini tahu bahwa seseorang pastilah telah menulis semua buku itu.
Tetapi dia tidak tahu siapa para penulis semua buku itu dan bagaimana cara
menulis isi buku-buku itu. Si anak tidak memahami bahasa-bahasa yang dipakai
dalam buku-buku itu. Tetapi si anak menemukan buku-buku itu disusun lewat
sebuah perencanaan tertentu, ditata dengan cara yang misterius, yang tidak
dapat dipahaminya, tetapi hanya dapat diduga-duganya dengan samar-samar.
Itulah, menurut saya, suatu sikap pikiran manusia, bahkan pikiran manusia yang
terbesar dan paling beradab, terhadap Allah. Kita melihat suatu jagat raya yang
tersusun dengan menakjubkan, yang patuh pada hukum-hukum tertentu, tapi kita
memahami hukum-hukum itu hanya samar-samar. Pikiran kita yang terbatas tidak
dapat memahami forsa misterius yang menggerakkan rasi-rasi bintang-bintang.
Saya terpesona pada panteisme Spinoza. Saya bahkan lebih kagum lagi pada
sumbangan-sumbangannya bagi pemikiran modern. Spinoza adalah filsuf modern
terbesar, sebab dialah filsuf pertama yang memikirkan tubuh dan jiwa sebagai
satu kesatuan, bukan sebagai dua hal yang terpisah.”/19/
Jika setidaknya ada dua ilmuwan besar
(Carl Sagan dan Albert Einstein) yang mengambil posisi agnostik sehubungan
dengan ihwal ada atau tidak adanya Allah, maka posisi agnostik tentu saja punya
basis kuat penalaran logis. Posisi agnostik menunda menjawab dengan positif
atau dengan negatif atas pertanyaan apakah Allah ada. Orang agnostik menunggu
temuan sains; posisi mereka science-based, berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan
berdasarkan iman atau kepercayaan keagamaan.
Posisi agnostik inilah satu-satunya posisi
yang dapat membuat seseorang terus-menerus tidak akan terpenjara dalam sebuah
ideologi apapun, tetap sebagai a freethinker, sebab sains itu dinamis, tidak
pernah berubah menjadi ideologi, selalu cair, tidak pernah selesai, dan terus
berubah dan berkembang, makin maju dan makin banyak menguak misteri-misteri
alam.
Jika posisi anda science-based, dibangun
berlandaskan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan, anda tidak akan pernah
menjadi seorang ateis fundamentalis atau seorang teis fundamentalis.
Jika anda
menyebut seorang saintis atau seorang yang berpikir saintifik sebagai seorang
“fundamentalis sains”, anda terjatuh ke dalam sebuah lubang oxymoron! Segitiga lingkaran, itu sebuah oxymoron. Duka-yang-membahagiakan, juga sebuah oxymoron. Sains dan
fundamentalisme tidak bisa duduk sepelaminan, tidak bisa direndeng, karena
keduanya bertentangan satu sama lain.
Tentu, dalam dunia sains, para saintis
juga memiliki sejumlah kepercayaan, misalnya kepercayaan bahwa segala hal yang
dipikirkan dengan rasional saintifik dalam otak ada korelasinya dengan dunia
real, atau kepercayaan bahwa sains secara bertahap dan kumulatif akan mampu
menyingkap makin banyak misteri alam dan misteri kehidupan, atau kepercayaan
bahwa sains adalah metode paling tepat dalam orang mencari dan menemukan
kebenaran-kebenaran, dan seterusnya.
Tapi segera anda harus catat, sains sama
sekali tidak berurusan dengan syahadat-syahadat keagamaan apapun dan semua hal
lainnya yang terkait yang harus diterima dan dipercaya orang beragama, misalnya
kitab suci, doktrin, akidah, hukum agama, ritual, sistem puritas, para nabi,
santo atau santa, dan seterusnya.
Orang yang suka berapologetika dalam beragama sering dengan keliru menyatakan bahwa seperti agama yang memerlukan kepercayaan atau iman, begitu juga sains. Lalu mereka menyebut terma postulat yang kata mereka adalah kepercayaan dalam dunia sains yang diterima begitu saja sebagai benar tanpa perlu dibuktikan lagi.
Wah, maaf, mereka salah besar. Ya, dalam sains ada yang dinamakan postulat yang tidak perlu dibuktikan lagi, tetapi postulat ilmiah bukan kepercayaan atau iman.
Saya beri dua contoh saja dari sekian postulat dalam ilmu ukur bidang datar. Pertama, dalam geometri bidang datar ada sebuah postulat yang menyatakan bahwa garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik pada bidang datar. Ya, betul, dan ini tidak usah diargumentasikan atau diperdebatkan lagi, tetapi, bedanya dengan iman, postulat ini empiris, sebab anda dapat menggambarkannya pada papan tulis atau pada layar LCD komputer anda atau pada sehelai kertas.
Contoh postulat geometris yang kedua: lingkaran adalah himpunan titik-titik yang berjarak sama dari sebuah titik pusat. Postulat ini benar, diterima saja, tak perlu didebat lagi, tetapi postulat ini bukan kepercayaan atau iman sebab anda dapat menggambarkannya juga.
Begitu juga dengan postulat-postulat dalam dunia ilmu pengetahuan lainnya: anda dapat menggambarkannya atau memperlihatkannya dengan menggabung berbagai karakter, garis, tanda, simbol, angka, huruf, coretan, aneka bentuk, dll.
Tetapi, coba anda perlihatkan dan gambarkan kepercayaan bahwa Allah itu ada. Gambarlah Allah pada sebuah papan tulis, lalu semua orang di seluruh dunia dan kapan saja harus sepakat bahwa yang anda gambar itu memang Allah yang asli. Mampukah anda?
Akibat posisi agnostik
Sebuah pertanyaan penting muncul: Apa
akibat praktis dari posisi agnostik?
Posisi ini membuat kita tidak bisa
mencemooh dan mencaci agama-agama atau menganggap bodoh orang beragama kalau
mereka percaya pada Tuhan, sekaligus juga membuat kita tidak bisa
fanatik-fanatikan beragama. Teisme bisa relatif benar, tapi bisa juga relatif
salah; begitu juga ateisme.
Pada sisi lain, orang ateis yang pongah, harus kita
katakan, tidak berbeda dari orang teis yang fanatik.
Jika orang beragama yang
fanatik membela mati-matian agama dan Tuhan, maka orang ateis yang takabur
membela mati-matian ketidakpercayaan mereka pada agama dan Tuhan. Keduanya
mati-matian. Selain itu, masing-masing pihak yang berseteru tidak bisa lagi
sama-sama ngotot meyakini berada di atas, dan mengungguli, lawannya.
Tetapi, supaya suasananya tidak suram,
baiklah saya katakan bahwa teisme, ateisme dan agnostisisme, semuanya selalu
sementara. Masih belum final. Tentu saja setiap orang pada akhirnya akan mati.
Usia kita pendek. Tetapi ingatlah, dunia dan kehidupan masih akan terus
berlangsung ribuan, jutaan hingga milyaran tahun lagi ke depan, tanpa kita.
Ideologi-ideologi baru akan terus bermunculan. Dan sains masih akan terus maju,
berkembang dan berubah. Semuanya mengalir. Semuanya berubah. Nothing is permanent!
Apa yang sekarang orang beragama yakini
dan pandang sebagai “Tuhan”, bisa jadi lewat sains kita nanti akan menemukannya
sebagai “sesuatu yang sama sekali lain”, yang melampaui semua kategori
pemikiran dan pengalaman kita sekarang, melampaui baik teisme maupun ateisme,
mentransendir baik “personal God”, “impersonal God” maupun “anthropomorphic
God” atau “amorphic God”.
“The God of tomorrow” itu pastilah akan mengejutkan!
Suatu Allah yang mengejutkan sungguh-sungguh suatu Allah yang merangsang
pikiran dan ilmu pengetahuan. Allah hari esok ini akan juga melampaui Allah
yang dipikirkan Baruch Spinoza dan Albert Einstein sebagai totalitas
hukum-hukum alam yang kini dikenal, yang di atasnya dan oleh karenanya jagat raya kita terbentuk
dan bekerja.
Yang perlu sekarang kita lakukan adalah
ikuti dengan cermat apa yang dikatakan dan ditemukan sains. Ikuti sains, sama
seperti anda mengikuti air ketika anda sedang mencari bentuk-bentuk kehidupan
di planet-planet lain yang kosong. Follow
what science says and discovers the way you follow the water to find life forms
in other empty planets! Dengan demikian, hanya para agamawan yang progresif
dan scientific-minded, dan hanya para
ateis yang open-minded, yang akan menjadi orang-orang masa depan yang akan menemukan
“the tomorrow’s God”!
Saya jamin, teman-teman ateis akan
langsung memprotes. Dapat dibayangkan mereka akan berkata ketus, “Kami kapan
pun juga tidak memerlukan Tuhan Allah, baik Tuhan Allah hari ini maupun Tuhan
Allah hari esok! Kami selamanya anti-Tuhan! Kami menolak Tuhan apapun. Kami
melawan Tuhan apapun dan juga kisah-kisah apapun tentang Tuhan!” Ooh,
betulkah?
Sebuah
ideologi kemarahan
Pada satu sisi, sikap keras orang ateis
ini membingungkan. Mereka percaya dan yakin sekali Tuhan apapun tidak ada,
tetapi Tuhan yang tidak ada ini anehnya diserang, dibenci, dilawan dan dicaci
terus-menerus oleh mereka. Dibandingkan orang teis yang percaya Tuhan, orang
ateis malah adalah orang yang paling banyak berbicara dan mempersoalkan Tuhan,
padahal, kata mereka,Tuhan itu tidak ada. Mendiang Christopher Hitchens,
misalnya, sampai akhir kehidupannya terus saja tanpa berhenti menyerang Tuhan
dan agama-agama, padahal dia sama sekali tidak percaya bahwa Tuhan itu ada.
Dilihat dari sudut pandang mereka
sendiri, tidak berlebihan jika orang ateis itu diibaratkan sebagai para petinju
yang sedang kalap meninju angin terus-menerus dan membabi-buta, ke sana dan ke
sini, ke segala arah, sampai akhirnya kelelahan sendiri. Benarlah apa yang
dikatakan aktor, musikus dan dramawan gaek Amerika, Woody Allen, “Bagimu, aku
seorang ateis. Bagi Allah, aku adalah lawannya yang paling setia.”
Mereka
membuat suara ribut di banyak tempat, dengan menyerang tanpa henti orang
beragama. Keadaan ini diakui sendiri oleh neurosaintis yang ateis Sam Harris
ketika dia menyatakan, “Ateisme itu tidak lain hanyalah suara bising yang
dibuat orang-orang berakal saat mereka berhadapan dengan
kepercayaan-kepercayaan keagamaan yang tidak pada tempatnya.”/20/
Greta Christina: Aku seorang ateis yang
sedang marah....! Gedubrak!
Orang-orang ateis bukan saja sedang
bersuara riuh, dan kalap meninju angin ke segala arah, tetapi juga sedang marah
kepada banyak hal dan banyak pihak. Ateis galak yang bernama Greta Christina
dalam bukunya yang berjudul Why Are You
Atheists So Angry?, di bagian pembuka bab 1 menulis demikian, “Aku seorang
ateis. Aku seorang ateis yang sedang marah. Aku bangga menjadi seorang ateis
yang sedang marah. Menurutku, adalah benar orang-orang ateis yang sedang marah,
harus marah. Kami marah karena memang ada hal-hal yang sudah sepatutnya membuat
kami marah.”/21/
Kemarahan Christina ditumpahkannya
habis-habisan dalam bukunya ini, yang disebutnya sebagai sebuah litani
kemarahan. Sebagaimana semua litani itu membosankan, buku Christina ini,
walaupun isinya jelas dan terang, juga membosankan. Capek membacanya. Gelombang
amarah yang terpancar dari kata-katanya dalam bukunya itu menerjang para
pembacanya; alhasil, para pembacanya, saya misalnya, terserang hawa negatif,
dengan akibat para pembacanya, saya salah seorang, kehilangan banyak energi.
Tentu saja kalau anda ateis, buku Christina ini akan anda sambut dengan
sorak-sorai kegirangan dan akan anda baca dengan sangat bersemangat, bahkan
sangat mungkin anda akan menambah berjuta-juta poin kemarahan dan kegeraman
orang ateis lainnya yang belum disebut Christina.
Oh ya, saya perlu katakan ke anda satu hal ini: beberapa hari lalu saya sempatkan diri bertukar pikiran via FB dengan seorang yang mengaku ateis yang telah tercerahkan. Begitu saya membeberkan sekian kelemahan New Atheism dan mengkritiknya dengan baik-baik, dia luar biasa marah seperti Christina. Saya katakan satu hal saja kepadanya sebagai respons saya: Wah ateisme anda sudah jadi agama dan Tuhan ya, tak boleh dikritik! Si ateis pemarah itu langsung diam, ngacir entah ke mana.
Dalam salah satu bagian introduksi
bukunya, Christina menulis, “Kemarahan orang ateis tidak membuktikan kami tamak
atau murung atau berduka. Kemarahan kami menunjukkan bahwa kami punya belarasa
dan adilrasa. Kami marah karena kami melihat bahaya yang mengerikan di
sekeliling kami, dan kami termotivasi kuat untuk menghentikan bahaya ini.”
Bukan hanya Christina yang menyatakan diri sebagai ateis yang sedang marah;
masih ada sangat banyak lagi. Christina mewakili mereka dalam mengungkapkan
dengan terang dan jelas kemarahan orang ateis. Saya baca dalam bukunya itu, ada
sangat banyak hal yang membuatnya marah. Tidak salah jika saya menyatakan bahwa
ateisme sebenarnya “an ideology of anger”, sebuah ideologi kemarahan.
Tentu saja, setiap orang boleh marah, dan
berhak juga mengungkapkan kemarahan mereka. Ada banyak hal yang memang bisa
membuat kita marah. Tetapi kemarahan yang tidak terkendali dan tidak
diekspresikan dengan cerdas dan pas, kemarahan yang membabibuta, hanya akan
merugikan si individu yang sedang marah yang kehilangan kemampuannya untuk
melihat segala sesuatu dengan objektif, bahkan juga merugikan masyarakat yang
lebih luas.
Kemarahan yang tak terkendali terhadap teisme tidak akan
mendatangkan kebaikan kepada si ateis yang sedang marah, kepada ateisme
sendiri, kepada teisme, dan juga kepada masyarakat.
Saat Christina menyatakan bahwa para
ateis “termotivasi kuat untuk menghentikan bahaya yang mengerikan yang ada di
sekeliling” mereka, dia sebetulnya tidak berbeda dari para agamawan
fundamentalis radikal yang juga terdorong kuat untuk menjadi para juruselamat
dunia, yang sedang berjihad untuk melepaskan dunia dari hal-hal yang mereka
nilai berbahaya karena hal-hal ini tidak sejalan dengan ide-ide keagamaan
fundamentalis radikal mereka sendiri. Sebetulnya, semua penganut fanatik agama
apapun memandang diri mereka sebagai para juruselamat dunia.
Para ateis yang sejenis Christina
sebetulnya tidak berbeda dari, misalnya, para teis Kristen, yang juga melihat diri
mereka sebagai para juruselamat dunia, yang yakin bahwa dunia akan dapat
diselamatkan dan dilepaskan dari segala bahaya yang sedang mengancam hanya jika
dunia mau berpaling ke Yesus Kristus yang diklaim mereka sebagai sang
juruselamat satu-satunya untuk dunia ini. Yesus Kristus akan terbukti sebagai
sang juruselamat dunia satu-satunya jika semua orang Kristen berhasil
menyelamatkan dunia ini dan meluputkannya dari semua bahaya yang mereka lihat
sedang mengancam dunia. Jika Yesus juruselamat dunia, maka wakil-wakil Yesus di
dunia ini, yakni gereja, ya juga juruselamat dunia, bahkan juruselamat dunia
satu-satunya.
Marilah kita bertanya: Apakah bisa dunia
yang dewasa ini sedang dibelit sangat banyak persoalan yang multidimensional
akan dapat diselamatkan hanya oleh satu orang atau hanya oleh satu agama atau
hanya oleh satu ideologi? Ya jelas tidak bisa.
Tentu saja anda boleh yakin,
bahwa itu bisa. Tetapi keyakinan semacam itu, hemat saya, hanya pantas
digolongkan sebagai mitos. Mitos juruselamat dunia inilah yang membuat
komunitas-komunitas ideologis sekarang ini saling bersaing keras dan sengit,
dengan akibat dunia makin terpecah belah dan hubungan-hubungan antarmanusia
dirusak.
Hemat saya, jika dunia memang harus
diselamatkan, ya marilah kita yang berbeda-beda berjuang bersama-sama,
bahu-membahu, ke arah itu, bukan bertindak dan menyeruduk eksklusif
sendiri-sendiri. Sangat sulit untuk saya membayangkan orang ateis akan mau
bekerja sama dengan orang teis sekarang ini. Masih dibutuhkan beberapa
dasawarsa lagi barangkali untuk terbangun rekonsiliasi antara orang ateis dan
orang teis. Kapan persisnya? Ya kalau ateisme sudah menjadi sebuah ideologi
yang mapan, yang ditopang oleh infrastruktur dan struktur sosial yang sudah
solid dan mengglobal.
Sejauh sudah saya amati, para ateis,
khususnya yang bernaung di dalam ideologi New Atheism, kini memandang diri
mereka sebagai orang-orang yang sedang dianiaya, “the persecuted”, yang harus
terus-menerus berjihad untuk membela ideologi mereka dan mempertahankan eksistensi
mereka di dalam suatu dunia yang, kata mereka, sedang dijajah agama-agama
kebodohan.
Semakin dalam sekelompok orang
mempersepsi diri sedang dianiaya, semakin agresif dan habis-habisan mereka
menyerang ke hal-hal apapun yang dipandang sebagai para penganiaya. Mentalitas
atau sindrom sebagai para teraniaya inilah yang menjadi salah satu sumber
mengapa ateisme kini, khususnya New Atheism, sedang tampil sebagai sebuah
ideologi kemarahan, dan sebuah ideologi pemberontakan, “an ideology of revolt”!
Mentalitas semacam ini jugalah yang ada di dalam diri semua radikalis
keagamaan, di seluruh dunia dan kapan pun juga.
Orang pada foto di bawah ini menamakan
dirinya dengan gagah The Amazing Atheist. Di akhir videonya (sebetulnya,
“self-promoting video”), sambil mengacungkan dua jarinya, dia menyatakan bahwa
dia “telah datang untuk melenyapkan agama dan menegakkan perdamaian!” Judul
khotbah si ateis ini seram, “I Hate Religion, and Jesus Too!”

Aku datang untuk menegakkan perdamaian!
Sejak awal hingga akhir videonya, dia
menyampaikan khotbah ateistiknya yang dipenuhi kebencian terhadap Yesus dan
aliran-aliran Kristen tertentu. Bagaimana dia bisa menegakkan perdamaian dalam
dunia ini, jika dalam dirinya kebencian besar pada Yesus dan pada dunia
agama-agama sangat besar bernyala dan berkobar. Hate speech yang disampaikannya
sudah membuat saya tidak bisa percaya bahwa si Amazing Atheist ini
sungguh-sungguh ingin menciptakan perdamaian dalam dunia ini! Dia cuma omong
besar dan suka berkoar!
Bagaimana perdamaian bisa dia tegakkan
jika agama-agama, yang juga menjalankan banyak peran positif dalam dunia masa
kini (selain, tentu saja, peran negatif), mau dia basmi dari dalam dunia ini?
Memangnya dunia ini milik nenek moyangnya yang ateis doang? Gegabah sekali dia.
Jika dia sungguh-sungguh mau membasmi agama-agama, ya itu artinya dia harus
membasmi 4 milyar orang dewasa yang memeluk agama-agama di abad ke-21 ini!
Saya semakin melihat, ateisme itu sebuah
ideologi yang penuh kemarahan dan kebencian pada dunia agama. Semakin banyak
anda membenci dan murka, semakin stres kehidupan anda. Maka itu, atheism is
very stressful! Karena sedang stres berat, pantaslah kalau para ateis itu
umumnya marah-marah terus. Bisa jadi, mereka akan banyak terkena serangan
jantung dan stroke. Mungkin sekali, rumah-rumah sakit makin banyak didatangi
para ateis.
Pada kolom komentar di bawah video
youtube-nya, saya tulis kata-kata saya berikut ini:
“Hi
guy Amazing Atheist, in the end of your preaching you say you love peace. But
unfortunately I find out that, from beginning to end of your speech, you
extremely hate Jesus and some brands of Christianity. How could I believe that
you are disseminating peace around the world, while you in fact are spreading
hate speech throughout your self-promoting video? Why are you so stressed? Is
atheism stressful?”
Tidak bisa paham saya, kenapa Yesus
menjadi begitu dibenci si ateis ini. Ya, Yesus memang menuntut kesetiaan total
terhadap dirinya. Ini bukan sikap mental otoritarian Yesus, tapi bagian dari
strateginya dalam membangun komunitas-komunitas baru di dalam suatu negeri
terjajah yang sudah dipecahbelah dengan sistematik oleh penjajah Roma dan kaki tangan
Yahudi mereka.
Si Amazing Atheist ini tidak mengenal
Yesus dari Nazareth yang berhasil disingkap oleh kajian-kajian sejarah; tapi
dia berbicara terlalu banyak tentang Yesus, dan koar-koarnya ini omong kosong
doang jika dievaluasi dari kajian sejarah. Dia membenci Yesus bisa jadi karena
dia membenci aliran-aliran Kristen tertentu di Amerika atau mungkin juga karena
dia membenci sosok-sosok pemuka gereja-gereja tertentu di Amerika, yang lalu
dia proyeksikan ke Yesus yang hidup 2000 tahun lalu di negeri yang jauh dari
Amerika. Aneh ya.
Dia terdelusi bahwa Yesus masih ada di
sekitarnya sehingga Yesus perlu dia serang terus dan mempertontonkan
serangannya ini kepada dunia modern lewat Internet. Sama seperti banyak orang
ateis lain yang dengan vulgar kerap mencaci dan menyerang Muhammad yang menjadi
sang Nabi kaum Muslim, seolah sang nabi ini masih ada sekitar mereka. Kasihan
para ateis itu.
Pasti IQ si Amazing Atheist itu jeblok!
Saya ganti namanya menjadi The Terrorizing Atheist yang bermental tidak berbeda
dari para radikalis agama meskipun worldview masing-masing berbeda sangat
tajam!/22/
Kita sudah tahu bahwa pada 10 Februari
2015, sosok ateis keras Craig Stephen Hicks (46 tahun) menembak mati tiga
Muslim yang tidak bersalah, suatu kejadian yang sangat mengerikan, di Chapel
Hill, North Carolina, Amerika Serikat.
Menurut Jonathan M. Katz dalam
reportasenya yang mutakhir tentang kasus Hicks yang diterbitkan di The New York Times, 3 Maret 2015,
pembunuhan yang dilakukan Hicks didorong bukan sekadar cekcok tempat parkir.
Katz menulis, “Tidak ada keraguan bahwa Hicks mempunyai suatu masalah dengan
agama. Pada Facebook-nya terdapat banyak kutipan dan meme yang merendahkan dan
mencemarkan kekristenan. Pada 27 Januari, dia meneruskan ke orang-orang lain
lewat FB-nya pernyataan yang dapat mengacu ke Islam: “Orang mengatakan bahwa
tidak ada sesuatu pun yang dapat mengatasi masalah Timur Tengah…. Aku berkata
masih ada sesuatu. Ateisme.’”/23/
Menurut berita yang dipasang pada website
Crimesider, 6 April 2015, terkait
dengan kasus Hicks, “FBI sedang menjalankan apa yang dinamakan suatu
‘penyelidikan pendahuluan yang sejajar’ dengan investigasi atas pembunuhan
untuk menentukan apakah ada hukum-hukum federal apapun yang sudah dilanggar,
termasuk UU tentang kejahatan yang dimotivasi kebencian.”/24/
Anda bisa menambah panjang lagi daftar
orang-orang ateis yang sedang marah, yang keras, yang menimbulkan perasaan diri
kita sedang terteror, dan yang juga menjadi pembunuh. Oh ya, hanya dalam tempo
empat minggu setelah pembunuhan yang dilakukan Hicks di Amerika, seorang ateis
di Prancis dijatuhi vonis hukuman penjara selama tiga tahun karena dia telah
menyerang sebuah masjid dengan granat-granat dan senjata laras panjang di
Prancis.
CJ Werleman yang baru menerbitkan bukunya
yang berjudul sangat menarik The New
Atheist Threat: The Dangerous Rise of Secular Extremists (2015), di salah
satu bagian Prolog bukunya ini menulis begini:
“Aku berharap kasus Hicks yang
mengalihkan kebenciannya terhadap agama ke suatu tindak kekerasan yang biadab
tidak akan terulang lagi. Tetapi hanya ada sedikit alasan yang dapat membuat
kita optimistik.
Bersama banyak orang lain, aku sesungguhnya sangat prihatin
karena sebetulnya ada sangat banyak orang Ateis Baru, seperti Hicks, yang sudah
siap untuk menjalankan apa yang mereka persepsi sebagai suatu ‘perang salib
yang agung’.
Dalam pikiran mereka, dan di dalam kamar-kamar mereka yang
berakustik (para Ateis Baru membaca buku-buku yang sama; mendengarkan podcast
yang sama; mengunjungi pertemuan-pertemuan yang sama), agama itu jahat; karena
itu, perbuatan-perbuatan jahat didorong oleh agama-agama.”/25/
“No
True Scotsman Fallacy”
Tetapi, sejauh sudah saya temukan, para
ateis dalam gerakan New Atheism, juga Sam Harris secara resmi,/26/ menepis
begitu saja para ateis jahat itu, dengan dalih bahwa mereka bukan para ateis
dari ideologi New Atheism. Mereka orang luar; bahkan mereka sama sekali bukan
ateis.
Saya jadinya pada kesempatan ini harus
membahas sedikit apa yang dinamakan “No True Scotsman Fallacy” yang selalu
dipakai para ateis untuk membela diri jika terbukti ada kebobrokan moral di
dalamnya. Supaya mudah dipahami, argumen yang salah ini saya ungkap begini:
“Yang buruk-buruk itu pasti bukan kami”; dan sebaliknya juga, “Yang bagus-bagus
itu pasti bukan kalian.”
Bagi mereka, ateisme itu tidak mungkin melahirkan
manusia bobrok moral, sebab ateisme itu sejatinya hanya akan menjadikan
manusia, lewat cara yang magical, tercerahkan, agung dan berakhlak tinggi. Itu
ideal mereka yang letaknya setinggi langit, dan bersifat magis, sehingga
membuat mereka tidak menginjak Bumi lagi.
Jadi, Mr. Hicks itu, juga The Amazing
Atheist, dan lain-lain ateis
jahat, ya bagi para pembela ateisme bukan orang ateis sejati, atau sama sekali
bukan ateis. Jadi, adanya orang ateis jahat ditepis begitu saja untuk membuat
ateisme kebal kritik (moral). Ini sama seluruhnya dengan argumen kalangan
agamawan apapun dalam semua agama.
Orang Kristen evangelikal (injili),
misalnya, ketika ada di antara mereka orang-orang yang bejat, selalu menyatakan
begini: “Wah, mereka yang bejat itu bukan orang Kristen injili, tetapi hanya
mengaku-ngaku saja injili, padahal bukan sama sekali!” Jika Dawkins itu ateis
sejati, maka ateis sejati adalah sosok saintis yang suka nge-“bully”
agama-agama, “and offend, attack, and ridicule” umat beragama dan agama-agama
dengan keras. Ini, bukan biologi, kepiawaian Dawkins yang paling menonjol.
Jika
fallacy di atas dipakai lagi, maka orang ateis akan bilang, Wah Dawkins cs itu
bukan ateis sejati, tetapi ateis-ateis bejat, atau sama sekali bukan orang
ateis. Eeeh, Dawkins juga memakai fallacy ini ketika dia menegaskan bahwa
“Muslim-muslim progresif dan liberal yang toleran itu tidak mewakili Islam;
Islam sejati itu ya para radikalis dan esktrimis itu!”
Capek deh jadinya kalau menghadapi sebuah
ideologi yang sudah diidolakan sebagai God sendiri: serba sempurna dan magis.
Ya itu, ateisme. The circle is now
completed: atheists started with kicking out Gods of religions; and they
finally end up incorporating God again into their ideological system.
Salahkah
Einstein?
Kembali ke Albert Einstein. Lepas dari
apakah anda yang ateis setuju atau tidak setuju dengan Einstein, perhatikan
kata-katanya yang keras tentang orang ateis, demikian:
“Orang-orang ateis yang fanatik itu...
bak budak-budak yang masih merasa beratnya rantai-rantai yang pernah
membelenggu mereka, yang sebetulnya mereka telah lepaskan dan buang setelah
berjuang sangat keras. Dalam sakit hati mereka terhadap ‘candu masyarakat’,
mereka adalah makhluk-makhluk yang tidak dapat tahan mendengar berbagai musik
yang disenandungkan dunia-dunia.”/27/
Dengan tepat Einstein melihat ateisme
pada zamannya sebagai sebuah ideologi orang yang sedang sakit hati, sebuah
ideologi kemarahan. Perhatikan juga sebuah ucapannya yang lain, ini:
“Berulangkali aku telah katakan bahwa
dalam pendapatku ide tentang suatu Allah personal adalah ide yang
kekanak-kanakan. Anda dapat menyebut saya agnostik, tapi saya tidak ikut
menghayati semangat tempur dan fanatisme dari orang-orang yang mengaku ateis.
Semangat dan fanatisme mereka itu timbul dari keinginan membara dan kepedihan
hati untuk melepaskan diri dari belenggu-belenggu indoktrinasi keagamaan yang
mereka telah terima sewaktu masih remaja. Saya memilih untuk bersikap rendah
hati sejalan dengan kelemahan pemahaman intelektual kita terhadap alam dan
hakikat kehidupan kita sendiri.”/28/
Tetapi Einstein juga marah. Tetapi
alih-alih membangun sebuah gerakan kemarahan, Einstein membangun dan
mengembangkan sains fisika. Salah satu alasan mengapa Einstein mengambil sikap
keras terhadap orang ateis, diungkapnya demikian:
“Meskipun terdapat harmoni dalam jagat
raya, yang dengan pikiran insaniku yang terbatas dapat kupahami, masih saja ada
orang yang berkata bahwa Allah itu tidak ada. Tapi hal yang sungguh-sungguh membuatku
marah adalah bahwa mereka mengutip aku untuk menunjang pandangan-pandangan
mereka yang seperti itu.”/29/
Buktikanlah Einstein salah, kalau memang
dia salah. Dalam pengalaman saya sendiri, tentu saja ada sangat banyak orang
ateis yang fanatik buta dan agresif, bahkan vulgar, selalu menyerang keras
agama-agama dan selalu merasa diri paling benar, khususnya orang-orang ateis
dari gerakan New Atheism.
Mereka sudah terbiasa memakai gaya bahasa preman
kalau sedang menyerang orang yang tidak mendukung ideologi ateisme mereka.
Tentu ada juga, tetapi tidak banyak, orang ateis yang cerdas, rendah hati dan
santun kalau berbicara, dan mampu menyatakan diri bahwa mereka juga bisa salah
dan keliru.
Kalau ada orang ateis yang mengklaim diri dengan takabur bahwa
mereka tidak bisa salah, maka, mungkin tanpa disadari mereka, mereka telah
menjadikan diri mereka sendiri Allah setelah mereka membuang dan menendang
Allah agama-agama.
Tahukah anda bahwa sangkar besi terkuat
yang kerap mengurung seseorang adalah pikirannya sendiri yang dianggapnya sudah
final? Banyak orang pintar menjadi sangat bodoh saat mereka menganggap pikiran
mereka sendiri sudah final, tidak bisa salah, dus tidak bisa diubah lagi.
Cuci
otak atau “brainwashing”
Anda yang ateis boleh tidak setuju
terhadap dua orang neurosaintis Andrew Newberg dan Mark Robert Waldman yang
menegaskan bahwa “dalam kenyataannya, kebanyakan riset yang dilakukan dalam
psikologi dan ilmu-ilmu sosial menemukan agama itu netral atau bermanfaat
berkaitan dengan kesehatan mental dan kesehatan tubuh. Yang menjadi musuh
bukanlah agama; musuh kita adalah kemarahan, permusuhan, intoleransi,
separatisme, idealisme ekstrim, dan ketakutan yang timbul dari
prasangka-prasangka, baik yang sifatnya sekular, religius, maupun politis.”/30/
Tentu harus kita akui bahwa agama juga
bisa menjadi sumber dari semua hal buruk yang disebut Newberg dan Waldman;
tetapi tidak selalu demikian. Banyak hal yang baik juga bisa muncul dari dunia
agama-agama sejauh fundamentalisme, radikalisme, irasionalisme dan terorisme
tidak muncul, tumbuh dan berkuasa di situ. Perilaku orang-orang fundamentalis
radikal dalam semua agama dewasa ini tampak sebagai perilaku orang-orang yang
kalap, histeris dan sedang berada dalam tekanan jiwa yang sangat berat,
sehingga seringkali akal sehat dan rasionalitas mereka sudah tidak bekerja
lagi.
Apa yang dikatakan Friedrich Nietzsche berikut ini tentu saja sangat
keras, dan tentu kebanyakan kita juga tidak sepakat dengannya, tetapi juga,
sedihnya, bisa benar. Katanya, “Agama adalah urusan orang-orang pinggiran. Aku
selalu harus mencuci tanganku setelah bersentuhan dengan seorang yang
beragama.”/31/
Neurosaintis Kathleen Taylor dari
Departemen Fisiologi, Anatomi dan Genetika Universitas Oxford, dalam sebuah
kuliahnya yang disampaikan pada acara Hay Literary Festival di Wales, Inggris,
Mei 2013, menyatakan bahwa
“Seseorang yang telah, misalnya, menjadi penganut
radikal suatu ideologi kultis, harus tidak lagi kita pandang sebagai seseorang
yang dengan kehendak bebasnya yang personal dan murni telah memilih ideologi
itu, melainkan sebagai seseorang yang sedang terkena gangguan mental tertentu.
Dalam banyak hal, memperlakukan orang-orang jenis tersebut sebagai orang-orang
yang punya penyakit mental akan dapat sangat positif berhubung tidak ada
keraguan lagi bahwa kepercayaan-kepercayaan keagamaan tertentu dalam masyarakat
kita sungguh-sungguh telah menimbulkan sangat banyak kerusakan dan kehancuran.”
Pernyataan Taylor ini tidak hanya berlaku bagi “kandidat-kandidat yang sudah
jelas, yakni para Muslim radikal”, tetapi juga bagi orang beragama apapun yang
percaya bahwa menyakiti dan menyiksa anak-anak adalah hal yang dapat
diterima./32/
Jika anda ingin tahu lebih jauh
pandangan-pandangan Taylor tentang bagaimana dalam komunitas-komunitas
keagamaan radikal metode cuci otak dipakai untuk mengontrol pikiran umat dan
khususnya anak-anak muda, bacalah bukunya Brainwashing:
The Science of Thought Control (terbit 2004). Dalam mengkaji mekanisme cuci
otak, Taylor mengeksplorasi sejumlah bidang, yakni agama, politik, iklan,
media, pendidikan, kesehatan mental, militer, sistem pengadilan kriminal, KDRT,
dan penyiksaan. Tentang cuci otak, dia menyatakan bahwa
“Pada intinya cuci otak adalah suatu ide
yang sangat jahat, yang didasarkan pada impian untuk sepenuh-penuhnya
mengontrol pikiran manusia, yang mempengaruhi kita semua dengan cara-cara
tertentu.
Cuci otak pada dasarnya adalah penyerbuan terhadap privasi, yang
berusaha mengendalikan bukan hanya bagaimana orang bertindak, tetapi juga apa
yang mereka pikirkan.
Cuci otak menimbulkan ketakutan-ketakutan kita yang
terdalam karena mengancam akan menghilangkan kebebasan dan bahkan identitas
manusia.
Kami menemukan bahwa cuci otak adalah suatu bentuk ekstrim pengaruh
sosial yang menggunakan mekanisme-mekanisme yang makin banyak dikaji dan
dipahami para psikolog sosial. Pengaruh sosial tersebut dapat sangat bervariasi
dalam intensitasnya. Dan kami mengeksplorasi sejumlah situasi yang melibatkan
individu-individu, kelompok-kelompok kecil, dan keseluruhan
masyarakat-masyarakat.
Dalam semua segmen ini, tipe-tipe pengaruh yang kami
sebut cuci otak dicirikan oleh penggunaan kekuatan pemaksa atau tipu daya atau
keduanya sekaligus.”/33/
Sudah pasti, cuci otak juga terjadi pada
komunitas-komunitas ateis militan fundamentalis, selain pada
komunitas-komunitas keagamaan, entah dengan cara-cara sedikit halus atau dengan
cara-cara yang sangat keras. Militansi dan fundamentalisme ideologis apapun
bisa dibangun dan digairahkan hanya lewat cuci otak.
Nilai
tertinggi
Dengan mengatakan bahwa ateisme itu
sebuah ideologi kemarahan, sama sekali bukan maksud saya untuk menyatakan bahwa
teisme, sebaliknya, tidak boleh dikritik. Bukan itu! Segala hal dalam dunia
ini, termasuk teisme dan juga ateisme, perlu dikritik terus-menerus supaya
mengalami perbaikan, pembaruan, perubahan, peningkatan, kemajuan dan
penyempurnaan.
Tetapi kritik yang diperlukan bukanlah
kritik yang hantam-kromo, asal-asalan dan keluar dari kebencian dan kemarahan,
tetapi kritik yang muncul dari pengenalan yang memadai dan objektif atas
objek-objek yang dikritik, alhasil kritik-kritik yang disampaikan akan pas,
fair, membangun dan berguna, bukan serampangan, merusak dan mudarat. Kata
“kritik” berasal dari kata kerja Yunani “krinein”, yang artinya “menilai
sesuatu dengan cermat dan bertanggungjawab” dengan berbasis fakta-fakta ilmiah.
Kritik sama sekali bukan penghinaan atau penistaan. Harap hal ini dipahami.
Bukan hanya kalangan radikal teis yang suka marah dan kalap terhadap dunia yang
tidak sesuai dengan harapan dan keinginan mereka. Para ateis militan pun sama
dengan para radikalis religius ini, sama-sama orang yang sedang marah dan
kalap. Tidak ada keunggulan ateisme dalam hal ini.
Pada sisi lainnya, orang ateis tampaknya
lupa bahwa dalam setiap ideologi selalu ada sesuatu yang dipandang sebagai
nilai tertinggi (the highest value)
yang menjadi acuan semua keyakinan dan tindakan serta tujuan kehidupan para
penganutnya. Dalam ideologi kapitalisme, uang atau kapital (dalam bentuk
apapun) adalah nilai tertinggi. Dalam ideologi demokrasi, suara rakyat (vox populi) adalah nilai tertinggi, yang
kerap dengan keliru disamakan dengan suara Allah (vox Dei) sehingga demokrasi, tanpa disadari, diubah menjadi
teokrasi.
Anda yang ateis selalu sekuat tenaga dan
mati hidup mempertahankan bahwa Tuhan itu tidak ada, walaupun sang Tuhan yang
tidak ada ini anda serang terus.
Ok-lah kalau bagi anda sang Tuhan sebagai
entitas empiris tidak/belum terbukti ada; tetapi, pada sisi lainnya, anda tentu
setuju dengan saya kalau saya menyatakan bahwa walaupun sang Tuhan empiris
tidak/belum terbukti ada, sang Tuhan ini adalah suatu nilai, value, yang sangat
real dan fungsional dalam kehidupan para teis. Sepakat ya dengan saya bahwa
sang Tuhan adalah sebuah nilai utama bagi para teis. Nilai adalah sesuatu yang
kepadanya anda arahkan seluruh kehidupan anda, sesuatu yang mendasari seluruh
isi pemikiran dan gerak-gerik kehidupan anda. Dus, nilai itu berada dalam dunia
ide, sebagai ide terbesar dan utama.
Kalau dalam teisme Tuhan dipandang
sebagai nilai tertinggi, maka mustinya dalam ateisme ada pengganti nilai
tertinggi ini. Para ateis perlu menjawab, apa nilai tertinggi dalam kepercayaan
ateisme mereka, apa yang berfungsi dengan real dan kuat sebagai Tuhan mereka.
Sudah pasti, nilai tertinggi atau Tuhan dalam ateisme ya ideologi ateisme
sendiri, bukan sains sebab sains tidak bisa diubah jadi ideologi apapun. Orang
ateis, dus, percaya sangat tinggi pada kepercayaan ateisme mereka. Jangan anda
sangka bahwa ateisme tidak punya Tuhan. They
believe in their belief system named atheism. Posisi ini tentu saja
narsis.
Hemat saya, kaum teis lebih maju dan
tidak narsis: orang teis percaya pada Tuhan transenden, bukan pada belief
system mereka sendiri. Tuhan transenden ini melampaui teisme sendiri; teisme
adalah suatu wahana metaforis yang menunjuk ke entitas yang lebih tinggi, yakni
Tuhan transenden. Teisme adalah sebuah jembatan menuju Tuhan, bukan Tuhan itu
sendiri. Ada jembatan yang kokoh, dan ada jembatan yang rapuh. Jika karena
agama anda, anda menjadi fanatik buta, agama anda itu adalah sebuah jembatan
yang rapuh total.
Memakai sebuah metafora lain: teisme itu
ibarat sebuah jari telunjuk yang sedang menunjuk ke Bulan. Bulan adalah sang
Tuhan dalam teisme, dan telunjuk adalah doktrin-doktrin dalam sistem ideologis
keagamaan teisme. Jari telunjuk tidak akan pernah menjadi sang Bulan, begitu
juga sebaliknya.
Tetapi, sayangnya, para penganut teisme umumnya suka sekali
mengubah telunjuk mereka menjadi sang Bulan, dan sang Bulan diperlakukan
sebagai jari telunjuk. Saat ini terjadi, prahara pun muncul di mana-mana! Ketika agama apapun berubah menjadi narsis, wajah dunia dan kehidupan berubah jadi jelek mengerikan!
Para
dewa yang dipercaya Richard Dawkins
Tetapi itu belum semuanya; masih ada
hal-hal lain yang akan sangat mengagetkan dan membuat kecut hati para ateis
dalam gerakan New Atheism. Berikut ini sebuah selingan saja.
Ketika Richard
Dawkins dalam suatu acara talkshow di Radio 4 di bulan Desember 2012 ditantang
oleh seorang pastur Katolik untuk menyebut lengkap 21 kata yang menjadi judul
buku On The Origin of Species karya
Charles Darwin yang sangat diherokan oleh Dawkins, sang biolog ateis keras ini
meyakinkan para pendengar bahwa dia tentu hafal; tetapi akhirnya ternyata dia
gagal. Dengan terbata-bata dan kerap bergumam eeehhhhm, eeehhhmmm, uuummmm,
akhirnya Dawkins gagal.
Yang menarik adalah bahwa di tengah usaha kerasnya
untuk menyebut judul lengkap buku Darwin tersebut, dan di saat dia merasa tidak
berdaya, Dawkins otomatis memanggil nama Tuhan, “Oh God!”/34/
Rupanya sang ateis militan ini masih
punya Tuhan dan masih suka berdoa. “Neuron-neuron Allah” (“God neurons”) masih
bercokol kuat di dalam organ otak Prof. Dawkins. Susah payah dia menjadi seorang
saintis ateis yang sedang marah, tetapi usahanya ini kandas total ketika dia
menemukan dirinya tidak berdaya lalu memanggil Allah.
Saya ajak teman-teman ateis Indonesia
untuk membayangkan bahwa anda sedang berada di dalam suatu pesawat terbang di
angkasa, yang tiba-tiba saja dilanda badai dahsyat, lalu terguncang keras,
kemudian tidak bisa dikendalikan lagi, terus meluncur dan menukik cepat ke
permukaan Bumi.
Nah, saya mau tanya anda: Apakah yang kira-kira akan menjadi
sikap anda di saat-saat kejadian yang menimbulkan kepanikan massal itu? Apakah
anda akan bisa membuktikan diri tetap ateis kuat di saat-saat genting itu
dengan hanya tertawa-tawa senang sementara anda duduk di bangku pesawat yang
sedang terguncang hebat?
Ataukah, tidak berbeda dari para
penumpang lain yang beragama, anda juga tiba-tiba saja, tanpa tertahan,
memanggil-manggil dan berdoa keras-keras kepada Tuhan anda, yang telah cukup
lama anda pendam, kubur, tekan dan gencet dalam alam bawah sadar anda? Mungkin
sekali, anda adalah para super-ateis, yang jauh lebih tangguh dan lebih
konsisten dibandingkan sang master anda, Richard Dawkins. Semoga.
Kita umumnya akan mengakui bahwa kita,
sekuat apapun, adalah insan-insan yang memang kerap memerlukan uluran tangan
dari pihak-pihak yang kita pandang jauh lebih kuat, jauh lebih tangguh, dan
jauh lebih berkuasa, dibandingkan diri kita sendiri, di saat-saat kita sedang
berada dalam berbagai kondisi tidak berdaya. Kebutuhan ini saya sebut sebagai
kebutuhan terhadap pertolongan dari dunia transenden, apapun juga wujud dunia
transenden ini dalam bayangan kita.
Di saat dalam kandungan, kita butuh rahim
ibu kita dan nutrisi dari makanan yang dia makan. Saat kanak-kanak hingga
remaja, kita butuh suatu superpower
yang kita panggil papa atau mama. Ketika kita mulai diperkenalkan dengan Tuhan
dalam agama orangtua kita, ayah dan ibu kita diganti oleh Tuhan kita ini. Terus
sampai kita wafat, kita kerap merasa dan membutuhkan suatu superpower yang
mampu melindungi dan menolong kita, apapun wujud superpower ini.
Kalau seorang
ateis menegaskan bahwa dia tidak perlu “suatu hal lain di atas dirinya” (apapun
ini!), ya tanpa sadar dia sudah mempertuhan dirinya sendiri; sekaligus dia juga berdusta. Begitu loh.
Tapi, harus saya akui, peluang tetap terbuka dalam dunia ini bagi adanya sosok-sosok agung insani yang sungguh-sunggguh mampu hidup dalam kemandirian penuh yang tidak memerlukan suatu sosok adikuasa pelindung atau penyelamat apapun. Mereka adalah insan-insan transenden, sosok-sosok adiinsani yang sudah berada dalam kawasan adinilai lewat prestasi moral dan intelektual mereka sendiri yang sudah melampaui ideologi apapun. Mereka sudah berada pada jenjang teratas ketujuh dan kedelapan dalam piramida kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow yang sudah diperluas dari semula hanya lima jenjang.
Tetapi poin terpentingnya adalah ini:
Richard Dawkins percaya pada adanya entitas-entitas superhuman super cerdas
yang ada di angkasa luar, yang lewat teknik rekayasa genetik yang sudah sangat
maju dipercaya telah menciptakan manusia di Bumi dulu sekali. Alien-alien
adiinsani yang memiliki kecerdasan sangat tinggi inilah para dewa yang
dipercaya Dawkins sebagai seorang ateis keras, ketika dia sudah menendang
jauh-jauh Allah-allah agama-agama.
Kepercayaannya terhadap dewa-dewa dari
angkasa luar sebagai para pencipta manusia telah diungkapnya dengan jelas
kepada dunia lewat video ini https://youtu.be/BoncJBrrdQ8. Pernyataan Dawkins
yang paling krusial adalah ini:
“Mungkin sekali terjadi bahwa dulu di
zaman lampau, di suatu tempat dalam jagat raya, sebuah peradaban berevolusi,
mungkin sekali lewat beberapa sarana evolusi yang diajukan Darwin. Mungkin
sekali peradaban ini telah menghasilkan berbagai teknologi yang sudah luar
biasa maju. Lalu mereka merancang suatu bentuk kehidupan yang mereka benihkan dan
kembangkan mungkin di planet Bumi. Ya, uuumm, ini adalah sebuah kemungkinan,
sebuah kemungkinan yang sangat menarik. Dan saya beranggapan adalah mungkin
anda dapat menemukan bukti tentang hal ini jika anda melihat ke detail-detail
biokimia, biologi molekuler. Di situ anda dapat menemukan suatu tandatangan
dari suatu jenis perancang.”
Saya berharap anda para ateis langsung
tertegun lalu mulai gelisah dan meragukan keperkasaan New Atheism, sebab
ternyata dalam sistem ateisme Dawkins juga ada para dewa pencipta manusia.
Allah agama-agama ditendang Dawkins dan para muridnya, tetapi hanya untuk
mengimani kembali dewa-dewa pengganti, para alien cerdas di angkasa luar yang
diyakini telah menciptakan manusia di zaman yang sangat silam! Ini kepercayaan
religius sang ateis Dawkins.
Ya, statusnya baru kepercayaan, belief,
sebab sampai detik ini belum ditemukan bukti-bukti ilmiah apapun bahwa dalam
DNA Homo sapiens terdapat tanda tangan alien-alien cerdas lewat teknik rekayasa
genetik mereka. Begitu juga, teori panspermia belum didukung bukti-bukti
substansial yang “beyond reasonable doubt”.
Terkait dengan alien-alien cerdas
dari galaksi-galaksi lain, atau dari galaksi Bima Sakti, posisi paling ilmiah
sekarang ini adalah Paradoks Fermi: alien-alien cerdas pasti ada, tetapi hingga
saat ini bukti-bukti empiris yang substansial tentang keberadaan mereka belum
dimiliki dunia sains. Dengan kata lain, Paradoks Fermi lebih dekat ke agama
ketimbang ke sains. Itulah faktanya.
Ritual kultis "New Atheism"
Para pembela gerakan New Atheism juga
merayakan ritual kultis mereka, bahkan setiap hari. Mungkin anda tidak percaya.
Salah satu fungsi ritual keagamaan adalah menyalurkan tekanan dan beban berat
psikologis keluar dari hati dan pikiran. Satu contoh saja: ketika seorang
Kristen, bersama banyak orang Kristen lainnya, dengan khusuk berdoa sambil
memandang patung Yesus yang sedang tersalib dalam suatu ibadah, ini adalah
sebuah ritual. Dalam ritual ini mereka menumpahkan semua unek-unek mereka,
melakukan katarsis, dan mengaku semua dosa mereka yang selama ini menekan hati
dan pikiran mereka.
Semua katarsis dan doa pengakuan dosa mereka ini diarahkan
dan ditimpahkan pada tubuh Yesus yang sedang tersalib. Dengan sangat intens,
mereka melakukan ritual ini; hasilnya adalah mereka mendapatkan kelegaan
kembali. Stres dan depresi mereka reda, karena, dalam keyakinan mereka, sudah
ditanggung oleh Yesus yang tersalib menggantikan mereka.
Sudah diketahui bahwa ritual-ritual
religius memicu mekanisme-mekanisme neurologis yang memungkinkan terbentuknya
hormon-hormon neurokimiawi yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan katarsis yang
menimbulkan rasa tenang, bebas stres dan yang sejenisnya. J. Anderson Thomson,
Jr., dan Clare Aukofer dalam buku mereka, Why
We Believe in God(s), menyatakan bahwa
“Seperti semua ide dan kepercayaan keagamaan,
ritual-ritual keagamaan adalah produk-produk sampingan dari mekanisme-mekanisme
mental yang semula dirancang untuk tujuan-tujuan lain. Ritual-ritual keagamaan
mempertahankan, meneruskan, dan menyebarkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan
melintasi ruang dan waktu.… Pikiran setiap orang sangat mudah untuk
menghasilkan, menerima dan mempercayai ide-ide keagamaan. Jika prosesnya
berhenti di situ saja, kepercayaan keagamaan dapat dengan longgar dipegang.
Tetapi, dengan memobilisasi kimia otak yang kuat, yang menimbulkan
pengalaman-pengalaman emosional yang intens dan memunculkan berbagai perasaan
seperti kebanggaan diri, kesenangan, rasa takut, motivasi, bebas dari rasa
sakit, dan keterikatan, ritual-ritual menciptakan suatu kesatuan yang
menyeluruh, yang jauh lebih kuat jika dibandingkan gabungan semua bagiannya.
Sifatnya sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh, membuat ritual-ritual sanggup
menguasai pikiran-pikiran masing-masing orang yang memang sudah siap untuk
percaya, lalu membuat pikiran-pikiran itu saling mengisi, memperkaya dan
memperkuat terus-menerus. Dari situ, terciptalah suatu gabungan
kekuatan-kekuatan sadar dan kekuatan-kekuatan tidak sadar yang terus-menerus
mudah berubah.…
Meskipun para moyang kita tidak memiliki pengetahuan tentang
kimia neural dalam otak kita, mereka secara kebetulan menggabung berbagai
aktivitas yang dapat merangsang dan meningkatkan serotonin, dopamin, epinefrin,
norepinefrin, oksitosin, dan endorfin, alhasil terciptalah aktivitas otak yang
khas yang muncul dari penggabungan itu. Itulah kunci untuk memahami tempat yang
abadi bagi ritual-ritual di dalam semua kebudayaan berhubung, secara harfiah,
tidak ada hal lain apapun yang menyamai ritual-ritual.…
Ritual-ritual
keagamaan yang diinvensi oleh para moyang kita mengendalikan kimia kita dengan
satu cara insani yang unik, yang mengikat orang-orang jadi satu dan membantu
terbentuknya ikatan-ikatan sosial.”/35/
Dus, ketika para ateis dalam gerakan New
Atheism setiap hari menyerang agama-agama dan orang beragama dengan keras,
agresif dan barbar, dengan kalap dan penuh kemarahan, ini adalah sebuah
tindakan ritual mereka.
Lewat serangan keras terhadap dunia agama-agama, para
ateis sesungguhnya sedang melakukan ritual katarsis psikologis yang membuat
mereka mengalami kelegaan besar sementara mereka terus-menerus diperhadapkan
pada fakta kuatnya agama-agama mempengaruhi alam pemikiran dan alam batiniah
manusia di zaman modern. Fakta inilah juga yang menjadi salah satu sumber New
Atheism menjadi sebuah ideologi kemarahan dan pemberontakan.
Dengan buku The God Delusion karya Dawkins yang berfungsi sebagai sebuah
kitab suci, dan dengan buku Letter to A
Christian Nation yang ditulis Sam Harris yang berfungsi sebagai sebuah
surat edaran suci pertama, maka makin lengkaplah unsur-unsur keagamaan yang ada
di dalam ideologi New Atheism.
Bagi saya, New Atheism juga punya nabi-nabi
perdana, yakni Sam Harris, Richard Dawkins, mendiang Christopher Hitchens, dan
Daniel Dennett; dan kini juga harus ditambah dengan Prof. Lawrence M. Krauss,
dan Bill Maher yang menyatakan bahwa “agama adalah suatu penyakit yang merusak
sel-sel saraf otak” (“religion is a neurological disorder”).
Anda tentu bisa menemukan sejumlah unsur
keagamaan lain dalam New Atheism, yang akan membuat anda tidak ragu lagi untuk
menyatakan bahwa New Atheism sesungguhnya juga sebuah agama. Temukanlah, tanpa
perlu bantuan saya. Tetapi jika anda tidak mau berlelah-lelah mendekonstruksi
New Atheism sebagai sebuah agama, tidak masalah. Dalam sebuah tulisan saya yang
lain, saya sudah ajukan sebuah analisis sosiologis ringkas yang memperlihatkan
bahwa New Atheism adalah sebuah agama juga. Bacalah./36/
Terperangahkah anda? Tapi itu belum semua
kisahnya. Masih ada sebuah cerita lain yang harus kita dengarkan dengan baik,
karena kisah lanjutan ini mendebarkan hati.
Metafora-metafora
keagamaan
Kita tahu dengan sangat pasti bahwa
agama-agama memakai banyak metafora untuk menggambarkan berbagai hal untuk
disampaikan kepada umat. Metafora adalah suatu medium linguistik kultural yang
dipakai manusia untuk mengekspresikan dalam bahasa insani sehari-hari hal-hal
yang tidak dapat diekspresikan (inexpressible)
atau tidak dapat dipahami (inexplicable)
supaya kebanyakan orang dapat menangkap dan memahami hal-hal ini.
Metafora
berasal dari dua kata Yunani “meta” yang berarti melintasi batas atau melampaui (Inggris: beyond), bergerak dari satu kawasan ke kawasan lain, dan “ferein” yang berarti pindah
atau membawa atau menyeberang.
Dengan demikian, metafora adalah suatu wahana (linguistik dan nonlinguistik) yang membawa atau menyeberangkan kita
dari satu kawasan ke kawasan lain, dan memungkinkan kita menyeberangi atau
melintasi batas-batas, sehingga kawasan-kawasan lain itu terbuka, tidak
tertutup, untuk kita. Tanpa metafora, kawasan-kawasan lain itu, sebaliknya,
akan tertutup bagi kita./37/
Yesus dari Nazareth, juga Gautama Buddha, para
guru Zen, dan banyak lagi sosok agung zaman lampau, memakai banyak metafora
dalam menyampaikan keyakinan-keyakinan mereka mengenai kehidupan dan hal-hal
lain yang melampaui dunia sehari-hari, dunia transenden. Karena bukan ilmu pengetahuan yang dibangun berdasarkan fakta-fakta empiris dan melahirkan teori-teori dan model-model keilmuan, maka agama-agama yang bergerak dalam dunia nilai-nilai niscaya memerlukan metafora.
Tapi perlu diketahui, para saintis, dalam dunia sains, kerap
juga menemukan hal-hal yang belum mereka pahami benar atau yang belum dapat
diungkap dengan gamblang dan jelas lewat metode sains. Dalam situasi ini, para
saintis memakai metafora, misalnya metafora “energi gelap” (dark energy) atau metafora “materi
gelap” (dark matter). Begitu juga,
“the big bang”, dentuman besar, adalah sebuah metafora dalam kosmologi modern
yang menggambarkan secara metaforis bagaimana jagat raya ini pada awalnya
tercipta.
Untuk menggambarkan bagaimana dunia atau
jagat raya ini bekerja, Descartes pernah memakai metafora “mesin”. Kata Descartes,
“Saya menggambarkan Bumi ini beserta seluruh alam semesta yang kelihatan
seolah-olah ini adalah sebuah mesin.” Metafora mesin ini juga dipakai dalam
fisika klasik untuk tujuan yang sama.
Begitu juga, metafora “balon” yang
permukaannya terus mengembang saat ditiup dipakai sebagai metafora untuk
menjelaskan jagat raya yang sudah diketahui terus mengembang dengan makin
cepat.
Dalam teori relativitas umum, Albert
Einstein secara metaforis menggambarkan dimensi ruangwaktu (spacetime) membentuk “baskom” atau
“cerukan” atau “lengkungan” (warpage)
karena pengaruh kuat benda-benda massif, sebuah planet misalnya. Baskom atau
cerukan atau lengkungan ini otomatis menarik benda-benda lain yang ada di
sekitarnya ke dalamnya, bak aliran banjir mengalir deras ke sebuah danau yang dalam dan luas―tarikan inilah forsa gravitasi.
Dalam teori dawai (string theory), atom-atom tidak dipandang berbentuk poin-poin atau
butir-butir, melainkan digambarkan secara metaforis sebagai “dawai-dawai yang
bergetar”.
Ateis militan yang dikenal sebagai biolog
evolusioner, Richard Dawkins, juga memakai metafora “selfish gene” atau “gen
yang serakah” saat menjelaskan relasi “survival of the fittest” dengan gen
manusia.
Nah, ditinjau dari sudut jenis sastra (literary genre) metafora juga dipakai
saat para penulis kitab-kitab suci mau menggambarkan sosok diri Allah. Jadi,
Allah adalah juga sebuah metafora yang dapat dengan kaya raya dan kreatif
menggambarkan dunia transenden yang inexpressible
atau inexplicable. Penulis, dosen dan
pakar mitologi kebangsaan Amerika, Joseph Campbell (1904-1987), menulis, “Allah
adalah sebuah metafora untuk suatu misteri yang sepenuhnya mentransendir semua
kategori pemikiran manusia, bahkan kategori ada dan non-ada. Sesimpel itu
saja.”/38/
Tahukah anda bahwa apa yang dinyatakan
Campbell ini herannya bisa juga diterapkan pada “dunia” mekanika quantum,
khususnya pada apa yang dinamakan “partikel-partikel virtual” yang
eksistensinya ada di antara ada dan non-ada; dan juga pada sesuatu yang
mengawali asal-usul jagat raya dalam pemahaman kosmologi modern, bahwa jagat
raya tercipta lewat kondisi awal “vacuum state”, keadaan vakum, yang segera
disusul dengan “fluktuasi quantum” di momen-momen terawal big bang. Di
saat-saat terawal kosmik itu, realitas itu harus dikatakan ada di antara “ada
dan non-ada”.
Tentu saja saya harus mengingatkan anda
dengan wanti-wanti untuk tidak mengubah teologi menjadi fisika, atau
sebaliknya.
Saya hanya melihat metafora-metafora juga diperlukan saat kita
sedang memikirkan mekanika quantum dan asal-usul jagat raya. Itu saja. Puisi,
misalnya, adalah sebuah metafora. Ketahuilah, fsikawan Denmark penerima Nobel
fisika di tahun 1922, Niels Bohr, mengatakan, “Harus jelas buat kita bahwa saat
mendatangi atom-atom, bahasa dapat digunakan hanya seperti dalam puisi. Sang
penyair tidak peduli dalam menggambarkan fakta-fakta, melainkan hanya mau
menciptakan gambar-gambar dan membangun koneksi-koneksi mental.”/39/
Ada sangat banyak metafora tentang sosok
Allah dalam berbagai kitab suci kuno. Ada metafora yang baik, dan ada juga yang
tidak baik, saat mereka menggambarkan sosok Allah secara metaforis. Orang yang
cerdas dan bijaksana tentu akan mengambil hanya metafora yang baik, dan
melepaskan metafora yang tidak baik.
Nah, kalau Allah adalah sebuah metafora
yang kreatif, apakah anda bisa membuktikan atau tidak membuktikan sebuah
metafora? Jika anda bisa, beritahu saya metodenya. If god is a metaphor, can you prove or disprove a metaphor? If you can,
show me the method.
Metafora juga menjelma dalam banyak wujud
karya kesenian dan kebudayaan: lukisan, puisi, pantun, sanjak, tarian, novel,
mitos, seni pahat, madah, musik, film, folklore, kisah-kisah fiktif, dan
seterusnya. Nah, jika sebuah puisi itu sebuah metafora, bagaimana membuktikan
atau tidak membuktikan sebuah puisi? Bisakah anda? Juga, bisakah anda
membuktikan keindahan sebuah lukisan? Can
you prove or disprove the beauty of a painting, a piece of music, a poem, a
dance? Jika anda bisa, beri saya metodenya.
Nah, jika Allah juga sebuah metafora,
bagaimana melakukan verifikasi atau falsifikasi Allah sebagai sebuah metafora?
Bisakah anda? Jika bisa, saya ingin tahu metodenya.
Metafora itu hanya bisa dinikmati,
keindahannya, kedalamannya, impresinya, imajinasinya, daya gugahnya, daya
tariknya, dampak moralnya, dampak emosionalnya, pada pikiran dan batin manusia,
dan dampak sosial-politiknya dalam masyarakat, tetapi sama sekali tidak bisa
di-prove atau di-disprove lewat teleskop atau mikroskop atau lewat perhitungan
matematis atau lewat uji coba di Large Hadron Collider.
Dalam dunia agama-agama, metafora itu
berada dalam dunia nilai-nilai (moral, kognitif, afektif, estetik, artistik, spiritual, eksistensial sapiensial, dan juga saintifik),
tidak bisa di-prove atau di-disprove secara empiris, melainkan hanya bisa
dihayati dalam berbagai cita rasa kognitif, psiko-motorik dan afektif yang berbeda dari orang yang
satu ke orang yang lain. Kita, berdasarkan pertimbangan tertentu, hanya bisa
menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap, atau terkesan atau malah dibuat
bosan oleh, nilai-nilai yang disampaikan oleh berbagai metafora keagamaan.
Jadi, pesan saya, daripada kaum ateis
terus-menerus terjebak dalam debat ontologis tentang apakah Allah ada atau
tidak ada, lebih baik mereka ikut merasa bahagia jika seorang beragama menjadi
berbahagia, gembira, riang, baik hati, tegar, kuat, optimistik, murah hati, bersahabat,
karena metafora Allah yang dipegangnya. Kenapa harus menyerang si saleh yang
semacam ini? Kenapa dia harus dimusuhi, bukan disayangi?
Paling bagus jika orang ateis terlibat
dalam usaha-usaha ikut mencerdaskan orang beragama daripada mencerca mereka
terus-menerus. Didik dan cerdaskanlah mereka dengan lemah-lembut untuk akhirnya
bisa memahami, misalnya, bahwa kitab-kitab suci mereka memuat banyak sekali
metafora teologis. Tajamkanlah pandangan mereka sehingga mereka bisa melihat
bahwa ada metafora teologis yang baik yang perlu dihayati dan ada juga metafora
teologis yang buruk yang harus dijauhi. Semakin banyak orang beragama yang
cerdas dan arif, akan semakin baik dunia ini.
Ingatlah, ada 4 milyar orang
dewasa beragama sekarang ini. Jika kaum ateis mau mengubah dunia, tapi
mengabaikan 4 milyar anak manusia ini, mereka jelas tidak bijaksana dan tidak
strategis, dan bermata rabun.
Selanjutnya, ini anjuran saya. Jika anda
menemukan ada banyak kekerasan yang dilakukan orang beragama, kupaslah dengan
bermartabat, santun dan cerdas metafora-metafora Allah yang bagaimanakah yang
telah mendorong mereka untuk melakukan kekerasan.
Perlihatkan kepada mereka ada
metafora-metafora teologis alternatif, yang akan mendorong mereka melakukan
banyak kebajikan ketimbang kekerasan. Fokuslah pada fungsi-fungsi sosial agama,
dan tinggalkan debat ontologis yang tidak pernah berakhir mengenai ada atau
tidak adanya Allah, debat yang juga tidak ada manfaatnya, selain menimbulkan
perkelahian wacana dan kebencian.
Perlu anda ketahui, sebagus apapun
proposisi-proposisi logis filosofis yang anda kembangkan dalam ontologi anda,
jika proposisi-proposisi ini tidak didukung fakta-fakta empiris, tidak
science-based, proposisi-proposisi ini tetap tidak valid.
Saya doakan kalangan ateis teman-teman
saya tidak terkerangkeng dalam penjara ideologi mereka sendiri. Bentuk doa saya
adalah membangun dalam pikiran saya rasa cinta terus-menerus terhadap
gagasan-gagasan yang bagus untuk umat manusia, misalnya gagasan tentang
persaudaraan dan perdamaian sejagat, gagasan tentang harmoni manusia dengan
sesamanya dan dengan alam dan dengan semua organisme.
Lepas dari Allah ada atau tidak ada,
setiap doa yang empatetis punya dampak pada diri si pendoa dan pada diri orang yang didoakan.
Saat anda sedang bermasalah, lalu anda berdoa, doa anda bisa membuat anda
tabah. Saat seseorang mendengarkan sebuah doa yang hangat dan intim yang diucapkan untuk dirinya,
orang yang didoakan ini bisa terhibur dan dikuatkan karena ada orang lain yang
peduli kepadanya dan mencintainya, meskipun penyakitnya tidak disembuhkan. Kata
Lao Tzu, “Anda menjadi kuat saat anda tahu ada orang yang sangat mencintai
anda; dan saat anda mencintai orang lain sepenuh hati, anda mendapatkan
keberanian”.
Doa dan juga meditasi adalah media untuk
meneruskan hawa positif ke dalam masyarakat, hawa cinta dan kepedulian. Saya
melakukan keduanya dengan happy. Tidak usahlah orang yang berdoa dan
bermeditasi dikecam juga. Gantilah kecaman dengan berkat.

Sebuah metafora Hindu yang akbar....
Ada baiknya saya ajak anda untuk
memandang gambar di atas dengan lembut. Ini gambar seorang dewa kanak-kanak
akbar dalam Hinduisme. Ini sebuah metafora teologis yang agung dan memukau.
Cari tahu, siapa nama sang dewa kanak-kanak ini, yang sedang mengapung pada
sehelai daun banyan sambil menghisap jempol kaki kanannya di permukaan air
pralaya yang sedang bergolak. Kisah tentang sang dewa kanak-kanak ini sudah
saya baca dengan tekun dan dengan bergairah. Kisahnya menggerakkan hati. Can you prove or disprove empirically this
impressive metaphor? Or should you?
Saya menikmati metafora ini, dan merasa
makin damai dalam batin saat memandangnya lama-lama. Itulah ajaibnya dunia
metafora, tidak diperdebatkan, tapi dinikmati, dihayati dan dirasakan. Ya,
sudah pasti, orang ateis tidak akan mengalami apa yang sedang saya alami ini,
karena hidup mereka, patut disayangkan, telah begitu kering, sampai-sampai
metafora teologis yang bagus pun mereka buang, tendang, hadang, benci dan caci.
Tentu saja anda tidak perlu menjadi
seorang Hindu untuk dapat menimba kekuatan metafora akbar ini; anda cukup
menjadi seorang pecinta dan penafsir lukisan yang cerdas, berwawasan, kreatif
dan lembut hati saja. Tidaklah normal jika orang ateis berpikir bahwa metafora
indah sang dewa kanak-kanak ini akan menjadikan orang kejam dan suka
kekerasan.

Sebuah metafora Kristen-Hindu yang luar
biasa....
Sekarang metafora yang kedua. Pandanglah
gambar kristologis di atas. Yesus Lakshmi bertangan empat, berhati suci dan
bermahkota duri, dan lingkaran halo tanda kesucian melingkari kepalanya. Ini
adalah sebuah metafora kristologis yang hebat, kreatif dan menakjubkan,
menggabung sudut pandang Kristen dan sudut pandang Hindu. Hanya orang ateis
yang meminta metafora kristologis ini dibuktikan secara empiris ada dalam dunia
real. Saya tidak bisa dan tidak perlu membuktikannya, tetapi saya bisa
menikmati metafora ini dalam-dalam. Jika anda bukan ateis, sikap dan pandangan
anda akan lain.
Mari kita nikmati dan rasakan metafora
ini. Yesus selalu mampu mengulurkan tangannya untuk menolong. Tangannya tidak
pernah habis terpakai. Anda yang percaya kepada Yesus, haruslah selalu bisa
tabah dan tenang saat anda sedang mengalami banyak persoalan berat.
Begitu juga, anda tidak perlu menjadi
teis (Kristen atau Hindu) untuk dapat menarik kekuatan metafora hebat ini;
cukup anda menjadi seorang pecinta dan penafsir lukisan yang kreatif, cerdas,
berwawasan dan lembut hati saja. Juga adalah abnormal jika orang ateis
menyatakan bahwa metafora kristologis yang mengherankan ini akan mendorong
orang Kristen (dan umat Hindu) untuk melakukan tindak kekerasan.
Mentalitas
Religiofobik
Dengan menggunakan pisau bedah kritik
ideologis, seorang mahasiswa yang berbasis di Kanada menyimpulkan bahwa para
penggerak “the New Atheism” (antara lain Sam Harris, Christopher Hitchens,
Richard Dawkins) sama sekali bukan para intelektual yang bebas, tetapi sedang
terpenjara sangat kuat dalam penjara Islamofobia atau secara umum dalam penjara
religiofobia, dan mereka adalah budak-budak kapitalisme global dan
kepentingan-kepentingan militerisme dan politik luar negeri Amerika dan
sekutunya./40/
Tentu saja itu adalah suatu serangan keras terhadap mereka; tapi
hemat saya, serangan ini sama sekali tidak mengejutkan, sebab setiap gerakan
keagamaan apapun (entah fundamentalis atau liberal sekalipun) atau setiap
gerakan anti-keagamaan (seperti “the New Atheism”) memang selalu membutuhkan
“sesuatu” untuk tempat mereka mencantolkan diri demi mendapatkan sumber-sumber
dana dan pengaruh politik global. Gerakan keagamaan atau gerakan antikeagamaan
apapun tidak pernah mengapung di udara kosong!
Para ateis yang religiofobik itu selalu
berusaha menemukan kaitan apapun antara berbagai bentuk kejahatan dan kekerasan
dalam dunia ini dengan agama-agama; dus, bagi mereka, agama-agama adalah sumber
satu-satunya bagi segala hal yang jahat, keras, brutal, dan merusak dalam dunia
ini. Pendapat para ateis yang religiofobik ini dengan bagus diperlihatkan
keliru oleh William T. Cavanaugh dalam bukunya The Myth of Religious Violence (terbit 2009).
Menurut Cavanaugh, menuduh agama-agama
sebagai satu-satunya sumber atau penyebab bagi kekerasan dan tindakan-tindakan
teror adalah sebuah mitos berbahaya yang dibangun oleh masyarakat-masyarakat
liberal dan negara-negara sekular. Baginya, negara-negara sekular yang liberal,
yang didukung dan ditiru oleh rakyat negara-negara itu, juga melakukan
kekerasan dan teror dalam nama nilai-nilai liberal yang anti-keagamaan atau
nilai-nilai sekular. Cavanaugh menunjang pendapatnya ini dengan kajian-kajian
sejarah yang luas dan menyeluruh./41/ Jadi, ateisme yang sekular, bagaimanapun
juga, dapat dan harus dilihat sebagai sebuah sumber kekerasan dan aksi-aksi
teror.
Kita semua tentu mengenal pakar
linguistik, filsuf, dan aktivis politis yang sangat ditakuti oleh pemerintah
Amerika Serikat, yang dilahirkan 7 Desember 1928 di Philadelphia, Amerika
Serikat, Noam Chomsky. Meskipun sudah gaek, Chomsky masih terus bersuara tajam
menentang banyak kebijakan politis dan militer pemerintahnya sendiri.
Baru-baru ini, dalam suatu wawancara yang
diadakan oleh Isabelle Kumar, yang diterbitkan online 17 April 2015 dalam
Euronews, Chomsky menyatakan bahwa Amerika Serikat, lewat kampanye drone,
adalah teroris terbesar dunia. Seutuhnya pernyataannya ini saya kutipkan,
“Ingatlah bahwa kampanye teroris terburuk di dalam dunia masa kini niscaya
adalah kampanye yang diorganisir di Washington. Itu adalah kampanye pembunuhan
global [lewat kampanye drone]. Sebelumnya, tidak pernah ada suatu kampanye
teroris yang berskala luas seperti itu.”/42/
Pada 30 April 2015, bersama istri,
saya menonton film yang berjudul Good
Kill di sebuah bioskop di Mall of Indonesia, di kawasan Kelapa Gading,
Jakarta, Indonesia. Film ini (yang diklaim sebagai “true story”) menggambarkan
dengan sangat real apa yang Chomsky sebut kampanye drone sebagai sebuah metode
pembunuhan berskala global yang dijalankan Amerika Serikat.
Sebaliknya, Jason Torpy menyatakan bahwa
“melaksanakan sebuah misi militer yang dipandang ‘adil dan benar’ (‘just’)
dengan menggunakan sebuah drone jauh lebih efisien.... Dalam suatu perang yang
adil dan benar, kita dapat secara moral diwajibkan untuk menggunakan drone
sebagai sebuah pilihan pertama dan yang paling umum, alih-alih memakai
pilot-pilot sebagaimana biasanya atau menurunkan pasukan darat.”/43/
Persoalannya adalah siapa yang harus mendefinisikan atau menentukan kriteria
“perang yang adil dan benar”!
Tetapi adalah juga benar bahwa penggunaan
teknologi drone dan GPS dan rudal dalam memerangi para pelaku teror di manapun
“jauh lebih efisien” sebab tidak menimbulkan korban yang tidak perlu dari
penduduk sipil, dari para pilot pesawat tempur dan dari pasukan darat sejauh
operasi drone ini dilaksanakan dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi, dan
para pelaku teror (individual atau negara) tidak memakai kanak-kanak dan kaum
perempuan sebagai tameng tubuh mereka kemanapun mereka pergi atau di manapun
mereka berada.
Jadi, jika teknologi drone ini ditolak dan dikecam Chomsky,
seyogianya sang filsuf gaek ini mampu memberi alternatif yang sama efisiennya
jika dia sepakat bahwa terorisme adalah suatu kejahatan yang harus diperangi.
Nyatanya, Chomsky tidak kelihatan telah menemukan alternatif ini.
Saya masih harus menyatakan sesuatu yang
pasti akan membuat anda tercengang.
Bagi saya, ada religifobia yang agung, a noble religiophobia, yakni perlawanan,
penentangan dan ketidaksukaan bahkan kemarahan kita terhadap agama-agama yang
dipraktekkan oleh para radikal religius semacam ISIS dan yang sejenis. Ini
adalah Islamofobia yang luhur.
Juga ada religiofilia yang buruk dan jahat,
yakni cinta, dukungan dan keberpihakan orang pada para radikalis religius yang
untuk mencapai tujuan-tujuan politik mereka, mereka melakukan aksi-aksi teror.
Terkait dengan para Muslim ekstrimis religius, ini adalah Islamofilia yang
buruk, jahat dan tidak waras.
Sebaliknya, cinta, dukungan dan
keberpihakan pada agama Islam seperti yang diperjuangkan Gus Dur dkk dan juga
oleh Presiden Joko Widodo, yakni Islam ramah, Islam kasih sayang, Islam
Nusantara yang toleran, inklusif, gembira, dan terbuka pada kemajuan dan
pembaruan, adalah Islamofilia yang luhur dan akbar.
“The
Dawkins Delusion”
Kebencian terhadap agama, atau
religiofobia, sangat kentara menjajah dan mengendalikan pikiran dan hati semua
ateis dalam gerakan New Atheism. Saya melihat akar-akar keadaan mental yang
patologis neurotis ini dapat ditemukan mula-mula dalam pendapat pakar biologi
evolusioner ateis keras kebangsaan Inggris Prof. Richard Dawkins bahwa
agama-agama adalah suatu penyakit yang timbul karena “virus-virus mental” telah
menyerang pikiran manusia.
Virus ini hanya perlu menyebar, menjadi
epidemi, dan memperbodoh orang karena membuat mereka tidak memerlukan bukti
apapun bagi semua kepercayaan keagamaan mereka.
Pendapat Dawkins ini (yang
mengambil analogi dari virus-virus komputer di era akhir 1980-an dan di awal
1990-an) yang tidak ditopang oleh kajian ilmiah apapun yang dapat menemukan
“virus-virus agama” dalam otak manusia, dituangkan Dawkins dalam artikelnya
yang berjudul “Viruses of the Mind”, yang ditulisnya tahun 1991. Katanya, anda
sudah tertular virus pikiran ini sejak anda dilahirkan. Tulisnya,
“Jika anda memiliki suatu
iman/kepercayaan, secara statistikal sangatlah mungkin bahwa iman anda ini
adalah juga iman orangtua anda atau iman kakek dan nenek anda. Tentu
katedral-katedral yang menjulang tinggi, musik-musik gereja yang menggugah
perasaan, kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan yang menggerakkan hati,
sedikit membantu. Tetapi jelaslah bahwa variabel terpenting yang menentukan
agama anda adalah peristiwa kelahiran anda. Keyakinan-keyakinan yang dengan
bergelora anda percayai akan berbeda dan bertentangan sama sekali seandainya
anda dilahirkan di suatu tempat yang berbeda. Jadi, yang ada adalah
epidemiologi, bukan bukti-bukti.”/44/
Christopher Hitchens melanjutkan “meme”
yang sudah disebar Dawkins, yaitu idenya bahwa agama adalah suatu virus pikiran
yang menimbulkan penyakit mental pada manusia. Bagi Hitchens, agama bukan hanya
suatu virus, tetapi juga racun. Dalam tayangan pendek di liveleak.com, Hitchens
menegaskan bahwa “agama meracuni segala sesuatu” dan “menginfeksi kita sampai
ke integritas kita yang paling dasar.” “Bagiku, agama itu jahat” dan “aku
bertempur melawan kedunguan yang paling buruk ini!”/45/
Dalam bukunya yang berjudul mengerikan God Is Not Great: How Religion Poisons
Everything (terbit 2007), Hitchens dengan gaya jurnalistik yang serba
semberono berusaha menunjukkan bahwa semua kebiadaban manusia punya hanya satu
sumber, yakni agama. Baginya, agama sedang meracuni segala sesuatu dalam dunia
ini.
Dalam bab dua bukunya ini yang diberi judul “Religion Kills” (hlm. 15-36),
ketika membeberkan sejumlah peristiwa biadab di sejumlah tempat, kota dan
negara, dia menyatakan bahwa semua “kebiadaban itu diinspirasi oleh agama.”
Lalu katanya dengan yakin bahwa “agama meracuni segala sesuatu. Dan sebagai
suatu bahaya juga, agama telah menjadi sebuah ancaman bagi ketahanan kehidupan
manusia.”/46/
Dalam seluruh buku God Is Not Great, jelas sekali Hitchens mengumbar habis
ketidaksenangan dan kebenciannya terhadap agama. Dia sama sekali tidak bisa
toleran terhadap orang-orang beragama. Dia banyak menggambarkan dan menilai
agama-agama sesuai dengan ketidaksenangan dan permusuhannya itu. Dia sebetulnya
hanya membangun dan mempertahankan Straw Man Fallacy: berperang dengan
ide-idenya sendiri yang dibangunnya sendiri tentang agama-agama.
Satu contoh saja. Dia menilai
kepercayaan keagamaan terhadap sang Pencipta yang telah menciptakan manusia
lalu memelihara dan mempedulikan mereka, serta memberi mereka petunjuk-petunjuk
tentang bagaimana hidup dengan benar, adalah suatu kepercayaan yang “tidak
membuat para penganutnya berbahagia” (hlm. 15-16).
Dari mana Hitchens tahu hal itu? Tidak
ada sebuah survei global tentang ini yang sudah dilakukannya. Sebaliknya, saya
puluhan tahun telah melihat dengan mata sendiri bahwa sangat banyak orang yang
berbahagia karena beragama, dan menjadi stres ketika menjauh dari agama.
Di
lain pihak, para neurosaintis sudah menemukan sekaligus fungsi positif dan
fungsi negatif agama-agama bagi kehidupan mental manusia. Lobus frontalis dan
anterior cingulate serta striatum dalam organ otak kita memproduksi agama ramah dan cerdas;
sebaliknya, amygdala dalam sistim limbik otak kita menciptakan agama amarah dan
bodoh!
Tentang etika, Hitchens membuat sebuah
pernyataan yang, pada satu sisi, kelihatan hebat, tetapi, pada sisi lainnya,
sangat kerdil. Tulisnya,
“Kami [para ateis] percaya dengan pasti
bahwa suatu kehidupan yang etis dapat dijalani tanpa agama…. Hal yang lebih
penting dari semua hal lainnya, mungkin, adalah bahwa kami para kafir tidak
memerlukan mekanisme hadiah atau ganjaran apapun…. Kami para ateis tidak
memerlukan para imam, atau hierarki apapun di atas mereka, untuk menjadi para
polisi yang akan mengawasi doktrin-doktrin kami. Kami jijik terhadap
kurban-kurban dan upacara-upacara keagamaan, begitu juga terhadap relik-relik
dan penyembahan terhadap gambar-gambar atau objek-objek apapun (bahkan termasuk
… kitab-kitab yang dijilid). Bagi kami tidak ada tempat di muka Bumi yang
lebih, atau dapat lebih, ‘suci’ dibandingkan tempat-tempat lainnya.” (hlm.
6)
Ya, semua orang tahu, etika atau akhlak
atau moralitas bersumber tidak hanya pada kitab-kitab suci atau hanya pada
ajaran-ajaran agama.
Banyak hal dalam alam ini yang bisa memberi manusia
petunjuk-petunjuk tentang kearifan moral. Dari kawanan semut cilik kita,
manusia, dapat belajar bagaimana membangun pergaulan sosial dan mempersiapkan
masa depan. Dari kawanan lebah yang sedang menerjang, manusia zaman kuno belajar tentang teknik menyerang musuh.
Tentu saja, ilmu pengetahuan, seperti sudah saya beberkan dalam
sebuah tulisan saya yang lain yang berjudul Sciences and Values,/47/ memberi kita banyak nilai kehidupan yang
agung.
Tetapi yang saya lihat sebagai suatu
persoalan besar pada “etika sekular” yang dianut Hitchens adalah etikanya ini
tidak menjadikannya seorang manusia ateis yang toleran. Etika sosial sekular
Hitchens sangat anti-toleransi, sama sepenuhnya dengan tuduhannya yang jauh
dari kenyataan yang lebih umum bahwa agama-agama tidak akan mungkin membangun
“koeksistensi di antara kepercayaan-kepercayaan yang berbeda.” (hlm. 17)
Bukunya God Is Not Great dengan jelas juga memperlihatkan bahwa
religiofobia yang menjajah dan mengendalikan Hitchens bisa ditemukan
akar-akarnya dalam kehidupannya di saat dia remaja, berumur sembilan tahun,
ketika sedang bersekolah di Dartmoor, Inggris.
Dia waktu itu mempunyai seorang
guru perempuan setengah baya, yang mengajar ilmu alam dan juga kitab suci
Kristen. Nama sang guru Jean Watts. Tentang Nyonya Watts, meskipun Hitchens
mengakuinya penyabar, dengan sangat keras Hichens, pada sisi lain, menulis
begini:
“Jika Setan telah memilihnya untuk
mencobai aku supaya aku berbuat salah, dia jauh lebih cerdik dibandingkan sang
ular yang berakal licik di Taman Eden. Dia tidak pernah membentak keras atau
mengancam dengan kekerasan…. Namun, sejujurnya aku merasa jijik dengan apa yang
dia telah ajarkan. Sendal kecilku yang bertali, yang mengikat pergelangan
kakiku, menjadi tertekuk saat aku dibuat jengkel olehnya.” (hlm.2)
Itukah etika sekular seorang ateis
Hitchens, yang sama sekali tidak bisa berterimakasih kepada gurunya yang
mendidiknya semasa remaja? Remaja Hitchens melihat dirinya korban indoktrinasi
sang guru. Tidak ada hal yang baik apapun pada sang guru, yang olehnya dengan
sangat kejam dipandangnya sebagai kaki tangan Setan. Mentalitas sebagai korban
inilah yang membuat Hitchens terus membenci dan menyerang agama-agama hingga
dia dewasa bahkan hingga dia wafat (15 Desember 2011; lahir 13 April 1949).
Buku God Is Not Great sesungguhnya adalah sebuah litani panjang kemarahannya
terhadap segala hal yang berkaitan dengan agama-agama. Hitchens memang patut
dikasihani, bukan dikagumi. Perkenankan saya, tanpa seizin Hitchens dari
makamnya, mengganti judul bukunya menjadi Hitchens
Is Not Great.
Ross Douthat telah menulis sebuah resensi
yang bagus atas buku Hitchens ini./48/ Douthat menyatakan bahwa “mungkin orang
harus bersyukur ketika Hitchens mengutip pakar-pakar yang otoritatif, berhubung
prosanya yang licik terus-menerus terburu-buru bermuara pada ejekan dan
menghindari argumen-argumen, dan kadangkala fakta-fakta juga dilewati begitu
saja.”
Douthat dengan jeli melihat bahwa Hitchens sangat tidak seimbang dalam
menafsirkan fakta-fakta. Oleh Hitchens, semua kebiadaban manusia dipandang
bersumber hanya pada agama. Douthat menulis,
“Setiap buku memiliki
kesalahan-kesalahan, tentu saja, tetapi sedikit buku sangat tendensius dalam
penafsiran atas fakta-fakta yang seyogianya disajikan dengan benar oleh para
penulisnya.
Seperti seorang Kristen yang sangat fanatik yang mencari hal apapun
dalam teks-teks pagan yang dapat ditafsirkan sebagai pertanda kedatangan sang
Kristus, Hitchens menjelajahi catatan-catatan tentang tindakan-tindakan biadab
manusia hanya untuk menemukan petunjuk apapun bahwa tindakan-tindakan ini telah
dimotivasi oleh kesalehan, ramalan kenabian, atau dogma. Jika ada
korban-korban, dan jika ada tirani yang mapan, maka semua ini―jika anda percaya
pada sejarah kekerasan yang berpusat pada Allah, yang diyakini
Hitchens―bagaimanapun juga, menurutnya, berakar pada agama.
Jelas, pendapat
Hitchens ini sulit diterima, berhubung jika kita membaca sejarah sepintas saja,
kita akan menemukan bahwa kesetiaan kepada kaum kerabat seseorang, suku bangsa seseorang,
dan negara seseorang―belum lagi kalau berbagai ideologi politis disebut―telah
setidaknya menyulut sangat banyak kekerasan, sama banyak dengan yang
ditimbulkan oleh perdebatan teologis apapun.”
Pendapat-pendapat Dawkins dan Hitchens
(dan juga Daniel Dennett) diambilalih dan dijabarkan dengan lebih terperinci
dan programatis oleh Darrel W. Ray, yang telah menulis buku yang berjudul The God Virus: How Religion Infects Our
Lives and Culture./49/
Buku itu memperlihatkan bagaimana berbagai jenis
agama, sebagai “virus-virus Allah” (“the God viruses”), dengan pas menempati
dunia alamiah; bagaimana agama-agama berfungsi di dalam pikiran-pikiran dan
kebudayaan-kebudayaan kita; dan betapa serupanya agama-agama dengan
kuman-kuman, parasit-parasit, dan virus-virus yang mendiami tubuh manusia (hlm.
13).
Kata Ray, agama-agama sebagai virus-virus
Allah, telah “menginfeksi otak manusia dan mengubah kemampuan berpikir kritis.
Virus ini masih memberi kemungkinan untuk orang bersikap kritis terhadap
agama-agama orang lain, tetapi pemikiran kritis menjadi lumpuh ketika
berhadapan dengan agama sendiri.” (hlm. 19). Agama-agama sebagai virus-virus
Allah tidak hanya masuk ke dalam kebudayaan-kebudayaan, tetapi juga ke dalam
ekonomi dan politik. Ray menyatakan bahwa
“Virus Allah menginfeksi suatu kebudayaan
sama seperti virus ini menginfeksi individu-individu. Sementara bukan suatu
entitas ekonomi atau suatu entitas politis, virus Allah akan dan dapat
menggunakan jalur-jalur ekonomi dan politik untuk menyebar ke mana-mana….
Politik dan ekonomi hanyalah sarana-sarana untuk virus ini menyebar.” (hlm. 82)
Uuups, jika demikian halnya, maka, hemat
saya, bukan hanya para agamawan yang harus dibebaskan dari virus Allah, tetapi
semua pelaku kebudayaan, para pegiat ekonomi dan juga para politikus. Para
aktivis sekular, dengan demikian, sama sekali tidak berbeda dari para aktivis
keagamaan: dalam otak mereka sudah bercokol virus-virus Allah. Di atas telah
saya ungkapkan bahwa dalam otak Dawkins dan dalam alam bawah sadarnya (yang tentu
saja tersimpan dalam otak juga) virus Allah masih berdiam dengan anteng.
Untuk bisa bertahan dan terus tersebar,
virus-virus Allah terus bermutasi dan membangun strategi-strategi. Ray menulis,
“Virus Allah membangun strategi-strategi
untuk bisa bertahan hidup dan tersebar. Virus-virus yang lebih berkembang
memiliki benteng-benteng pertahanan diri yang lebih efektif dibandingkan
virus-virus lainnya. Alhasil, virus-virus yang lebih berkembang ini akhirnya
menguasai virus-virus lain yang kurang berkembang. Virus-virus Allah selalu
bermutasi, dan virus-virus jenis baru keluar, meninggalkan bak penampungan,
setiap saat.” (hlm. 56).
Karena semua jenis kuman, parasit, bakteri dan
virus umumnya menimbulkan penyakit, begitu juga halnya dengan agama-agama sebagai
virus-virus Allah. Untuk hidup sehat, manusia harus hidup bebas dari virus.
Virus-virus harus tidak dibiarkan menyerang manusia. Manusia harus hidup
terbebas dari virus-virus.
Kepada para ateis atau non-teis, Ray menyatakan
bahwa “bisnis kita bukanlah mengonversi orang ke dalam suatu agama, tetapi kita
sungguh-sungguh ingin hidup bebas dari virus” (hlm. 173). Alias, menjadikan
dunia tanpa agama apapun, kecuali agama ateisme.
Oleh Ray, virus-virus Allah juga
digambarkan sebagai rantai-rantai yang membelenggu manusia. Tulisnya, “Buku
saya ini membahas langkah-langkah yang perlu diambil untuk menghancurkan
rantai-rantai itu, lewat penemuan bagaimana agama-agama dengan licik bekerja di
dalam kebudayaan-kebudayaan dan pikiran-pikiran kita dan dengan mempelajari
cara-cara untuk hidup tanpa rantai-rantai itu.” (hlm. 15).
Sementara para ateis dapat hidup bebas
dari virus-virus Allah dan mematahkan belenggu-belenggu virus-virus ini, orang
yang beragama, para teis, kata Ray, sama sekali tidak dapat. Tulisnya,
“Orang-orang yang memeluk agama-agama
tidak dapat membayangkan hidup bebas dari virus. Teror yang mereka rasakan,
telah melumpuhkan mereka sehingga mereka tidak dapat mempertimbangkan cara-cara lain untuk hidup dan menyatakan
keberadaan mereka…. Dunia mereka adalah suatu dunia yang nenakutkan dan
berbahaya, yang dihuni setan-setan, roh-roh jahat, dewa-dewi, iblis, Yehova
atau Allah yang sedang murka yang menuntut pembalasan, dan yang mengancamkan
penghukuman abadi bagi setiap orang yang tidak mengikuti virus yang benar.”
(hlm. 206)
Dalam bab sepuluh yang diberi judul “The
Journey: Living A Virus-Free Life” (hlm. 197 ff), Ray membeberkan
langkah-langkah yang harus dijalankan dalam membebaskan dunia dari virus-virus
Allah, dari agama-agama, dari Allah, para dewa dan setan-setan. Etika atau
moralitas yang disodorkannya juga moralitas yang bebas virus Allah. Setelah
segala bidang kehidupan dapat dibebaskan dari virus-virus agama, dan usaha ini
kini masih belum tiba di tujuannya, akhirnya “masa depan manusia adalah masa
depan yang tidak subur bagi virus-virus Allah.” (hlm. 222).
Kesimpulannya sudah jelas: karena bagi
para pendiri gerakan New Atheism agama-agama adalah virus-virus Allah yang
mematikan pikiran manusia, dan terus sedang meracuni dan menginfeksi segala
sesuatu dalam kehidupan manusia dan dunia ini, maka, tidak ada pilihan lain,
selain agama-agama harus dibenci habis-habisan, dan, jika bisa, perlu dibasmi
untuk menghentikan epideminya. Pola pikir kalangan New Atheists ini saya
namakan The Dawkins Delusion.
Religiofobia lahir dari Delusi Dawkins ini.

Judul buku ini menginspirasi saya untuk
menciptakan frasa “Delusi Dawkins”!
Dengan demikian, religiofobia memang
harus menjadi kodrat mental para New Atheists. Mengerikan! Ya, mengerikan,
karena virus-virus Dawkins dkk dalam gerakan New Atheism juga sedang
menginfeksi dan meracuni banyak orang muda dan segala sesuatu dalam dunia ini.
Karena sudah dikondisikan secara kognitif
untuk menjadi religiofobik, para Ateis Baru yang sedang mengidap Delusi Dawkins
tidak akan bisa lagi melihat agama-agama dari sudut pandang yang lain, bahwa
masih ada banyak kebaikan, kesembuhan, dan pembebasan, yang telah, sedang dan
akan terus diwujudkan oleh para agamawan besar dari berbagai agama yang sudah
mengalami pencerahan akal, kearifan dan budi pekerti.
Agama itu tidak statis,
tetapi dinamis, tidak hanya mendiami museum-museum fosil, tetapi juga sedang aktif
di dalam banyak laboratorium dalam dunia ini.
Memang harus diakui, para agamawan yang
memilih masuk ke laboratorium agama jauh lebih sedikit ketimbang para agamawan
yang betah berdiam dalam museum fosil agama. Kalangan agamawan yang kedua
inilah yang sesungguhnya membuat sebagian dunia terpecah-belah dan dipaksa
masuk kembali ke era prailmiah dan pramodern, ke zaman kebodohan dan kegelapan,
zaman jahiliah.
Karena terkena Delusi Dawkins ini, para
ateis dalam New Atheism hanya bisa mengenakan sebuah kacamata kuda tebal hitam
dalam memandang realitas kehidupan keagamaan dalam dunia ini. Mereka hanya bisa
melihat lurus ke satu arah, hanya ke warna hitam dunia agama-agama, padahal
dalam realitas yang sebenarnya dunia keagamaan itu kaya dengan warna-warni yang
sangat mengesankan, seperti halnya pelangi yang muncul di angkasa sehabis
hujan.
Jika para agamawan membawa agama-agama
mereka ke laboratorium, di sana mereka akan melakukan berbagai usaha keilmuwan
untuk membuat agama mereka masing-masing tetap fungsional dalam dunia modern,
dengan mengonstruksi versi 2.0 atau versi lebih tinggi agama mereka.
Mentalitas
fidofobik
Salah seorang rasul dari nabi ateis
militan Prof. Richard Dawkins membuat sebuah pernyataan di Facebook, begini:
“Jika anda memilih untuk mengabaikan bukti-bukti, maka akhirnya anda akan
mempercayai jawaban yang salah apapun yang hanya untuk sementara saja memenuhi
keinginan anda untuk mengetahui hal yang tidak diketahui.”
Apakah benar ajaran dari para ateis bahwa
kehidupan ini baru patut dijalani kalau segala hal ada buktinya lebih dulu?
Apakah percaya atau beriman itu hanya akan menimbulkan kesalahan? Apakah
kehidupan yang normal dan lancar itu harus tanpa kepercayaan? Bukankah iman dan kepercayaan itu juga produk aktivitas kognitif dalam otak kita?
Jika para ateis menegaskan bahwa hidup normal sehari-hari haruslah didasarkan pada bukti-bukti saja, dan kepercayaan atau belief dan trust tidak diperlukan, maka sesungguhnya itulah mitos dan dongeng terbesar mereka, mitos yang diabsolutkan! Mari kita lihat sekian hal berikut dengan beberapa di antaranya pengulangan dari poin-poin yang sudah saya sebut di atas.
Nyaris kita semua percaya saja bahwa kita
masih akan hidup sepanjang 2016 sehingga kita membuat banyak janji ketemu orang
di tempat-tempat dan waktu-waktu tertentu dalam kurun 2016. Tidak perlu ada
buktinya sekarang tuh. I simply believe
that I will be still alive in 2016 so that...!
Kita percaya saja pesawat terbang yang
karcisnya sudah kita beli, nanti, seminggu lagi, akan aman menerbangkan kita ke
tempat tujuan dengan selamat. Kita tidak menuntut buktinya sekarang tuh. Jika
kita menuntut buktinya detik ini juga, kita akan dibilang gila oleh petugas
Garuda. I simply believe that the plane
will safely fly us to our destination...!
Kita sering terima dan percaya saja pembayaran
dengan giro jangka tiga bulan dalam transaksi bisnis. Tak perlu ada buktinya
sekarang tuh. Malah kalau tidak ada unsur kepercayaan, bisnis kita mungkin
sekali sulit maju dan tidak akan berkembang. I simply believe that this cheque is not a blank cheque...!
Kita percaya begitu saja bahwa Matahari
besok pagi akan terbit lagi dan sorenya akan terbenam lagi. Tanpa perlu
buktinya detik ini juga tuh. Jika anda tidak percaya, ya minta saja NASA
menerbangkan anda dengan kecepatan cahaya menuju Matahari, lalu sesampainya di
sana sang Surya anda pegang kuat-kuat lalu menggiringnya untuk terbit lagi
besok pagi. I simply believe that
tomorrow morning the Sun will rise again...!
Bahwa kemarin-kemarin sang Matahari telah
terbit, dus berarti besok dan seterusnya juga pasti akan terbit seperti
biasanya, bukanlah sebuah bukti, melainkan hanya kepercayaan anda saja bahwa
masa lalu akan mengulang dirinya di masa depan dengan cara yang sama, karena
hukum-hukum fisika yang bekerja masih sama. Ini yang dinamakan determinisme
saintifik.
Tetapi oleh mekanika quantum determinisme
saintifik kini dibuat tidak mutlak lagi. Di tahun 1927 Werner Heisenberg
mengajukan apa yang dinamakan Prinsip Ketidakpastian Heisenberg, yang
menyatakan bahwa perilaku partikel-pertikel subatomik dapat diprediksi hanya
berdasarkan peringkat probabilitas, tidak bisa dalam peringkat
kepastian-kepastian mutlak.
Dalam mekanika quantum, pada saat seorang melakukan
pengamatan, tindakan mengamati ini sendiri mengubah objek-objek partikel yang
sedang diamati ketika Konstanta Planck (“h”) kecil.
Jadi, akan selalu ada
relasi saling pengaruh antara objek-objek fisika yang diamati, sang fisikawan
yang sedang mengamati, dan bagian-bagian lain jagat raya.
Selain itu, mungkin saja terjadi, satu
atau dua jam di depan ini sang Matahari kita tiba-tiba saja dilenyapkan oleh
sejumlah besar pasukan alien-alien supercerdas dengan teknologi perang mereka
yang kedahsyatannya tidak bisa kita bayangkan.
Jadi, bahwa sang Matahari akan
terbit lagi besok pagi, betul-betul hanya kepercayaan kita, kepercayaan yang
berpeluang besar untuk terpenuhi.
Sebagai suami kita percaya begitu saja
pada istri kita untuk pergi ke mana mereka suka tanpa memaksa mereka memakai
sehelai celana dalam besi yang digembok. Jika anda memaksa istri anda memakai
sehelai celana dalam besi yang anda gembok, semua orang akan menyimpulkan bahwa
anda punya masalah mental yang berat. I
simply believe that my wife/husband is forever faithful to me so that it is
unnecessary for me to...!
Sebagai istri kita percaya saja pada
suami kita untuk mereka pergi ke manapun mereka suka tanpa memaksa mereka
memakai sehelai celana dalam besi yang digembok. Jika anda menggembok alat
vital suami anda, pasti anda sedang sakit mental berat.
Kita yang sudah berumahtangga lama, tahu
bahwa syarat utama sebuah hubungan asmara bisa langgeng antara pria dan wanita
yang sedang berpacaran bukanlah bukti cinta mitra sekarang juga (misalnya,
sedia bersetubuh), tetapi kewajiban kedua pihak untuk membangun kepercayaan dan
kesetiaan timbal balik. Mutual
trust/faithfulness between a man and a woman falling in love one another is the
“sine qua non” for ...!
Kita percaya saja berita telpon gelap
bahwa ada sebuah bom yang siap meledak di dalam gedung, lalu kita memerintahkan
para petugas satpam untuk menyisir setiap jengkal jalan-jalan dan sudut-sudut
dalam semua ruangan. The manager simply
believes that the bomb threat delivered by the unknown phone call is very
serious that he....
Kanak-kanak juga percaya begitu saja
bahwa sebotol susu yang diberi ke mereka oleh ibu mereka tidak berisi racun.
Mereka langsung sedot tuh susu dalam botol, tanpa ragu. Children simply believe that their mothers always give them milk, not
poison, in the bottles to suck....
Nyaris semua suami percaya begitu saja
bahwa bayi yang baru dilahirkan istri mereka adalah anak mereka sendiri, bukan
anak pria tetangga. Tidak ada tuh dalam kondisi normal suami meminta DNA bayi
yang baru dilahirkan istrinya dites. All
good husbands simply believe that the babies just born by their wives are their
genuine babies so that....
Anda dapat mendaftarkan masih banyak lagi
contoh yang menunjukkan bahwa dalam kehidupan normal, kita juga kerap percaya
saja, tanpa minta bukti. Kepercayaan adalah bagian normal dari kehidupan normal
kita sehari-hari.
Hidup anda menjadi abnormal, susah, berat, sesak, dan tak akan jalan, kalau
untuk segala hal anda menuntut pembuktian langsung saat ini dan di tempat ini
juga.
Kemampuan to believe and to trust sudah ada dalam otak kita sendiri.
Jadi, kenapa harus dibuang atas perintah ateisme bodoh?
Orang ateis memang tak normal, dan hidup
mereka tak akan jalan, kalau untuk segala hal mereka menuntut pembuktian
empiris dulu, baru setelah itu mereka bergerak.
Saya membayangkan, jika para
ateis mencoba hidup dengan menolak semua bentuk kepercayaan yang sudah saya
berikan contoh-contohnya dalam tulisan ini, jujur saja, mereka tidak akan bisa
hidup dalam dunia ini. Mereka harus tinggal di sebuah planet lain yang masih
kosong sama sekali, mungkin planet Mars cocok. Mereka menderita bukan hanya
penyakit mental kebencian mendidih terhadap agama-agama (yang dinamakan
religiofobia), tetapi juga menderita kebencian mendidih terhadap semua bentuk
kepercayaan (Latin: fides), yang saya
namakan fidofobia.
Oh ya, sejauh orang ateis keras sudah tidak bisa percaya
pada apapun di luar diri mereka (dan mungkin juga pada diri mereka sendiri),
mereka terkena sebuah patologi mental lain yang sudah kita kenal, yakni
paranoia.
Selain itu, para ateis sok bermental
ilmiah, padahal para ilmuwan sendiri hidup normal juga dengan acap kali hanya
percaya saja dalam kehidupan sehari-hari mereka di luar laboratorium. Pada
rak-rak buku-buku mereka, banyak tuh berjejer novel-novel dan fiksi-fiksi,
bahkan juga kitab-kitab suci.
Kita umumnya hidup lebih banyak di dunia
sehari-hari yang real yang mengharuskan kita kerap memakai kepercayaan saja
sehingga kehidupan kita berjalan dengan baik, normal, lancar, gembira dan
relaks.
Bukti-bukti itu bukan hal sepele, tetapi
penting dan mendasar, khususnya kalau kita masuk ke dunia sains, juga ke dunia
hukum. Tetapi kehidupan normal sehari-hari juga membutuhkan banyak kepercayaan.
Kepercayaan itu penting, bahkan mendasar, dan bukan hal yang sepele. Dalam
banyak situasi, kita kerap melangkah hanya dengan kepercayaan.
Saya ulangi. Saya, dan tentu anda juga,
hingga wafat nanti, hanya percaya saja bahwa putra dan putri saya yang sekarang
sudah besar adalah darah daging saya sendiri, bukan darah daging seorang pria
lain, tanpa perlu saya buktikan lewat tes DNA. Ini normal, bukan?
Mungkin anda yang ateis, setelah membaca
paragraf di atas, langsung berpikir untuk segera menguji DNA anak-anak anda
untuk mendapatkan bukti-bukti apakah mereka betul-betul keturunan murni anda
sendiri. Ok, itu bagus. Buktikan saja, dan kita akan bisa melihat bersama fakta
ini: rumah tangga anda akan pada waktunya hancur berantakan. Tak percaya? Ya,
buktikan saja. Bukankah anda memang sudah terobsesi pada bukti?
Saya ulangi: Kita hidup normal tidak
hanya berdasar bukti, tapi juga banyak kali hanya dengan berdasar kepercayaan
saja. Kepercayaan itu penting. Kepercayaan itu agung. Orang yang bisa percaya,
itu tanda orang itu punya kepercayaan diri yang besar. Orang itu PD!
Jadi, salah jika para ateis mengharuskan
anda hidup dengan mengutamakan bukti empiris sejalan dengan metode sains. Tak
seluruh dunia ini laboratorium. Kalau dunia ini seluruhnya laboratorium sains,
di mana Dunia Fantasi harus dibangun? Di mana Disneyland harus didirikan? Di
mana Six Flags harus dikonstruksi? Di mana Rumah Hantu Jepang harus dibuat?
Dengan demikian, tidak ada yang salah
jika anda percaya pada Tuhan, normal saja, sebab kepercayaan adalah bagian dari
kehidupan normal kita. Tanpa kepercayaan, hidup anda mungkin sekali akan sarat
dengan stres dan depresi.

Hidup hanya berdasar bukti-bukti!
Oooh,... malangnya!
Orang ateis itu ibarat orang yang
sepanjang hari membawa sebuah kaca pembesar untuk menemukan bukti-bukti,
sekecil apapun, di jalan-jalan yang dilewati. Kening mereka terus berkernyit.
Jantung terus berdebar kencang. Tekanan darah mereka tinggi. Mata mereka kerap
berkunang-kunang.
Padahal orang lain di sekitar, terus melangkah dengan riang
gembira, lompat-lompatan, bercanda, bermain, tertawa, mulut mengunyah permen
karet, sambil saling mendongeng. Sebagian mereka terus berjalan, dengan tertawa
senang, menuju sebuah gedung bioskop, membeli karcis, lalu masuk ke ruang
pertunjukan, menonton kisah sosok fiktif Doraemon atau Kungfu Panda selama dua
jam. Hati gembira, pikiran segar, ketika mereka ramai-ramai keluar,
meninggalkan gedung bioskop.
Dunia pun ikut tertawa, bahagia. Jangkrik di
rerumputan pun ikut bersenandung riang. Semut-semut kecil pun menari lincah
kian kemari. Kura-kura pun ikut meramaikan kehidupan dengan mereka mengadakan
perlombaan lari cepat!
Jika karena anda percaya dengan tulus
kepada Tuhan anda, lalu anda dengan positif berdoa kepadanya, doa anda ini akan
berpengaruh positif pada hati dan pikiran anda, lepas dari soal apakah doa ini
akan terkabul atau tidak. Doa itu adalah percakapan akrab antara anda dan Tuhan
anda sebagai sang orangtua anda yang mencintai anda dan anda cintai. Yang
menarik dari setiap percakapan adalah prosesnya.
Tentu ada kepercayaan keagamaan yang bisa
tak baik atau bisa salah, sama seperti ada teori sains dan teknologi yang bisa
tidak baik atau bisa salah ketika diaplikasikan.
Teknik meng-edit DNA (yang
dinamakan teknik CRISPR-Cas9) semasa suatu organisme masih sebagai janin,
misalnya, yang bisa diarahkan untuk menghasilkan ras manusia eugenik, jika
betul-betul dijalankan dengan meluas, akan menimbulkan masalah etis dan politis
yang sangat berat dan rumit.
Kepercayaan kepada Tuhan yang menimbulkan
fanatisme dan radikalisme, jelas kepercayaan yang buruk. Ada teologi yang
bagus, dan ada juga teologi yang buruk. Ada teologi yang membangun dunia dan
peradaban, ada juga teologi yang merusak dan memunahkan dunia, kehidupan dan
peradaban. Ada teologi yang baik, tapi ada juga teologi yang jahat, keji dan
brutal.
Jadi, harapan saya, kalau anda mau
percaya atau beriman pada Allah yang anda percayai, ya berimanlah dengan agung,
yang menghasilkan adikarya dan kebajikan besar. Tunjukkan kepada para ateis,
hidup beriman keagamaan anda ceria, membahagiakan, relaks, menenteramkan,
membawa kedamaian, menyehatkan dan menghasilkan karya dan kebajikan besar.
Richard Dawkins dkk dalam gerakan New
Atheism memandang agama itu virus yang menyerang dan merusak pikiran dan segala
sesuatu dalam dunia ini. “The Dawkins Delusion”, itulah sebutan yang saya
berikan ke kepercayaan dan pola pikir para New Atheists itu. Tunjukkan bahwa
mereka salah besar dan memalukan, lewat iman anda yang akbar kepada Tuhan anda.
Tunjukkan kepada para Ateis Baru yang
sedang mengidap Delusi Dawkins bahwa agama anda juga punya power untuk merawat,
menguatkan, menyembuhkan dan menyehatkan dunia ini, dan sama sekali bukan
virus-virus yang harus dibasmi Dawkins dkk.
“Cherry-picking”
Membuang kueh mangkok ke dalam tong
sampah, lalu memilih dan membeli kueh lapis, itu ibarat menjadi ateis. Sangat
gampang! Tetapi, mengolah kembali kueh mangkok, lalu menjadikannya kueh mangkok
versi 2.0, itu sangat sulit. Inilah langkah para agamawan progresif dan liberal
dalam dunia agama-agama. Mereka dengan sadar dan cerdas menolak menjadi ateis.
Kueh mangkok aneka warna
Di dunia Muslim Indonesia, Jaringan Islam
Liberal (JIL) melangkah ke situ: mengolah kembali kueh mangkok mereka untuk
menjadi kueh mangkok versi 2.0 yang diharapkan lezat dimakan dan menyehatkan.
Kalau diperlukan, ya mereka juga membuat kueh-kueh mangkok versi 2.0 yang
warna-warni. Ini perlu keberanian, ketekunan, keuletan, komitmen, kecerdasan,
ilmu pengetahuan, perubahan perspektif, pengorbanan, dan waktu yang
panjang.
“Cherry-picking”, yakni memilah-milah
berbagai unsur, lalu mengambil unsur-unsur yang terbaik dan terbagus untuk
digunakan, adalah hal yang lumrah dalam nyaris semua bidang kehidupan ini. Jika
anda menolak cherry-picking, pilihannya adalah menjatuhkan sebuah pilihan
dengan membuta, dungu, dogol, tidak arif, dan tidak cerdas.
Anda bodoh, semberono dan
dungu jika anda tidak memilah-milah buah cherry, lalu mengambil hanya buah-buah
yang bagus dan sehat. Tanpa cherry-picking, anda menjadi tolol, tidak cerdas, gegabah, tidak arif, dan berkacamata kuda tebal hitam, yang tidak memungkinkan anda
memandang dan menemukan banyak warna dan alternatif lain yang diberikan dunia
ini kepada anda.
Jika anda mau mendapatkan calon
suami/istri yang baik, setia, cerdas dan penuh tanggungjawab, ya anda harus
melakukan berulangkali cherry-picking dari antara orang-orang yang menjadi
teman-teman terdekat anda. Memilih pekerjaan dan profesi, juga cherry-picking.
Dalam dunia sains, kita pun semua memilih-milih, mana teori yang bisa diandalkan,
dan mana yang sudah tidak bisa.
Tentu ada hal-hal kodrati yang tidak
memungkinkan anda melakukan cherry-picking, misalnya anda tidak bisa
memilih-milih apakah anda terlahir sebagai lelaki, perempuan, gay, lesbian atau
yang lainnya. Anda juga sebelum lahir tidak bisa cherry-picking siapa yang akan
menjadi orangtua anda, kebangsaan anda, negara anda, dan seterusnya.
Nah, orang ateis biasa menuduh: Tuh,
lihat, orang beragama! Mereka bisanya cuma cherry-picking! Tidak mau melihat
fakta real agama mereka sendiri yang penuh kekerasan! Bisanya cuma
cherry-picking teks-teks kitab suci untuk memperlihatkan sisi-sisi baik
kitab-kitab suci, sementara teks-teks keras di dalam kitab-kitab suci mereka,
mereka tidak mau pilih dan tidak mau perhatikan.
Loh, jika itu yang dilakukan para
agamawan yang moderat, progresif dan liberal, itu artinya mereka sedang
berusaha beragama dengan cerdas, jeli, relevan, banyak pertimbangan, dan
terbuka pada pilihan-pilihan lain dalam beragama. Mereka sudah melepaskan kaca
mata kuda hitam tebal mereka.
Nah, orang ateis juga sama: mereka
melakukan cherry-picking atas hanya teks-teks kekerasan dalam kitab-kitab suci
dan tradisi-tradisi keagamaan lainnya. Lalu teks-teks keras ini mereka serang
dengan barbar dan brutal. Karena cherry-picking yang sempit dan picik, orang
ateis tidak berhasil melihat ada sangat banyak teks lain dalam setiap kitab
suci yang agung, bagus, indah, menyejukkan, mendewasakan, memperdamaikan!
Karena cherry-picking, para ateis hanya menonjol-nonjolkan dan menyoroti
sosok-sosok agamawan yang memang sosok-sosok radikal, militan, fundamentalis,
ekstrimis, teroris.
Kenapa? Ya, karena adanya teks-teks
keagamaan yang agung dan indah ini tidak sejalan dengan konsepsi ateistik
mereka bahwa semua agama itu kebodohan, ketololan, dan kekerasan! Virus yang
menginfeksi segala sesuatu!
Ya, karena adanya sosok-sosok agamawan besar dan
mulia pengubah sejarah dunia dan yang hidup di masa kini tidak sesuai dengan
konsepsi ateistik mereka bahwa agama-agama hanya bisa memproduksi para tiran,
para bigot, para penyiksa, para pembunuh, para teroris.
Pada pihak lain, mereka
juga tidak mampu melihat bahwa ada sangat banyak bigot ateis yang radikal,
esktrimis, dan militan dewasa ini.
Para ateis yang berkacamata kuda hitam
tebal itu, karena cherry-picking, melihat agama-agama hanya dalam sosok-sosok
seperti mendiang Osama bin Laden, mendiang Amrozi dkk, ISIS, tetapi mereka gagal
menemukan agama-agama cinta dalam diri sosok-sosok agung seperti mendiang
Mahatma Gandhi, mendiang Martin Luther King, Jr., mendiang Abdurrahman Wahid,
sosok besar Dalai Lama XIV, dan masih banyak lagi.
Kenapa mereka bisa gagal? Ya
karena mereka mempraktekkan cherry-picking yang dungu dan tidak cerdas,
ditambah karena mereka sedang memakai kaca mata kuda tebal.
“Backfire
effect”
Tetapi siapapun anda, entah teis atau
ateis atau agnostik, yang dibutuhkan dunia bukanlah ideologi-ideologi tetapi
cinta kasih. Lewat banyak perbuatan cinta kasih, berbagai penderitaan dunia
akan dapat kita atasi, bersama-sama, bahu-membahu.
Cinta kasih yang dinafasi kecerdasan
akan mempersatukan umat manusia; tetapi ideologi-ideologi dunia sebagai
sistem-sistem pemikiran (khususnya yang diabsolutkan dan ditunggalkan) telah
terbukti memecah belah umat manusia, sebagaimana telah dikatakan filsuf dan
guru spiritual dari India, Jiddu Krishnamurti (1895-1986), demikian:
“Semua ideologi itu idiot, entah ideologi
keagamaan atau ideologi politis, berhubung setiap ideologi itu adalah sebuah
pemikiran konseptual, kata-kata konseptual, yang, sangat patut disesalkan,
telah memecah-belah umat manusia.”/50/
Jika anda dengan jujur menemukan diri
anda sedang terkurung dalam sangkar ideologi ateisme yang religiofobik dan
fidofobik, saya dorong anda untuk segera membebaskan diri anda.
Membebaskan
diri dari sangkar ideologi ateisme yang mengurung anda dengan sangat kuat,
ingatlah, adalah juga membebaskan diri anda dari sangkar psikologi anda, sebab
psikologi anda adalah juga sumber ateologi anda, sama halnya dengan psikologi
seorang teis adalah juga sumber teologinya.

Remukkan sangkarmu!
Saya yakin, setelah selesai membaca
tulisan saya ini, yang membongkar nyaris habis New Atheism, para ateis yang
mendewakan Dawkins akan mengalami apa yang dinamakan “backfire effect”, atau
efek bumerang: ketimbang merenungi kembali dalam-dalam semua kelemahan,
kesalahan dan kegagalan New Atheism dan fanatisme ateistik mereka, para ateis
dalam kemah New Atheism malah akan makin kuat dan main fanatik meyakini bahwa
New Atheism dan diri mereka seluruhnya benar, sempurna dan tidak bisa salah
dalam hal apapun, lalu mereka akan menyerang balik dengan jauh lebih gencar!
Dus, karena terserang efek bumerang,
mereka akan berjihad kembali dengan makin garang. Efek bumerang ini juga
terjadi pada semua radikalis keagamaan apapun. Dus, dalam hal ini, para ateis
tidak berbeda dari para radikalis religius. Sama-sama “bigoted believers”!
Baik
fanatisme buta teis maupun fanatisme buta ateis, sama sekali bukan bagian dari
solusi atas banyak problem dunia modern, tetapi, malangnya, menjadi bagian
dari problem-problem besar dunia sekarang ini.
Jika para ateis kebangsaan Indonesia,
yang sudah puluhan tahun hidup di tanah Indonesia, begitu saja tunduk pada efek
bumerang, hemat saya mereka adalah para ateis yang berpikiran dangkal.
Mereka
telah dikibuli dengan mudah oleh Richard Dawkins dkk yang hidup bebas
sebebas-bebasnya di negara-negara besar Barat, Inggris, Amerika Serikat,
Australia, dan sebagainya.
Cobalah, suruh Dawkins dkk pindah, berdiam selamanya
di negeri-negeri teokratis Islami kuat. Lalu kita bersama pantau dan lihat,
apakah Dawkins masih akan berani menyerang agama-agama, khususnya Islam, dengan
agresif, vulgar dan barbar seperti yang sekarang ini dia dkk lakukan tak
henti-hentinya.
OK-lah, adalah hak anda untuk tunduk
terhadap kekuatan efek bumerang. Tetapi, saya mau ingatkan satu hal: anda punya
kewajiban sosial sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang majemuk secara
religius untuk hidup toleran dan menghargai umat-umat beragama lain dalam
masyarakat anda.
Anda juga punya kewajiban patriotis untuk membebaskan diri
anda dari imperialisme budaya Amerika atas diri anda lewat hegemoni New Atheism
atas diri anda.
Nasihat saya: ambil dari Amerika, atau negeri Barat lainnya
manapun, hal-hal yang berguna bagi anda dan masyarakat anda; tetapi lepaskan
semua hal yang berbau Amerika yang tidak berguna buat anda dan masyarakat anda.
Kita menolak bukan saja kolonialisme Arab, tetapi juga kolonialisme Amerika,
atas corak keberagamaan kita sebagai bangsa Indonesia.
OK, saya ulangi, kalau anda mau tetap
menjadi ateis, pilihan anda ini tentu saja saya hargai. Saran saya kepada anda
adalah janganlah jadi ateis-ateis yang sedang terpenjara, yang sedang mengidap
sindrom orang yang sedang teraniaya. Jadilah ateis yang bebas, yang menjadi
sosok-sosok agung dunia, seagung, misalnya, Dalai Lama XIV, yang diterima oleh
umumnya semua kalangan dalam dunia ini dan dihormati sebagai tokoh besar
perdamaian.
Bandingkanlah Dalai Lama XIV dengan
Richard Dawkins. Biolog evolusioner yang ateis keras ini hanya populer dan
disanjung dalam gerakan New Atheism, oleh para pengikutnya yang suka memakai
kaca mata kuda; tetapi Dawkins, kita semua tahu, dibenci di mana-mana oleh
kalangan yang beragama bahkan oleh kalangan ateis yang lembut hati dan tidak
agresif.
Ateis
lembut Prof. Peter Higgs
Oleh fisikawan gaek yang juga ateis
lemah-lembut, Peter Higgs, penemu Higgs boson/51/ dan penerima Nobel Sains
belum lama ini (2013), Dawkins dikategorikan sebagai seorang ateis
fundamentalis. Selain menyatakan Dawkins itu seorang ateis fundamentalis, Prof.
Peter Higgs selanjutnya, dalam suatu wawancara dengan koran Spanyol El Mundo, menyatakan hal berikut ini.
“Apa yang sangat sering dilakukan Dawkins
adalah dia mengonsentrasikan serangannya kepada orang fundamentalis. Tetapi
faktanya, ada banyak orang beragama yang tidak fundamentalis. Perkembangan
pemahaman kita atas dunia ini lewat ilmu pengetahuan memang memperlemah
motivasi yang membuat orang menganut agama-agama. Tetapi hal itu tidak sama
dengan mengatakan bahwa agama-agama dan sains tidak sejalan.
Masalahnya
sebetulnya, menurutku, adalah bahwa beberapa dari alasan-alasan tradisional
untuk memeluk agama, yang sudah berusia ribuan tahun, kini sedang dirongrong.
Tetapi keadaan ini tidak mengakhiri segalanya. Siapapun yang menjadi seorang
penganut agama yang yakin tetapi tidak dogmatis dapat tetap terus memegang
kepercayaannya.
Ini berarti, pikirku, anda harus lebih hati-hati dalam
menyikapi seluruh debat sains dan agama ketimbang yang menjadi sikap orang di
masa lalu. Faktanya, ada banyak saintis yang juga para penganut agama. Aku
tidak termasuk salah satu dari antara mereka, ini lebih karena latarbelakang
keluargaku, bukan karena aku menemukan ada kesulitan mendasar dalam
memperdamaikan sains dan agama.”/52/
Saya melihat, sikap dan pendirian Prof.
Higgs inilah seharusnya sikap dan pendirian seorang saintis sejati: toleran,
terbuka, dan tidak menghina atau menyerang agama-agama dan orang-orang
beragama, sekalipun, saya masih melihat, ada kesulitan besar dalam
mempertemukan sains dan agama-agama teistik tradisional. Mengkaji agama-agama
secara ilmiah tidak sama dengan menghina dan mencemooh agama-agama dan
orang-orang beragama. Ini sangat berbeda dari sikap dan pendirian Richard
Dawkins.
Meskipun Dawkins itu seorang pakar
biologi evolusioner, statusnya sebagai saintis (tersohor sekalipun) dirusak
sendiri olehnya dengan sikap dan posisinya sebagai seorang ateis fundamentalis,
yang sangat agresif dan abrasif terhadap dunia agama-agama. Mengapa hal ini bisa
terjadi? Jawabannya mungkin harus ditemukan dalam psikologi Richard Dawkins
sendiri: dia mungkin memiliki kepribadian yang sudah terpecah.
Sangat sukar, atau bahkan mustahil, bagi
saya untuk bisa mendamaikan posisi sebagai seorang saintis dan posisi sebagai
seorang ateis fundamentalis dalam diri satu sosok manusia. Dua posisi ini
berbenturan keras satu sama lain.
Jika seorang saintis itu harus mempertahankan
objektivitas, selama ini faktanya adalah sang ateis fundamentalis Richard
Dawkins sangat jauh dari objektif dalam memandang dan menilai dunia
agama-agama.
Dawkins selama ini memandang dunia agama-agama dengan memakai
sebuah kaca mata kuda tebal hitam, sehingga dia tidak berhasil melihat ada
kawasan-kawasan lain dalam dunia agama-agama yang sama sekali berbeda dari yang
dia bayangkan dan lihat selama ini.
Penutup
Selanjutnya, saya jadi bertanya-tanya,
bagaimana bisa seorang ateis fundamentalis Dawkins mau mengubah dunia ini yang
kini dihuni 7 milyar orang lebih dengan di antaranya 4 milyar orang dewasa yang
beragama? Bagaimana bisa Dawkins membawa perdamaian bagi dunia sementara dia
dibenci di mana-mana di luar kemahnya sendiri.
Tidak berlebihan jika saya
katakan bahwa Dawkins adalah salah seorang yang paling dibenci dalam dunia
sekarang ini di luar kemah New Atheism. Saya membayangkan, seandainya Dawkins
memiliki kualitas personal seperti yang ada pada, misalnya, Dalai Lama XIV,
sangat mungkin sang ateis ini akan jauh lebih berhasil dalam mencerahkan dunia
ketimbang kondisinya sekarang yang disebabkan oleh posisinya sebagai seorang
ateis fundamentalis berkacamata kuda.
Akhirnya, saya ajak anda untuk meresapi
dan merenungi dalam-dalam puisi saya berikut ini, yang saya beri judul
“Remukkan Sangkarmu!” Timbalah kekuatan dan energi dari puisi saya ini, yang
akan memberi anda tenaga untuk meremukkan sangkar apapun yang kini sedang
mengurung anda.
Burung-burung
ingin terbang bebas dan liar
Tapi
manusia jahat menangkapi mereka
Lalu
mengurung mereka dalam sangkar
Akhirnya
matilah mereka karena tekanan jiwa
Angkasa
luas membuat jiwa lapang
Sangkar-sangkar
sempit menekan sukma
Mereka
ingin keluar dari sangkar pengekang
Tapi
mereka tak punya daya dan tenaga
Makanan
dan air disediakan si empunya
Tapi
kebebasan mereka telah direnggut
Selera
makan mereka tak punya
Selera
minum pun telah dibawa air hanyut
Jiwa
dan tubuh makin lemah tersayat
Mata
terus terkatup makin sipit dan rapat
Berdiri
dan berjalan pun tak lagi kuat
Akhirnya
mati teronggok sebagai mayat
Tak
ada madah perkabungan dilantunkan
Si
empunya mengambil bangkai si burung malang
Dibuang
begitu saja ke tong sampah di halaman
Hanya
siul indah si burung masih mengiang
Oh,
oh nasibmu sang burung yang malang!
Pedih,
perih, memilukan hati dan sanubari
Dari
zaman ke zaman terus berulang
Kapankah
engkau jadi raja buat dirimu sendiri?
Wahai
burung-burung, hiburlah dirimu sendiri!
Banyak
manusia malang juga sedang terkurung
Oleh
sangkar-sangkar yang mereka buat sendiri
Sampai
ajal mereka terus terkurung
Uang
mengikat kuat tubuh selamanya
Kekuasaan
mengurung pikiran dan jiwa
Ketamakan
memborgol pikiran bulat-bulat
Keakuan
membui kuat dan rapat
Tapi
kawan, dengarlah ucapanku ini!
Sangkar
terkuat adalah pikiranmu sendiri
Saat
engkau menganggap pikiranmu sudah final
Tidak
bisa lagi selamanya diubah dan disoal
Kau
yang cerdas menjadi pandir dan dungu
Saat
engkau gigih dan ngotot mempercayai
Pikiranmu
tak bisa salah dan tak bisa keliru
Seolah
engkau adalah sang Tuhan sendiri
Padahal
Tuhan itu sendiri sebuah teka-teki besar
Mengundang
orang bersoal dan menduga-duga
Untuk
memecahkan teka-teki itu tanpa gentar
Tawa,
canda dan guyon meramaikan suasana
Temukan
di mana dirimu tersangkar
Hancurkan,
remukkan sangkar itu sekuat tenaga
Keluarlah
dan terbanglah bebas ke angkasa luar
Sekarang!
Karena hidupmu sebentar saja!
by Ioanes Rakhmat
Jakarta, 12 Agustus 2014
N.B. Diperiksa ulang 29 Agustus 2021
Catatan-catatan
/1/ Iain McLean dan Alistair McMillan, Oxford Concise Dictionary of Politics
(Oxford: Oxford University Press, edisi ketiga 2009), hlm. 255.
/2/ Ihwal bagaimana saya mempertahankan
posisi saya sebagai seorang yang berpikir bebas, lihat Ioanes Rakhmat, “Ioanes
Rakhmat’s Honest Testimony”, The
Freethinker Blog, 24 Desember 2011, http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2011/12/ioanes-rakhmats-honest-testimony.html.
/3/ Madah ini dilantunkan Emilia Contessa
dengan sangat masygul dan menggugah; dengarkanlah di
http://youtu.be/P9CRbvJNDSk.
/4/ Tentang hubungan otak manusia dan
spiritualitas (catat: bukan spiritualisme!), telah saya eksplorasi panjang
lebar dalam buku saya, Beragama dalam Era
Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), bab 5 (hlm. 149-182).
Tersedia online pada blog saya, The
Freethinker Blog,
http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2011/11/pengalaman-pengalaman-spiritual.html.
/5/ Selanjutnya, lihat Jonah Lehrer, “The
Forgetting Pill Erases Painful Memories Forever”, WIRED, 17 February 2012, http://www.wired.com/2012/02/ff_forgettingpill/.
/6/ Lihat wawancara dengan Albert
Einstein, “What Life Means to Einstein: An Interview by George Sylvester
Viereck”, The Saturday Evening Post
(26 October 1929), hlm. 113. Naskah Pdf wawancara ini tersedia online http://www.saturdayeveningpost.com/wp-content/uploads/satevepost/what_life_means_to_einstein.pdf.
/7/ Tentang interpenetrasi jagat raya
yang satu ke dalam jagat raya yang lain, lihat Rose Taylor, “Is our universe
merely one of billions? Evidence of the existence of ‘multiverse’ revealed for
the first time by cosmic map”, MailOnline,
19 May 2013, http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-2326869/Is-universe-merely-billions-Evidence-existence-multiverse-revealed-time-cosmic-map.html. Lihat juga Jonathan Leake, “Cosmic cold spots
hint at other universes”, The Australian
News, 19 May 2013, http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-2326869/Is-universe-merely-billions-Evidence-existence-multiverse-revealed-time-cosmic-map.html.
/8/Jeff Cruzan, “The notion of a limit: You've seen it before”, xactly.com, 2016, http://xaktly.com/MathLimits.html.
/9/ Ethan Siegel, “The Three Meanings of E=mc²
, Einstein’s Most Famous Equation”, Forbes Science, 23 January 2018, https://www.forbes.com/sites/startswithabang/2018/01/23/the-three-meanings-of-emc2-einsteins-most-famous-equation.
/10/ Alok Jha, “E=mc²
: Einstein’s equation that gave birth to the atom bomb”, The Guardian, 5 April 2014, https://www.theguardian.com/science/2014/apr/05/einstein-equation-emc2-special-relativity-alok-jha.
/11/ Lihat Richard Webb, “How to think
about... infinity”, NewScientist, 13
December 2014, pada http://www.newscientist.com/article/mg22429990.800?.
/12/ Metafora tentang singa dan ekornya
ini disampaikan Albert Einstein kepada sahabatnya yang bernama Heinrich Zangger
lewat sebuah surat (10 Maret 1914); dikutip oleh Jean Eisenstaedt dalam
bukunya, The Curious History of
Relativity: How Einstein’s Theory of Gravity Was Lost and Found Again
(Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 2006; Terjemahan Inggris
copyright 2006), hlm. 126. Lihat juga Abraham Pais, Subtle Is the Lord:The Science and the Life of Albert Einstein
(Oxford: Oxford University Press, 1982; pengantar baru oleh Sir Roger Penrose,
2005), hlm. 235.
/13/ Lihat Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern, hlm.
149-182.
/14/ Rudolf Otto,
Das Heilige: Über das Irrationale in der Idee des Göttlichen und Sein Verhältnis zum Rationalen (München: C.H. Beck'sche Verlagsbuchhandlung, 1917, cetakan kedua 1936). Terjemahan Inggris oleh John W. Harvey,
The Idea of the Holy: An Inquiry into the
Non-rational Factor in the Idea of the Divine and Its Relation to the Rational (London: Oxford University Press,
1923, 1950; New York, N.Y.: Oxford University Press, 1958, 1959).
/15/ Christopher Hitchens, Go Is Not Great: How Religion Poisons
Everything (New York, N.Y.: Twelve, 2007), hlm. 178 (edisi 2009, hlm. 150).
Idem, “Mommie Dearest―The Pope beatifies Mother Teressa, a fanatic, a
fundamentalist, and a fraud”, Slate.com,
20 October 2003, http://www.slate.com/articles/news_and_politics/fighting_words/2003/10/mommie_dearest.html.
Prinsip epistemologis Hitchens ini sebetulnya terjemahan dari sebuah pepatah
dalam bahasa Latin yang sudah dikenal luas sejak awal abad ke-19, bunyinya
“Quod gratis asseritur, gratis negatur.”
/16/ Marcello Truzzi, “On the
Extraordinary: An Attempt at Clarification”, Zetetic Scholar, vol. 1, no. 1 (1978), hlm. 11.
/17/ Carl Sagan, Cosmos. Encyclopaedia Galactica. 14 December 1980. Episode 12.
Lihat penggalan Cosmos http://youtu.be/mRaXvPQ-ayk (“Carl Sagan: extraordinary claims require
extraordinary evidence”) yang diunggah 6 September 2010.
/18/ Carl Sagan, Broca’s Brain: Reflection of the Romance of Science (New York:
Random House, 1974, 1979), hlm. 365.
/19/ George Sylvester Viereck, Glimpses of the Great (Duckworth, 1930),
hlm. 372-373.
/20/ Sam Harris, Letter to A Christian Nation (New York: Alfred A. Knopf, 2007),
hlm. 51.
/21/ Greta Christina, Why Are You Atheists So Angry?: 99 Things
That Piss Off the Godless (Pitchstone Publishing, 2012).
/22/ Ikuti videonya di
https://youtu.be/yBo7Z_abiLE.
/23/ Jonathan M. Katz, “Chapel Hill
Killer’s Rage Went Beyond Parking Dispute”, The
New York Times, March 3, 2015, http://www.nytimes.com/2015/03/04/us/chapel-hill-muslim-student-shootings-north-carolina.html?.
/24/ Crimesider’s staff, “Man charged
with killing 3 Muslims can face death penalty”, Crimesider, April 6, 2015, http://www.cbsnews.com/news/man-charged-with-killing-3-muslims-can-face-death-penalty/.
/25/ CJ Werleman,The New Atheist Threat: The Dangerous Rise of Secular Extremists
(U.K., Dangerous Little Books, 2015).
/26/ Saya sudah menulis sebuah surat
terbuka kepada Sam Harris terkait kasus Craig Stephen Hicks. Lihat Ioanes
Rakhmat, “A Short Letter to Sam Harris”, The
Freethinker Blog, 20 February 2015, http://ioanesrakhmat.blogspot.co.id/2015/02/a-short-letter-to-sam-harris.html.
/27/ Max Jammer, Einstein and Religion: Physics and Theology (Princeton: Princeton
University Press, 2002), hlm. 97. Lihat juga Walter Isaacson, “Einstein and
Faith”, Time 169: 47, 5 April 2007.
/28/ Walter Isaacson, Einstein: His Life and Universe (New
York: Simon and Schuster, 2008), hlm. 390.
/29/ Prinz Hubertus zu Löwenstein, Towards the Further Shore (London:
Victor Gollancz, 1968), hlm. 156. Lihat juga Walter Isaacson, Einstein: His Life and Universe, hlm.
389. Ronald W. Clark, Einstein: The Life
and Times (New York: World Publishing Company, 1971), hlm. 425. Max Jammer,
Einstein and Religion: Physics and
Theology (Princeton: Princeton University Press, 2002), hlm. 97.
/30/ Andrew Newberg dan Mark Robert
Waldman, How God Changes Your Brain
(New York: Ballantine Books, 2009), hlm. 13.
/31/ Friedrich Nietzsche, Ecce Homo (terjemahan R. J. Hollingdale.
London, dsb.: Penguin Group, 1979; introduksi baru oleh Michael Tanner, 1992),
hlm. 96 (“Why I AM a Destiny”).
/32/ Lihat reportase Meredith
Bennett-Smith, “Kathleen Taylor, Neuroscientist, Says Religious Fundamentalism
Could Be Treated as a Mental Illness”, HuffingtonPost
Religion, 31 May 2013 (updated 6 June 2013), http://www.huffingtonpost.com/2013/05/31/kathleen-taylor-religious-fundamentalism-mental-illness_n_3365896.html.
/33/ Kathleen Taylor, Brainwashing: The Science of Thought Control
(New York, N.Y.: Oxford University Press, 2004; edisi paperback 2006), hlm.
ix-x.
/34/ Lihat reportase Steve Doughty,
“Battle of the professors: Richard Dawkins branded a fundamentalist by expert
behind the ‘God particle’”, MainOnline,
27 December 2012, http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-2253640/Battle-professors-Richard-Dawkins-branded-fundamentalist-expert-God-particle.html.
/35/ J. Anderson Thomson, Jr., and Clare
Aukofer, Why We Believe in God(s): A
Concise Guide to the Science of Faith (Foreword by Richard Dawkins)
(Charlottesville, Virginia: Pitchstone Publishing, 2011), hlm. 37, 39.
/36/ Bahwa New Atheism itu sebuah agama,
lihat kajian sosiologis pendek Ioanes Rakhmat, “Religion of New Atheism”, The Freethinker Blog, 20 Agustus 2015, http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2015/08/religion-of-new-atheism.html.
/37/ Joseph Campbell, Thou Art That: Transforming Religious
Metaphor (Navato, California: New World Library, 2001), hlm. xvi.
/38/ Phil Cousineau, ed., The Hero’s Journey: Joseph Campbell on His
Life and Work (Novato, California: New World Library, 1990, 2003), hlm.
161. Lihat juga film dokumenter Joseph Campbell: A Hero’s Journey (2000).
/39/ Ucapan Niels Bohr ini dikutip oleh
Werner Heisenberg, Physics and Beyond:
Encounters and Conversations. Terjemahan Inggris oleh Arnold J. Pomerans
(New York, N.Y.: Harper and Row, 1971), hlm. 41.
/40/ Luke Savage, “New Atheism, Old
Empire”, Jacobin, 2 December 2014, https://www.jacobinmag.com/2014/12/new-atheism-old-empire/.
/41/ William T. Cavanaugh, The Myth of Religious Violence: Secular
Ideology and the Roots of Modern Conflict (Oxford, N.Y.: Oxford University
Press, 2009).
/42/ Wawancara oleh Isabelle Kumar,
“Chomsky says US is world’s biggest terrorist”, Euronews. The Global Conversation, April 17, 2015, http://www.euronews.com/2015/04/17/chomsky-says-us-is-world-s-biggest-terrorist/.
/43/ Jason Torpy, “To Drone or Not to
Drone”, The Humanist.com, 24
September 2015, http://thehumanist.com/commentary/to-drone-or-not-to-drone.
/44/ Richard Dawkins, “Viruses of the
Mind”, 1991, file pdf, tersedia di http://www.inf.fu-berlin.de/lehre/pmo/eng/Dawkins-MindViruses.pdf.
/45/ Lihat
http://www.liveleak.com/view?i=232_1264478334.
/46/ Christopher Hitchens, God Is Not Great: How Religion Poisons
Everything (New York, Boston: Twelve, Hachette Book Group, 2009; terbit
pertama kali 2007), hlm. 18, 25.
/47/ Tentang sumber-sumber nilai-nilai
moral, lihat Ioanes Rakhmat, “Sciences and Values”, The Freethinker Blog, 17 November 2014, http://ioanesrakhmat.blogspot.co.id/2014/11/sciences-and-values.html.
/48/ Ross Douthat, “Lord Have Mercy: A
Review of God Is Not Great: How Religion Poisons Everything”, Claremont Review of Books (Summer,
2007), http://www.catholiceducation.org/en/controversy/persecution/lord-have-mercy-a-review-of-god-is-not-great-how-religion-poisons-everything.html.
/49/ Darrel W. Ray, The God Virus: How Religion Infects Our Lives and Culture (Bonner
Spring, Kansas: IPC Press, 2009).
/50/ Lihat kuliah Jiddu Krishnamurti yang
diberi judul “You Are the World”, disampaikan di Universitas Brandeis, 18
Oktober 1968, bab 1. Teks dapat diperoleh di
http://www.jkrishnamurti.org/krishnamurti-teachings/print.php?tid=19&chid=68560.
/51/ Tentang Higgs boson, dan hal-hal
selanjutnya setelah partikel ini ditemukan, lihat Ioanes Rakhmat, “Sesudah
partikel Higgs boson ditemukan, apa lagi?”, The
Freethinker Blog, 21 Februari 2013, http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2013/02/sesudah-partikel-higgs-boson-ditemukan.html.
/52/ Steve Doughty, “Battle of the
professors: Richard Dawkins branded a fundamentalist by expert behind the ‘God
particle’”, MainOnline, 27 December
2012, http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-2253640/Battle-professors-Richard-Dawkins-branded-fundamentalist-expert-God-particle.html.